Peran Sulfas Ferrosus Sebagai Pengikat Fosfat (Phosphate Binder) Pada Pasien PGK Dengan Hemodialisis Reguler

(1)

PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN

HEMODIALISIS REGULER

PENELITIAN DI BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

APRIL – OKTOBER 2010

TESIS

OLEH ERWINSYAH

057101006

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK / RSUD DR. PIRNGADI


(2)

PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN

HEMODIALISIS REGULER

T E S I S

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DI DEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG

ILMU PENYAKIT DALAM

ERWINSYAH 057101006

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010


(3)

Judul Tesis : PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN HEMODIALISIS REGULER

Nama Mahasiswa : Erwinsyah Nomor Induk Kandidat : 057101006 Bidang Ilmu : Penyakit Dalam

MENYETUJUI PEMBIMBING TESIS

(Prof. dr. HARUN RASYID LUBIS, SpPD-KGH)

DISAHKAN OLEH

KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(dr. SALLI R. NASUTION,SpPD-KGH) (dr. ZULHEMI BUSTAMI,SpPD-KGH)


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur serta terimakasih kepada Allah Yang Maha Kuasa, saya dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : ‘PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN HEMODIALISIS REGULER’, yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, selaku Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan Divisi Nefrologi dan Hipertensi, sekaligus sebagai pembimbing I tesis penulis, yang memberi segala kemudahan, bimbingan dan perhatian besar kepada penulis selama dalam pembuatan tesis ini.

2. Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH, selaku Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan Divisi Gastroentero Hepatologi yang telah bermurah hati menerima saya sebagai peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam, saat menjabat sebagai Kabag Ilmu Penyakit Dalam sewaktu saat pertama saya masuk mengikuti program pendidikan ini.

3. dr. Zulhemi Bustami, SpPD-KGH sebagai ketua program studi Ilmu Penyakit Dalam sekaligus pembimbing II tesis penulis. Kesempatan ini saya juga mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada panitia tim penguji saya : Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH, Prof. dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGEH, DR. dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH, DR. dr. Blondina Marpaung, SpPD-KGEH, dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP dan dr. A. Adin S. Bagindo, SpPD-KKV.

4. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Salli R. Nasution, SpPD-KGH selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSHAM, dr. Abdurrahim Rasyid Lubis selaku Kepala Divisi Nefrologi Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberi segala kemudahan dan perhatian besar kepada kami selama menjalankan studi.


(5)

5. Dan saat ini juga saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan saya yang setinggi-tingginya kepada seluruh staf pengajar Departemen Penyakit Dalam FK USU, RSUP H. Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Medan : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., Prof. dr. T Renardi Haroen SpPD-KKV, MPH., Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, SpPD-Kpsi., Prof. dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV., Prof. dr. Azhar Tanjung, KP-KAl, SpMK., Prof. dr. Pengarapen Tarigan, SpPD-KGEH., Prof. dr. OK Moehad Sjah SpPD-KR., Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH., Prof. dr. M Yusuf Nasution, SpPD-KGH., Prof. dr. Azmi S Kar, SpPD-KHOM., Prof. dr. Gontar A Siregar, SpPD-KGEH., Prof. dr. Harris Hasan SpPD, SpJP(K)., dr. Nur Aisyah SpPD-KEMD., Dr. A Adin St Bagindo SpPD-KKV., dr. Lufti Latief, SpPD-KKV., dr. Syafii Piliang, SpPD-KEMD., dr. T Bachtiar Panjaitan, SpPD., dr. Abiran Nababan, SpPD-KGEH., dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH., dr. Sri M Sutadi SpPD-KGEH., dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH., Dr. dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH., dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH., dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD., Dr.dr. Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., dr. Refli Hasan SpPD,SpJP (K)., dr.Pirma Siburian SpPD., dr. EN Keliat KP., dr. Blondina Marpaung KR., dr. Leonardo Dairy SpPD-KGEH., dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI., dr. Daud Ginting SpPD., dr. Saut Marpaung SpPD., dr. Mardianto, SpPD., dr. Zuhrial SpPD., dr. Dasril Efendi SpPD-KGEH.,dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM., dr. Soegiarto Gani SpPD., dr. Savita Handayani SpPD., dr. llhamd SpPD., dr. Calvin Damanik SpPD., dr. Zainal Safri SpPD.,SpJP., dr. Rahmat Isnanta, SpPD., dr. Santi Safril, SpPD., dr. Jerahim Tarigan SpPD., dr. Endang Sembiring SpPD., dr. Abraham SpPD., dr. Franciscus Ginting SpPD., yang merupakan guru-guru saya, dokter kepala ruangan/senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.


(6)

6. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV, SpJP (K)., selaku Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan persetujuan untuk pelaksanaan penelitian ini

7. Direktur RSUD Dr Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

9. Para sejawat PPDS-Interna, paramedis dan seluruh karyawan/ti bagian Penyakit Dalam : Lely Husna, Syafruddin Abdullah, Yanti, Theresia, Fitri, Ita, Wanti, Sari, Tika dan Deni yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama ini. 10. Khusus buat teman-teman penulis dr. Radar Tarigan, SpPD, dr. Rudi

Dwilaksono, dr. Hotlan Sihombing, dr. Dharma Muda, dr. Safrian, dr. Ameliana, dr. Faisal, dr. Leny S. yang telah banyak memberi bantuan, dorongan dan pengorbanan serta mengalami banyak suka duka bersama, selama menjalani pendidikan sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.

11. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan yang tulus kepada penulis khususnya dalam metodologi penelitian ini dan statistik yang dibutuhkan pada penulisan tesis ini.

12. Kepada seluruh perawat di ruang hemodialisa, pihak Laboratorium Klinik Thamrin yang diwakili oleh Ibu dr. Hely, terima kasih atas segala bantuannya dari pengumpulan data dan sampel sampai proses pengerjaan sampel dan penulisan akhir tesis penelitian ini.

13. Para pasien rawat inap dan rawat jalan di ruang Hemodialisa RSUD Dr. Pirngadi Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

14. Kepada kedua orangtua penulis, bapak tercinta Abdul Azis yang selalu menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan panutan saya dan ibu Hj. Rohani Nasution


(7)

yang penulis kasihi, tiada kata-kata yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan hati, rasa terimakasih atas segala jasa-jasa bapak dan ibu yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Puji syukur selalu padaNya, luar biasa berkat dan karunia Tuhan pada kita. Terima kasih juga kepada saudara-saudara kandung saya ( Ardiansyah, SP dan M. Azhari) dan seluruh saudara ipar saya yang selalu memberikan dorongan dan motivasi selama saya mengikuti pendidikan ini. Demikian juga kepada bapak mertua H. Asril Alwi dan Ibu mertua Hj. Jusnimarti, terimakasih untuk segala jerih payah dan pengorbanan yang bapak dan ibu berikan. Kiranya Allah SWT yang membalasnya.

15. Kepada istriku tercinta Kiki Sandria, terimakasih untuk segala keikhlasanmu dalam kesabaran, kebijaksanaanmu dalam memberi dorongan, bantuan, serta semangat sehingga perjuangan dalam melewati sekolah ini bisa tercapai. Kepada anakku yang kusayangi Cantika Salsabilla dan Davinsyah Islami Putra yang senantiasa menjadi pendorong semangat serta pelipur lara bagiku selama mengikuti pendidikan. Harapan saya kiranya Allah SWT jugalah yang memperkenankan kita hidup dengan baik, selalu terjaga oleh perlindunganNya. Kalau ada sedikit ilmu atau berkat yang didapat, kiranya Allah SWT jugalah yang memberi kesempatan untuk itu bisa berguna bagi semua umatNya.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT Yang Maha Pengasih, dan Maha Pemurah. Amin.

Medan, 27 Oktober 2010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 6

2.1. Patofisiologi serta Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK .. 7

2.2. Hiperparatiroidisme sekunder ... 7

2.3. Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik (GMT-PGK)... 10

2.3.1. Osteodistrofi Renal ... 11

2.4. Kalsifikasi Kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak ... 11

2.5. Kalsifilaksis... 12


(9)

2.6.1. Menghambat hiperfosfatemia ... 13

a. Mengurangi Asupan Fosfat ... 13

b. Pemberian Pengikat Fosfat ... 13

c. Dialisa ... 16

2.6.2. Menghambat konsekuensi hiperfosfatemia ... 17

a. Pemberian Vitamin D 3 atau analognya... 17

b. Pemberian bahan kalsimemetik (Cinacalcet)... 18

c. Paratiroidektomi... 19

BAB III PENELITIAN SENDIRI... 20

3.1. Latar Belakang ... 20

3.2. Perumusan masalah... 23

3.3. Hipotesis... 23

3.4. Tujuan Penelitian ... 23

3.5. Manfaat Penelitian ... 23

3.6. Kerangka Konsepsional ... 24

3.7. Bahan Dan Cara ... 24

3.7.1. Desain penelitian... 24

3.7.2. Waktu dan tempat penelitian... 24

3.7.3. Subjek penelitian... 25

3.7.4. Kriteria yang dimasukkan ... 25


(10)

3.7.6. Besar sampel ... 25

3.7.7. Cara penelitian ... ... 26

3.7.8. Analisa data ... 27

3.8. Kerangka Operasional... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1. Hasil Penelitian ... 28

4.2. Pembahasan... 32

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1. Kesimpulan ... 39

5.2. Saran... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN (L) Lampiran 1 Master Tabel ... 45

Lampiran 2 Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian ... 47

Lampiran 3 Lembar Persetujuan setelah Penjelasan ... 50

Lampiran 4 Informed Consent ... 54

Lampiran 5 Persetujuan Komite Etik ... 57

Lampiran 6 Daftar Riwayat Hidup ... 60

Lampiran 3 Lembar Persetujuan setelah Penjelasan ... 51

Lampiran 4 Profil Peserta Studi ... 52

Lampiran 5 Etika Kedokteran ... 53


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi GMT-PGK ... 10 Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik PGK (n = 34) ... 29 Tabel 4.2 Gambaran Karakteristik Klinis dan Laboratorium penderita PGK

berdasarkan kelompok perlakuan sebelum pemberian obat ... 30 Tabel 4.3 Gambaran Awal kadar serum posfat pada kelompok yang diberi

sulfas Ferrosus dan placebo ... ... 31 Tabel 4.4 Gambaran kadar serum posfat setelah diberikan Sulfas Ferossur

dan Placebo pada tahap awal... 31 Tabel 4.5 Gambaran kadar serum posfat setelah diberikan Sulfas Ferrosus

dan Placebo pada tahap kedua (tahap cross over)... 32

Tabel 4.6 Etiologi dan mekanisme kenaikan sekresi hormon paratiroid pada PGK ... 33 Tabel 4. 7 Konsentrasi optimal kalsium, fosfat dan HP serum untuk

mencegah hiperparatiroidisme ... 35


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Grafik Jumlah Kasus Dialisis PT ASKES... 5

Gambar 2 Skema Patogenesis hiperparatiroidisme sekunder ... 9

Gambar 3 Kerangka Konsepsional ... 24

Gambar 4 Kerangka Operasional ... 27


(13)

