1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemeriksaan pajak merupakan upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menjalankan fungsi pengawasan yang telah diamanatkan oleh UU Perpajakan.
Auditor Pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak yang berada dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia, bertanggung jawab atas penerimaan
Negara dari sektor perpajakan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan. Aparat pelaksanaan DJP di lapangan adalah Kantor
Pelayanan Pajak KPP yang mempunyai auditor-auditor khusus dalam fungsional pajak. Tanggung jawab Fungsional Pajak adalah melakukan audit
terhadap para Wajib Pajak tertentu untuk menilai apakah telah memenuhi ketentuan perundangan perpajakan Gunadi, 2005.
Tujuan utama setiap institusi pemungut pajak adalah tercapainya penerimaan pajak yang optimal, yakni berimbangnya tingkat penerimaan pajak
aktual actual revenue dengan penerimaan pajak potensial. Dengan kata lain, tidak ada selisih antara penerimaan aktual dengan penerimaan potensial, atau
sering disebut tax gap. Menurut James 2003 dalam Gunadi 2005 biasanya tax gap ini mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak tax compliance.
Menurut Simon James dkk 2003 dalam Gunadi 2005 pengertian kepatuhan pajak tax compliance dalam hal ini diartikan bahwa Wajib Pajak
2
mempunyai kesediaan untuk mematuhi kewajiban pajaknya sesuai aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama obstrusive
investigation, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sangsi baik hukum maupun administrasi, dengan demikian, secara hipotesis bila semua Wajib Pajak
mentaati dan patuh terhadap aturan-aturan perpajakan yang berlaku, maka selisih antara penerimaan pajak potensial dengan penerimaan pajak aktual menjadi 0
nol. Oleh karena itu, dalam konsep yang sederhana, meningkatnya tingkat kepatuhan pajak tercermin pada menyempitnya tax gap, yakni selisih antara
penerimaan pajak potensial dengan penerimaan pajak aktual. Kepatuhan pajak juga sering diasosiasikan dengan dua istilah baku yang
sudah popular dalam bidang-bidang perpajakan, yakni tax avoidance dan tax evasion. Perbedaan dari kedua istilah ini secara konvensional terletak pada aspek
legalitasnya. Tax avoidance terkait dengan upaya-upaya Wajib Pajak secara legal untuk mengurangi kewajiban pajaknya karena adanya kelemahan-kelemahan
sistem perpajakan atau tidak adanya aturan yang mengatur dalam ketentuan perpajakan loop holes, sedangkan tax evasion terkait pada upaya-upaya ilegal
Wajib Pajak untuk menghindari kewajiban pajaknya Alam,1999 dalam Gunadi 2005.
Pemeriksaan pajak merupakan suatu mekanisme pengawasan dalam penerapan self assestment perpajakan di Indonesia yang bertujuan untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Selain itu, pemeriksaan pajak juga
3
merupakan sarana untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak Maharani, 2006.
Dalam beberapa dekade yang telah kita lewati, penyelesaian tindak kriminal di bidang perpajakan belum mendapatkan solusi seperti yang
diharapkan pemerintah maupun masyarakat. Di lain pihak, belum ditemukan adanya perbaikan mental dari para pegawai dilingkungan perpajakan yang
disebabkan oleh pengaruh dari para Wajib Pajak tertentu yang mengarah kepada penyuapan dan pemerasan, sehingga kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
yang ada tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dari tahun ke tahun target yang harus dicapai oleh bidang perpajakan mengalami kenaikan yang signifikan.
