Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13

Sedangkan ayat 13 surat al-Hujurat turun ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah, Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan mengumandangkan azan. Berkatalah beberapa orang “apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah ?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling takwa. 3 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah Dalam riwayat lain ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hidin akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata : “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami ?”. Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka. Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamad yang bersumber dari Abu bakar bin Abi Daud di dalam tafsirnya.

B. Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13

Surat yang tidak lebih dari 18 ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj cara penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan. 4 Surat al-Hujurat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia 3 Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, Semarang : CV Asy-syifa’, 1993, Cet-I, h. 496 4 Sayyid Qutbah, Sayyid Qutbah, tafsir Qur’an, Terj. As’as Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. I, Jilid X, h. 407 secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-golok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama. Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis akan menafsirkannya secara mufradat kosa kata, seperti berikut ini : ﺔ ﺮﺨ ا Mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu mengolok-olokkan.Dhahika bihi dan dhahika minhu menertawakan dia. Adapun isim masdarnya As-sukhriyah dan As- sikhriyah huruf sin didhamahkan atau dikasrah. Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. 5 ا ﻮ م Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan perempuan. Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutif Abuddin Nata, kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu qiyam yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. 6 ﻻو اوﺰ Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Jangan sebagian kamu mencela sebagai yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin aalah seperti satu jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri. اوﺰﺑﺎ ﻻو بﺎ ﻻﺎﺑ Saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai orang lain. 5 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj Semarang: Toha Putra, 1993, h. 220 6 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, Cet. I, h 235 ا ﻻ ﺳ Nama dan Kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya. اﻮ ﺘ ا Jauhilah oleh kalian,perintah ini mengandung makna bersungguh- sungguh untuk menjauhinya. ﺛﻻا Dosa. Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’ala, dengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib. اﻮ Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup oleh orang. ا ﺔ Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia. ذ آ ﺮ و ﻰ ا Dari seorang laki-laki dan perempuan Adam dan Hawa بﻮ ﺸ ا Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang. 7 Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturantertib, disiplin, menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian 7 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, … h. 235 itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya. Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan keharmonisan, al-Qur’an merupakan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Surat al-Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata kehidupan manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur. Salah satu kandungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat berisi perintah untuk melakukan perdamaian ishlah setelah terjadinya pertikaian, serta penjelasan tentang beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian, sehingga umat Muslim diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk mencegah timbulnya pertikaian tersebut. Sebab pertikaian bukan merupakan ajaran Islam, terlebih lagi disebabkan oleh hal yang sederhana, seperti halnya mengolok-ngolok. Berikut penulis akan menjelaskan kandungan makna surat al-Hujurat ayat 11 berdasarkan pendapat para mufassir, adapun uraian tafsir dari ayat tersebut adalah sebagai berikut : Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman adalah mereka yang membenarkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan juga Rasul-Nya. 8 “Kata ﺮﺨ yaskharmemperolok-olokkan ialah menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan , perbuatan atau tingkah laku. 9 Contoh mengolok-ngolok misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. Shukriyah juga berarti menghina dan menganggap rendah orang lain dan hal ini jelas haram. 8 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, tt, Jilid XIII, h. 585 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003, Volume XIII, h. 251 Kata مﻮ qaum merupakan kata yang menunjukan arti jamak dari sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-anak. 10 Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. “Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk al-Qur’an yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu”. 