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Kepanjangan

PGK Penyakit Ginjal Kronik

LFG Laju Filtrasi Glormerulus

PGOI Penyakit Ginjal Obstruksi Inflamasi

HPTi Hormon Paratiroid

USRDS Dialysis Morbidity and Mortality Study

Ca x P Calsium dikali Posfat

CaR Calsium Ratio

KDIGO Kidney Disease: Improving Global

Outcomes

OR Osteodistrofi Renal

GMT-PGK Gangguan Mineral Tulang – Penyakit Ginjal Kronik

Fe Ion Ferri

ml milliliter

% persen

mmHg millimeter air raksa

mg/dl milligram per desiliter

n jumlah sampel

Zα deviat baku normal untuk α

Zβ deviat baku normal untuk β

d selisih rerata kedua kelompok yang

bermakna

Sd Standar deviasi perkiraan

SB Simpang baku

p tingkat kemaknaan

r kekuatan korelasi


(14)

PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN HEMODIALISIS

REGULER

Erwinsyah, Zulhelmi Bustami, Abdurrahim Rasyid Lubis, Harun Rasyid Lubis Bagian Penyakit Dalam Divisi Hipertensi dan Nefrologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Latar Belakang

Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Hiperfosfatemia dan tingginya produk kalsium/phosfor berasosiasi secara independent terhadap mortalitas pasien PGK stadium akhir yang menjalani dialisis. Kondisi ini juga berhubungan dengan peningkatan kejadian hiperparatiroidisme, kalsifikasi organ kardiovaskuler dan lain sebagainya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa obat mengandung komponen besi dapat dipakai sebagai fosfat binder, ketika diberikan secara oral bersama dengan makanan. Di Indonesia, obat sulfas ferrosus digunakan untuk pengobatan anemia relatif murah dan luas penggunaannya. Kami mencoba studi secara klinik sejauh mana tablet sulfas ferrosus dapat digunakan sebagai fosfat binder.

Tujuan

Untuk menguji peran dari sulfas ferrosus yang diberikan secara oral dalam mengikat serum fosfat pada pasien hemodialisis reguler.

Metode

Penelitian dilakukan mulai bulan April 2010 sampai Oktober 2010. Jumlah peserta 34 orang, dipilih dari pasien hemodialisis reguler di Unit Hemolidisa Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, berumur > 18 tahun. Kadar serum posfat diperiksa sebelum dan sesudah diberikan 300 mg sulfas ferrosus atau placebo bersama dengan makanan 3 kali sehari selama 2 minggu. Setelah itu, obat aktif dan Placebo dicross over dan kadar serum fosfat diperiksa kembali setelah 2 minggu.


(15)

Hasil

Kadar serum fosfat tidak meningkat pada keduanya setelah diberikan obat aktif maupun placebo. Setelah cross over, pada kedua grup terjadi peningkatan pada fosfat tetapi hanya pada grup yang awalnya mendapat sulfas ferrosus terjadi peningkatan yang signifikan meskipun tidak mempunyai arti secara klinis.

Kesimpulan

Studi kecil ini tidak menunjukkan efek pemberian 300 mg sulfas ferrosus sebagai fosfat binder. Penelitian kedepan diperlukan untuk studi ini, masalah rekrutmen pasien, peningkatan dosis obat dan waktu pemberian obat yang lebih lama.

Kata kunci :


(16)

ROLE OF FERROUS SULPHATE AS PHOSPHATE BINDER IN REGULAR HEMODIALYSIS PATIENTS

Erwinsyah, Zulhelmi Bustami, Abdurrahim Rasyid Lubis, Harun Rasyid Lubis Nephrology and Hypertension Division, Department of Internal

Medicine, Medical Faculty of North Sumatera University, Pirngadi/Adam Malik Hospital, Medan

ABSTRACT

Background

Patient suffering from chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of death compared to the normal population. Hyperphosphatemia and high calcium/phosporus product independently associated to the mortality of ESRD patients on haemodialysis. This condition are also associated increased incidence of hyperthyroidism, cardiovascular organ calcification,etc. Several researchses reported that iron containing drugs, were able to act as phosphate binder, when given orally together with meals. In Indonesia, ferrous sulphate drug was used for the anemia treatment, relative cheap and widely available. We tried clinically to study whether ferrous suphate tablets can act as phosphate binder.

Aim

To determine the role of oral ferrous sulphate in binding serum phosphate in patients on regular haemodialysis.

Methods

The study was conducted from April 2010 until October 2010. Participants were 34, selected from regular HD patients in Haemodialysis Unit, General Hospital Pirngadi Medan, aging > 18 years old. The phosphate serum level was examined before and after administration of 300 mg ferrous sulphate tablets or placebo during meals 3 times daily for 2 weeks. There after, active drugs and placebo were crossed over and serum phosphate was reexamined after 2 weeks.


(17)

Result

Phosphate serum did not decrease both after the administration of active drugs and placebo. After the cross over in both groups phosphate increased, but only in the group having ferrous sulphate previously showed significance although had no clinical meaning.

Conclusion

This small study did not show any effect of 300 mg ferrous sulphate as phosphate binder. Further researches are needed for this study,recruiting more patients, increase in dosase and for longer period of administration.

Keywords:


(18)

PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN HEMODIALISIS

REGULER

Erwinsyah, Zulhelmi Bustami, Abdurrahim Rasyid Lubis, Harun Rasyid Lubis Bagian Penyakit Dalam Divisi Hipertensi dan Nefrologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK Latar Belakang

Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Hiperfosfatemia dan tingginya produk kalsium/phosfor berasosiasi secara independent terhadap mortalitas pasien PGK stadium akhir yang menjalani dialisis. Kondisi ini juga berhubungan dengan peningkatan kejadian hiperparatiroidisme, kalsifikasi organ kardiovaskuler dan lain sebagainya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa obat mengandung komponen besi dapat dipakai sebagai fosfat binder, ketika diberikan secara oral bersama dengan makanan. Di Indonesia, obat sulfas ferrosus digunakan untuk pengobatan anemia relatif murah dan luas penggunaannya. Kami mencoba studi secara klinik sejauh mana tablet sulfas ferrosus dapat digunakan sebagai fosfat binder.

Tujuan

Untuk menguji peran dari sulfas ferrosus yang diberikan secara oral dalam mengikat serum fosfat pada pasien hemodialisis reguler.

Metode

Penelitian dilakukan mulai bulan April 2010 sampai Oktober 2010. Jumlah peserta 34 orang, dipilih dari pasien hemodialisis reguler di Unit Hemolidisa Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, berumur > 18 tahun. Kadar serum posfat diperiksa sebelum dan sesudah diberikan 300 mg sulfas ferrosus atau placebo bersama dengan makanan 3 kali sehari selama 2 minggu. Setelah itu, obat aktif dan Placebo dicross over dan kadar serum fosfat diperiksa kembali setelah 2 minggu.


(19)

Hasil

Kadar serum fosfat tidak meningkat pada keduanya setelah diberikan obat aktif maupun placebo. Setelah cross over, pada kedua grup terjadi peningkatan pada fosfat tetapi hanya pada grup yang awalnya mendapat sulfas ferrosus terjadi peningkatan yang signifikan meskipun tidak mempunyai arti secara klinis.

Kesimpulan

Studi kecil ini tidak menunjukkan efek pemberian 300 mg sulfas ferrosus sebagai fosfat binder. Penelitian kedepan diperlukan untuk studi ini, masalah rekrutmen pasien, peningkatan dosis obat dan waktu pemberian obat yang lebih lama.

Kata kunci :


(20)

ROLE OF FERROUS SULPHATE AS PHOSPHATE BINDER IN REGULAR HEMODIALYSIS PATIENTS

Erwinsyah, Zulhelmi Bustami, Abdurrahim Rasyid Lubis, Harun Rasyid Lubis Nephrology and Hypertension Division, Department of Internal

Medicine, Medical Faculty of North Sumatera University, Pirngadi/Adam Malik Hospital, Medan

ABSTRACT

Background

Patient suffering from chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of death compared to the normal population. Hyperphosphatemia and high calcium/phosporus product independently associated to the mortality of ESRD patients on haemodialysis. This condition are also associated increased incidence of hyperthyroidism, cardiovascular organ calcification,etc. Several researchses reported that iron containing drugs, were able to act as phosphate binder, when given orally together with meals. In Indonesia, ferrous sulphate drug was used for the anemia treatment, relative cheap and widely available. We tried clinically to study whether ferrous suphate tablets can act as phosphate binder.

Aim

To determine the role of oral ferrous sulphate in binding serum phosphate in patients on regular haemodialysis.

Methods

The study was conducted from April 2010 until October 2010. Participants were 34, selected from regular HD patients in Haemodialysis Unit, General Hospital Pirngadi Medan, aging > 18 years old. The phosphate serum level was examined before and after administration of 300 mg ferrous sulphate tablets or placebo during meals 3 times daily for 2 weeks. There after, active drugs and placebo were crossed over and serum phosphate was reexamined after 2 weeks.


(21)

Result

Phosphate serum did not decrease both after the administration of active drugs and placebo. After the cross over in both groups phosphate increased, but only in the group having ferrous sulphate previously showed significance although had no clinical meaning.

Conclusion

This small study did not show any effect of 300 mg ferrous sulphate as phosphate binder. Further researches are needed for this study,recruiting more patients, increase in dosase and for longer period of administration.

Keywords:


(22)

BAB I PENDAHULUAN

Penderita penyakit - penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain : gangguan kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, inflamasi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme mineral. Salah satu diantara gangguan metabolisme mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium.1

Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang harus mendapat perhatian karena mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas PGK. Pada PGK, akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia yang secara fisikokimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. Selanjutnya, hiperfofatemia dan hipokalsemia akan merangsang peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT). Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia ini pada umumnya terjadi pada kliren kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Apabila tidak mendapat penanggulangan secara tepat atau apabila terjadi asupan kalsium berlebih, kondisi tersebut akan berubah menjadi hiperfosfatemia dan hiperkalsemia. Hiperfosfatemia-hipokalsemia maupun hiperfosfatemia dan hiperkalsemia, keduanya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam morbiditas dan mortalitas PGK. Block dkk (1998), melaporkan peningkatan resiko kematian yang berkaitan dengan hiperfosfatemia pada 6407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis regular. Dilaporkan bahwa, penderita dengan kadar fosfat serum


(23)

6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang meningkat sebesar 27%.2 Setelah dilakukan penyesuaian terhadap usia, onset gagal ginjal kronik, ras, jenis kelamin, diabetes, AIDS, neoplasma dan perokok aktif, kematian masih 27% lebih tinggi dibandingkan dengan penderita dengan kadar fosfat serum antara 5 – 6,5 mg/dl (p< 0,01). Hiperfosfatemia pada PGK memberikan konsekuensi : 1) hiperparatiroidisme, 2) peningkatan insiden kalsifikasi jaringan ikat lunak dan sindrom kalsifilaksis, dan 3) gangguan terhadap sekresi hormon paratiroid (HPT).3,4

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah sekelompok gangguan tulang pada PGK yang merupakan konsekuensi hiperfosfatemia setelah terjadi hiperparatiroidisme sekunder. Salah satu contohnya ialah osteodistrofi renal. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari 1) Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan Vitamin D, 2) Kelainan tulang dalam

hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan kekuatannya, 3)

Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.5,6

Belum diketahui secara pasti, penyebab percepatan progresifitas gagal ginjal, apakah vitamin D aktif, atau kelebihan hormone fosfaturik FGF 23. Block dkk (2004), lewat penelitian kohort berskala besar melaporkan bahwa, yang berperan besar dalam kejadian tersebut adalah hiperfosfatemia-hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme yang berat. Kematian penderita terutama disebabkan oleh gangguan kardiovaskuler dan yang terkait dengan kalsifikasi kardiovaskuler. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk penanggulangan hiperfosfatemia pada PGK ini. Usaha-usaha tersebut adalah , 1) restriksi asupan fosfat, 2) pemberian pengikat fosfat (phosphate binder), 3) meningkatkan efektifitas dialisis, dan 4) pemakaian bahan kalsimemetik


(24)

(calcimemetic agent). Untuk menekan morbiditas dan mortalitas, KDOQI menargetkan kadar fosfat serum penderita PGK adalah 3,5 – 5,5 mg/dl, dan perkalian kadar fosfat dan kalsium kurang dari 55 mg2/dl2 (dengan mempergunakan kadar kalsium yang telah dikoreksikan dengan kadar albumin plasma). Tetapi target ini masih belum sepenuhnya bisa dicapai, terbukti dari masih tingginya prevalensi hiperfosfatemia pada pasien PGK. USRDS (United

States Renal Data System) (1993), mencatat prevalensi hiperfosfatemia masih

53,6 %, walaupun pengikat fosfat sudah diberikan pada sekitar 80% kasus. Dapat disimpulkan bahwa, diet restriksi fosfat (dietary intervention), dialisis yang ketat dan pemakaian obat-obatan yang dilakukan selama ini, masih belum cukup untuk memenuhi target KDOQI dalam mengatasi hiperfosfatemia. Masih dibutuhkan usaha yang lebih intensif.3

Beberapa peneliti melaporkan bahwa komponen ferri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan bila diberikan secara oral. Hergessel dan Ritz (1999), melaporkan terjadi penurunan kadar fosfat darah sebesar 20 % serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar 37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia.7

Penelitian Chen dkk (1999), juga melaporkan bahwa komponen garam ferri yang dicampurkan, bersama-sama dengan makanan dan diberikan pada percobaan kelompok hewan tikus yang normal maupun kelompok tikus azotemic (sudah subtotal nefrectomy) juga efektif mengikat fosfat dan menurunkan penyerapan fosfat diusus halus setelah diberikan selama 2 dan 4 minggu. Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut. 8

Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan besi dalam bentuk sediaan hidrat sulfat ferrosus (FeSO4.7 H2O) 300 mg sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) antara lain mencoba menggantikan peran


(25)

garam aluminium sebagai phosphate binder yang pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan intoksikasi aluminium, sedangkan penggunan garam kalsium beresiko terjadinya hiperkalsemia.8

Sebab itu, dicobalah penggunaan sediaan hidrat sulfas ferrosus ini sebagai pengikat fosfat (phosphate binder), disamping harganya murah juga mudah didapat. Hal ini berdampak mengurangi biaya pengobatan hiperfosfatemia yang terjadi pada pasien. Pasien-pasien PGK di Indonesia yang sebagian besar menggunakan jasa pelayanan Jamkesmas dan Askes saat melakukan hemodialisis tentunya akan sangat terbantu dengan kondisi ini. Saat ini banyak pemberian berbagai jenis pengikat fosfat yang ada dan dibutuhkan pasien PGK dengan hiperfosfatemia ini tidak mendapat tanggungan pengobatan dari Askes maupun Jamkesmas.9

Berikut ini disajikan gambaran grafik jumlah kasus yang menjalani dialisis yang diambil datanya dari PT. ASKES. Data ini tidak mencerminkan seluruh kasus dialisis di Indonesia, tetapi hanya kasus dialisis yang di biayai oleh PT. ASKES. Namun demikian jumlah kasus yang di biayai oleh PT. ASKES mencapai lebih dari 80% jumlah kasus dialisis, yaitu sekitar 14,6 juta pegawai negeri sipil dan pensiunannya serta 74,6 juta peserta Jamkesmas yang mulai dibiayai pengobatan cuci darahnya sejak 2005 – 2006.10


(26)

5

Jumlah kasus dialisis yang dibiayai oleh PT ASKES pada tahun 1988-2006.10

Dengan latar belakang demikian, maka penulis ingin mencoba mengamati dan meneliti adanya peran sulfas ferrosus sebagai pengikat fosfat (phosphate binder ) pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas struktural atau fungsional ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa penurunan filtrasi glomerulus (LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal, termasuk ketidakseimbangan komposisi zat didalam darah atau urine serta ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan.11

Secara epidemiologi, kejadian penyakit ginjal kronik di negara berkembang didapatkan 40-60 kasus /1 juta penduduk/ tahun. Pada pasien-pasien dengan penyebab hipertensi berat, glomerulonefritis dan obstruktif uropati, insidensinya menjadi lebih tinggi bahkan dapat mencapai 100 kasus/1 juta penduduk/tahun. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1.800 kasus baru penyakit ginjal kronik setiap tahun. Di Amerika serikat dijumpai 200.000 penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis reguler dengan peningkatan 10 persen setiap tahunnya. Pasien-pasien gagal ginjal terminal yang baru terdiagnosa mencapai 100 pasien/ 1 juta penduduk. Insiden ini meningkat empat kali lebih besar pada golongan kulit hitam dan hispanik dibanding dengan golongan kaukasian yang meningkat sesuai dengan bertambahnya usia pasien12. Sedangkan data di Indonesia, sedikit studi epidemiologis tentang penyakit ginjal kronik. Sehingga sulit didapatkan pola morbiditas dan mortalitas baik dari rumah sakit rujukan nasional maupun rujukan rumah sakit provinsi.13


(28)

Penyebab penyakit ginjal kronik dari beberapa data yang ada bervariasi untuk setiap negara dimana tingkat insidensinya berbeda pada negara maju dan negara berkembang. Di Amerika Serikat (1999 – 2005) etiologi terbanyak adalah Diabetes melitus (44%), dengan DM tipe 1 (7%), DM tipe 2 (37%), Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar (27%), Glomerulonefritis (10%), Nefritis interstitialis (4%), Kista dan penyakit bawaan lain (3%), penyakit sistemik ( Lupus dan Vaskulitis) (2%), neoplasma (2%), penyakit lain (4%) dan tidak diketahui (4%).12 Data etiologi penyebab ginjal di Indonesia pada tahun 2005 adalah Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%) Hipertensi (8,46%) dan lain lainnya (13,65%).13

2.1. Patofisiologi serta konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK

Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam mengekskresi fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat dari ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, sehingga hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang masih normal. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekwensi yang cukup memberikan kontribusi pada mortalitas dan morbiditas PGK. Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK adalah hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis.14-16


(29)

2.2. Hiperparatiroidisme sekunder

Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme sekunder adalah, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan hipokalsitriolemia (kekurangan Calcitriol/ vitamin D Analog). Adapun indikasi pasien PGK diberikan vitamin D Analog antara lain pasien yang menjalani hemodialisis atau dialisis peritoneal dengan kadar HPTi > 300 pg/ml dianjurkan untuk mendapat Calcitriol/ vitamin D analog (Paricalcitol, Alfacalcidol, atau Doxercalciferol). Calcitriol/ vitamin D analog diberikan pada pasien dengan kadar calsium serum < 9,5 mg/dl jika kadar HPTi plasma 300 – 600 pg/ml, atau calsium serum < 10 mg/dl pada kadar HPTi plasma 1000 pg/dl. Skema 1 memperlihatkan patogenesis terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.5


(30)

Level Rendah1,25 (OH)2 D3 Fosfat Retensi

Ketahanan Tulang PTH

Hypocalcemia

Hiperparatiroidisme

Penurunan Sensor

Ca

Penurunan Reseptor 1,25 (OH)2 D3 Gagal Ginjal Kronis

Skema 1. Patogenesis hiperparatiroidisme Sekunder17

Hipokalsitriolemia terjadi akibat penurunan massa ginjal. Hipokalsemia terjadi melalui dua mekanisme yaitu, hiperfosfatemia yang mengakibatkan perubahan keseimbangan fisikokimiawi, dan hipokalsitriolemia yang mengakibatkan penurunan absorbsi kalsium di saluran cerna. Ketiga faktor


(31)

diatas secara bersama-sama berkontribusi terhadap peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT). 14,15

2.3. Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik (GMT-PGK)

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut :5

1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan vitamin D.

2. Kelainan tulang dalam hal turnover, mineralisasi, volume, pertumbuhan linier dan kekuatannya.

3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.

Kalsifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu atau kombinasi dari ketiga komponen diatas.

Tabel 2.1 . Klasifikasi GMT-PGK5 Tipe Laboratorium

Abnormal

Gangguan Tulang

Kalsifikasi Vaskuler atau jaringan lunak

L + - -

LT + + -

LK + - +

LTK + + +


(32)

2.3.1. Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi Renal (OR) merupakan gangguan morfologi tulang pada PGK. OR merupakan salah satu pemeriksaan komponen skeletal dari suatu gangguan sistemik GMT-PGK yang dapat diukur melalui pemeriksaan histomorfometri dari biopsi tulang. Termasuk dalam kelompok ini adalah, osteomalasia, osteotis fibrosa, adynamic bone disease, dan jenis campuran. Ada dua spektrum osteodistrofi renal yaitu, high turnover dan low turnover.

High turnover terjadi pada kadar fosfat tinggi-kalsium rendah HPT tinggi.

Termasuk spektrum ini adalah osteitis fibrosa. Sedangkan low turnover terjadi pada kadar kalsium tinggi aluminium tinggi, dan termasuk dalam spektrum ini adalah osteomalasia dan a dynamic bone disease. Salah satu bentuk osteodistrofi renal yang berada di antara kedua spektrum diatas adalah bentuk campuran.18,19

2.4. Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak

Mekanisme lain, lewat mana hiperfosfatemia berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien PGK adalah melalui terjadinya kalsifikasi jaringan lunak, terutama pada kalsifikasi kardiovaskuler. Dari otopsi dilaporkan bahwa, kalsifikasi kardiovaskuler terjadi pada hampir 60 % pasien PGK yang menjalani hemodialisis.

Kalsifikasi ini terjadi pada miokardium, perikardium, sistem konduksi, aorta, katup mitral dan arteri koroner. Keadaan ini dapat mengakibatkan aritmia, disfungsi ventrikel, stenosis ataupun regurgitasi aorta dan mitral,

complete heart block, iskemia miokard dan payah jantung kongestif.