Beberapa kali aparat perpajakan menyesuaikan kondisi dan keadaan tersebut dengan cara ekstensifikasi pajak, yang berarti mencari sumber-sumber baru bagi
pajak Komariah, 2007. Sungguh menarik mencermati kontroversi korupsi di Ditjen Pajak baru-
baru ini. Kwik Kian Gie sudah meminta maaf atas somasi Ditjen Pajak, sementara Faisal Basri masih bersikukuh menyatakan ada potensi pajak Rp. 40
triliun yang hilang, diantaranya karena korupsi. Memang terdapat kontradiksi besar jika kita melihat kinerja Ditjen Pajak
kita. Di satu sisi, pendapatan pajak terus naik. Penerimaan perpajakan selama 1969-1993 sebesar Rp149,46 triliun, 1994-2000 sebesar Rp 520,65 triliun,
sementara 2001-2004 mencapai Rp778,112 triliun Abimanyu, 2004. Di sisi
4
lain, beberapa studi menyatakan bahwa masyarakat dan kalangan bisnis secara konsisten mempersepsikan Ditjen Pajak sebagai salah satu lembaga terkorup,
diantaranya penelitian ICW tentang pola korupsi perpajakan ICW, 2001, survei korupsi nasional Partnership for Governance Reform in Indonesia Partnership,
2001, terakhir indeks persepsi korupsi Transparency International Indonesia TII, 2005 dan Business Environment Report Political Economy Risk
Consultancy PERC, 2005. Ditjen Pajak bukannya tidak menyadari persepsi diatas. Beberapa langkah
sudah diambil. Dari sisi reformasi administratif misalnya diperkenalkan online payment, e-filing, large taxpayer office, dan inovasi sistem informasi lainnya
untuk mengurangi kontak langsung pembayar pajak dan petugas pajak Fatchurrochman, 2005.
Sistem self assessment membutuhkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak yang diwujudkan jika terpenuhi unsur kesadaran perpajakan dan unsur tindakan
penegakan hukum. Melihat kenyataan tingkat kesadaran perpajakan masyarakat Wajib Pajak masih relatif rendah maka diperlukan adanya tindakan penegakan
hukum yang memadai dengan dilaksanakan melalui tindakan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak.
Untuk melaksanakan upaya penegakan hukum sebagai salah satu tindakan pemeriksaan pajak, maka mutlak diperlukan tenaga Pemeriksa Pajak dalam
kuantitas dan kualitas yang memadai disamping diperlukan prosedur
5
pemeriksaan, norma dan kaidah yang mengatur seseorang Pemeriksa Pajak. Sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh Pemeriksa
Pajak, serta melihat luasnya jangkauan tugas, sementara jumlah petugas yang terbatas, maka efisiensi kerja adalah suatu kebutuhan utama. Dengan efisiensi
kerja yang tinggi maka pelaksanaan tugas Pemeriksa Pajak akan meningkat, pada akhirnya akan memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap tercapainya
tujuan Direktorat Jenderal Pajak DJP, khusunya di dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Djazoeli Sadhani, 1999.
Pelaksanaan pemeriksaan diatur dalam serangkaian peraturan mengenai kebijakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menjaga kualitas pemeriksaan dan
memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi Wajib Pajak Maharani, 2006. Hal ini diungkap dalam Peraturan Menteri Keuangan 202 PMK.03 2007
tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan pasal 6 ayat 2a yang menjelaskan syarat Pemeriksa Pajak yaitu telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan
sebagai pemeriksa
bukti permulaan
dan menggunakan
keterampilannya serta cermat dan seksama. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pemeriksaan, seperti
batasan waktu audit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Samekto, Agus dalam Ventura Vol 4 2001:77 dikemukakan jika waktu aktual yang diberikan tidak
cukup, maka auditor dalam melaksanakan tugas tersebut dengan tergesa-gesa
6
sesuai dengan kemampuannya atau mengerjakam hanya sebagian tugasnya. Sebaliknya bila batasan waktu terlalu longgar, maka fokus perhatian auditor akan
berkurang pada pekerjaannya sehingga akan cenderung gagal mendeteksi bukti audit yang signifikan.
