Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ibadah zakat

(1)

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan ibadah kepada Allah dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam wujud mengkhususkan sejumlah harta atau nilainya dari milik perorangan atau badan hukum untuk diberikan kepada yang berhak dengan syarat-syarat tertentu, untuk mensucikan dan mempertumbuhkan harta serta jiwa pribadi para wajib zakat, meningkatkan pembangunan.

Dalam zakat ini terkandung nilai-nilai pendidikan didalamnya yaitu berupa pendidikan rohani, pendidikan jasmani serta pendidikan sosial. Pada pendidikan rohani zakat meliputi manifestasi syukur atas nikmat allah, pensucian jiwa, pengendalian diri, membina muslim yang bertakwa, pendidikan jasmani berupa yang berhubungan dengan kesehatan mental dan pada pendidikan sosial berupa zakat dan tanggung jawab sosial, mendidik berinfak dan memberi, mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang antara sesama manusia, dan mewujudkan keadilan sosial.

Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam ibadah zakat, tanpa disadari dengan zakat juga dapat mempersatujkan jurang pemisah antara kelompok kaya dengan golongan miskin sehingga tercipta kerukunan antar keduanya yang menciptakan masyarakat yang adil, tentram dan aman.


(2)

Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan nikmat, rahmat dn hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dengan kudrat dan iradat-Nya penulis dapay menyelesaikan karya karya ilmiah atau skripsi yang sederhana ini dengan baik sebagai prasyrat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam. Skripsi ini berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam ibadah zakat.

Sholawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada teladan umat manusia pilihan, Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dan risalah yang dibawanya yakni menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang hakiki.

Menyadari bahwa dalam menghantarkan penyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dukungan serta bantuan baik moril maupun materil kepada penulis, sudah menjadi kepatutan sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, penulis sampaikan kepada semua pihak atau orang-orang yang berjasa yaitu kepada :

1. Drs. Dede Rosyada, MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

2. Drs. Abdul Fatah Wibisono, MA, Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Drs. Safiuddin Shiddiq, M.Ag Sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Drs. Safiuddin Shiddiq, M.Ag dan Drs. Rusdy, sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, saran dan kritik untuk membimbing penulis hingga terselesainya tugas penulisan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan


(3)

dukungan moril dan materil serta doa restuntya kepada penulis.

6. Pimpinan beserta staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis menyediakan berbagai literatur yang snagat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

7. Rekan-rekan kuliah angkatan 2005 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam, khususnya kelas B.

8. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir, penulis berdoa semoga Allah SWT membalas jasa dan amal baik mereka. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Amin

Jakarta, Desember 2009

Penulis


(4)

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Metodologi Penelitian ... 5

1. Sumber Data... 5

2. Pengelolaan Data... 5

3. Analisa Data ... 5

4. Variabel Penelitian ... 6

5. Teknik Pengumpulan Data... 6

BAB II PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 7

B. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam ... 10

1. Dasar Yuridis ... 10

2. Dasar Religius ... 13

3. Dasar Sosial Psikologi ... 17

C. Tujuan Pendidikan Agama Islam ... 18

BAB III IBADAH ZAKAT A. Pengertian dan Sejarah Zakat Mal ... 21

B. Dasar Legalitas Zakat Mal ... 29

C. Macam-macam Zakat Mal ... 38

D. Mustahiq Zakat... 59

E. Tujuann dan Hikmah Zakat... 62


(5)

C. Pendidikan Sosial ... 78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89

DAFTAR PUSTAKA... 91


(6)

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syrat

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Oleh Nur Alfiah NIM. 205011000309

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M


(7)

nomor induk mahasiswa 205011000309 Jurusan Pendidikan Agama Islam. Telah melalui bimbinga dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan Fakultas.

Jakarta, Desember 2009

Yang Mengesahkan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Safiuddin Siddiq, MA Drs. Rusydi Jamil

NIP. 150 299 477 NIP. 196212311995031005


(8)

Saya yang tertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nur Alfiah NIM : 205011000309

Program Studi : Pendidikan Agama Islam Jurusan : Pendidikan Agama Islam Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain,maka saya bersedia menerima sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2009 Penulis

Nur Alfiah


(9)

i Fak/Jur :FITK/PAI

Judul Skripsi :”Aspek-Aspek Pendidikan Islam dalam al-Qur’an (Kajian Tafsir Surat al-Hujurat ayat 11-13)”

Sebagai kitab suci yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia yang ajaran-ajarannya di sampaikan secara variatif dan dikemas sedemikian rupa. Ada yang berupa perintah, larangan, dan nasihat, yang mengandung hikmah dan memuat pesan-pesan yang dapat mengantarkan manusia menuju keimanan kepada Allah SWT.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam apa saja yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13.

Surat al-Hujurat ayat 11-13 membahas tentang menciptakan suasana yang harmonis antara lingkungan masyarakat serta menghindari terjadinya permusuhan. Sehingga akan tercipta pribadi yang santun sesuai dengan tuntunan al-Qur’an.

Untuk memperoleh data yang refresentatif dalam pembahasan skripsi ini, digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisa buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dan penulisan skripsi ini adalah kualitatif.

Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan metode content analysis (analisis isi), yaitu, dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan serta menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungannya.

Aspek-aspek pendidikan yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat11-13 meliputi: aspek pendidikan akhlak, antara lain larangan merendahkan orang lain, larangan berburuk sangka, larangan menggunjing, aspek pendidikan taubat dan pendidikan takwa. Adapun aplikasinya dalam pendidikan Islam: larangan merendahkan orang lain dapat dilakukan dengan metode ceramah, kisah, mauidzah, dan keteladanan. Larangan berburuk sangka dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, dan pembiasaan. Larangan menggunjing dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, kisah, dan tarhib. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat. Pendidikan takwa dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasihat, keteladanan, dan metode kisah.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

“Pendidikan merupakan upaya manusia yang diarahkan kepada manusia lain dengan harapan agar mereka ini, berkat pendidikan (pengajaran) itu kelak menjadi manusia yang saleh, yang berbuat sebagaimana yang seharusnya diperbuat dan menjauhi apa yang tidak patut dilakukannya”.1

Manusia yang baru lahir dari perut ibunya masih sangat lemah, tidak berdaya dan tidak mengetahui apa-apa. Untuk menjadi hamba Allah yang selalu menyembah-Nya dengan tulus dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi, anak tersebut membutuhkan perawatan, bimbingan dan pengembangan segenap potensinya kepada tujuan yang benar. Ia harus dikembangkan segala

1

Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1998), Cet. I, h. 11.


(11)

potensinya ke arah yang positif melaui suatu upaya yang disebut sebagai al-Tarbiyah, al-Ta’dib, al-Ta’lim, atau yang kita kenal dengan “pendidikan”.2

“Manusia sebagai makhluk paedagogik membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Dengan potensi tersebut manusia mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah berupa keterampilan yang dapat berkembang,

sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia”.3

Dalam al-Qur’an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tidak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur’an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat tidak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari. Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam Qur’an dan al-Sunnah berlaku secara universal untuk semua waktu,tempat dan tidak bisa berubah karena memang tidak ada yang mampu merubahnya.

Al-Qur’an sebagai ajaran suci umat Islam, didalamnya berisi petunjuk menuju arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya. Meninggalkan nilai-nilai yang ada didalamnya berarti menanti datangnya masa kehancuran. Sebaiknya kembali kepada al-Qur’an berarti mendambakan ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an berisi kedamaian.

Ketika umat Islam menjauhi al-Qur’an atau sekedar menjadikan Qur’an hanya sebagai bacaan keagamaan ,maka sudah pasti al-Qur’an akan kehilangan relevansinya terhadap realitas-realitas alam semesta. Kenyataannya orang-orang di luar Islam lah yang giat mengkaji realitas alam semesta sehingga mereka dengan

2

Syahidin, Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 1.

3

Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan, 1999), Cet. III, h. 1.


(12)

mudah dapat mengungguli bangsa-bangsa lain, padahal umat Islam lah yang seharusnya memegang semangat al-Qur’an.4

Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur’an. Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai tersebut mudah ditemukan di lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi, yang menunjukkan penyimpangan terhadap nilai yang terdapat didalamnya. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman al-Qur’an, akan semakin memperparah kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh karena itu, untuk memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan ajaran Islam, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan kembali kepada ajaran yang terdapat didalamnya.

Selama ini, para orang tua dan pemikir pendidikan amat perihatin dengan perkembangan pendidikan. Siapakah yang salah jika ada peserta didik berbuat tidak terpuji? Berbagai tindakan kekerasan, kriminal, prostitusi sampai korupsi sudah sampai pada tingkat kebobrokan mental, siapakah yang salah?

Dan berbagai kasus tersebut para ahli dan pemikir pendidikan mengkajinya terus menerus. Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa hal itu disebabkan pendidikan Islam (akhlak) tidak diberikan kepada peserta didik. Pendapat itu ada benarnya juga karena sesuai dengan hadis Nabi SAW:

ةﺮ ﺮه ﺑا

ﺑ ا

ﻰﱠﺻ

ٰ ا

و

:

ا

ﺛ ﺑ

ﺘ ﻷ

ﺮﺎﻜ

ﺧ ﻻا

اﻮﺮ

ا

د ﺣ

5

4

Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1999), Cet. IV, h. 21.

5 Im a m Ahm a d b in Ha m b a l, Musna d Ahma d b in Ha mb a l, (Be irut: Da r a


(13)

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, Ia bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR.Ahmad)

Seperti yang dikemukakan oleh Quraish Shihab: “manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah Adab Al-Din dan Adab al-Dunya”.6

Al-Quran merupakan dasar ideal dari pendidikan Islam, isinya sangat luas dan dalam, yang semuanya itu mengarah dan meningkatkan kehidupan manusia ke tingkat yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, semua ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an pada akhirnya mengarahkan supaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berbagai aktivitas yang berguna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya.

Dengan memakai dasar al-Qur’an, maka pendidikan Islam harus mengarah kepada terciptanya manusia yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat, dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.

Untuk membina kepribadian yang sejalan dengan fitrah manusia, yaitu “fitrah tauhid, akidah iman kepada Allah dan atas dasar kesucian dan

tidak ternoda”7 sebagaimana ditujukan oleh al-Qur-an dan al-Sunnah,

diperlukan proses pendidikan Islam yang terarah dan bertujuan yaitu mengarahkan manusia kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan

6

M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1994), Cet. XIX, h. 173.

7

Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1991), Cet. II, h. 148.


(14)

utuh sebagai umat manusia individual dan sosial serta hamba Allah SWT yang mengabdikan diri kepada-Nya.

Di dalam al-Quran terdapat perilaku yang terpuji yang hendaknya diaplikasikan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari.Karena akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan,keamanan dan ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan tiang berdirinya umat,sebagaimana salat sebagai tiang agama Islam.Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya.

Melihat fenomena yang terjadi, nampaknya di zaman sekarang ini aspek- aspek pendidikan Islam khususnya akhlak mulia adalah hal yang mahal dan sulit diperoleh, terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek pendidikan Islam maupun nilai akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an serta besarnya pengaruh lingkungan. Manusia hanya mengikuti dorongan nafsu dan amarah saja untuk mengejar kedudukan dan harta benda dengan caranya sendiri, sehingga ia lupa akan tugasnya sebagai hamba Allah SWT.Tidak dapat dipungkiri juga bahwa kemerosotan akhlak terjadi akibat adanya dampak negatif dari kemajuan di bidang tekhnologi yang tidak diimbangi dengan keimanan dan telah menggiring manusia kepada sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai al-Qur’an. Namun hal ini tidak menafikan bahwa manfaat dari kemajuan tekhnologi itu jauh lebih besar daripada mudharatnya.

Masalah di atas sudah barang tentu memerlukan solusi yang diharapkan mengantisipasi perilaku yang mulai dilanda krisis moral itu. Tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan manusia kepada terjaminnya moral generasi bangsa yang dapat menjadi tumpuan dan harapan bangsa serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketentraman dan kebahagiaan di masyarakat.

Mengingat pentingnya pendidikan Islam bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan


(15)

nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan Islam berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa Arab sebelum Islam datang, maka akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak dalam hal akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai atau aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an.Begitu juga halnya fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat sekarang ini, terutama di kalangan elit politik, banyak terjadi hal-hal yang menyimpang dari norma agama,seperti saling menghina, saling menuduh, dan merendahkan satu sama lain. Di antara mereka ada yang rela menghalalkan segala cara demi mempertahankan harga diri, partai, maupun organisasinya tanpa menghiraukan benar dan salah menurut agama. Padahal setiap hari Jum’at khatib selalu mengingatkan kaum muslimin untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Apakah kaum muslim sudah lupa, tidak memahami dan tidak mengamalkan ajaran al-Qur’an lagi? Padahal di dalam al-Qur’an jelas ditegaskan tentang semua larangan tersebut.

Penulis melihat bahwa Q.S. al-Hujurat:11-13 memiliki kandungan (makna) tentang pendidikan Islam yang sangat dalam. Di antara kandungan yang terdapat didalamnya adalah pendidikan akhlak antara lain larangan merendahkan orang lain, larangan ghibah (menggunjing), larangan suudzdzan, pendidikan taubat, dan pendidikan takwa kepada Allah SWT. Ayat tersebut sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman bagi umat muslim dalam rangka pembelajaran, pembentukan serta pembinaan pendidikan Islam. Penulis tertarik untuk menggali, membahas dan mendalami lebih jauh tentang ayat tersebut sebagai judul skripsi, meskipun sudah ada yang menulis judul yang sama pada skripsi terdahulu. Akan tetapi penulis berbeda dengan penulis terdahulu, di


(16)

skripsi ini akan dibahas lebih lengkap dan terperinci tentang kandungan ayat demi ayat. Penulis melihat pada skripsi terdahulu pembahasan kandungan ayatnya dikaji secara global dan garis besarnya saja. Atas pertimbangan di atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkannya

dalam skripsi dengan judul “ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM

DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR QS. AL-HUJURAT:11-13)”.

B. IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menyajikan permasalahan yang muncul sehingga dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS.

Al-Hujurat: 11-13.

b. Aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS.

Al-Hujurat: 11-13.

c. Azas pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat: 11-13.

2. Pembatasan Masalah

Melihat permasalahan yang terdapat pada identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti pada:

a. Aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS.

Al-Hujurat: 11-13.

b. Aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS.


(17)

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan gambaran di atas,maka persoalan inti yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

a. Aspek-aspek pendidikan Islam apa saja yang terkandung di dalam surat al-Hujurat:11-13?

b. Bagaimana aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung

dalam surat al-Hujurat ayat 11-13?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung

dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 11-13.

b. Untuk mengetahui aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang

terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13. 2. Manfaat Penelitian :

a. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi

penulis.

b. Dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan, khususnya

dalam dunia pendidikan Islam.

c. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh peneliti berikutnya.


(18)

D. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pure library

research (penelitian kepustakaan murni), yakni mengambil data, pendapat para ahli yang telah diformulasikan ke dalam buku-buku tafsir dan pendidikan. Sumber primer dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 11-13; Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Munir, Tafsir Fakhrur Razi, Tafsir Wadhih, Tafsir Fathu; Qadir dan Tasir al-Azhar. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.

Dalam menganalisis data yang telah terkumpul,penulis menggunakan metode content analysis (analisis isi), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memafarkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya.

Sementara tekhnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.


(19)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Bahasa

“Dalam Islam ada beberapa istilah yang digunakan untuk pendidikan, yaitu yang pertama, kata tarbiyah ( ﺔ ﺑﺮ ) yang berasal dari kata ( ﺔ ﺑﺮ ﺎ ﺑﺮ ﺑﺮ ﺑر) yang berarti mendidik, yang kedua kata

ta’lim ( ) yang berasal dari kata ( ) yang berarti

mendidik,mengajarkan, dan yang ketiga kata ta’dib ( دﺄ) yang berasal dari kata ( ﺎ دﺄ بدﺆ بدا ) yang berarti mengajarkan”.1 Irsyad Djuwaeli mengutip pendapat Fuad Abd. Al-Baqy dalam bukunya: Al-Mu’jam Al-Mufahras li al-Fadz Al-Qur’an Al-Karim: “di dalam Al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang sempurna dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata tersebut pada mulanya digunakan dalam arti Insya al-syai’ halan fa halan ila al-had

1

Louis Ma’Louf, Al-Lughoh Wa Al-Lughoh Wa Al-a’lam, (Beirut : Dar Al-Masyiq, 1986), Cet. XVI, h. 526.