Faktor-faktor yang memicu terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah hiperparatiroidisme, hiperfosfatemia-hiperkalsemia (peningkatan produk


(33)

Ca x P), dan alkalinisasi jaringan. Pasien-pasien dengan kadar fosfat yang lebih dari 6,5 mg/dl mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung aterosklerotik). Resiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner 52 % lebih tinggi pada pasien-pasien dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Pasien-pasien dengan dialisis regular yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55 mg2/dl2 mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi bermakna dibandingkan normal. KDIGO menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P kurang dari 55 mg2 / dl2. 20-22

Selain di jaringan kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat mengakibatkan kalsifikasi pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan, periartikuler, paru dan jaringan interstitial ginjal.21

2.5. Kalsifilaksis

Sindrom kalsifilaksis pertama kali dilaporkan oleh Selye thn 1962, berupa nekrosis iskemia jaringan perifer, kalsifikasi vaskuler dan ulserasi kulit, yang terjadi pada PGK yang menjalani hemodialisis reguler atau setelah transplantasi ginjal. Patogenesis sindrom ini belum diketahui secara pasti, diduga karena adanya obstruksi mekanis vaskuler akibat deposisi kalsium otot polos, arterial dan terjadinya spasme vaskuler. Faktor predisposisi sindrom ini adalah pasien PGK dengan hemodialisis yang mempergunakan kalsium karbonat dosis tinggi, dialisat konsentrasi kalsium tinggi, obesitas, diabetes melitus, pasca transplantasi, obat-obat golongan steroid/imunosupresan, serta trauma lokal.21


(34)

2.6. Penatalaksanaan23

Penatalaksanaan hiperfosfatemia serta konsekuensinya pada PGK dilakukan dengan berbagai upaya yaitu :

2.6.1. Menghambat hiperfosfatemia

a. Mengurangi Asupan Fosfat

Pembatasan asupan fosfat pada penderita PGK merupakan cara yang paling efektif dalam menghambat terjadinya hiperfosfatemia. Hal ini dilakukan seiring dengan pembatasan asupan protein, karena fosfat sebagian besar terkandung pada sumber protein, seperti daging, telur, susu serta berbagai produknya. Upaya ini harus segera dimulai pada klirens kreatinin 60ml/menit. Asupan fosfat pada PGK dianjurkan sebanyak 600-900 mg/hari. Fosfat sejumlah itu, jika dikonversikan ke jumlah asupan protein yang dibutuhkan pada pasien hemodialisis/peritoneal dialisis sebesar 1,2 - 1,4 protein gr/kg.bb./hari. Dalam keadaan seperti ini, jumlah asupan protein lebih diutamakan guna mencegah penderita jatuh ke kondisi malnutrisi.23

b. Pemberian Pengikat Fosfat

Pengikat fosfat, diharapkan dapat mengikat fosfat yang ada pada makanan penderita PGK, sehingga tidak diabsorbsi dan dikeluarkan lewat feces. Dengan demikian kadar fosfat dalam darah tidak meningkat. Berbagai jenis pengikat fosfat yang sering dipergunakan adalah, 1) garam aluminium (Aluminium hidroksida), 2) garam ferri, 3) garam kalsium (Ca karbonat, Ca Acetat), 4) hydrogel


(35)

polyallylamine hidroksida (sevelamer/RenaGel ®), 5)lanthanum kartbonat, dan 6) pengikat fosfat berbasis besi (trivalent iron salt).23 Garam aluminium

Garam aluminium merupakan pengikat fosfat yang paling dulu diketahui, sangat efektif dalam menurunkan fosfat plasma, dan bisa berperan sebagai antasida yang dapat mengurangi gejala mual, muntah pada penderita uremia. Tetapi pemakaian jangka panjangnya dapat mengakibatkan intoksikasi aluminium dengan gejala anemia, gangguan cerebral, gangguan tulang (a dynamic

bone disease). Indikasi pemakaian garam aluminium jangka

pendek adalah hiperfosfatemia diserta hiperkalsemia, atau hasil, perkalian Ca x PO4 lebih dari 65 mg2/dl2. pemberian dilakukan selama 4-8 minggu, setelah kadar kalsium normal dipertahankan dengan pengikat fosfat garam kalsium.23

Garam Ferri 7

Beberapa studi terdahulu menduga bahwa komponen garam ferri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan dan memiliki potensi sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) bila diberikan secara oral bersama-sama dengan makanan.

Ritz dan Hergessel (1999), melaporkan terjadi penurunan kadar fosfat darah sebesar 20% serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar 37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia yang diberikan 3 x 2,5 gr besi hidroksi polinuklear bersama-sama makanan selama 2 minggu.Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut.


(36)

Garam kalsium

Garam kalsium yang dipergunakan sebagai pengikat fosfat adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat. Suwitra (2000), mendapatkan penurunan yang bermakna kadar fosfat darah penderita PGK yang menjalani hemodialisis kronik setelah pemberian kalsium karbonat 3,125 gr perhari selama 12 minggu. Disamping itu, didapatkan juga peningkatan kadar bikarbonat plasma sebanyak 1 - 2 mol/lt. Di dalam saluran cerna kalsium karbonat akan terurai menjadi ion kalsium dan karbonat. Ion kalsium akan berikatan dengan fosfat yang ada pada ion karbonat akan diabsorbsi kedalam darah untuk kemudian menjadi bikarbonat. Garam kalsium asetat dilaporkan mempunyai kapasitas mengikat fosfat yang lebih kuat dibandingkan kalsium karbonat, sehingga resiko hiperkalsemia yang terjadi juga lebih kecil. Tetapi efek samping gangguan pencernaan yang ditimbulkan lebih sering, dan harganya lebih mahal dibandingkan kalsium karbonat.23

Sevelamer hydrochloride

Sevelamer merupakan pengikat fosfat sintetik pertama, non kalsium dan non aluminium. Merupakan pengikat fosfat yang kuat, tidak diabsorbsi di saluran cerna, dan resisten terhadap degradasi. Banyak studi klinis membuktikan bahwa sevalemer mempunyai kemampuan mengikat fosfat yang sebanding dengan garam kalsium, walau masih lebih lemah dibandingkan garam aluminium. Sevelamer mencegah terjadinya kalsifikasi lebih


(37)

banyak dibandingkan garam kalsium, sehingga memperkecil resiko kematian akibat gangguan kardiovaskuler pada penderita PGK. Beberapa kekurangan yang dimiliki sevelamer sebagai pengikat fosfat adalah, efektifitasnya yang berkurang pada suasana asam, sehingga dapat menghambat absorbsi vitamin yang larut dalam lemak (antara lain vitamin D), dapat mengurangi kadar bikarbonat yang kemungkinan disebabkan oleh adanya ikatan hydrochloride. Disamping itu ukuran tabletnya yang besar mengurangi kenyamanan pasien untuk mengkonsumsinya.23

Lantanum karbonat

Lantanum karbonat adalah pengikat fosfat non kalsium, non aluminium yang terbaru. Banyak studi membuktikan bahwa, lantanum karbonat memiliki kemampuan mengikat fosfat yang sama dengan garam aluminium, tanpa efek samping yang berarti. Efektif pada suasana asam (pH 3-5) dan tidak menghambat absorbsi vitamin yang larut lemak. Demikian juga efek samping gastrointestinalnya sangat kecil. Finn (2004), juga membuktikan bahwa lanthanum karbonat secara bermakna dapat menurunkan hasil perkalian Ca x PO4 pada, pasien PGK.23

c. Dialisis

Jumlah fosfat yang dieliminasi selama dialisis bervariasi, tergantung pada kadar fosfat serum pradialisis dan efikasi dialiser yang dipergunakan. Secara umum rerata fosfat yang dikeluarkan pada tiap


(38)

sesi hemodialisis sekitar 30-60 mmol dan pada dialisis peritoneal sebesar 10-12 mmol/hari. Data tersebut menunjukkan adanya keseimbangan fosfat yang positif, walaupun dengan asupan fosfat yang optimal. Dialiser dengan membran diasetat, mempunyai klirens fosfat yang lebih tinggi dibandingkan dengan membran selulose. Cara lain untuk meningkatkan ekskresi fosfat melalui hemodialisis adalah dengan memperpanjang waktu (duration) hemodialisis.

Nocturnal hemodialysis yang dilakukan selama 6-8 jam tiap sesi, 6-7

kali perminggu dilaporkan dapat menurunkan kadar fosfat serum secara bermakna. tanpa pemakaian pengikat fosfat.23

2.6.2. Menghambat konsekuensi hiperfosfatemia

Satu-satunya konsekuensi hiperfosfatemia yang dapat dihambat adalah hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme dapat dihambat dengan cara, a) pemberian analog vitamin D3, b) pemberian bahan kalsimemetik, dan c) paratiroidektomi.23

a. Pemberian vitamin D3 atau analognya

Vitamin D, dalam bentuk 1,25-(OH2)D3 atau analognya, pada awalnya dipergunakan untuk terapi hiperparatiroidisme sekunder dan abnormalitas metabolisme kalsium dan fosfat pada PGK. Beberapa, studi terdahulu mendapatkan bahwa, kelebihan vitamin D berkontribusi terhadap hiperkalsemia dan kalsifikasi vaskuler, yang berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas PGK. Namun studi-studi terbaru menunjukkan bahwa, pada pasien-pasien dengan hemodialisis, vitamin D terbukti secara bermakna dapat menurunkan resiko kematian oleh berbagai sebab maupun oleh sebab


(39)

kardiovaskuler. Diduga ada tiga mekanisme efek protektif yang dimiliki vitamin D yaitu, 1) dapat menghambat berbagai bentuk inflamasi yang dipercaya sebagai patogenesis proses aterosklerosis, 2) mempunyai efek antiproliferatif dan anti hipertrofi sel miokard yang merupakan patogenesis gagal jantung kongestif, dan 3) mempunyai efek regulator endoktrin negatif terhadap sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang berperan penting dalam patogenesis hipertensi dan kelainan kardiovaskuler.23

b. Pemberian bahan kalsimemetik (Cinacalcet) 25-27

Kalsimemetik adalah suatu bahan yang dapat berkaitan dengan calcium-sensing-receptor (CaR) pada kelenjar paratiroid, sehingga mengakibatkan penurunan sekresi HPT. Bahan mi memodulasi CaR secara allosterically, meningkatkan kepekaan CaR terhadap kalsium ekstraseluler, dan akhirnya menimbulkan efek penekanan terhadap sekresi HPT. Banyak studi yang telah menunjukkan bahwa cinacalcet sangat efektif menurunkan kadar HPT pada PGK yang disertai hiperparatiroidisme sekunder dibandingkan placebo. Berlawanan dengan vitamin D, cinacalcet dapat menurunkan kadar HPT bersama-sama dengan penurunan kalsium, fosfat dan produk

calcium x phosphorus (Ca x P). Cunningham dkk (2005), dalam

studinya mendapatkan bahwa cinacalcet dapat menurunkan kejadian paratiroidektomi, fraktur, dan kelainan kardiovaskuler pada pasien PGK dengan hiperparatiroidisme sekunder, dibandingkan dengan plasebo.


