BAB IV STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ
A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî
Secara umum, komentar para ulama tentang Ibn ‘Arabî telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Adapun pada bagian ini akan diungkapkan tanggapan
lain yang berkaitan dengan Ibn ‘Arabî. Ibn ‘Arabî dinilai dengan pelbagai perspektif oleh para ulama. Perbedaan
tersebut justeru terjadi di kalangan Sunnî yang konon mayoritas. Di antara mereka ada yang menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang wali yang agung, Sunnî yang zuhud, dan
tokoh intelektual Muslim yang luar biasa. Namun juga ditemukan di antara mereka yang mengritisi dan mengecam Ibn ‘Arabî. Menarik, ada di antara mereka yang
menyerahkan permasalahan ini kepada Allah; sebuah sikap skeptis. Perbedaan tersebut bersumber dari sejauh mana perkenalan mereka terhadap pemikiran Ibn
‘Arabî. Ketika mereka memahami ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi secara tekstual, maka akan lahir kritikan dan kecaman. Sedangkan bagi para ulama yang merasa tidak
mengerti terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî dan sufi lainnya, maka mereka lebih memilih diam dan menyerahkannya kepada Allah.
’illâh pengarang Adapun kelompok pertama di antaranya adalah Ibn ‘Athâ
- ‘Abd al
, î
zan â
Taft -
al ,
î n
â Sya‘r
- al
, Suyûthî
- al
,î fi‘
â Y
- h al
â Abdull
, ikam
H -
al kitab
Ghanî al-Nabûlisî, dan lainnya. Khatîb al-Syarbînî seorang Sunnî dari kalangan
Syâfi‘iyyah juga menegaskan bahwa Ibn ‘Arabî termasuk golongan sufi yang mulia.
yang
t
â h
a syath
Ia juga menyatakan bahwa ketika seorang yang bukan sufi memahami berasal dari Ibn ‘Arabî, maka harus dipahami secara majâzî. Sedangkan pada seorang
inologi yang berlaku di bermakna hakiki sesuai dengan term
t â
h a
syath sufi sendiri
dalam tasawuf. Berdasarkan ini, Khathîb keberatan pada pendapat yang mengecam Ibn ‘Arabî, karena mereka hanya memahami secara tekstual.
215
Oleh karena itu pula, al-Malîbarî mufti madzhab Syâfi‘î mengharamkan membaca karangan Ibn ‘Arabî bagi
yang tidak memahami terminologi ilmu tasawuf.
216
Adapun kelompok kedua di antaranya adalah Ibn Taymiyyah sebagai tokoh terdepan. Sedangkan yang lainnya seperti Ibn al-Qayyim, Ibn al-Muqri al- Syâfi‘î, al-
Baqâ‘î, al-Syawkânî terkesan hanya mengikuti kritikan Ibn Taymiyyah. Mereka menolak pemahaman majâzî terhadap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang dianggap
kufur secara tekstual. Oleh karena itu, al-Baqâ‘i yang juga bermadzhab al-Syâfi‘î cenderung kepada pendapat Ibn al-Muqri; bahwa siapa yang skeptis terhadap
kekufuran Ibn ‘Arabî adalah kafir.
217
Adapun kelompok ketiga adalah seperti Ibn Katsîr pengarang tafsir dan sejarawan Muslim. Ia termasuk orang yang sangat setia mengikuti liku-liku hidup Ibn
Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim. Tetapi dalam hal ini, ia tidak secara jelas mengikuti Ibn Taymiyyah. Ia cuma mengatakan bahwa di dalam karangan Ibn ‘Arabî terdapat
ungkapan bisa dicerna dan yang tidak bisa dicerna oleh pikiran.
218
Selain itu, banyak ilmuwan mempertanyakan teologi apakah yang dianut oleh Ibn ‘Arabî. Dalam hal ini, ada yang menanggapi bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang
Syî‘ah. Pendapat ini didasari karena diskursus mengenai konsep tasawuf Ibn ‘Arabî sangat maju di kalangan Syî‘ah. Mereka menyebut kajian tersebut dengan konsep
di utama
n â
‘irf kitab
liyyah â
Muta‘ -
ikmah al H
- al
pengarang â
Shadr â
Mull .
n â
‘irf kalangan Syî‘ah, terbukti banyak meminjam istilah dan mengembangkan pemikiran
Ibn ‘Arabî.
215
Khathîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.th v. 3 h. 55.
216
Al-Malîbarî, Qurrah al-‘Ayn, Surabaya: Dâr Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th. h.. 134.
