:D1 O - 7;I=C O - M?j O -+5 T ]7;=2_e[N L
Maka inilah akidah awam ahl al-Islâm, ahl al-taqlîd wa ahl al-nazhr.
156
1. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Awam
Akidah awam merupakan keyakinan dasar yang dianut Ibn ‘Arabî, sehingga ia memberikan persaksian seperti disebutkan sebelumnya. Persaksian tersebut dilakukan
Ibn ‘Arabî karena terinspirasi oleh apa yang dilakukan oleh Nabi Hûd kepada kaumnya yang tidak beriman kepada Allah dan tidak meninggalkan tuhan-tuhan
selain-Nya. Di dalam al-Qurân, Nabi Hûd berkata,
,:m6 n95o :ﺏpqﻥ- 7[m8 0nI 7[m8-pﻥW L
“Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
sekutukan”.
157
Nabi Hûd memberikan persaksian mengenai eksistensi Allah, walaupun beliau mengetahui bahwa mereka mendustakan ajarannya. Persaksian tersebut bertujuan
dan ,
jika mereka beriman mengemukakan argumentasi
ujjah h
- mah al
â iq
untuk penegasan jika mereka tidak beriman agar setiap yang menyaksikannya
menyampaikan persaksian tersebut pada yang lain. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arabî juga terjadi pada para mu’adzdzin; mereka disaksikan oleh semua makhluk yang
mendengar seruan azan. Bahkan syetan pun berpaling ketika mendengarkan azan. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menerapkan analogi prioritas qiyâs awlâ. Ia
mengatakan bahwa jika musuh seperti syetan dan orang kafir mesti tahu persaksian seorang mukmin terhadap keyakinan yang dianutnya, maka tentu para wali dan orang-
orang yang dicintainya lebih utama menyaksikan hal tersebut. Begitu juga terhadap orang lain yang seagama dengannya.
158
156
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.
157
Surat Hûd: 54
.
158
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
Ibn ‘Arabî menegaskan persaksiannya dengan mengatakan,
r RQ- 6PW ;N V.Z123 4
+;Zl5s;T4o7R2.,7[m8- O,NH T63 HW:;=N
N:t D LLL
Wahai saudaraku semoga Allah meridaimu, aku hamba yang lemah, yang bergantung kepada Allah di setiap saat dan kedipan memberikan
persaksian terhadapmu.
159
Persaksian yang disebutkan Ibn ‘Arabî terbagi dua. Pertama, persaksian keimanan kepada Allah dan malaikat-Nya. Pada bagian ini, ia menjelaskan bagaimana
keimanannya terhadap eksistensi Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi ia tidak menjelaskan keimanan kepada malaikat. Adapun persaksian kedua, setelah menjelaskan tentang
mengenai ajaran dat
â syah
Ibn ‘Arabî menyatakan ,
sifat Allah -
eksistensi dan sifat Ia menegaskan keimanannya terhadap risalah yang bersumber
. ammad Saw
h Nabi Mu
dari Nabi Saw, baik yang diketahui ataupun yang tidak diketahui. Ia mengimani perihal ghaib setelah kematian seperti pertanyaan Munkar dan Nakîr, azab kubur,
kebangkitan dan semua perihal ghaib.
160
Ia mengemukakan panjang lebar mengenai persaksian pertama, tetapi hanya menyebutkan pernyataan ringkas pada persaksian
kedua. Ketika menjelaskan keyakinannya mengenai eksistensi Allah, Ibn ‘Arabî
terkesan sangat mirip dengan akidah Sunnî Asya‘riyyah dan Mâturidiyyah. Hal ini terbukti dengan ungkapannya bahwa Allah Maha Esa, Maha Suci dari semua syirik. Ia
menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta sekaligus Pengatur yang tidak disertai selain-Nya.
161
Ibn ‘Arabî tidak keberatan menggunakan konsep wujûd yang pernah dikemukakan al-Fârâbî dan juga mempunyai kesamaan dengan ulama Sunnî. Konsep
tersebut mengemukakan bahwa eksistensi terbagi dua, wâjib al-wujûd dan mumkin al- wujûd
. Wâjib al-wujûd adalah Allah, sedangkan mumkin al-wujûd adalah alam
159
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
160
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
161
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
semesta. Ekistensi Allah berdiri sendiri dengan zat-Nya, sedangkan alam menjadi terwujud karena bergantung kepada eksitensi Allah.
162
Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa Allah mawjûd bi dzâtihi ada dengan zat-Nya sendiri tanpa membutuhkan zat
lain yang membuat-Nya ada. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak disifati dengan wujûd li nafsihi.
163
Adapun mengenai sifat qadîm dan baqâ’, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa tidak ada awal dan akhir terhadap eksistensi Allah. Oleh karena itu, ia menegaskan,
Allah adalah wujûd muthlaq eksistensi yang universal tidak terkait oleh sesuatu pun seperti waktu dan tempat. Dengan argumentasi tersebut, Ibn ‘Arabî menetapkan sifat
Allah qâ’im bi nafsihi berdiri sendiri sebagai ungkapan lain dari qiyâmuhu bi nafsihi
; terminologi yang biasa digunakan mayoritas di kalangan Sunnî.
164
berbeda dari alam dits
â aw
h -
li al mukhâlafatuhu
Dalam menjelaskan semesta, Ibn ‘Arabî menggunakan juga terminologi yang biasa diterapkan dalam
karena ,
ayyiz h
muta jawhar
Ia menyebutkan bahwa Allah bukanlah .
ilmu kalâm jawhar
substansi membutuhkan tempat. Dia bukan ‘iradh accident, karena ‘iradh tidak kekal. Dia bukan jism benda karena jism membutuhkan arah jihhah dan
hadapan tilqâ’.