11 Melalui ayat 11 ini, al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan “Hai orang-orang yang beriman.” Dia melarang suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-ngolok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan disisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan disini Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan dan hubungan baik dengan Allah Ta’ala tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta. 12 Larangan mengolok-ngolok orang lain juga ditegaskan dalam sebuah hadits yang berbunyi : ﺪ ﺑ ﷲا دﻮ ﷲا ر و ﷲا ﻰ ﺻ ﻰ ا ﺳ ﺎ ل : ﺔ ا ﺧﺪ ﻻ ﻓ نﺎآ ةرذ ل ﺎ ﺮ آ ﻓ ﺎ ر ل : ﺮ ا نا ﺛ نﻮﻜ نا ﻮ و ﺎ ﺣ ﺑ ﺣ ﺔ لﺎ ؟ : ﷲ ا نا ﺎ ا ا ل و ا ﺮ ﺑ ﺮ ﻜ س ﺎ ا 13 ﺬ ﺮﺘ ا اور ي Dari Abdullah Ibn Masud ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji Dzarrah dari sifat sombong.” Seseorang bertanya: Apakah seseorang itu menyenangi apabila pakaian dan sandalnya bagus? Sesungguhnya Allah 10 Fakhrur Razi, tafsir Fukhrur Razi, Beirut: Dar al-Fikr, tt h. 132 11 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 12 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, Jakarta: Akbar, 2004, Cet-1, h. 387 13 Muhammad Jamil Athtar, Sunan Tirmizi, Beirut: Daril Fikr, 1994, Juz III, h. 402 Indah dan menyukai sesuatu yang indah. Kesombongan itu ialah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia HR. Tirmidzi Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-ngolok itu hukumnya haram karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan permusuhan. ﻰ أ ﻬ اﺮ ﺧ اﻮ ﻮﻜ ن Boleh jadi mereka yang diolok-olok dalam pandangan Allah itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala maka Allah mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compang-camping, atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar berbciara. Karena ia barangkali lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala. 14 Orang yang mengolok-olok orang lain berarti ia telah melakukan dua kesalahan ganda, pertama mengolok-olok itu sendiri dan yang kedua ia menganggap bahwa dirinya lebih sempurna dari orang lain. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang diolok-olok itu bisa jadi kedudukannya lebih mulia dalam pandangan Allah, dibanding yang mengolok-olok. Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tidak bisa dipastikan berdasarkan pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan atau pelanggaran yang tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang memelihara amal-amal lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat tercela dalam hatinya, yang tidak patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat tersebut. Dan barangkali orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat, ternyata Allah mengetahui sifat terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat ampunan karenannya. 15 ﱠ ﻜ نأ ﻰ ءﺎ ءﺎ ﻻو ﺨ ﺮ ﱠ ﻬ ا 14 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, h. 222 15 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi.., h. 223 Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wnaita lainnya, karena barangkali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok dalam pandangan Allah. Ayat tersebut menyebutkan larangan wanita mengolok-olok orang lain. Padahal, wanita sudah tercakup dalam makna kaum. Wanita memang dapat saja masuk dalam pengertian qaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja didalamnya terdapat kata al-mu’minatwanita-wanita. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ﺎء nisa perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. “ini menunjukkan bahwa penghinaan sebagian wanita terhadap sebagian yang lain sudah menjadi bagian moralitas mereka. 16 Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-ngolok itu dilakukan ditengaj orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang sakit hati. 17 Firmannya “Asa an yakunna khairam minhunna, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justeru sangat keliru. Kekliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian. 18 Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan fisik maupun harta yang dimilikinya, akan tetapi allah melihat keikhlasan amal yang dilakukannya. يور ﺘ ا ﺎ ىﺬ ﺮ ﺖ ﺎ ﺔﺸ : ﺖ ﻜﺣ ﷲا ﻰ ﺻ ﻰ ر ﺳ و لﺎ ﻓ : ﻰ ﺮ ﺎ ﻰ أ ر ﺖ ﻜﺣ اﺬآ ﻰ ناو اﺬآو , ﺖ ﺎ ﺖ ﺎ و ةأ ﺮ ا ﺔ ﺻ نا ﷲ ا لﻮﺳ ر ﺎ ﺖ ﻓ ﺎهﺪ ﺑ ﺬﻜه ا ةﺮ ﺎﻬ أ ﻰ , لﺎ ﻓ : ﺖﺣ ﺰ ﺪ ﺑﻜ ﺔ ﺘﺣ ﺰ ﺮ ا ء ﺎ ﺑ ﺖﺣﺰ ﻮ 19 اور ا ى ﺬ ﺮﺘ 16 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, … h. 388 17 Ahmad Maraqhi, Tafsir al-Maraghi.., h. 222 18 M. Quraish Shihab, tafsir al-Misbah, …, h. 252 19 Shalih bin Abdul Aziz, Jamiut Turmuzdi, Riyadh: Darussalam, 1999, h. 185 At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dihadapan Nabi SAW saya menirukan seorang lelaki. Maka beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku meniru seorang lelaki padahal aku meniru seorang lelaki padahal aku sendiri dan begini” Aisyaj berkata, maka yang berkata, “Ya Rasulullah, sesunggunya Shadiyah itu seorang wanita … ‘Aisyah memperagakan dengan tangannya sedemikian rupa yang maksudnya bahwa shafiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul SAW bersabda, “sesungguhnya kamu telah mencampur suatu kata-kata yang sekiranya dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur seluruhnya. HR. Tirmizdi. Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang seseorang berdasarkan rupa ketampanan dan hartamu, akan tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatanmu. ﻜ أ اوﺰ ﻻو Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. Kata او ﺰ talmizu terambil dari kata ﺰ ا al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memakai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata- kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini aalah salah satu bentuk kekurangan dan penganiayaan. 20 Menurut Yusuf al-Qardawi al-lamz berarti al- wakhzu ‘serangan’ dan ath-tha’nu ‘tusukan’ makna yang dimaksud disini adalah celaan. Seakan-akan orang yang mencela orang lain sedang mengarahkan ayunan pedangnya dan tusukan tombak kepadanya. Penafsiran ini tepat sekali, bahkan serangan lidah lebih dahsyat dan lebih menyakitkan. 21 Menurut Ibn Katsir mencela bisa dilakukan dengan perbuatan al-hamz, dan perkataan al-lamz. Baik al-hamz maupun al-lamz dua-duanya dilarang. Mengadu domba adalah termasuk mencela lewat perkataan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Kecelakaanlah bagi setiap pencela dengan perkataan dan perbuatan.” QS Al- Humazah [104]:1. 22 Larangan ini mencela diri-sendirinya hampir sama dengan firman-Nya “Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri” maksudnya janganlah satu sama 20 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ….h. 251 21 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam …., h. 388 22 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Ahim, Beirut: Darul Fikr Juz IV, h. 212 ﺎ ا ل ﺎ ﺎ ﻬ ﷲ ا ﻰ ر ﺮ ﺸﺑ ﺑ ن : ل ﻮﺳ ر لﺎ ﺳو ﷲ ا ﻰ ﺻ ﷲ ا : ﺆ ا ﻰﻓ آ ﻬ ﺎ و هداﻮ و ﻬ ﺣ ا ﺮ ﺎﺳ ﻰ اﺪ ﻮ ﻰﻜﺘ اذا ﺪ ا ﺪ ا ﺮ ﺮﻬ ﺎﺑ ﻰ او 23 ىرﺎﺨ ا اور Dari Nu’man bin Basyir ra., berkata Nabi SAW bersabda, Anda akan melihat kaum mukmin adalah kasih sayang dan cinta mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarkan kepada lain- lain anggota sehingga badanya terasa panas dan tidak dapat tidur. HR. Bukhari Ayat di atas dengan tegas melarang melakukan mengejek diri sendiri. Tetapi maksudnya adalah orang lain. Karena ejekan yang dilakukan oleh seseorang, maka ejekan tersebut akan kembali kepada pelakunya yang mengejek. Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang lain menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek diri sendiri. و ﻻ ﺎﺑ ﺰ ﺎﺑأو ﻻ ﱠ Dan janganlah kamu panggl-memanggil dengan gelar-gelar buruk Kata او ﺰﺑﺎ terampil dari kata ﺬ ا an-Nabz yakni buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang 23 Mustafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, Beirut: Yamamah, 1999, h. 665 Menurut Wahbah Zuhaili memberi panggilan yang buruk ini maksudnya memanggil saudaranya yang muslim dengan panggilan wahai orang fasik, orang munafiq. Bisa juga memanggil saudaranya yang sudah masuk Islam dengan panggilan wahai Yahudi atau Nasrani. Atau memanggil seseornag: wahai anjing, keledai dan babi. 25 Tindakan seperti itu jelas dilarang dalam Islam. Karena, diantara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu menyinggung dna mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia. 26 Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lain- lain, adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat dengan taubatan nashuha, haruslah dipanggil dengan panggilan yang menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya. Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Mislanya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, bahkan al-‘Araj si pincang untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy sI rabun bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah pedang Allah. 27 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai menyakitkan perasaannya. ﺑ ﺳﻻا ﻻاﺪ ﺑ ق ﻮ ا Seburuk-buruk panggilan ialah kefasihan sesudah iman kata ﺳ ﻻ ا al- ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …. H. 252 25 Wahbah Zyhaili, Tafsir Munir…, h. 584 26 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah …, h. 252 Wabah Zuhaili dalam tafsir munir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan قﻮ ا memberi gelar buruk seperti yang dilakukan oleh orang jahiliyah setelah masuk Islam. Maksudnya sangat tercela memberikan sebutan fasik setelah yang bersangkutan beriman dengan sebenarnya. 29 Menurut pendapat lain yang ini mengandung makna seburuk-buruk pengenalantanda kepada seseorang yang tidak masuk Islam adalah menyebutnya dengan sebutan fasiq atau Yahudi. 30 Dari yat ini dapatdipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan pamggilan yang menyakitkan. و ﱠ ﺘ ﺎﻓ و ﻚ ه ا ﱠﻈ ﺎ نﻮ Siapa saja yang tidak yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok- olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, “maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap- Nya. Dan pasti akan menerima konsekuesinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat. 31 28 M. Quraish Shihab, Fafsir al-Misbah…, h. 253 29 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 30 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi…, h. 133 31 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maragi…, h. 225 Ayat ini mengandung larangan bagi siapa saja yang mengolok-olok orang lain, mengejek diri sendiri dan memberi gelar yang buruk bahkan menjadikannya menjadi suatu kebiasaan, dengan memandangnya sebagai orang yang zalim. 