Latar Belakang Penulisan PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Setengah abad setelah Ibn ‘Arabî wafat, muncul Ibn Taymiyyah memperdebatkan status teologi yang dianutnya. Namun ironis, tidak ditemui seorang ulama pun yang melakukan hal serupa di masa hidup Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan û zî dan Ab â R - Dîn al - seperti Fakhr al , tokoh besar semasa dengannya - banyak tokoh . tidak pernah mengritisi Ibn ‘Arabî l û Maqt - al bukan Suhrawardî - al afsh H Akan tetapi, Ibn Taymiyyah memulai kritikan terhadap Ibn ‘Arabî dari pelbagai aspek teologis. Dalam mengritisi Ibn ‘Arabî, Ibn Taymiyyah dengan tegas kata lain yang - dan kata ateis d â h l i , zindiq , mengategorikannya sebagai kafir dialamatkan kepada para penyeleweng dari jalan kebenaran. Aspek teologis yang menjadi sasaran kritikan Ibn Taymiyyah meliputi masalah eksistensi Tuhan dan hamba, status keimanan Fir‘awn, kenabian, dan kewalian. Kritikan tersebut banyak diungkapkan Ibn Taymiyyah dalam al-Majmû‘ al- Fatâwâ dan risalah khusus yang berjudul Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî. Dari kritikan tersebut, Ibn Taymiyyah melahirkan istilah baru dalam pemikiran teologis Ibn ‘Arabî. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Ibn ‘Arabî walaupun istilah ini tidak 1 , kesatuan wujud d û wuj - dah al h wa menganut paham pernah ditemui sebelumnya dalam literatur Ibn ‘Arabî. Hal ini sebagaimana diakui William C. Chittick bahwa Ibn ‘Arabî sendiri tidak pernah menggunakan kata 1 Ibn Taymiyyah, al-Majmû‘ al-Fatâwâ, Riyâdh: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995, v. 2, h. 64. tersebut. 2 Namun, konklusi yang diperoleh oleh Ibn Taymiyyah mampu membakukan istilah tersebut, sehingga menjadi populer pada generasi setelahnya sampai sekarang. aymiyyah lebih cenderung menyamakan status Ibn T , Di samping itu Ibn , Oleh karena itu . d â h tti i dan ulul h Ibn ‘Arabî dengan wujûd - dah al h wa pemikiran - ahl al ‘Arabî dan tokoh tasawuf falsafi lain dianggap sebagai penganut ateisme Ia . Qayyim - ini juga diikuti oleh Ibn al wujûd - dah al h wa Sikap penyamaan . d â h il merupakan kaum sufi yang berpaham d â h itt menegaskan bahwa kelompok penganut paham ini berpandangan bahwa Tuhan , Qayyim - Menurut Ibn al 3 . d û wuj - dah al h wa tidak berbeda dan tidak terpisah dari alam ini. Pandangan ini, ungkap Ibn al-Qayyim, merupakan perkataan manusia yang paling kufur. 4 Selain itu, Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa martabat kewalian lebih tinggi daripada kenabian. 5 Bahkan, ketika pengikut Ibn ‘Arabî memberikan interpretasi bahwa ia hanya meyakini kewalian seorang nabi lebih utama daripada martabat kenabiannya atau interpretasi lain yang senada, namun Ibn Taymiyyah tetap saja menganggap hal tersebut sebagai kejahilan yang berlebihan. 6 Sisi lain yang menjadi objek kritikan keras dari Ibn Taymiyyah terhadap Ibn ‘Arabî adalah mengenai status keimanan Fir‘awn. Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa siapa saja yang tawaqquf tidak berpendirian terhadap status kafir Fir‘awn, maka ia mesti diistitâbah diadili agar bertobat, jika tidak bertobat maka wajib dihukum mati. Apalagi terhadap Ibn ‘Arabî yang berkeyakinan bahwa Fir‘awn mati dalam kadaan beriman. 7 2 William C. Chittick, The Sufi Path of Sufi, New York: State University of New York Press, 1989, h. 78. 