Hasil penelitian tersebut bertentangan dengan eksperimen yang dilakukan oleh Waggoner dan Cashell dalam Ventura Vol 4 2001:78 yang menunjukkan
bahwa semakin banyak waktu yang diberikan, semakin banyak transaksi yang dapat dites oleh auditor. Penelitian lain dilakukan oleh Kelley dan Margheim
dalam Cohn 2001 yang menyebutkan bahwa ketika auditor menetapkan alokasi waktu audit yang sangat ketat, akan mengakibatkan efek samping yang
merugikan publik, yaitu memunculkan perilaku yang mengancam kualitas audit antara lain penurunan tingkat pendeteksian dan penyelidikan aspek kualitatif
salah saji, gagal meneliti prinsip akuntansi, melakukan review dokumen secara dangkal, menerima penjelasan klien secara lemah dan mengurangi pekerjaan
pada salah satu langkah audit di bawah tingkat yang diterima. Dari gambaran di atas, semakin nyata bahwa Pemeriksa Pajak fiskus
harus memiliki pelatihan teknis, pengalaman dalam perpajakan agar terciptanya efisiensi dan efektifitas dalam Pemeriksa Pajak. Sehingga penerimaan pajak
dapat mencapai target yang diinginkan. Penelitian mengenai kinerja aparat pajak telah banyak dilakukan. Penelitian
yang dilakukan oleh Chairuddin Syah Nasution 2002 yang berjudul “Analisis
7
Hubungan Pendidikan Akademis, Pelatihan Teknis Perpajakan, Penempatan Kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Sekretariat Direktorat
Jenderal Pajak”. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan antara pendidikan akademis, pelatihan teknis perpajakan, penempatan kerja dan
motivasi kerja terhadap kinerja pegawai pada Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak.
Penellitian lain terkait kinerja aparat pajak adalah penelitian yang dilakukan oleh Zamal Firdaus 2009, menggunakan tiga variabel independen
yaitu pelatihan teknis perpajakan, pengalaman, dan motivasi pemeriksa pajak . sedangkan variabel dependen adalah kinerja pemeriksa pajak pada Kantor
Pelayanan Pajak Di Jakarta Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara pelatihan teknis perpajakan,
pengalaman, dan motivasi pemeriksa pajak dengan kinerja pemeriksa pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Di Jakarta Barat.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang menguji tentang kinerja pemeriksa pajak, penelitian ini merupakan implikasi dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Zamal Firdaus 2009. Adapun perbedaan penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Sampel yang digunakan adalah pemeriksa pajak pada Kantor Pelayanan pajak di Jakarta Selatan, sedangkan penelitian sebelumnya adalah pemeriksa pajak
pada Kantor Pelayanan pajak di Jakarta Barat.
8
2. Perbedaan selanjutnya adalah penggunaan variabel independen. Penelitian ini menggunakan variable independent pelatihan teknis perpajakan, akuntabilitas
dan batasan waktu pemeriksaan. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan variable independen pelatihan teknis perpajakan, pengalaman,
dan motivasi pemeriksa pajak. 3. Penelitian terdahulu untuk mengukur korelasi atau hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen, sedangkan penelitian ini mengukur pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
4. Pada penelitian ini menggunakan anaslis regresi berganda, analisi koefisien determinasi, uji t dan uji f. Sedangkan penelitian terdahulu hanya
menggunakan analisis koefisien korelasi sederhana. 5. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 sedangkan penelitian sebelumnya
tahub 2009. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bermaksud untuk meneliti kembali
faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja
pemeriksa pajak.
Dengan menggunakan beberapa variabel yang berbeda dengan penelitian terdahulu
diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pemeriksa pajak. Untuk itu penulis melakukan penelitian
yang berjudul : Pengaruh Pelatihan Teknis Perpajakan, Akuntabilitas dan Batasan Waktu Pemeriksaan Pajak Terhadap Kinerja Pemeriksa Pajak
Pada Kantor Pelayanan Pajak KPP Di Jakarta Selatan.
9
B. Perumusan Masalah