217
Al-Baqa’i, Tanbîh al-Ghabî, h. 225.
218
Ibn Katsîr, al-Bidâyah, v. 13 h. 90.
Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan klaim ini, seperti al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ al-‘Âmilî tokoh Syî‘ah kontemporer. Al-‘Âmilî menulis penolakannya
dalam kitab Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î. Judul tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah.
Al-‘Âmilî memperkuat penolakannya dengan menyebutkan dua kriteria seseorang disebut dengan Syî‘ah tasyayyu‘. Ketika salah satu dari dua kriteria
tersebut hilang maka, tidak ada alasan seseorang disebut sebagai Syî‘ah. Dua kriteria tersebut antara lain, pertama menjadi pengikut Imam ‘Alî dalam hal walâ
kepemimpinan, serta berkeyakinan mengenai kekhalifahannya langsung setelah wafat Nabi Saw. Kriteria kedua, adalah menafikan kepemimpinan orang-orang yang
menjadi khalifah sebelum Imam ‘Alî. Ia menegaskan bahwa kriteria kedua sangat penting, karena kepemimpinan tidak diakui kecuali untuknya. Hal inilah yang
membedakan seorang Syî‘ah atau non-Syî‘ah. Oleh karena itu, al-‘Âmilî mempertanyakan status tasyayyu‘ Ibn ‘Arabî.
219
Di lain pihak, ditemukan di dalam karangan Ibn ‘Arabî mengenai penghormatannya terhadap ahl al-bayt dan keturunan mereka. Namun hal ini tidaklah
, 33
: b
â z
h A
- mengherankan karena penghormatan tersebut berdasarkan surat al
6m.,:p[KA m;Rm Om -zmﺝp: .Zm12g me;0nI 7A:A 9nﻥW {:;[mK
L
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahl al-bayt
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa para ahl al-bayt akan diampuni oleh Allah di
akhirat kelak. Namun di dunia tidak ada perbedaan dalam menghukumi mereka sebagaimana umat Islam yang lain. Tetapi, Ibn ‘Arabî mengingatkan, walaupun
mereka bersalah secara zhahir di dunia, namun tetap tidak boleh mencela mereka. Hal ini dikarenakan dosa mereka hanya dalam bentuk zhahir saja bukan substansi yang
219
Al-Sayyid Murtadhâ al-‘Âmilî, Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î, buku ini diakses pada tanggal 16 Desember 2008
http:www.aqaed.comshialibbooks04ibn-arabiindex.html
sebenarnya. Sedangkan dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah Swt
220
. 33
b ayat hâ
z h
A -
dalam surat al firman Allah
sebagaimana Penjelasan di atas bukan berarti Ibn ‘Arabî merupakan seorang Syî‘ah. Hal ini
dikarenakan ia menegaskan di paragraf yang lain bahwa tidak disebut mencintai ahl al-bayt
melainkan orang yang menilai baik tentang mereka.
221
Ungkapan ini menunjukkan bahwa siapa saja yang berpikiran buruk atau mencaci keluarga dan
keturunan Nabi Saw maka mereka bukanlah pencinta ahl al-bayt. Menarik, sebenarnya Ibn ‘Arabî pernah mengkritisi dengan keras dan eksplisit
siapa yang ia anggap mencaci sebagian ahl al-bayt Nabi Saw dan para sahabatnya. Ketika berbicara mengenai khawâthir syaythâniyyah lintasan atau bisikan syetan, ia
dengan terang-terangan menyebutkan bahwa hal tersebut sering bermunculan di kalangan Syî‘ah; termasuk di dalamnya Imâmiyyah. Sikap mereka, ungkap Ibn
‘Arabî, yang berlebihan mencintai ahl al-bayt dan mencaci para sahabat Nabi Saw merupakan hasil dari bisikan syayâthîn al-jinn syetan-syetan dari kalangan jin. Oleh
karena itu, Ibn ‘Arabî berpandangan bahwa sikap aliran Syî‘ah dalam hal ini adalah keliru, sehingga menyebabkan mereka sesat dan menyesatkan.
222
Di samping itu, di kalangan Syî‘ah ditetapkan bahwa kemuliaan ‘Alî dan kepemimpinannya langsung setelah Nabi Saw. Dalam hal ini, walaupun Ibn ‘Arabî
mengakui kemulian dan kepemimpinan ‘Alî, tetapi tidak langsung setelah Nabi Saw. Hal ini dikarenakan ia mengakui ketinggian maqâm kewalian Abû Bakr al-Shiddîq. Ia
menyebutnya dengan maqâm al-niyyâtiyyûn; keinginan mereka sesuai dengan kehendak Allah. Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa maqâm ini sangat sulit dicapai,
Tokoh .
im â
r d û
udh h
menerus -
karena menghendaki kesadaran hati yang terus
220
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 298.