(40)

19

c. Paratiroidektomi

Paratiroidektomi dilakukan atas beberapa indikasi, yaitu :28

− hiperkalsemia yang berat

− peningkatan kadar HPT yang sangat tinggi dan tidak dapat ditekan dengan obat-obatan (nonsuppresible) > 800pg/ml.

− osteodistrofi renal yang progresif

− kalsifikasi ekstraskletal yang progresif atau kalsifilaksis yang gagal diterapi dengan pengikat fosfat.


(41)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1 LATAR BELAKANG

Penderita penyakit penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain : gangguan kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, inflamasi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme mineral1. Salah satu diantara gangguan metabolisme mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium. Block dkk 1998 mendapatkan bahwa hiperfosfatemia dan angka perkalian fosfat dan kalsium yang tinggi berasosiasi secara independent terhadap mortalitas menderita PGK stadium yang menjalani dialisis. Dilaporkan bahwa, penderita dengan kadar fosfat serum > 6.5 mg/dl angka kematiannya meningkat sebanyak 27 %2. Konsekuensi metabolisme fosfat dan kalsium yang dianggap berperan terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas penderita PGK adalah, hiperparatiroidisme, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksi29.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa komponen ferri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan bila diberikan secara oral. Hergessel dan Ritz, tahun 1999 melaporkan penurunan kadar fosfat darah sebesar 20 % serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar 37 % pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia yang diberikan 3 x 2,5 gr polinuclear iron hidrochlorida bersama-sama makanan selama 2 minggu. Tidak ada efek samping jangka pendek selain obstipasi dan tinja berwarna hitam.7


(42)

Penelitian Chen dkk (1999), juga melaporkan bahwa komponen garam ferri yang dicampurkan, bersama-sama dengan makanan dan diberikan pada percobaan kelompok hewan tikus yang normal maupun kelompok tikus azotemic (sudah subtotal nefrectomi) juga efektif mengikat fosfat dan menurunkan penyerapan fosfat diusus halus setelah diberikan selama 2 dan 4 minggu. Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut. 8

Tubuh manusia sehat mengandung ± 3,5 g Fe yang hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam bentuk organik, yaitu sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan ion.

Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum, makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diabsorpsi dalam bentuk ferro. Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara transport aktif. Ion ferro yang sudah diabsorpsi akan diubah menjadi ion ferri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion ferri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin, atau diubah menjadi feritin dan disimpan dalam sel mukosa usus.

Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap hari dipengaruh oleh berbagai faktor. Faktor umur, jenis kelamin (sehubungan dengan kehamilan dan laktasi pada wanita) dan jumlah darah dalam badan (dalam hal ini Hb) dapat mempengaruhi kebutuhan, walaupun keadaan depot Fe memegang peranan yang penting pula. Dalam keadaan normal dapat diperkirakan bahwa seorang laki-laki dewasa memerlukan asupan 10 mg, dan wanita memerlukan 12 mg sehari guna memenuhi ambilan besar masing-masing 1 mg dan 1,2 mg sehari. 28

Besi untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk berbagai garam ferro dari sulfat, fumarat, glukonat, suksinat, glutamate dan laktat. Tidak ada


(43)

perbedaan absorpsi diantara garam-garam Fe ini. Jika ada, mungkin disebabkan oleh perbedaan kelarutannya dalam asam lambung. Dalam bentuk garam sitrat, tartrat, karbonat, pirofosfat, ternyata Fe sukar diabsorpsi; demikian pula sebagai garam ferri (Fe+++).28

Sediaan yang banyak digunakan dan murah ialah hidrat sulfat ferosus (FeSO4.7 H2O) 300 mg yang mengandung 20% Fe. Dalam hal ini mula-mula absorpsi berjumlah ± 45 mg sehari, dan setelah depot Fe dipenuhi menurun menjadi 5-10 mg sehari. Pada mereka yang intoleran terhadap dosis tertinggi ini, dosis harus dikurangi sampai jumlah yang diterima, atau bila perlu sediaan diganti dengan sediaan parenteral.28

Berbeda dengan ferro sulfat, ferro fumarat tidak mudah mengalami oksidasi pada udara lembab; dosis efektifnya 600-800 mg/hari dalam dosis terbagi. Ferro glukonat, ferro laktat, ferro karbonat dosis efektifnya kira-kira sam dengan ferro sulfat. Terdapat pula sediaan Fe lepas lambat dan salut enterik, tetapi biovailabilitasnya kurang baik.28

keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan besi dalam bentuk sediaan hidrat sulfat ferrosus (FeSO4.7 H2O) 300 mg sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) antara lain mencoba menggantikan peran garam aluminium sebagai phosphate binder yang pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan intoksikasi aluminium, sedangkan penggunan garam kalsium beresiko terjadinya hiperkalsemia. Oleh sebab itu dicobalah garam sediaan hidrat sulfas ferrosus ini, sebagai pengikat fosfat (phosphate

binder), disamping harganya murah juga mudah didapat. Sehingga berdampak

mengurangi biaya pengobatan hiperfosfatemia yang terjadi pada pasien-pasien PGK dengan hemodialisis reguler, meskipun dapat terjadi efek samping berupa diare atau konstipasi setelah mengkonsumsi obat ini. 7


(44)

3.2. PERUMUSAN MASALAH

Apakah Sulfas ferrosus dapat berperan sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler.

3.3. HIPOTESIS

Ada hubungan pemberian Sulfas ferrosus dengan penurunan kadar fosfat. darah pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler.

3.4 . TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui apakah ada hubungan pemberian Sulfas ferrosus dengan penurunan kadar fosfat darah pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler.

3.5. MANFAAT PENELITIAN

1. Mengetahui kegunaan pemberian Sulfas ferrosus sebagai pengikat fosfat (phosphate binder) pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler. 2. Mengetahui besarnya penurunan kadar fosfat darah setelah pemberian


(45)

3.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

PGK

Gangguan faal sekresi

Pemberian hidrat Sulfas ferrosus (FeSO4.7 H2O)

↓ hipokalsemia

↑ HPT Kalsifikasi metastatik dan Cardiovaskuler

↓ Osteitis fibrosa

↓ Osteoderosis

CaXP < 55 Hiperfosfatemia

↓ PJK

3.7. BAHAN DAN CARA 3.7.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan perlakuan ulang (pre dan post test design)

3.7.2. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan di unit hemodialisis Rumah Sakit Pirngadi Medan selama 6 bulan. Mulai bulan April sampai dengan Oktober 2010.


(46)

3.7.3. Subjek penelitian

Penderita gagal ginjal terminal dengan HD reguler di unit Hemodialisis Rumah Sakit Pirngadi Medan yang bersedia ikut penelitian dengan diperiksa kadar fosfat serumnya sebelum dan sesudah diberi obat.

3.7.4. Kriteria inklusi

• Penderita dengan gagal ginjal terminal dengan HD reguler minimal 3 bulan.

• Umur > 18 tahun

• Kadar albumin > 2,5 mg/dl • Bersedia ikut dalam penelitian. 3.7.5. Kriteria eksklusi

• Tidak mengikuti tahap-tahap penelitian yang lengkap • Penderita hiperparatiroidisme primer

• Tidak sedang mengkomsumsi pengikat fosfat jenis lain • Hiperfosfatemia yang berat

• Pasien dengan keadaan hiperferritinemia. 3.7.6. Besar sampel

Perkiraan besar sampel :

Rumus yang digunakan

(

)

2 ⎭⎬ ⎫ ⎩⎨ ⎧ + = d sd zb za n

za = nilai baku normal berdasarkan a = 0,05 Æ 1,96 zb = power sebesar 90% = 1,082


(47)

sd = simpangan baku kedua kelompok = 0,19

(

)

2

1 , 0 19 , 0 082 , 1 96 , 1 ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ + = n

n = 33,4 ≈ 34

jadi besarnya sampel sebanyak 34 orang.

3.7.7. Cara penelitian

a. dilakukan pemeriksaan laboratorium pada semua pasien yang diteliti darah rutin, ureum, creatinin, kadar serum feritin, kadar fosfat serum, albumin serum pada saat sebelum pemberian Sulfas ferrosus.

b. Pada hari ke-30 s/d 0 (selama 1 bulan) dilakukan pemberian obat Sulfas Ferrosus ataupun plasebo secara random.

c. Pada hari ke 1 s/d 60 (selama, 2 bulan) dilakukan cross over pemberian obat Sulfas ferrosus dan Plasebo.

d. Dosis Sulfas ferrosus sebanyak 3 X 1 tab (300 mg) bersama-sama makanan selama 1 bulan.

e. Dosis dan jumlah plasebo yang diberikan sama banyaknya dengan dosis Sulfas ferrosus yang diberikan untuk 1 bulan. f. Evaluasi pemakaian Sulfas ferrosus menggunakan sistem pill

count yaitu diberi setiap 1 bulan dan evaluasinya dengan cara, menghitung tablet.

g. Dilakukan pemeriksaan ulang kadar fosfat serum pada minggu ke 0, 2 dan 4.


(48)

27

3.7.8. Analisa Data

• untuk membandingkan hasil peningkatan kadar fosfat serum setelah pemberian Sulfas ferrosus digunakan uji t berpasangan.

• Untuk membandingkan perubahan kadar fosfat serum pada saat diberikan plasebo dibandingkan saat diberi Sulfas ferrosus dilakukan uji t berpasangan.

3.8. KERANGKA OPERASIONAL

Periksa kadar fosfat serum

PGK dengan HD reguler

Kadar Fosfat Serum

2 minggu diet rendah protein

Plasebo

Terapi SF 3 x 300 mg Terapi SF

3 x 300 mg

2 Minggu Periksa darah rutin, ureum,

creatinin, kadar serum feritin, kadar fosfat serum dan

albumin

Periksa ulang

Plasebo

cross-over 2 Minggu

Kadar Fosfat Serum


(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di unit hemodialisis Rumah Sakit Pirngadi Medan mulai April 2010 s/d Oktober 2010. Pengambilan sampel dilakukan kepada setiap pasien penderita gagal ginjal terminal dengan HD reguler di unit Hemodialisis Rumah Sakit Pirngadi Medan yang bersedia ikut penelitian dengan diperiksa kadar fosfat serumnya sebelum dan sesudah diberi obat.

Diinklusikan pasien laki-laki sebanyak 19 pasien dan perempuan sebanyak 15 pasien yang berumur > 18 tahun, yang sedang menjalani hemodialisis dengan diagnosa penyakit gagal ginjal terminal dengan HD reguler di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Pirngadi Medan.

Data-data yang diperlukan dicatat oleh peneliti dan asisten peneliti (anamnesa pribadi, lama dan jenis pelayanan pengobatan yang digunakan, pengukuran hemoglobin, leukosit, trombosit, ureum, creatinim, albumin, kadar serum feritin, dan kadar fosfat serum yang dilakukan sebelum penelitian). Kemudian pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebesar jumlah sampel diminta kesediaannya untuk diambil sampel pemeriksaan darah di unit hemodialisis Rumah Sakit Pirngadi Medan saat menjalani tindakan hemodialisis. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar fosfat kedua setelah pemberian Sulfas ferrosus ataupun plasebo yang dipilih secara acak (random). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar fosfat yang ketiga setelah sampel yang diambil secara acak (random) dilakukan cross over.