3 Ibn al-Qayyim, al-Shawâ‘iq al-Muharriqah, Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, 1998, v. 2 h. 791. 4 Ibn al-Qayyim, al-Shawâ‘iq, v. 1 h. 294. 5 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, Kairo: Muassasah Qurthûbah, 1406, v. 5 h. 335. 6 Ibn Taymiyyah, al-Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 7 Ibn Taymiyyah, Jâmi‘ al-Rasâ`il fi Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, Kairo: Maktabah al-Turâts al- Islâmî, t.t., h. 204. Kritikan serupa juga bermunculan di kalangan teolog Asy‘ariyyah. Dalam hal ini, al-Baqâ‘î tampil dengan karyanya yang berjudul Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî . Dengan memahami judulnya, dapat diketahui bahwa al-Baqâ‘î ikut serta mengafirkan Ibn ‘Arabî. Kitab tersebut diterbitkan kembali di kalangan Wahhâbî dengan judul Mashra‘ al-Tashawwuf. Ia mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî meyakini keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan di Laut Merah. 8 Bahkan, ia menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa Fir‘awn merupakan ‘tuhan’ Musa dan junjungannya. 9 Dengan demikian, al-Baqâ‘î berani menuduh Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang telah kafir, karena ungkapan-ungkapan tersebut tidak bisa diterima lagi. 10 Selain kritikan, pembelaan terhadap Ibn ‘Arabî juga bermunculan di kalangan ulama Asy‘ariyyah. Salah satu tokoh yang terkenal membela status teologi Ibn ‘Arabî adalah al-Sya‘rânî. Sebenarnya, ia hanya melanjutkan pembelaan yang pernah dilakukan oleh al-Suyûthî. Dalam hal ini, ia menilai bahwa banyak tuduhan yang tidak benar dialamatkan kepada Ibn ‘Arabî. Oleh karena itu, al-Sya‘rânî mengungkapkan kembali status teologi Ibn ‘Arabî dalam kitab al-Yawâqît al-Jawâhir fî ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir . Selain itu, ia juga menginformasikan ternyata al-Baqâ‘î menarik kembali kritikannya terhadap Ibn ‘Arabî. 11 Di samping itu, Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah juga menulis Ia mengungkapkan . d û wuj - dah al h wa karangan khusus yang hanya mengritisi paham bahwa jika benar paham tersebut Wujûd - dah al h Wa n bi î ’il â Q - al â Radd ‘Al - al dalam bersumber dari Ibn ‘Arabî, maka tidak ada perbedaannya dengan ajaran materialis 8 Al-Baqâ‘î, Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî ed. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl, Riyâdh: Ri’âsah Idârah, 1993, h. 118. 9 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 121. 10 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 123. 11 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît al-Jawâhir fi ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1997, v. 1 h. 9. Dahriyyah dan Thabî‘iyyah. 12 Begitu juga mengenai kewalian, Mullâ ‘Alî tidak menuduh langsung Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian. Tetapi, ia lebih cenderung mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî hanya beranggapan bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya. Permasalahan ini dikategorikan Mullâ ‘Alî sebagai masalah yang masih diperselisihkan, sehingga orang yang mengatakannya tidaklah dikenai hukum kafir. 