32 Padahal kezaliman itu merupakan kata lain dari syirik. Demikianlah ayat di atas mencanangkan prinsip-prinsip kesantunan diri bagi masyarakat yang unggul dan mulia tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat : 1. Mengolok-olok orang lain 2. Mengejek diri kamu sendiri 3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Berikut rincian ayat 12 surat al-Hujurat, Allah swt berfirman : ⌧ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka kecurigaan, Kata اﻮ ﺘ ا Ijtanibu terambil dari kata Janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf ت ta’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang berarti kata Ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk. 33 Kata اﺮ آ banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki 32 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi..., h. 133 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 Yang dimaksud dengan dhann dugaan adalah batas pertengahan antara yakin dan ragu, dhann dugaan bisa bersifat kuat mendekati benar dan juga bersifat lemah. 35 Allah swt melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesame manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang Baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kesalahanfasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu. 36 Orang-orang mukmin haruslah menjauhi buruk sangka terhadap orang- orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberikan tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah. Namun demikian praduga buruk itu hanya diharamkan terhadap orang yang disaksikan sebagai orang yang menutup aibnya, saleh dan terkenal amanatnya. “Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan dosa, seperti orang yang masuk-masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka terhadapnya.” 37 Wabbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan dugaan itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajibdiperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah, maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 35 Mahmud Hajazi, Tafsir Wadhih, Beirut, Dar al-Jil, tt, Jilid III, h. 507 36 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 27. 37 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 254. sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujianmusibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarangharam, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan yang berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. 38 Ada juga dhan yang diperbolehkan misalnya rincian hukum keagamaan. Pada umumnya atau dengan kata lain banyak dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhannydugaan, dan tentu saja apa yang berdasar kepada dugaan hasilnya pun adalah dugaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa buruk sangka merupakan perbuatan yang akan membawa kita krisis, seperti berikut ini : ﻰﺘ ﻻ تﺎ ز ﻻ ث ﺛ : ﻈ ا ءﻮﺳو ﺪ او ةﺮ أ ﻰ اﺮ ا اور 39 Tiga macam membawa krisis bagi umatku; memandang kesialan, dengki dan buruk sangka. HR at-Thabrani Dugaan demikian berburuk sangka tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, oleh karena itu seorang Muslim harus berusaha menghindari sifat buruk sangka tersebut. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang laki-laki bertanya, “Amalan apakah yang dapat menghilangkan dari buruk sangka ya Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengki maka mohon ampunlah kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka maka janganlah memeriksa benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakanla saja rencanamu.” ﻈ ا ﺑ نإ ﺛإ Sesungguhnya prasangka buruk itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang 38 Wabah Zuhaili, Tafsir Munir…., h. 578. 39 Abbas Ahmad Shiqr dan Ahmad Abdul Jawad, Jamiul Ahadits.., Juz.IV, h. 157 terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking husnudhdhan. Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, yakni dugaan yang tidak berdasar, adapun apabila ada bukti yang kuat yang mendukung dugaan seseorang maka hal itu tidak mengapa. “Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut. 40 Memang islam tidak melarang adanya bisikan yang hanya terlintas dalam benak seseorang, aslakan bisikan tadi tidak dilanjutkan dengan dugaan buruk. اﻮ ﻻو Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain. Dalam ayat ini Allah SWT melarang dari memata-matai terhadap orang lain. Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi yang disebut tajassus. اﻮ tajassasu terambil dari kata , dari sini mata-mata dinamai سﻮﺳﺎ jasus. Imam Al-ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Dengan demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. 41 Allah melarang hamba-Nya mengikuti dugaan buruk dan janganlah seseorang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan keyakinan tentang aib kekurangan manusia. Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang. Tajassus dapat menggantikan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga, tajassus demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ini dapat 40 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255. 