221
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 301.
222
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 424.
tertinggi, ungkap Ibn ‘Arabî, yang mencapai tingkatan ini adalah Abû Bakr al- Shiddîq.
223
Berdasarkan penjelasan di atas, klaim bahwa Ibn ‘Arabî seorang Syî‘ah yang didasari karena diskursus mengenai pemikirannya berkembang pesat di kalangan
Syî‘ah tidak cukup untuk menjadikannya sebagai seorang Syî‘ah. Hal ini dikarenakan di kalangan Sunnî pun diskursus mengenai Ibn Arabi tidak kalah maju; baik dari sisi
penerimaan maupun penolakan. Namun sayang, tidak banyak yang mengeskpos kenyataan di kalangan Sunnî tersebut, kecuali berupa sisi penolakan. Tokoh terdepan
dalam menolak konsep Ibn ‘Arabî adalah Ibn Taymiyyah, al-Baqâ‘î, dan al-Syawkânî. Sedangkan setelah wafat Ibn ‘Arabî, tampil anaknya Sa‘ad al-Dîn dalam
mengembangkan konsep sang ayah, dan pembela-pembelanya seperti al-Qûnawî, al- Yâfi‘î, al-Suyûthî, al-Sya‘rânî, dan ‘Abd al-Ghanî al-Nâblûsî.
Ibn ‘Arabî terhadap
ulul H
dan ad
h Itti
kidah Tuduhan a
. B
Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah memberikan kritikan tajam pada Ibn ‘Arabî kelompok yang beranggapan bahwa
; yyah
ulûli H
iyyah âd
h Itti
dengan sebutan Imam Allah bersatu dengan hamba dan memasuki jiwa hamba.
224
Ibn Taymiyyah beralasan Tetapi jika
. ât
h Futû
- al
di awal akidah tersebut
kan ungkap
meng ‘Arabî
karena Ibn diperhatikan dengan jeli, maka ditemui bahwa Ibn ‘Arabî mengatakan itu pada
Namun Ibn Taymiyyah mengabaikan .
ayrah h
atau maqâm keheranan
konteks konteks pembicaraan tersebut. Adapun teksnya adalah sebagaimana berikut.
JQ7RT JQ : LLL
sIZ9 +5 :T8; A ;5 eN7R2I W
LLL sIZAHﻥ-
I -
. q
aq h
sedangkan hamba juga ,
q q
a H
Tuhan itu Duhai, siapakah yang disebut mukallaf?
223
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 322.
224
Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, v. 5 h. 426.
Jika engkau mengatakan hamba, maka pada hakikatnya ia mati. Jika engkau mengatakan Tuhan, maka mana mungkin ia dibebani?
225
Ibn Taymiyyah menilai bahwa Ibn ‘Arabî meyakini hanya ada satu eksistensi. Wâjib al-wujûd
dalam hal ini adalah Tuhan, merupakan substansi ‘ayn mumkin al- wujûd
yaitu alam. Ibn Taymiyyah bahkan mengeneralisir bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabî eksistensi alam semesta merupakan substansi Tuhan.
226
Berdasarkan pemahaman ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî
bukan berwujud sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Dalam ungkapan lain bisa disebutkan bahwa hamba atau alam semesta adalah substansi
Ia .
wujûd -
al dah
h wa
Ini merupakan inti dari pemikiran .
m î
qad Tuhan yang bersifat
Bahkan tidak
227
. d
â h
itti dan
l û
ul h
akidah dengan
‘Arabî menyetarakan pemikiran Ibn
dengan ‘Arabî
Ibn wujûd
- al
dah h
wa menyamakan konsep
Taymiyyah jarang Ibn
diyyah wa â
h Itti
- al
sehingga ia menyebutnya sebagai Imam ,
d â
h itti
dan l
û ul
h akidah
Tiga terminologi ini sering dialamatkan Ibn Taymiyyah kepada Ibn
228
. iyyah
ulûl H
- al
‘Arabi. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Kautsar Azhari Noer, dalam diskurus kontemporer pemikiran Barat ditemukan istilah panteisme dan monisme atau
Kautsar .
Prof
229
. d
û wuj
- dah al
h wa
gabungan keduanya untuk mengganti istilah keberatan menggunakan kedua istilah baru tersebut dialamatkan kepada Ibn ‘Arabi.