165
Ibn ‘Arabî menegaskan untuk kedua kalinya bahwa Allah Maha Suci dari segala arah dan penjuru. Namun Allah bisa dilihat dengan hati dan
pandangan mata di akhirat. Dia melakukan istiwâ sebagaimana terdapat dalam al- Qurân sesuai dengan makna yang diinginkan-Nya. Hal ini berarti bahwa istiwâ Allah
Dia Maha Suci dari .
‘Arsy atau ditempati ‘Arsy menempati
l û
ul h
Maha Suci dari ungkapan setelah alam atau sebelum alam.
166
162
‘Alî Abû Rayyân, , al-Falsafah al-Islâmiyyah, Kairo: Dâr al-Qawmiyyah al-Islâmiyyah, 1967, h. 373.
163
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
164
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
165
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
166
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
_ - e H1T9 HI2 V0 9,08:2HI2uC? 8 W L
Apabila Dia berkehendak istiwâ, niscaya ia istiwâ atas ‘Arsy sebagaimana disebutkan dalam al-Qurân, sesuai dengan makna yang
diinginkan-Nya.
167
Ibn ‘Arabî sangat menekankan sifat mukhâlafah ketidaksamaan, sehingga ia menegaskan bahwa tidak ada deskripsi yang mampu dicapai akal mengenai zat Allah.
Dia tidak dibatasi oleh zaman, tidak diliputi oleh tempat. Bahkan ia mengungkapkan kaidah yang disepakati ulama Sunnî sebagaimana berikut.
Z5F , ,0;I2 5HI2 V
L
Dia ada sedangkan tempat dan zaman belum ada, dan Dia senantiasa ada dengan keesaan-Nya.
168
Mengenai ilmu Allah, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa Allah senantiasa Maha Tahu terhadap segala sesuatu. Ilmu-Nya tidak berubah ketika terjadi perubahan objek
yang diketahui. Ia juga menambahkan bahwa ilmu Allah mencakup kulliyyât universal dan juziyyât partikular sebagaimana konsensus ijmâ‘ ahl al-nazhr yang
benar.
169
Ahl al-nazhr dalam konteks ini tentunya adalah ahli kalâm Sunnî. Penegasan ini membuat Ibn ‘Arabî terhindar dari kritikan al-Ghazâlî terhadap para filosof
Peripatetik yang beranggapan bahwa ilmu Allah bersifat partikular.
170
Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa sanggahan Ibn Rusyd tidak berpengaruh pada Ibn ‘Arabî,
walaupan mereka pernah bertemu. Adapun mengenai irâdah atau masyîah, Ibn ‘Arabî menyebutkan sebuah
kaidah yang telah disepakati ulama Sunnî, Mâ syâa kâna, wa mâ lam yasya’ an yakûna lam yakun
apa pun yang Dia kehendaki niscaya terwujûd, dan sedangkan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak terwujud.
171
167
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
168
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
169
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
170
Al-Ghazâlî, Tahâfut al-al-Falâsifah ed. Dr. Sulayman Dunyâ, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1972, h. 306.
171
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
Dalam memahami kekufuran, keimanan, ketaatan, dan kemaksiatan, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa semua dinamika tersebut terwujud sesuai dengan kehendak
Allah yang azali. Azali berarti masa ketika alam belum pernah ada. Dia menciptakan alam tanpa membutuhkan tafakkur dan tadabbur, karena dua hal itu mengindikasikan
ketidaktahuan sebelum Dia menjadi Maha Tahu. Ibn ‘Arabî juga menegaskan bahwa pada hakikatnya tidak ada yang berkehendak di alam semesta selain Allah.
172
Adapun mengenai samâ‘ dan bashar, ia menyebutkan bahwa sifat samâ‘ Allah tidak dihijab oleh kejauhan jarak, karena Dia Maha Dekat. Sebaliknya, walaupun
bersifat Maha Ghaib, sifat bashar Allah tidak terhalang oleh benda.
173
Konsep Ibn ‘Arabî mengenai sifat kalâm sangat menarik, karena ia menyebutkan bahwa kalâm Allah bersifat qadîm azali sebagaimana sifat-Nya yang
lain. Dia berbicara kepada Nabi Mûsâ dengan kalâm qadîm tersebut. Kalâm-Nya disebut dengan Tanzîl al-Qurân, Zabûr, Taurat, dan Injîl tanpa menggunakan huruf,
suara, nagham lantunan, dan bahasa. Hal ini dikarenakan Dialah pencipta huruf, suara, nagham, dan bahasa.
174
v 0ﻥ R?.IZ6
w :Q:;G+5
ﺹ-F OﺏV xF .xﻥF
ﺹd J P LLL
Dia berbicara tanpa menggunakan huruf, suara, lantunan, dan bahasa. Tetapi Dialah Pencipta suara...
175
Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî tidak sepakat dengan kaum mujassimah yang beranggapan bahwa kalâm Allah adalah dengan huruf, suara,
nagham , dan bahasa yang qadîm.
Persaksian pertama di atas memperkuat asumsi bahwa Ibn ‘Arabî sepakat dengan ulama Sunnî dalam menetapkan sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma‘ânî pada Allah
172
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
173
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
174
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
175
Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
Hal ini menyebabkan muncul komentar sebagian .
ammad Saw h
dan risalah Nabi Mu sejarawan Muslim bahwa akidah awam yang dijelaskan Ibn ‘Arabî merupakan akidah
Sunnî; Asy‘ariyyah dan Mâturidiyyah. Apabila dibandingkan dengan kategorisasi al- a akidah yang dijelaskan pada poin ini
mak ,
al h
Ni -
Milal wa al Syahrastânî dalam
termasuk Sifâtiyyah; yakni golongan yang mengakui sifat-sifat Allah.
176
2. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-rusûm