(50)

Dari tabel 4.1 terlihat karakteristik dasar pada sampel penelitian yang berjumlah 34 orang.

Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik Penderita PGK (n=34) Sulfas ferrosus Plasebo Jumlah

n (%) n (%) n (%)

Jenis Kelamin

- Laki-laki 12 (35,3) 7 (20,6) 19 (55,9) - Perempuan 9 (26,5) 6 (17,6) 15 (44,1)

Status Pasien

- Askes 16 (47,1) 7 (20,6) 23 (67,6) - Jamkesmas 5 (14,7) 6 (17,6) 11 (32,4)

Jumlah pasien yang dilakukan pemberian secara acak obat Sulfas ferrosus dan plasebo sebanyak 34 orang. Dari sampel didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang (55,9%) lebih banyak yang ikut dalam penelitian ini dibandingkan wanita yaitu sebanyak 15 orang (44,1%) dengan status sebagian besar sebagai pasien Askes sebanyak 23 orang (67,6%) dan Jamkesmas sebanyak 11 orang (32,4%).


(51)

Tabel 4.2. Gambaran Karakteristik Klinis dan Laboratorium penderita PGK berdasarkan Kelompok perlakuan sebelum pemberian obat.

Sulfas Ferrosus Plasebo

Variabel

n x ± SD n x ± SD

P S/

NS Lama HD (bulan) 21 45,857 ± 25,68 13 47,308 ± 19,47 0,863 NS

Hb 21 9,733 ± 2,11 13 9,269 ± 1,91 0,523 NS

Lekosit 21 7204,619 ± 4882,86 13 6574,615 ± 2243,25 0,666 NS Trombosit 21 214,000 ± 116,44 13 227,154 ± 114,47 0,749 NS Ureum 21 75,857 ± 33,72 13 63,692 ± 17,57 0,239 NS Creatinin 21 6,610 ± 2,65 13 5,6538 ± 2,66 0,539 NS Albumin 21 3,3300 ± 0,68 13 3,3685 ± 0,63 0,870 NS Kadar Ferritin 21 281,000 ± 115,08 13 274,154 ± 128,21 0,873 NS *SD : Standar Deviasi, S :Significant (p < 0,001), NS : Non Significant

Tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan) secara statistik gambaran karakteristik klinis dan laboratorium antara subjek penelitian baik yang mendapatkan pengobatan dengan Sulfas ferrosus maupun dengan plasebo pada tahap awal pemberian obat.


(52)

Tabel 4.3. Gambaran Awal Kadar serum fosfat pada kelompok yang diberi Sulfas ferrosus dan Plasebo

Fosfat Awal n x± SD P S/NS

Kelompok SF 21 4,310 ± 2,31 0,739 NS

Kelompok Placebo 13 4,085 ± 0,81 0,687 NS

*SD : Standar Deviasi, SF : Sulfas ferrosus, S :Significant (p < 0,001), NS : Non Significant

Pada tabel 4.3 didapat tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan) secara statistik antara subjek yang penelitian yang mendapatkan pengobatan dengan Sulfas ferrosus maupun plasebo pada tahap awal pemberian obat.

Tabel 4.4. Gambaran kadar serum fosfat setelah diberikan SF dan Placebo pada tahap awal

Sebelum Sesudah Fosfat Awal n

x± SD x± SD

P S/NS Kelompok SF 21 4,310 ± 2,31 3,543 ± 0,79 0,107 NS Kelompok Placebo 13 4,085 ± 0,81 4,801 ± 1,44 0,651 NS *SD : Standar Deviasi, SF : Sulfas Ferrosus, S :Significant (p < 0,001), NS : Non Significant

Pada tabel 4.4 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dari pemberian Sulfas ferrosus dan plasebo pada tahap awal sesudah diberikan pengobatan dengan Sulfas ferrosus ataupun plasebo. Terjadi penurunan kadar


(53)

serum fosfat yang tidak signifikan pada kelompok yang diberikan Sulfas ferrosus.

Tabel 4.5. Gambaran kadar serum fosfat setelah diberikan SF dan Placebo pada tahap kedua (tahap cross over)

Sebelum Sesudah Fosfat Awal n

x± SD x± SD

P S/NS

Kelompok SF 13 4,801 ± 1,44 5,203 ± 1,33 0,651 NS Kelompok Placebo 21 3,543 ± 0,79 5,719 ± 1,76 0,0001 S *SD : Standar Deviasi, SF : Sulfas Ferrosus, S :Significant (p < 0,001), NS : Non Significant

Dari tabel 4.5 didapatkan perbedaan yang signifikan peningkatan kadar serum fosfat setelah diberikan plasebo pada tahap kedua (tahap cross over) dimana pada tahap pertama kelompok ini mendapatkan Sulfas ferrosus, namun hasil ini tidak mempunyai arti klinis.

4.2. Pembahasan

Pemeriksaan kadar fosfat pada pasien–pasien Hemodialisis sebaiknya rutin dilakukan, guna menurunkan morbilitas dan mortalitas penderita PGK. Konsekuensi metabolisme fosfat dan kalsium yang berperan terhadap kejadian ini antara lain : hiperparatiroidisme sekunder, gangguan mineral tulang (osteodistrofi renal), kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak dan kalsifilaksis29.

Patogenesis hiperparatiroidisme sekunder pada penyakit ginjal kronik (PGK) multi faktor. Pengurangan massa ginjal (renal mass) menyebabkan dua masalah utama, yaitu gangguan eleminasi fosfat dan penurunan konsentrasi


(54)

kalsitriol serum (1.25[OH]2D3) dan aktifitas metabolit vitamin D. Penurunan sekresi kalsitriol disebabkan defisiensi aktivitas 1 α-Hydroxylase renal, diikuti gangguan (penurunan) absorpi kalsium dari saluran cerna dan penurunan konsentrasi ion kalsium (ionized calcium). Semua gangguan ini sebagai pemicu untuk rangsangan sekresi hormon paratiroid (HP)30.

Tabel 4.6 Etiologi dan mekanisme kenaikan sekresi hormon paratiroid pada PGK

Rangsangan Patogenesis

Hiperfosfatemia

Hipokalsemia

Serum kalsitriol rendah

Shift of the calcemic setpoint for PTH

Resisten skeletal terhadap hormon paratiroid (HP)

Pengurangan degradasi HP

Penurunan ekskresi fosfat (kehilangan nefron)

Penurunan kalsitriol, hiperfosfatemia Pengurangan massa ginjal (renal mass) dan retensi fosfat

Penurunan sensivitas sensor reseptor kalsium (azotenic toxicity)

Penurunan kalsitriol, hiperfosfatemia, dan gangguan reseptor HP (azotemic toxicity)

Pengurangan massa ginjal (renal mass)


(55)

Peranan resistensi relatif terhadap kerja HP pada tulang diduga mempunyai hubungan penurunan dengan penurunan reseptor kalsitriol kelenjar paratiroid seperti terungkap pada (gambar 5) 30.

Gambar 5. Regulasi sekresi hormon paratiroid (HP) (+) = Rangsangan, (-) =Inhibisi

Retensi fosfat disebabkan pengurangan massa nefron yang aktif, sehingga dapat menghambat sintesis kalsitriol yang merupakan stimulus untuk sekresi hormon paratiroid (HP). Disamping itu, hiperfosfatemia dapat menekan konsentrasi serum kalsium dan diduga langsung merangsang sekresi hormon paratiroid 30.


(56)

Hiperfosfatemia merupakan silent killer pasien dialisis yang berhubungan dengan presentasi klinik penyakit jantung koroner, infark miokard, kalsifikasi arterial dan kematian jantung (cardiac death)30.

Tabel 4.7 Konsentrasi optimal kalsium, fosfat dan HP serum untuk mencegah hiperparatiroidisme

Kalsium Fosfat

Hormon paratiroid (HP) 25 OH vitamin D3

2.4-2.7 mmol/L (9.6-10.8 mg%) < 1.8 mmol/L (5.6 mg%)

100 – 200 pg/ml (2-3 kali lebih dari normal) > 10 mg/ml

Karena itu sangat dibutuhkan penatalaksanaan yang optimal dan adekuat terjadinya peningkatan kadar serum fosfat dalam darah dengan berbagai upaya antara lain : mengurangi asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat, memperpanjang waktu hemodialisis, pemberian vitamin D3 atau analognya, pemberian bahan kalsimemetik dan tindakan paratiroidektomi.26 Berbeda dengan populasi umum pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler terjadinya peningkatan kadar fosfat serum (hiperfosfatemia) akibat kegagalan ginjal dalam mengekresikan fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat dari ruang intraseluler, dimana fungsi ginjal yang sudah tidak normal pada pasien-pasien PGK ini tidak mampu mempertahankan keseimbangan kadar serum fosfat dalam darah.23

Beberapa penelitian melaporkan bahwa komponen ferri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan bila diberikan secara oral maupun intravena. Dalam penelitian Hergesell dan Ritz (1999) terhadap 13 pasien hemodialisis reguler yang diberikan 3 x 2,5 gram Hdiroksida besi polinuklear dalam bentuk


(57)

sachet yang dikonsumsi bersama makanan selama 2 minggu dilaporkan terjadi penurunan kadar fosfat darah sebesar 20%, serta ekskresi fosfat urin sebesar 37%. Tidak ada efek samping jangka selain obstipasi dan tinja berwarna hitam.7

Chen dkk (1999), juga melaporkan bahwa komponen garam ferri yang dicampurkan, bersama-sama dengan makanan dan diberikan pada percobaan kelompok hewan tikus yang normal maupun kelompok tikus azotemic (sudah subtotal nefrectomy) juga efektif mengikat fosfat dan menurunkan penyerapan fosfat diusus halus setelah diberikan selama 2 dan 4 minggu.8

Keryx Biopharmaceutical Inc (2010), telah memproduksi sebuah obat makan Zerenex ( ferri sitrat) yang digunakan untuk menurunkan kadar serum fosfat yang abnormal pada pasien-pasien PGK dan menemukan keberhasilan uji coba pada percobaan yang ketiga31.

Kepada 146 pasien yang menjalani hemodialisis, selama 28 hari diberikan obat Zerenex (ferri sitrat) sebanyak 6 gram perhari, ternyata dapat menurunkan kadar serum fosfat rata-rata dari 7,6 mg/dl menjadi 5,7mg/dl dan pasien-pasien yang mendapatkan dosis 8 gram perhari kadar serum fosfatnya juga menurun rata-rata dari 7,5 mg/dl menjadi 5,3 mg/dl31.

