ketuhanan hanya dengan pendekatan rasio, sedangkan ilmu kalâm dengan mengombinasikan aspek rasio dan wahyu.
133
Îjî seorang teolog Sunnî dari Syîrâz Persia -
mân al h
Ra -
Qâdhî ‘Abd al mendefinisikan ilmu kalâm dengan ungkapan lebih sederhana, yaitu ilmu yang
bertujuan memperteguh akidah keagamaan ‘aqâid dîniyyah dan menolak kerancuan dengan mengemukakan argumentasi diskursif. Ia menambahkan bahwa akidah
keagamaan dalam konteks ini adalah pada tataran pemikiran bukan amalan praktis.
134
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî tidak memberikan definisi ilmu kalâm secara eksplisit. Tetapi ia menjelaskan langsung metode ahli kalâm yang membedakannya
dari awam. Ia menyebutkan bahwa ahli kalâm merupakan golongan yang menempuh metode interpretasi terhadap teks yang berkaitan dengan ketuhanan.
135
Penjelasan ini menunjukkan bahwa ilmu kalâm menurut Ibn ‘Arabî merupakan disiplin ilmu
yang menggunakan pendekatan rasio dalam memahami wahyu. Hal ini dikarenakan interpretasi merupakan penalaran rasio.
B. Ruang Lingkup Teologi atau Ilmu Kalâm
Adapun ruang lingkup teologi Islam atau ilmu kalâm tidak hanya berkaitan mengenai Allah semata sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Secara umum tema-
tema yang dibahas dalam filsafat dan tasawuf juga dibahas dalam ilmu kalâm. Namun pembahasan tersebut dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Ketika para filosof
membicarakan tema wujûd eksistensi dari sisi pemikiran saja, maka para teolog Muslim juga membahas hal serupa dari dua sisi, pemikiran dan wahyu. Atau ketika
maka ,
abbah h
ma sebagai ungkapan maqam
d â
h itti
para sufi membicarakan konsep .
pada tataran teologis d
â h
itti ak terjerumus pada
para teolog mengkajinya agar tid
133
‘Abdullâh al-Hararî, Izhâr al-‘Aqîdah al-Sunnîyyah, Beirut: Dâr al-Masyâri‘, 1997, h. 19.
134
‘Abd al-Rahmân al-Îjî, al-Mawâqif fi ‘Ilm al-Kalâm, Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1992, h. 8.
135
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59.
Filsafat murni pada aspek pemikiran dan tasawuf menekankan aspek intuitif, sedangkan ilmu kalâm merupakan pemikiran yang berdasarkan interpretasi terhadap
teks Kitab Suci. Hal ini terlihat pada karya teologis yang ditulis oleh para ulama. Sebagai
contoh adalah kitab al-Syâmil karya teologis al-Juwaynî. Ia membicarakan tema-tema ,
jawhar ,
lam â
‘ -
ts al û
ud h
, penting yang dibahas dalam filsafat seperti epistemologi
‘iradh, jism, tasybîh dan tanzîh, karakteristik eksitensi, kausalitas. Selain itu, ia juga
yang d
â h
itti ,
interpretasi teologis teks Kitab Suci ,
mengemukakan kaidah tauhid mencakup konsep lâhût dan nâsût.
136
Namun pembahasan tersebut dikemukakan dengan pendekatan teologis. Hal itu bertujuan untuk mengritisi filsafat, Mu‘tazilah,
dan non-Muslim. Al-Îjî juga membicarakan tema yang sama sebagaimana al-Juwaynî. Kitab al-
Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm yang populer di kalangan teolog Sunnî merupakan
karangan teologis al-Îjî yang sangat berpengaruh, sehingga banyak ditemukan ia membicarakan
, qif
â Maw
- al
Di dalam .
syiyah â
h dan
h syar
komentar dalam bentuk permasalahan teologis yang terkesan sama dengan tema-tema filsafat. Sebagai contoh,
ia mengemukakan konsep substansi mâhiyyah dengan istilah yang sama dalam filsafat. Begitu pun, al-Îjî dan para teolog lain tidak keberatan menggunakan term
wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd ketika membicarakan eksitensi,
137
walaupun term tersebut digunakan oleh al-Fârâbî dan Ibn Sînâ filosof Peripatetik klasik.
Selain menyebutkan tema-tema yang pernah dikemukakan al-Juwaynî, ia juga mengemukakan tentang kaidah ‘ishmah kesucian dari dosa, kenabian, kewalian,
akhirat
138
, keimanan dan kekafiran
139
, dan imâmah
140
.
136
Abû al-Ma‘âlî al-Juwaynî, al-Syâmil ed. Dr. M. Sâmî Nasyâr, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1969, h. 11.
137
Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 59.
138
Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 337.
ilmî menyimpulkan bahwa H
Mushthâfâ .
Dr ,
Berdasarkan pertimbangan di atas ada delapan tema penting dalam ilmu kalâm. Pertama, penolakan terhadap kelompok
materialis yang menetapkan keqadîman alam. Kedua, penetapan bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifat ma‘ânî yang qadîm. Ketiga, tanzîh sebagai penolakan terhadap
. ajaran Majûsî
qadîm dan dualisme
, ajaran Nashrânî
d â
h itti
, ajaran Yahûdî
h î
tasyb Keempat, penetapan ruyah kepada Allah di akhirat dan kalâm Allah yang qadîm.
Kelima, permasalahan af‘âl al-‘ibâd yang berkaitan dengan takdir. Keenam, perdebatan tentang seorang mukmin yang mati dalam keadaan berdosa besar.
Ketujuh, argumentasi mengenai penetapan kenabian. Kedelapan, pembicaraan mengenai imâmah.
141
C. Gagasan Hierarki Teologi Ibn ‘Arabî