Hal ini dikarenakan interpretasi mengenai panteisme dan monisme sangat beragam,
225
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1, h. 15. Ibn Taymiyyah menukilkan sesuai dengan teks dalam al-Futûhât
. Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 2 h. 111.
226
Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 112.
227
Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 115.
228
Di dalam diskursus kontemporer dibedakan terminologi wahdah al-wujûd, ittihâd, dan hulûl
. Wahdah al-wujûd menunjukkan paham bahwa eksistensi hanya satu, ittihâd berarti ada dua eksistensi yang menjadi satu, dan hulûl berarti ada dua eksistensi namun salah satu dari keduanya
menempati atau memasuki yang lain.
229
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 34.
sehingga dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman.
230
Namun kajian ini bukanlah bertujuan untuk membahas mengenai dinamika interpretasi panteisme.
yang menolak konsep ‘Arabî
di lain pihak ditemukan dalam teks Ibn ,
Tetapi ,
menegaskan ‘Arabî
Ibn .
ulûl h
dan âd
h itti
j O -FW 6F ﺏ 5 L
- ahl al
melainkan ia ,
âd h
itti an
berkeyakin seseorang
Tidaklah
231
. d
â h
il jauh
, âd
h itti
terhadap konsep ‘Arabî
Ini merupakan penolakan keras Ibn Hal ini dikarenakan ia
. iyyah
âd h
itti menuduhnya berakidah
Taymiyyah sebelum Ibn
yang ;
ateis d
â h
il -
ahl al menyebut orang yang berakidah seperti itu sebagai
mengindikasikan terjadi persatuan Tuhan dan alam. Paham ini akan berujung kepada penafian eksistensi Tuhan. Bahkan Ibn ‘Arabî dalam menjawab pertanyaan yang ia
menyebutkan bahwa orang yang berakidah î
h â
kasyf il yakini jawabannya berasal dari
Ibn ‘Arabî ,
Pada bab lain
232
. n
û id
hh muwa
bukanlah tergolong ahli tauhid ulûl
h ân dengan
Qur -
ng memahami beberapa ayat di dalam al menyebut orang ya
sebagai orang ,
pembatasan d
î d
h ta
dan ulûl
h yaitu
, terlarang
r û
zh h
ma pemahaman
yang jahil.
233
Ia juga menegaskan dalam teks lain,
:5 IT5[N I ﺏ +5 g;RtF 0r 7
F 0r E8NHTlA
L
maka dia orang yang sakit ,
ulûl h
Siapa yang berkeyakinan agamanya. Penyakit yang tidak ada obatnya, dan dokter juga tidak akan
berusaha mencarikan penawarnya
234
230
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî, h. 226.
231
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.
232
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 125.
233
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 45.
234
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.
mencela sebagian ia menjelaskan alasannya
Quds -
al h
û R
di dalam ,
Selain itu Ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui ada kaum sufi yang terjebak
. kaum sufi
. ulûl
h dan
âd h
itti kepada
, ulûliyyah
H Celaanku terhadap kaum sufi adalah karena kelompok
dan sejenisnya dari mereka mengungkapkan pelbagai klaim dan iyyah
h â
Ib pura-pura dalam menampilkan ungkapan-ungkapan aneh.
235
Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî masih bersikap toleran dengan memberikan klasifikasi teologis ketika seorang sufi mengungkapkan kata-kata yang pada
terdapat perkataan sufi hakiki Ketika
. ulûl
h dan
âd h
itti nya terkesan ada unsur
zhahir dengan indikasi tersebut, maka hal itu bukan seperti yang dipahami para teolog
, abbah
h ma
Hal ini dikarenakan seorang sufi terkadang mencapai tingkatan .
umumnya sehingga tidak ada kecuali hanya satu cinta. Kesatuan cinta tersebut diungkapkan
dengan kata-kata yang sangat puitis. Ibn ‘Arabî mencontohkan,
0Q 0Q Q
VQ L
|8 W |8hA W hA
L
Jiwanya adalah jiwaku, begitu juga jiwaku adalah jiwanya. Jika ia berhasrat maka aku berhasrat, dan jika aku berhasrat maka dia
juga berhasrat yang sama.
236
Ungkapan di atas, Ibn ‘Arabî menjelaskan, menunjukkan bahwa terjadi kesatuan hasrat antara pencinta, namun personalnya tidak seorang. Namun mereka
mempunyai satu perasaan. Permasalahan ini bisa dipahami oleh Ibn ‘Arabî ketika berkunjung kepada beberapa guru spiritual di kota Fez negeri Maroko.
237
Hal ini hanya pada
l û
ul h
dan d
â h
itti berarti bahwa penolakan Ibn ‘Arabi terhadap akidah
tataran teologis. Sedangkan sikap toleransinya karena berdasarkan pendekatan .
dalam terminologi teologi d
â h
itti sufi bukanlah
d â
h itti
, Oleh karena itu
. sufistik
235
Ibn ‘Arabî, Ruh al-Quds, h. 67.
236
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.
237
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.
Sikap toleran tersebut pernah dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebelumnya dalam Misykât al-Anwâr
. Ia mengemukakan bahwa ungkapan esoteris seperti, Tidak ada dalam jubahku melainkan Allah dan ungkapan lain yang serupa hanya berupa
ekspresi kerinduan ‘isyq. Oleh karena itu, al-Ghazâlî mengingatkan bahwa ingga terjerumus dalam
seh ,
ungkapan tersebut tidak boleh dipahami secara hakiki
238
. teologis
d â
h itti
Selain itu, maksud Ibn ‘Arabî menyatakan bahwa Allah merupakan ‘ayn segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Ibn
Taymiyyah memahami bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî bukan berwujud sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Sedangkan Ibn ‘Arabî
tidak bermaksud demikian. Ibn ‘Arabî hanya mengatakan bahwa seorang sufi yang ia sebut al-faqîr al-ilâhî memandang Allah sebagai ‘ayn alam semesta. Tetapi perlu
diingat bahwa kata ‘ayn biasa diterjemahkan dengan substansi, tetapi pada konteks berarti sumber
h â
ay h
- ‘ayn al
an Seperti ungkap
. tertentu berarti mata atau sumber
kehidupan. Ungkapan ‘ayn alam semesta bisa dipahami dengan sumber alam semesta jika keberatan dengan substansi alam semesta.
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa segala sesuatu bergantung kepada Allah. Bahkan tidak ada sesuatu eksistensi pun melainkan bergantung kepada-
Nya. Sedangkan Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Ungkapan ini merupakan interpretasi terhadap surat al-Fâthir ayat 15, Wahai manusia, kamu adalah fakir
kepada Allah, sedangkan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Penjelasan ini sangat jelas mengisyaratkan bahwa maksud Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah merupakan
‘ayn segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Tetapi hal ini mirip
dengan argumentasi teologis para ahli kalâm bahwa eksistensi Allah adalah berdiri
238
Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwar, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, h. 12.
sendiri qiyâmuhu bi nafsihi. Sedangkan segala sesuatu selain Allah bergantung kepada eksitensi Allah atau disebut qiyâmuhu bi ghayr nafsihi. Oleh karenanya, Allah
disebut sebagai wâjib al-wujûd yang bersifat qadîm. Sedangkan segala sesuatu selain Allah disebut sebagai mumkin al-wujûd yang bersifat baru hâdits.
239
Sejauh ini tidak ditemukan dalam teks-teks Ibn ‘Arabî ungkapan bahwa alam atau segala sesuatu
selain Allah itu bersifat qadîm sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah. Namun yang justeru mengatakan bahwa alam semesta adalah
‘Arabî Ibn
, ditemukan sebaliknya
dan y‘ariyyah
tetapi argumentasi yang digunakan berbeda dengan As ,
dits â
h Mu‘tazilah.
Di samping itu, Ibn ‘Arabî menyebutkan keberatannya terhadap sikap para ahli kalâm yang sering kontradiktif satu sama lain dalam masalah pokok ketuhanan. Ia
mencontohkan bahwa kebenaran pendapat teolog Asy‘ariyyah adalah benar, tetapi belum tentu benar menurut Mu‘tazilah. Argumen yang dikemukakan Mu‘tazilah juga
belum tentu benar menurut Asy‘ariyyah. Bahkan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa para ulama Asy‘ariyyah pun masih berbeda argumen ketika membahas suatu masalah;
q pun juga berbeda â
Ish Abû
. Isfarayaynî
- al
q â
h Is
Abû ari
berbeda d î
uwayn J
- seperti al
dari Qâdhî ‘Iyyâdh. Tetapi mereka tetap mengaku sebagai kelompok Asy‘ariyyah. Hal yang sama juga terjadi pada Mu‘tazilah dan para filosof. Padahal, menurut Ibn ‘Arabî,
ammad tidak pernah berbeda dalam h
dam sampai Nabi Mu Â
para nabi sejak Nabi masalah pokok ketuhanan, tetapi mereka malah saling membenarkan satu sama
lain.
240
239
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 273, bab 70 pasal man tajibu lahum al-shadaqah
.
240
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 120.
BAB V KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