Penelitian ini juga mencoba menganalisa peran sulfas ferrosus sebagai pengikat fosfat (phospate binder) dengan menggunakan populasi pasien PGK dengan hemodialisis reguler yang berusia diatas 18 tahun, dengan lama menjalani hemodialisis reguler diatas 3 bulan. Berdasarkan sampel yang diambil secara acak (random), didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang dan 15 orang wanita dengan status pelayanan kesehatan menggunakan Askes 23 orang dan Jamkesmas 11 orang.9


(58)

Rerata terjadi penurunan kadar serum fosfat pada kelompok yang mendapat sulfas ferrosus pada tahap awal dari (4,310 ± 2,31) menjadi (3,543 ± 0,79), meskipun tidak signifikan dengan (p = 0,107). Penelitian ini berbeda hasilnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Hergesell dan Ritz (1999). Terjadinya perbedaan hasil ini mungkin disebabkan oleh banyak hal antara lain mungkin disebabkan ikatan kimia obat pada sulfas ferrosus yang mengandung ion ferro (Fe+2), dimana hal ini berbeda dengan banyak penelitian sebelumnya yang ikatan kimia obatnya umumnya mengandung ion ferri ((Fe+3). Jumlah dosis yang berbeda yang diberikan pada penelitian sebelumnya, sifat ion ferro (Fe+2) yang mudah diabsorbsi diusus dibandingkan dengan ion ferri (Fe+3) sehingga kemampuan mengikat fosfat saat diberikan bersama dengan makanan menjadi sangat lemah, juga mempengaruhi hasil penelitian ini. Efek samping berupa bab hitam yang dialami pasien saat mengkonsumsi obat sulfas ferrosus, sehingga ada rasa ketakutan dan kecemasan pasien saat mengkonsumsi obat ini, juga ikut mempengaruhi hasil akhir penelitian.

Pada penelitian ini juga tidak dilakukan pemeriksaan kadar kalsium dan kadar hormon paratiroid, hal ini berguna untuk mengamati keadaan hipokalsemia yang dapat memicu kenaikan sekresi hormon paratiroid (hiperparatiriodisme) pada pasien PGK disamping keadaan hiperfosfatemia yang juga dapat mempengaruhi kenaikan sekresi hormon ini.

Nilai rerata kadar serum fosfat mengalami kenaikan yang signifikan dari (3,543 ± 0,79) menjadi (5,719 ± 1,76) dengan (p < 0,0001). Kelompok ini yang awalnya mendapat terapi sulfas ferrosus kemudian setelah dilakukan cross over mendapat terapi plasebo, tetapi hasil ini tidak mempunyai arti klinis.

Hubungan antara penurunan kadar serum fosfat dengan pemberian sulfas ferrosus pada penelitian ini baik dilakukan pada tahap I maupun tahap II


(59)

38

(cross over) yang masing-masing dilakukan selama 2 minggu tidak bermakna

secara signifikan dengan nilai (p = 1,107) dan (p = 0,65). Hal ini bertentangan dengan penelitian Hergessel dan Ritz, tahun 1999.

Perlu studi dengan metodologi yang lebih baik dan pengawasan penelitian yang lebih cermat dengan jumlah kasus yang lebih banyak lagi dalam menganalisa peran obat sulfas ferrosus sebagai pengikat fosfat pada pasien PGK dimasa mendatang.


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Dari hasil yang ditemukan dan pembahasan dari penelitian ini dapat diajukan kesimpulan sebagai berikut :

1. Penelitian ini tidak mendapatkan hasil yang signifikan adanya peran preparat besi berupa sulfas ferrosus sebagai phosphate binder, hasil ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

2. Pada penelitian ini baik dilakukan pada tahap I maupun tahap II

(cross over) dengan waktu masing-masing 2 minggu tidak terdapat

penurunan kadar serum fosfat yang signifikan baik dengan pemberian sulfas ferrosus maupun placebo.

3. Rerata terjadi penurunan kadar serum fosfat pada kelompok yang mendapat sulfas ferrosus pada tahap awal dari (4,310 ± 2,31) menjadi (3,543 ± 0,79), meskipun tidak signifikan dengan (p = 0,107).

4. Jenis ikatan ion dan sifat ion yang berbeda, serta jumlah dosis obat yang berbeda yang diberikan pada penelitian ini, dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya kemungkinan ikut serta mempengaruhi perbedaan hasil penelitian ini.


(61)

40

5.2. SARAN

Studi ini dapat dijadikan studi awal dimana perlu dilakukan lagi studi lanjutan dengan desain studi yang sama ataupun yang berbeda seperti kohort dengan sampel lebih besar, analisis dan evaluasi faktor resiko yang lebih objektif. Tentu saja ini memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang lebih besar nantinya, namun hasil yang diharapkan mungkin akan lebih akurat untuk memperoleh bukti adanya korelasi antara pemberian sulfas ferrosus dengan penurunan kadar fosfat pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Foley RN, Parfrey PS, Sarnak MJ. Clinical epidemiology of cardiovascular disease in chronic renal disease. Am J Kidney Dis 1998; 32: 112-119

2. Block GA, Hulbert-Shearon TE, Levin NW, Port FK. Association of serum phosphorus and calcium phosphate product with mortality risk in chronic hemodialysis patient : a national study. Am J Kidney Dis 1998; 31: 607-617

3. Suwitra K. Peran gangguan fosfat dan kalsium pada morbiditas dan mortalitas penyakit ginjal kronik. Dalam : “Peranan stres oksidatif dan pengendalian resiko pada progresif Penyakit ginjal kronik serta Hipertensi”. Naskah lengkap JNHC (Jakarta Nephrology and Hypertension Course). PERNEFRI 2006.

4. Drueke TB. Hyperparathyroidism in chronic kidney disease. [cited 2009

october 1] Available from URL: 2009. http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid6/ parathyroidframe6.

5. Suwitra K, Prodjosudjadi W, Lubis HR, Susalit E, Yogiantoro M, Suhardjono, et all. Konsensus gangguan mineral dan tulang pada Penyakit Ginjal Kronik (GMT-PGK). PERNEFRI 2009; 9 – 33

6. Lydia A. Gangguan Mineral dan Tulang Pada Penyakit Ginjal Kronik. Terapi Lantanum Karbonat. In Annual Meeting of Indonesian Society of Nephrology. Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2010; 133-137 7. Hergesell O, Ritz E. Stabilized polynuclear iron hydroxide is an

efficient oral phosphate binder in uraemic patients. Kidney Int 1999; 14 : 863 – 867


(63)

8. Chen HH, Patel SR, Young EW. New Phospate Binding Agents : Ferric Compounds. J Am Soc Nephrol 1999; 10 : 1274 – 1280.

9. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metode penelitian klinis. Ed 3. Karsa Murni 2009; 85-87

10. Roesli RMA. Hipertensi, Diabetes, dan Gagal Ginjal di Indonesia. Dalam : Lubis HR, Nasution MY, Nasution SR, Lubis AR, Bustami Z, Sukendar T, et all. Hipertensi dan Ginjal. Dalam Rangka Purna Bakti. USU Press 2008; 102-103.

11. Roesli RMA., Bawazier LA, Lubis H.R, Prodjosudjadi W, Hudoro W, Pranawa, et all. Konsensus Dialis. PERNEFRI 2003; 13.

12. Andreoli. T, Claude BJ, Carpenter C, Smith LH. Chronic Renal Failure. In Cecil Essentials of Medicine, 3th Ed, WB Sounders Company 1993; 244-54

13. Sidabutar RP, Suhardjono, Kapojos EJ. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Suparman, Sukaton U, waspadji S, Rahman M, Daldiyono, editor. Ilmu Penyakit dalam Jilid II. Balai penerbit FKUI 2005; 350-62

14. Jean G, Chazot C, Charra B. Hyperphosphataemia and related mortality. Nephrol Dial Transplant 2006; 21 : 273 - 280

15. Liach F. Hyperphosphatemia in end-stage renal disease patient Pathophysiological consequences. Kidney Int. 1999; 56: 31-37

16. Goodman WG. Importance of hyperphosphatemia in the cardiorenal axis. Nephrol Dial Transplant. 2004; 19 : 514 - 518

17. Slatopolsy E, Brown A, Dosso A. Pathogenesis of secondary hyper-parathyroidism. Kidney Int. 1999; 56 : 14 – 19

18. Adams JE. Renal bone disease: radiological investigation. Kidney Int. 1999; 56 : 42 - 46


(64)

19. Delmez JA, Slatopolsky E. Renal Osteodystrophy, Braddy HR, Wilcox CS, Ed. In. Therapy in Nephrology and hypertension, 5th Ed. WB Sounders Company. Philadelphia. 1999; p.497-503.

20. Kettler M, Floege J. Calcification and the usual suspect phosphate: still guilty but there are other guys behind the scenes. Nephrol Dial Transplant. 2006; 21: 33-35

21. Anonimus.Phosphate-induced Vascular Calcification : Role of Pyrophosphate and osteopontin. J Am Soc Nephrol. 2004; 15:1392-1401

22. Floege J. When man turns to stone; Extraosseous calcification in uremic patient. Kidney Int. 2004; 65: 2447-2462

23. Cronin RE. Treatment of hyperphosphatemia in chronic renal failure. Up To Date 2004; 122

24. Mizobuchi M, Hatamura I, Ogata H, Saji F, Uda S, Shiizaki K. Calcimemetic Compound upregulates Decreased Calcium-sensing Receptor Expression Level in Parathyroid Glands of Rats with Chronic Renal Insufficiency. J Am Soc Nephrol. 2004; 15 : 241-250

25. Cunningham J, Danese M, Olson K, Klassen P, Chertow M. Effects of calcimemetic cinacalcet HCL on cardiovascular disease, fracture, and health-related quality of life in secondary hyperparathyroidism. Kidney Int. 2005; 68 : 1793 - 1800.