13 Selain itu, walaupun pelbagai tuduhan terhadap Ibn ‘Arabî telah dijawab sebelumnya oleh al-Sya‘rânî, namun al-Syawkânî kembali memberikan kritikan tajam sebagaimana Ibn Taymiyyah. Berbeda dengan Mullâ ‘Alî, al-Syawkâni lebih cenderung memastikan bahwa ajaran “sesat” tersebut berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia karya Ibn t â h û Fut - al ungkapan yang terdapat dalam - menegaskan bahwa ungkapan ‘Arabî merupakan khurafat yang dipenuhi dengan kekufuran. 14 Bahkan, ketika mengomentari ungkapan yang dinukil oleh Ibn ‘Arabî bahwa ‘menyebarkan rahasia ketuhanan adalah kekufuran’, maka al-Syawkânî menekankan justeru Ibn ‘Arabî telah mengafirkan dirinya sendiri. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî telah menyebarkan rahasia ketuhanan. 15 Belakangan ini, Ibrâhîm Hilâl juga mengungkapkan dalam al-Tashawwuf bayna al-Dîn wa al-Falsafah bahwa penisbahan paham taswiyyah penyamaan antara kepada Ibn ‘Arabî adalah suatu wujûd - dah al h wa Allah dengan alam atau n yang menegaska ûd m h Ma Qâdir - al Hal ini berbeda dengan ‘Abd 16 . keganjilan 12 Mullâ ‘Alî al-Qâri, al-Radd ‘Alâ Qâ’ilîn bi Wahdah a- Wujûd, Damaskus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1995, h. 21. 13 Mullâ ‘Alî, al-Radd, h. 21. 14 Al-Syawkânî, al-Shawârim al-Haddâd, Shan‘ah: Dâr al-Hijrah, 1990, h. 41. 15 Al-Syawkânî, al-Shawârim, h. 45. 16 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf bayn al-Dîn wa al-Falsafah, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971 h. 41. bahwa ajaran Ibn ‘Arabî termasuk kategori tasawuf salbî negatif, sehingga ia beranggapan bahwa tasawuf dalam kategori ini di luar nuansa Islami. 17 editor ûd m h asan Ma H n â Rahm - ‘Abd al , l â m Hil î Sebagaimana Ibrâh kumpulan risalah Ibn ‘Arabî juga mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah . d û wuj - dah al h wa dan , d â h itti , l û ul h pembawa ajaran Lebih menarik lagi, ternyata para sufi dan teolog Nusantara tempo dulu tidak menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang menyimpang. Bahkan, al-Rânirî yang memfatwakan sesat Syams al-Dîn al-Sumaterânî, merupakan seorang yang tekun mengikuti ajaran Ibn ‘Arabî. 18 Begitu juga dengan Nafîs al-Banjarî, Yûsuf al-Makasarî, dan ‘Abd al-Shamad al-Palembanî tidak pernah mengritisi paham Ibn ‘Arabî. Namun sebaliknya, ‘Abd al- Shamad mampu menyelaraskan ajaran al-Ghazâlî dengan Ibn ‘Arabî dalam kitab - al m û ’ Ul â y h Mukhtashar I beserta komentar sebagai terjemahan n î lik â S - r al â Siy Dîn . Namun demikian, perdebatan mengenai status teologi Ibn ‘Arabî masih berlanjut sampai saat sekarang. Masing-masing dari kelompok yang mengritisi dan membela mempunyai argumen kuat dalam memberikan penilaian, sehingga tidak mudah menjustifikasi bahwa salah satu dari mereka benar. Ini dikarenakan argumen yang mereka ajukan disertai dengan penukilan data yang akurat. Ini terlepas dari penilaian mereka yang bersifat subjektif atau objektif. Dengan demikian, skripsi ini akan mengungkapkan kembali perdebatan para teolog dalam memberikan penilaian terhadap Ibn ‘Arabî dengan mengangkat tema- tema utama yang menjadi sorotan mereka. Kemudian, penilaian mereka akan 17 ‘Abd al-Qâdir Mahmûd, Muqaddimah al-Falsafah al-Shûfiyyah fî al-Islâm, Kairo: Dâr al- Fikr al-‘Arabî, 1966, h. 7. 18 Azyumardi Azra, Jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara, Jakarta: Kencana, 2004, h. 218. dikomparasikan dengan melakukan telaah terhadap ungkapan-ungkapan teologis Ibn ‘Arabî yang terdapat di dalam karya-karyanya.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah