Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî

BAB IV STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ

A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî

Secara umum, komentar para ulama tentang Ibn ‘Arabî telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Adapun pada bagian ini akan diungkapkan tanggapan lain yang berkaitan dengan Ibn ‘Arabî. Ibn ‘Arabî dinilai dengan pelbagai perspektif oleh para ulama. Perbedaan tersebut justeru terjadi di kalangan Sunnî yang konon mayoritas. Di antara mereka ada yang menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang wali yang agung, Sunnî yang zuhud, dan tokoh intelektual Muslim yang luar biasa. Namun juga ditemukan di antara mereka yang mengritisi dan mengecam Ibn ‘Arabî. Menarik, ada di antara mereka yang menyerahkan permasalahan ini kepada Allah; sebuah sikap skeptis. Perbedaan tersebut bersumber dari sejauh mana perkenalan mereka terhadap pemikiran Ibn ‘Arabî. Ketika mereka memahami ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi secara tekstual, maka akan lahir kritikan dan kecaman. Sedangkan bagi para ulama yang merasa tidak mengerti terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî dan sufi lainnya, maka mereka lebih memilih diam dan menyerahkannya kepada Allah. ’illâh pengarang Adapun kelompok pertama di antaranya adalah Ibn ‘Athâ - ‘Abd al , î zan â Taft - al , î n â Sya‘r - al , Suyûthî - al ,î fi‘ â Y - h al â Abdull , ikam H - al kitab Ghanî al-Nabûlisî, dan lainnya. Khatîb al-Syarbînî seorang Sunnî dari kalangan Syâfi‘iyyah juga menegaskan bahwa Ibn ‘Arabî termasuk golongan sufi yang mulia. yang t â h a syath Ia juga menyatakan bahwa ketika seorang yang bukan sufi memahami berasal dari Ibn ‘Arabî, maka harus dipahami secara majâzî. Sedangkan pada seorang inologi yang berlaku di bermakna hakiki sesuai dengan term t â h a syath sufi sendiri dalam tasawuf. Berdasarkan ini, Khathîb keberatan pada pendapat yang mengecam Ibn ‘Arabî, karena mereka hanya memahami secara tekstual. 215 Oleh karena itu pula, al-Malîbarî mufti madzhab Syâfi‘î mengharamkan membaca karangan Ibn ‘Arabî bagi yang tidak memahami terminologi ilmu tasawuf. 216 Adapun kelompok kedua di antaranya adalah Ibn Taymiyyah sebagai tokoh terdepan. Sedangkan yang lainnya seperti Ibn al-Qayyim, Ibn al-Muqri al- Syâfi‘î, al- Baqâ‘î, al-Syawkânî terkesan hanya mengikuti kritikan Ibn Taymiyyah. Mereka menolak pemahaman majâzî terhadap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang dianggap kufur secara tekstual. Oleh karena itu, al-Baqâ‘i yang juga bermadzhab al-Syâfi‘î cenderung kepada pendapat Ibn al-Muqri; bahwa siapa yang skeptis terhadap kekufuran Ibn ‘Arabî adalah kafir. 217 Adapun kelompok ketiga adalah seperti Ibn Katsîr pengarang tafsir dan sejarawan Muslim. Ia termasuk orang yang sangat setia mengikuti liku-liku hidup Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim. Tetapi dalam hal ini, ia tidak secara jelas mengikuti Ibn Taymiyyah. Ia cuma mengatakan bahwa di dalam karangan Ibn ‘Arabî terdapat ungkapan bisa dicerna dan yang tidak bisa dicerna oleh pikiran. 218 Selain itu, banyak ilmuwan mempertanyakan teologi apakah yang dianut oleh Ibn ‘Arabî. Dalam hal ini, ada yang menanggapi bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang Syî‘ah. Pendapat ini didasari karena diskursus mengenai konsep tasawuf Ibn ‘Arabî sangat maju di kalangan Syî‘ah. Mereka menyebut kajian tersebut dengan konsep di utama n â ‘irf kitab liyyah â Muta‘ - ikmah al H - al pengarang â Shadr â Mull . n â ‘irf kalangan Syî‘ah, terbukti banyak meminjam istilah dan mengembangkan pemikiran Ibn ‘Arabî. 215 Khathîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.th v. 3 h. 55. 216 Al-Malîbarî, Qurrah al-‘Ayn, Surabaya: Dâr Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th. h.. 134. 217 Al-Baqa’i, Tanbîh al-Ghabî, h. 225. 218 Ibn Katsîr, al-Bidâyah, v. 13 h. 90. Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan klaim ini, seperti al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ al-‘Âmilî tokoh Syî‘ah kontemporer. Al-‘Âmilî menulis penolakannya dalam kitab Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î. Judul tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah. Al-‘Âmilî memperkuat penolakannya dengan menyebutkan dua kriteria seseorang disebut dengan Syî‘ah tasyayyu‘. Ketika salah satu dari dua kriteria tersebut hilang maka, tidak ada alasan seseorang disebut sebagai Syî‘ah. Dua kriteria tersebut antara lain, pertama menjadi pengikut Imam ‘Alî dalam hal walâ kepemimpinan, serta berkeyakinan mengenai kekhalifahannya langsung setelah wafat Nabi Saw. Kriteria kedua, adalah menafikan kepemimpinan orang-orang yang menjadi khalifah sebelum Imam ‘Alî. Ia menegaskan bahwa kriteria kedua sangat penting, karena kepemimpinan tidak diakui kecuali untuknya. Hal inilah yang membedakan seorang Syî‘ah atau non-Syî‘ah. Oleh karena itu, al-‘Âmilî mempertanyakan status tasyayyu‘ Ibn ‘Arabî. 219 Di lain pihak, ditemukan di dalam karangan Ibn ‘Arabî mengenai penghormatannya terhadap ahl al-bayt dan keturunan mereka. Namun hal ini tidaklah , 33 : b â z h A - mengherankan karena penghormatan tersebut berdasarkan surat al 6m.,:p[KA m;Rm Om -zmﺝp: .Zm12g me;0nI 7A:A 9nﻥW {:;[mK L Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahl al-bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa para ahl al-bayt akan diampuni oleh Allah di akhirat kelak. Namun di dunia tidak ada perbedaan dalam menghukumi mereka sebagaimana umat Islam yang lain. Tetapi, Ibn ‘Arabî mengingatkan, walaupun mereka bersalah secara zhahir di dunia, namun tetap tidak boleh mencela mereka. Hal ini dikarenakan dosa mereka hanya dalam bentuk zhahir saja bukan substansi yang 219 Al-Sayyid Murtadhâ al-‘Âmilî, Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î, buku ini diakses pada tanggal 16 Desember 2008 http:www.aqaed.comshialibbooks04ibn-arabiindex.html sebenarnya. Sedangkan dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah Swt 220 . 33 b ayat hâ z h A - dalam surat al firman Allah sebagaimana Penjelasan di atas bukan berarti Ibn ‘Arabî merupakan seorang Syî‘ah. Hal ini dikarenakan ia menegaskan di paragraf yang lain bahwa tidak disebut mencintai ahl al-bayt melainkan orang yang menilai baik tentang mereka. 221 Ungkapan ini menunjukkan bahwa siapa saja yang berpikiran buruk atau mencaci keluarga dan keturunan Nabi Saw maka mereka bukanlah pencinta ahl al-bayt. Menarik, sebenarnya Ibn ‘Arabî pernah mengkritisi dengan keras dan eksplisit siapa yang ia anggap mencaci sebagian ahl al-bayt Nabi Saw dan para sahabatnya. Ketika berbicara mengenai khawâthir syaythâniyyah lintasan atau bisikan syetan, ia dengan terang-terangan menyebutkan bahwa hal tersebut sering bermunculan di kalangan Syî‘ah; termasuk di dalamnya Imâmiyyah. Sikap mereka, ungkap Ibn ‘Arabî, yang berlebihan mencintai ahl al-bayt dan mencaci para sahabat Nabi Saw merupakan hasil dari bisikan syayâthîn al-jinn syetan-syetan dari kalangan jin. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabî berpandangan bahwa sikap aliran Syî‘ah dalam hal ini adalah keliru, sehingga menyebabkan mereka sesat dan menyesatkan. 222 Di samping itu, di kalangan Syî‘ah ditetapkan bahwa kemuliaan ‘Alî dan kepemimpinannya langsung setelah Nabi Saw. Dalam hal ini, walaupun Ibn ‘Arabî mengakui kemulian dan kepemimpinan ‘Alî, tetapi tidak langsung setelah Nabi Saw. Hal ini dikarenakan ia mengakui ketinggian maqâm kewalian Abû Bakr al-Shiddîq. Ia menyebutnya dengan maqâm al-niyyâtiyyûn; keinginan mereka sesuai dengan kehendak Allah. Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa maqâm ini sangat sulit dicapai, Tokoh . im â r d û udh h menerus - karena menghendaki kesadaran hati yang terus 220 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 298. 221 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 301. 222 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 424. tertinggi, ungkap Ibn ‘Arabî, yang mencapai tingkatan ini adalah Abû Bakr al- Shiddîq. 223 Berdasarkan penjelasan di atas, klaim bahwa Ibn ‘Arabî seorang Syî‘ah yang didasari karena diskursus mengenai pemikirannya berkembang pesat di kalangan Syî‘ah tidak cukup untuk menjadikannya sebagai seorang Syî‘ah. Hal ini dikarenakan di kalangan Sunnî pun diskursus mengenai Ibn Arabi tidak kalah maju; baik dari sisi penerimaan maupun penolakan. Namun sayang, tidak banyak yang mengeskpos kenyataan di kalangan Sunnî tersebut, kecuali berupa sisi penolakan. Tokoh terdepan dalam menolak konsep Ibn ‘Arabî adalah Ibn Taymiyyah, al-Baqâ‘î, dan al-Syawkânî. Sedangkan setelah wafat Ibn ‘Arabî, tampil anaknya Sa‘ad al-Dîn dalam mengembangkan konsep sang ayah, dan pembela-pembelanya seperti al-Qûnawî, al- Yâfi‘î, al-Suyûthî, al-Sya‘rânî, dan ‘Abd al-Ghanî al-Nâblûsî. Ibn ‘Arabî terhadap ulul H dan ad h Itti kidah Tuduhan a . B Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah memberikan kritikan tajam pada Ibn ‘Arabî kelompok yang beranggapan bahwa ; yyah ulûli H iyyah âd h Itti dengan sebutan Imam Allah bersatu dengan hamba dan memasuki jiwa hamba. 224 Ibn Taymiyyah beralasan Tetapi jika . ât h Futû - al di awal akidah tersebut kan ungkap meng ‘Arabî karena Ibn diperhatikan dengan jeli, maka ditemui bahwa Ibn ‘Arabî mengatakan itu pada Namun Ibn Taymiyyah mengabaikan . ayrah h atau maqâm keheranan konteks konteks pembicaraan tersebut. Adapun teksnya adalah sebagaimana berikut. JQ7RT JQ : LLL sIZ9 +5 :T8; A ;5 eN7R2I W LLL sIZAHﻥ- I - . q aq h sedangkan hamba juga , q q a H Tuhan itu Duhai, siapakah yang disebut mukallaf? 223 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 322. 224 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, v. 5 h. 426. Jika engkau mengatakan hamba, maka pada hakikatnya ia mati. Jika engkau mengatakan Tuhan, maka mana mungkin ia dibebani? 225 Ibn Taymiyyah menilai bahwa Ibn ‘Arabî meyakini hanya ada satu eksistensi. Wâjib al-wujûd dalam hal ini adalah Tuhan, merupakan substansi ‘ayn mumkin al- wujûd yaitu alam. Ibn Taymiyyah bahkan mengeneralisir bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabî eksistensi alam semesta merupakan substansi Tuhan. 226 Berdasarkan pemahaman ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî bukan berwujud sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Dalam ungkapan lain bisa disebutkan bahwa hamba atau alam semesta adalah substansi Ia . wujûd - al dah h wa Ini merupakan inti dari pemikiran . m î qad Tuhan yang bersifat Bahkan tidak 227 . d â h itti dan l û ul h akidah dengan ‘Arabî menyetarakan pemikiran Ibn dengan ‘Arabî Ibn wujûd - al dah h wa menyamakan konsep Taymiyyah jarang Ibn diyyah wa â h Itti - al sehingga ia menyebutnya sebagai Imam , d â h itti dan l û ul h akidah Tiga terminologi ini sering dialamatkan Ibn Taymiyyah kepada Ibn 228 . iyyah ulûl H - al ‘Arabi. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Kautsar Azhari Noer, dalam diskurus kontemporer pemikiran Barat ditemukan istilah panteisme dan monisme atau Kautsar . Prof 229 . d û wuj - dah al h wa gabungan keduanya untuk mengganti istilah keberatan menggunakan kedua istilah baru tersebut dialamatkan kepada Ibn ‘Arabi. Hal ini dikarenakan interpretasi mengenai panteisme dan monisme sangat beragam, 225 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1, h. 15. Ibn Taymiyyah menukilkan sesuai dengan teks dalam al-Futûhât . Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 2 h. 111. 226 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 112. 227 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 115. 228 Di dalam diskursus kontemporer dibedakan terminologi wahdah al-wujûd, ittihâd, dan hulûl . Wahdah al-wujûd menunjukkan paham bahwa eksistensi hanya satu, ittihâd berarti ada dua eksistensi yang menjadi satu, dan hulûl berarti ada dua eksistensi namun salah satu dari keduanya menempati atau memasuki yang lain. 229 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 34. sehingga dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman. 230 Namun kajian ini bukanlah bertujuan untuk membahas mengenai dinamika interpretasi panteisme. yang menolak konsep ‘Arabî di lain pihak ditemukan dalam teks Ibn , Tetapi , menegaskan ‘Arabî Ibn . ulûl h dan âd h itti j O -FW 6F ﺏ 5 L - ahl al melainkan ia , âd h itti an berkeyakin seseorang Tidaklah 231 . d â h il jauh , âd h itti terhadap konsep ‘Arabî Ini merupakan penolakan keras Ibn Hal ini dikarenakan ia . iyyah âd h itti menuduhnya berakidah Taymiyyah sebelum Ibn yang ; ateis d â h il - ahl al menyebut orang yang berakidah seperti itu sebagai mengindikasikan terjadi persatuan Tuhan dan alam. Paham ini akan berujung kepada penafian eksistensi Tuhan. Bahkan Ibn ‘Arabî dalam menjawab pertanyaan yang ia menyebutkan bahwa orang yang berakidah î h â kasyf il yakini jawabannya berasal dari Ibn ‘Arabî , Pada bab lain 232 . n û id hh muwa bukanlah tergolong ahli tauhid ulûl h ân dengan Qur - ng memahami beberapa ayat di dalam al menyebut orang ya sebagai orang , pembatasan d î d h ta dan ulûl h yaitu , terlarang r û zh h ma pemahaman yang jahil. 233 Ia juga menegaskan dalam teks lain, :5 IT5[N I ﺏ +5 g;RtF 0r 7 F 0r E8NHTlA L maka dia orang yang sakit , ulûl h Siapa yang berkeyakinan agamanya. Penyakit yang tidak ada obatnya, dan dokter juga tidak akan berusaha mencarikan penawarnya 234 230 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî, h. 226. 231 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. 232 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 125. 233 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 45. 234 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. mencela sebagian ia menjelaskan alasannya Quds - al h û R di dalam , Selain itu Ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui ada kaum sufi yang terjebak . kaum sufi . ulûl h dan âd h itti kepada , ulûliyyah H Celaanku terhadap kaum sufi adalah karena kelompok dan sejenisnya dari mereka mengungkapkan pelbagai klaim dan iyyah h â Ib pura-pura dalam menampilkan ungkapan-ungkapan aneh. 235 Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî masih bersikap toleran dengan memberikan klasifikasi teologis ketika seorang sufi mengungkapkan kata-kata yang pada terdapat perkataan sufi hakiki Ketika . ulûl h dan âd h itti nya terkesan ada unsur zhahir dengan indikasi tersebut, maka hal itu bukan seperti yang dipahami para teolog , abbah h ma Hal ini dikarenakan seorang sufi terkadang mencapai tingkatan . umumnya sehingga tidak ada kecuali hanya satu cinta. Kesatuan cinta tersebut diungkapkan dengan kata-kata yang sangat puitis. Ibn ‘Arabî mencontohkan, 0Q 0Q Q VQ L |8 W |8hA W hA L Jiwanya adalah jiwaku, begitu juga jiwaku adalah jiwanya. Jika ia berhasrat maka aku berhasrat, dan jika aku berhasrat maka dia juga berhasrat yang sama. 236 Ungkapan di atas, Ibn ‘Arabî menjelaskan, menunjukkan bahwa terjadi kesatuan hasrat antara pencinta, namun personalnya tidak seorang. Namun mereka mempunyai satu perasaan. Permasalahan ini bisa dipahami oleh Ibn ‘Arabî ketika berkunjung kepada beberapa guru spiritual di kota Fez negeri Maroko. 237 Hal ini hanya pada l û ul h dan d â h itti berarti bahwa penolakan Ibn ‘Arabi terhadap akidah tataran teologis. Sedangkan sikap toleransinya karena berdasarkan pendekatan . dalam terminologi teologi d â h itti sufi bukanlah d â h itti , Oleh karena itu . sufistik 235 Ibn ‘Arabî, Ruh al-Quds, h. 67. 236 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. 237 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. Sikap toleran tersebut pernah dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebelumnya dalam Misykât al-Anwâr . Ia mengemukakan bahwa ungkapan esoteris seperti, Tidak ada dalam jubahku melainkan Allah dan ungkapan lain yang serupa hanya berupa ekspresi kerinduan ‘isyq. Oleh karena itu, al-Ghazâlî mengingatkan bahwa ingga terjerumus dalam seh , ungkapan tersebut tidak boleh dipahami secara hakiki 238 . teologis d â h itti Selain itu, maksud Ibn ‘Arabî menyatakan bahwa Allah merupakan ‘ayn segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Ibn Taymiyyah memahami bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî bukan berwujud sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Sedangkan Ibn ‘Arabî tidak bermaksud demikian. Ibn ‘Arabî hanya mengatakan bahwa seorang sufi yang ia sebut al-faqîr al-ilâhî memandang Allah sebagai ‘ayn alam semesta. Tetapi perlu diingat bahwa kata ‘ayn biasa diterjemahkan dengan substansi, tetapi pada konteks berarti sumber h â ay h - ‘ayn al an Seperti ungkap . tertentu berarti mata atau sumber kehidupan. Ungkapan ‘ayn alam semesta bisa dipahami dengan sumber alam semesta jika keberatan dengan substansi alam semesta. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa segala sesuatu bergantung kepada Allah. Bahkan tidak ada sesuatu eksistensi pun melainkan bergantung kepada- Nya. Sedangkan Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Ungkapan ini merupakan interpretasi terhadap surat al-Fâthir ayat 15, Wahai manusia, kamu adalah fakir kepada Allah, sedangkan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Penjelasan ini sangat jelas mengisyaratkan bahwa maksud Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah merupakan ‘ayn segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Tetapi hal ini mirip dengan argumentasi teologis para ahli kalâm bahwa eksistensi Allah adalah berdiri 238 Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwar, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, h. 12. sendiri qiyâmuhu bi nafsihi. Sedangkan segala sesuatu selain Allah bergantung kepada eksitensi Allah atau disebut qiyâmuhu bi ghayr nafsihi. Oleh karenanya, Allah disebut sebagai wâjib al-wujûd yang bersifat qadîm. Sedangkan segala sesuatu selain Allah disebut sebagai mumkin al-wujûd yang bersifat baru hâdits. 239 Sejauh ini tidak ditemukan dalam teks-teks Ibn ‘Arabî ungkapan bahwa alam atau segala sesuatu selain Allah itu bersifat qadîm sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah. Namun yang justeru mengatakan bahwa alam semesta adalah ‘Arabî Ibn , ditemukan sebaliknya dan y‘ariyyah tetapi argumentasi yang digunakan berbeda dengan As , dits â h Mu‘tazilah. Di samping itu, Ibn ‘Arabî menyebutkan keberatannya terhadap sikap para ahli kalâm yang sering kontradiktif satu sama lain dalam masalah pokok ketuhanan. Ia mencontohkan bahwa kebenaran pendapat teolog Asy‘ariyyah adalah benar, tetapi belum tentu benar menurut Mu‘tazilah. Argumen yang dikemukakan Mu‘tazilah juga belum tentu benar menurut Asy‘ariyyah. Bahkan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa para ulama Asy‘ariyyah pun masih berbeda argumen ketika membahas suatu masalah; q pun juga berbeda â Ish Abû . Isfarayaynî - al q â h Is Abû ari berbeda d î uwayn J - seperti al dari Qâdhî ‘Iyyâdh. Tetapi mereka tetap mengaku sebagai kelompok Asy‘ariyyah. Hal yang sama juga terjadi pada Mu‘tazilah dan para filosof. Padahal, menurut Ibn ‘Arabî, ammad tidak pernah berbeda dalam h dam sampai Nabi Mu  para nabi sejak Nabi masalah pokok ketuhanan, tetapi mereka malah saling membenarkan satu sama lain. 240 239 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 273, bab 70 pasal man tajibu lahum al-shadaqah . 240 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 120.

BAB V KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