41 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255. dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih dilarang. Siapa saja yang menutup aib orang lain, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup. Dalam kesempatan yang lain tajassus merupakan kegiatan mengiringi dugaan dan terhadap pula sebagai kegiatan awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan seseorang. Al- Qur’an memberantas praktik yang hina ini dari segi akhlak guna membersihkan kalbu dan kecenderungan buruk itu, yang hendak mengungkap aib dan keburukan tersebut. Sedangkan tahassus adalah mencari berita tentang orang lain dan apabila hal tersebut diketahui oleh yang bersangkutan maka ia tidak senang. Tahassus biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berarti baik sekaligus juga yang jelek. Seperti firman Allah SWT ketika menceritakan tentang Ya’qub as yaitu, Hai anak-anakku, pergilah kamu maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Tidak adanya kepercayaan kepada orang lain, akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan batin berupa prasangka buruk dan mendorong melakukan tindakan lahir berupa tajassus ‘memata-matai,’ “Islam membangun masyarakatnya atas dasar kesucian lahir dan batin sekaligus. Oleh karena itu,larangan tajassus ini dibarengkan dengan su’suzhzhan. Dan, sering terjadi bahwa su’uzhzhan menyebabkan tajassus.” 42 ﺎ ﺑ ﻜ ﺑ ﺘ ﻻو Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian orang lain . Kata ﺘ yaghtab terambil dari kata ghibah yang berasal dari kata ghaib. 43 Menurut ijma ulama ghibah adalah termasuk dosa besar kabair dan haram hukumnya, tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini. Menurut al-Hasan ghibah itu ada tiga macam yang semuanya tercantum dalam kitab Allah SWT, yaitu ghibah, al-ihkfu dan al-Buhtan. Ghibah maksudnya ialah berkata-kata mengenai saudaramu tentang sesuatu yang ada pada dia. Al-Ikhfu 42 Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam….., h. 390. 43 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 256. adalah berkata-kata mengenai saudaramu tentang apa-apa yang sampai kepadamu mengenai dia, adapun al-Buhton, kamu berkata-kata mengenai saudaramu yang tidak terdapat pada dirinya. Ayat ini menjadi isyarat wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasululah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Abu Hurairah ra berkata, لﺎ ﺳو ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮﺳر نأ ﷲا ر ةﺮ ﺮه ﻰﺑأ : نورﺪ ا ﺎ ؟ﺔ ﺎ اﻮ : أ ﻮﺳرو ﷲا . لﺎ : ﺎ ﺧأ ﻓ ﺖ أﺮﻓأ ﺮﻜ ﺎ ﺑ كﺎﺧأ كﺮآذ لﺎ ؟لاﻮ ا : ﺘﻬﺑ ﺪ ﻓ لﻮ ﺎ ﻓ ﻜ ناو ﺘ ﺘ ﺪ ﻓ لﺮ ﺎ ﻓ نﺎآ نأ اور يﺬ ﺮﺘ ا Abu Hurairah r.a berkata, Rsulullah bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Jawab sahabat, “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Jawab Nabi,”Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan apa yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terhadap apa yang kami katakan, maka kamu telah berbohong. HR Turmudzi Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada dihadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghbah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain. 44 Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik bahwa rasulullah bersabda,”Tatkala dimikrajkan, aku meliahat suatu kaum yang berkuku tembaga. Mereka mencakari wajah dan dadanya. Aku bertanya, ‘Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, mereka adalah orang yang suka makan daging 44 Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam….., h. 394. manusia dan menodai kehormatannya.” 45 Orang yang menggunjing berarti ia telah menodai kehormatan orang lain. أ آﺄ نأ آﺪﺣأ أ ﺎﺘ ﺧ Apakah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya setelah ia meninggal dunia. Orang yang berghibah berarti ia telah merobek-robek kehormatan saudaranya, sehingga diumpamakan seperti memakan bangkai daging saudaranya. “Namun perlu dipahami bahwa ghibah yang dilarang adalah terhadap orang mukmin, bukan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dari redaksi yang digunakannya seperti memakan bangkai saudara akhi. Sedangkan orang kafir bukan saudara orang mukmin, oleh karena itu ghibah trhadap orang kafir dibolehkan.” 46 Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ghibah merupakan perbuatan yang tercela yang harus dihindari oleh setiap umat muslim khususnya. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ghibah itu haram hukumnya bahkan lebih keras daripada zina. Ajaran islam menegaskan bahwa seorang hamba harus menjauhi perbuatan tercela ini. Adapun yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah adalah : 1. Hendak mencairkan amarah. Misalnya disebabkan karena ada seseorang yang membuatnya marah maka, untuk mencairkan amarah orang tersebut menggunjingnya. 2. Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dank arena hendak membantu mereka. 3. Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekan orang lain. Misalnya si fulan orangnya bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan saya tidak seperti itu. 4. Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan maksud untuk membuat orang disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit orang yang mencari penghidupannya dengan cara ini. 47 ﻮ ﺘهﺮﻜﻓ 45 Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 421. 46 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrus Razi….., h. 134. 47 Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997, Cet. Maka kamu telah jijik kepadanya merupakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh srtiap orang. Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan pertama pada gay pertanyaan yang dinamai istifham taqriri yakni yang bukan tujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya membenarkan. Kedua ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi. Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang diantara kamu.” Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia tetapi daging saudara sendiri. Kelima, pada ayat ini adalah bahwa saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela diri. 48 Sebagai akhlak tercela, ghibah haruslah diobati. Adapun cara mengobati penyakit ghibah ialah dengan menyadarkan orang yang menggibah bahwa perbuatan itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan kepada dirinya. Siapapun yang menyadari hal ini, tentu lidahnya tidak akan berani melakukan ghibah. Jika terlintas untuk mengghibah, maka hendaklah dia intropeksi diri dengan melihat aib diri sendiri lalu berusaha untuk meperbaikinya. Orang yang melakukan ghibah semestinya dia merasa malu sementara dirinya masih banyak memiliki kekurangan di sana sini. أو ﷲا ااﻮ “Maka janganlah kamu suka menggunjing, dan bertakwalah kamu kepada Allah tentang apa yang Dia perintahkan dan Dia larang terhadapmu. Waspadalah dan takutlah kamu kepada Allah.” 49 ﺣر باﻮ ﷲا نإ Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyanyang. Kata باﻮﺘ ا atawwah serinhkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum mencerminkan secara penuh kandungan kata attawwah, walaupun tidak dapat menilainya keliru. Imam Ghazali mengartikan at-Tawwaah sebagai Dia Allah yang kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hambaNya. Dengan jalan menampakkan 48 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., volume XIII, h. 257. 49 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 232. Terkait dengan masalah ghibahmenggunjing, jumhur ulama berpendapat, seseorang yang menggunjing saudaranya wajib bertaubat kepada Allah dengan cara berhenti dari perbuatan tersebut, serta berazam untuk tidak mengulanginya lagi. Apakah diisyaratkan bagi orang yang menggunjing meminta maaf kepada yang digunjingnya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, menurut sebagian pendapat wajib bagi orang yang menggunjing meminta kehalalan maaf dari orang yang digunjingnya tadi, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain tidak diisyaratkan untuk kehalalan kepada orang yang digunjingnya, karena hal ini bisa menyakitkan perasaan orang tersebut. “Bila demikian halnya, maka cara yang mesti ditempuh adalah memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingnya itu di tempat dimana ia telah menggunjing orang tersebut. Dan, agar dia menghindari gunjingan orang lain terhadap orang itu sesuai dengan kemampuannya. Umpatan dibayar dengan pujian.” 51 Sesunggunhnya Allah Maha Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali kepada-Nya, yakni melaksanakan taubatan nasuhan, dan inilah taubat yang sebenarnya. Dengan demikian ayat 12 di atas mengandung kesimpulan bahwa: 1. Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergunjing. 2. Allah SWT memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. 3. Allah SWT memerintahkan supaya tetap bertakwa karena Dia adalah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat 13 surat al-Hujurat Allah SWT berfirman: ﻰ أو ﺮآذ ﻜ ﺧ نإ سﺎ ا ﺎﻬ ﺄ 50 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 259. 51 Muhammad Nasab Rifa’I, Kemudahan dari Allah…., h. 436. Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari Adam dan Hawa. “Maka kenapa kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersudara dalam nasib dan sangat mengherankan bila saling mencela sesame saudaramu atau saling mengejek atau panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” 52 “Karena semua manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu Adam dan Hawa. Berdasarkan ayat ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan setiap manusia adalah sama. Oleh karena itu, maka tidak ada tempat untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri.” 53 Dengan demikian ayat ini menjelaskan larangan mengolok-olok, mencela diri sendiri, memanggil dengan gelar yang buruk, suudhdhan, tajassus, dan menggunjing. Karena pada dasarnya manusia berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan hawa. ﺎ و ﺎﺑﻮ ﻜ و Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Kata بﻮ syu’ub adalah bentuk jamak dari kata . Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ‘imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompk yang dinamai bathn. Di bawah bath nada sekian ifakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yeng terkecil. 54 Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta’arafu terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna timbale balik, dengan demikian berarti saling mengenal.” 55 Upaya saling mengenal ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masing- masing dan saling menolong di antara sesame kerabat. Dengan demikian, dengan 52 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 236. 53 Muhammad bin Ali As Syaukani, Fathul Qadir. Beirut: Darul Ma’rifah,tt, h. 83. 54 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 55 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. Upaya saling mengenal dapt dilakukan dengan proses bersilahturahmi. Akan tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat orang enggan berinteraksi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan tersebut. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu Sunnatullah dan tidak dapat dijadikan alasan untuk saling mengenal. ﻜ أ ﷲا ﺪ ﻜ ﺮآأ نأ Sesunggunhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. “kata ﻜ ﺮآا akramakum terambil dari kata مﺮآ karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai obyeknya. Manusia yang baik adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesame makhluk.” 56 Firman inna akramakum inda Allah atqaamakum mengandung dua makna yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seeorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal disbanding yang kedua. 57 Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat dikatakan takwa adalah manifestasi dari ‘amal’ sedangkan ilmu adalah kemuliaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang ‘alim adalah lebih dibenci syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu. Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang yang alim” maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu, dan tidak bias dipisahkan. Orang ‘alim tetapi tidak bertakwa adalah seperti pohon yang tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama dibanding 56 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 262. 57 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrus Razi….., h. 139. yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang ‘alim yang tidak bertakwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka. Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dank arena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiaan secara terus menerus. “Kemuliaan abadi dan langgeng iu ada di sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada- Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat- sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang palin bertakwa.” 58 Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Ya.itu, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. “Orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia menurut pandangan Allah. “Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk menetapkan hukum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam menimbang. Adapun nilaipanji yang diperebutkan semua orang agar dapat bernaung di bawahnya yaitu panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT. Inilah panji yang dikerok islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah. 59 58 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 263 59 Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 422. Semua ini merupakan kejahiliahan uang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semua merupakan kejahiliahan yang tidak berkaitan dengan islam. Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya agar system islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji yaitu panji Allah. Bukan panji Negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal islam. Dalam konteks ini, sewaktu haji wada perpisahan, nabi SAW berpesan antara lain: “ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas non arab, tidak juga non arab atas orang arab atau orang berkulit hitam atas yang berkulit merah, yakni putih tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia- mulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. 60 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durra binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulullah, manusia manakah yang paling baik? Rasulullah menjawab, Manusia yang paling baik adalah yang paling rajin membaca Al-Qur’an, yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling sering memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silahturahmi. Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT. ﺮ ﺧ ﷲا نإ Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal, maksudnya Maha mengetahui apa yang dikerjakan dan Maha Mengenalteliti terhadap semua 60 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan menyiksa kepada yang dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan merendahkan kepada yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Teliti dalam semua urusan tersebut. Sifat ‘Alim dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu yang dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui buakn pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu. 61 Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan bahwa: 1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki Adam dan seorang perempuan Hawa dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong. 2. Kemuliaan manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur dengan ketakwaannya kepada Allah SWT 61 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 263.

BAB III TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13

A. Asbabun Nuzul

Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 11-13: ⌦ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ 25 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka kecurigaan, Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Mengenal.Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha” QS. Al-Hujurat 49 : 11-13 Dalam suatu riwayat, ayat 11 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai larangan memberi gelar kepada orang lain, dengan nama- nama gelar di zaman jahiliah yang sangat banyak. Ketika Nabi SAW memanggil seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada beliau bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat yang melarang memanggil orang dewasa yang tidak disukainya. 1 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 12 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan “Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan 1 HQ Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 1995, Cet. XVII, h. 473.