26. Block GA. The impact of calcimemetics on mineral metabolism and secondary hyperparathyroidism in end-stage renal disease. Kidney Int. 2003; 6 : 131-136


(65)

44

27. Rocha PN, Berkoben M, Cronin RE, Quarles LD. Indications for parathyroidectomy in end-stage renal disease. J Am Soc Nephrol. 2004; 12:4

28. Wardhini BP, Rosmiati H. Anti Anemia Defisiensi, Farmakologi dan Terapi. FKUI, Jakarta. 2007

29. Block GA, Klasen PS, Lazarus JM, Ofsthun N, Lowrie EG, Cherlow GM. Mineral metabolism, mortality and morbidity in maintenance hemodialisis. J Am Soc Nephrol. 2004; 15 : 2208 – 2218

30. Sukandar E. Nefrologi Klinik. Ed 3. Pusat Informasi Ilmiah (PII) FK UNPAD.Bandung. 2006; 9 ; 673 - 676

31. Berkrot B. Keryx phosphate binder succeeds in phase III study. Reuters Health Information. Medscape Medicine New York. 2010


(66)

LAMPIRAN 1 MASTER TABEL

NO NAMA SEX STATUS

Lama HD (bulan)

Hb Lekosit Trombosit Ureum Creatinin Albumin Ferritin Fosfat 1

Fosfat 2

Fosfat 3

1 sarinah 2 1 72 8.3 2270 70 40 2.39 2.6 150 2.6 2.4 4.8

2 masnilam 2 1 84 8.9 3500 82 125 9.1 4.29 419 6.2 2.9 3.2

3 doharni 2 1 36 10.4 8360 201 41 3.55 3.7 120 3.2 4.7 5.2

4 hernawati 2 1 24 7.7 7130 357 52 4.73 3.5 135 3 3.1 5.5

5 nurhaidah 2 1 25 8.2 17330 412 30 1.98 2.6 145 2.9 2.8 6.6

6 marta maria 2 1 56 9.8 8200 295 76 8.42 2.81 140 4.3 4 6.9

7 boss erwin 1 1 60 11.8 6000 206 41 6.15 3.1 400 2.7 4.2 7.5

8 rahmaniar 2 1 36 10.2 6500 126 72 3.2 4.3 125 6.3 3.3 8.4

9 salamah 2 1 48 11.4 9060 394 87 5.74 3.5 356 4.9 2.7 8

10 pangeran 1 1 84 13.1 5600 194 52 5.8 4.38 402 4 4 6.4

11 irfan alwi 1 1 24 9.5 9470 183 133 9.84 3.5 302 5.4 3.8 4.9

12 dasri 1 1 48 8.6 5200 136 86 4.2 2.9 392 4 2.8 2.1

13 demosolin 2 1 42 10.5 6500 180 158 11.9 4.06 148 12.4 4.8 8.9

14 tampil. s 1 1 66 7.6 4600 124 50 6.22 3.6 398 3.3 7.7 4.3

15 afifuddin 1 2 36 10.9 7040 467 61 3.28 3.28 226 3.1 2.5 5.1

16 henny 2 2 24 7.3 5200 173 78 3.7 4.2 148 5.1 4.9 3.2


(67)

46

18 pangihutan 1 2 60 8.6 7650 163 67 5.8 2.9 345 5.3 7.2 6.6

19 isidorus 1 2 41 7.3 8420 136 78 6.7 2.3 390 3.3 4.7 5

20 m. nazmi 1 2 72 8.4 6000 214 46 6.79 3.8 419 7 4.6 5.2

21 hernawati 2 2 30 7.7 7130 357 52 4.73 3.5 152 3.9 4.1 4.5

22 sutrisno 1 2 48 11.2 1090 498 65 7.29 4.1 389 3.9 4 4.8

23 sujono 1 2 12 10.2 9400 328 117 10.38 2.9 246 3.6 3.1 7.9

24 jhon. p 1 1 9 9.8 5490 190 71 6.76 3.2 265 2.9 3.7 5.6

25 nerson effendi 1 1 108 9.3 4440 98 67 4.6 3.4 405 3.5 3.3 5.9

26 jhon.f.damanik 1 1 18 16 4170 122 60 5.85 4.0 312 3.8 3.7 5.2

27 landytoni 1 1 65 12.2 2010 98 79 7.84 3.7 398 4.6 4.9 6.6

28 ahmad rambe 1 1 60 7.3 2600 132 58 6.52 2.9 392 4.1 4 4

29 siti rohaidah 2 1 30 9.9 12480 183 45 3.5 2.4 149 2.2 2.2 3.8

30 syamsul arifin 1 2 18 6.9 7100 203 95 7.3 2.1 386 3 4.4 5.3

31 tiamsyah 2 1 36 10.1 20800 389 60 4.03 2.3 152 3.4 3.8 6.2

32 rahmawati 2 2 26 9.2 9800 172 38 4.5 2.8 158 5.5 5.5 5.3

33 berman 1 1 72 12 7090 147 93 7.86 3.1 395 4.3 5.7 5.5

34 drs. pangikutan 1 1 60 6.6 1077 211 90 5.97 3.7 386 4 3.8 4.9

Keterangan :

1. Jenis kelamin (sex) : 1 = Laki-laki 2 = Perempuan 2. Status Pelayanan : 1 = Askes 2 = Jamkesmas

3. Waktu Pemeriksaan : Fosfat 1 : waktu pemeriksaan serum fosfat sebelum diberi obat

Fosfat 2 : waktu pemeriksaan serum fosfat setelah pemberian obat tahap I


(68)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Bapak/Ibu Yth,

Saya dr. Erwinsyah saat ini sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di RSUP H. Adam Malik Medan dan saya sedang melakukan penelitian yang berjudul : “PERAN SULFAS FERROSUS SEBAGAI PENGIKAT FOSFAT (PHOSPHATE BINDER) PADA PASIEN PGK DENGAN HEMODIALISIS REGULER”.

Penelitian ini mencoba menganalisa adanya manfaat Sulfas Ferrosus (zat besi) dalam mengikat zat fosfat yang kadarnya dapat meningkat pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Peningkatan kadar fosfat dalam darah (hiperfosfatemia) ini pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan menimbulkan konsekuensi berupa hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi cardiovaskular yang dapat meningkatkan resiko terjadinya PJK, dan kalsifilaksis. Guna membuktikan adanya peran sulfas ferrosus dalam mengikat fosfat yang ada pada makanan penderita Penyakit Ginjal Kronik, maka saya mengikutsertakan bapak/ibu penderita Penyakit Ginjal Kronik dalam penelitian ini untuk dilakukan pemeriksaan kadar fosfat serum dalam darah sebelum dan sesudah 2 minggu diberikan pengobatan dengan sulfat ferrosus (zat besi).

Untuk itu maka saya akan mencatat identitas bapak/ibu (Nomor urut penelitian, tanggal berobat, nomor rekam medis, nama, umur, jenis kelamin, suku, pekerjaan, pendidikan, alamat) gejala dan tanda penyakit yang bapak/ibu derita. Pada lembaran penelitian selanjutnya saya akan melakukan pemeriksaan kadar


(1)

(2)

LAMPIRAN 6

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Erwinsyah

NIP : 41530006

Pangkat /Golongan : Penata / III b

Tempat/ tgl lahir : Medan, 03 Maret 1973

Agama : Islam

Alamat : Kompleks Citra Graha Blok D/13 Jl. Mesjid (Simp. Pasar VIII) Tembung - Medan

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SDN 060805 Medan : Ijazah tahun 1986 2. SMP Negeri 1 Tembung : Ijazah tahun 1989 3. SMA Negeri 11 Medan : Ijazah tahun 1992 4. Fak. Kedokteran USU Medan : Ijazah tahun 2000

III. KEANGGOTAAN PROFESI

1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI)

IV. KARYA ILMIAH DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM. 1. WEIL’s Disease

Erwinsyah, Armon Rahimi, Umar Zein, Yosia Ginting, Bachtiar Panjaitan.


(3)

Joint National Congress of PETRI – XIII, PERPARI IX, ITHS X and Symposium of Infections Discases 2007, Bandung, 30 Agustus – 02 September 2007.

2. TETRALOGI Of FALLOT

Erwinsyah, Zainal Safri, Refli Hasan, Haris Hasan & Sutomo Kasiman.

Kongres Nasional XIV Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XIV). Jakarta. 11 - 14 Nopember 2009.

V.PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH.

1. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update 2004. Medan, 17-18 September 2004.

2. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU “Dengan Penyegaran Ilmu Penyakit Dalam kita meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang Lebih Profesional”. Medan, 3-5 Maret 2005.

3. Peserta Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Ilmu Penyakit Dalam. “Awareness of Emerging and Reemerging Infectious Diseases”. Medan, 4-6 Maret 2005.

4. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update III 2005. Medan.

5. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VII 2006 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 2-4 Maret 2006.

6. Peserta Temu Ilmiah “the new broad approach in treating deprssion and nuropathic pain”. Medan, 15 April 2006.


(4)

7. Peserta Kongres Nasional PETRI XII, PERPARI VIII, PKWI IX, Simposium Infections Update III 2006 PETRI-PERPARI-PKWI Cabang SUMUT. Medan, 28-29 Juli 2006.

8. Peserta Workshop USG pada Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 7 September 2006.

9. Peserta Workshop ECG in Daily Practice. Medan, 14 April 2007 10.Peserta Road Show PAPDI 2007. Medan 20 April 2007

11.Peserta Simposium “Era Baru Penggunaan Probiotic”. Medan, 28 April 2007

12.Peserta Simposium “Meningkatkan Peran Trombosis-Hemostasis Dalam Multi Disiplin Ilmu Kedokteran. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan – Sumatera Utara. Medan 1 – 2 Mei 2007.

13.Peserta simposium Diabetes, The Vitamin dan Mineral Antioxidans Connection. Medan, 26 Mei 2007.

14.Peserta simposium “ Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy”. PPHI, PEGI, PGI Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik. Medan, 9 Juni 2007.

15.Peserta Workshop Hepatitis & Simposium Gastroentero-Hepatologi update V 2007. Medan, 9-10 Nopember 2007.

16.Peserta simposium “New Paradigm in Maintenance Fluid Therapy” Medan, 17 Nopember 2007.

17.Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VIII 2007 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 8-10 Maret 2007.


(5)

18.Peserta Workshop “Hemostasis & Thrombosis Dan Penatalaksanaan Demam Dengue” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 14 April 2008.

19.Peserta simposium “How to Choose an Appropriate OAD” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 15 April 2008.

20.Peserta simposium “New Era in Therapeutic Options” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 17-19 April 2008. 21.Peserta The 4th “Symposium on Critical Care and Emergency

Medicine. Medan, 9 – 10 Mei 2008.

22.Peserta Workshop Disfungsi Tiroid Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Cabang Medan, 24 – 25 Mei 2008

23.Peserta simposium “Fucoidan, Nature’s Way for Faster Peptic Ulcer Healing”. Medan, 14 Juni 2008.

24.Peserta simposium ” ONTARGET : A land mark trial in Cardio & Vascular protection”. Departemen Kardiologi & Kdokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. Medan, 5 Juli 2008

25.Peserta Symposium “ Symposium of Venous Thromboembolism” Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan/Sumatera Utara. Medan, 26 Juli 2008

26.Peserta Gastroentero-Hepatologi Update VII 2009. Mdan, 9-10 Oktober 2009.

27.Peserta Workshop on Osteoporosis “ Osteoporosis Crunch Time”. Medan, 8 Agustus 2009.


(6)

58

28.Peserta Simposium Enercore “ Finding the missing link in energy metabolism”. PAPDI, Medan 17 Maret 2009

29.Peserta Simposium “Landmark trial in management of hipertension & Diabetes” . PAPDI Sumut. Medan, 7 Maret 2009

30.Peserta Simposium “The natural Astaxanthin Symposium 2009. Medan 2 November 2009.

31.Peserta simposium “ Festschrift Prof.Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH. Medan , 10 November 2008

32.Peserta Simposium “ Pain management update “. Medan, 6 Desember 2009.

33.Peserta RTD dan workshop “Cirrhosis & its complications : does it matter? “ Medan, 13 Maret 2010.

34.Peserta workshop PAPDI ”Confronting obstacles in managing type 2 DM controlling HbA1c effectively without compromise.” Medan, 20 Maret 2010.

35.Peserta Hypertension House “ A holistic approach in hypertension management for optimal CV outcome”. Medan, 10 April 2010.

36.Peserta Simposium “Update on diabetes management and medical nutrition therapy “. Medan, 17 April 2010.