(20)

al-tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai batas yang sempurna”.2

Istilah tarbiyah,menurut para pendukungnya berakar pada tiga kata: “Pertama,kata raba yarbu ( ﻮﺑﺮ ﺎﺑر ) yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba ( ﻮﺑﺮ ﺑر ) yang berarti tumbuh

dan berkembang. Ketiga, kata rabba yarubbu ( بﺮ بر ) yang

berarti memperbaiki,menguasai,memimpin, menjaga dan memelihara sesuatu kepada kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur”.3 Kata rabb digunakan untuk menjelaskan berbagai hal,antara lain menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, misalnya

rabbul ‘alamin ( ﺎ ا بر) yang berarti pemelihara, pendidik, penguasa dan penjaga alam. Kata rabb selain digunakan untuk arti sebagaimana di atas, digunakan pula untuk arti yang objeknya lebih diperinci lagi, baik benda-benda yang bersifat fisik maupun non fisik. Dengan demikian pendidikan mengandung arti pemeliharaan terhadap seluruh makhluk Tuhan.4

Abuddin Nata juga menjelaskan: “kata ta’lim yang berakar pada kata ‘allama digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang”.5 “Kata ta’lim dengan berbagai kata yang serumpun dengannya di dalam al-Qur’an disebut sebanyak 840 kali dan digunakan untuk arti bermacam-macam, seperti digunakan Tuhan untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan kepada umat manusia, dan digunakan untuk menerangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa atas segala sesuatu”.6

2

Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 3.

3

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 4

4

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 6

5

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 7

6

Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 4


(21)

Adapun mengenai kata ta’dib yang berasal dari kata addaba tidak dijumpai dalam al-Qur’an.Kata tersebut hanya dijumpai dalam hadis yang berbunyi:

لﺎ

ﷲا

ر

دﻮ

ﺑا

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﻰﱠﺻ

ٰ ا

ﺳو

ﱠدا

ﺑر

ﺎﻓ

د

)

يرﺎﺨ ا

اور

(

7

Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR.Bukhari).

Meskipun kata ta’dib tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi kata ini menurut Naqib al-Attas yang dikutip oleh Irsyad Djuwaeli justru memiliki fungsi dan arti yang lebih tepat bagi pendidikan, karena kata tersebut lebih

khusus ditekankan kepada pembinaan manusia. Sedangkan kata tarbiyah

mengandung pengertian lebih luas mencakup pemeliharaan seluruh

makhluk Tuhan, termasuk hewan.8

Berdasarkan pengertian ketiga kata di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa tarbiyah merupakan upaya sadar akan pemeliharaan,

pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai fitrahnya dan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya, sementara kata ta’lim mengesankan proses pemberian ilmu pengetahuan penyadaran akan fitrah dan tugas-tugas kemanusiaannya yang harus diwujudkan dalam

kehidupan nyata. Sedangkan kata ta’dib mengesankan proses pembinaan

kepribadian dan sikap moral serta etika dalam kehidupan.

Dengan demikian, ketiga kata tersebut pada dasarnya mengacu kepada pemeliharaan dan perlindungan keseluruhan potensi diri manusia.

7

Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti, al-Jami’ As-Shagir, (Dar Al-Ihya Al-Kutub Al-Arobiyah), Jilid. I, h. 14.

8

Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 4.


(22)

2. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Istilah

Pengertian pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu

paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.

Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata didik. Bila kata ini diberi awalan me- menjadi mendidik yang berarti “memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.9

Banyak para ahli berbeda versi dalam memberikan pengertian pendidikan, namun pada dasarnya mempunyai maksud yang sama.

Tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata berpendapat bahwa:

Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin, pendidikan adalah kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.10

Sedangkan Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa:

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik

9

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “didik”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : balai Pustaka, 1996), Edisi Kedua, Cet. VII, h. 232

10

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 9.


(23)

menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusan ini Ahmad D. Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; (1) usaha (kegiatan) yang bersifat membimbing, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar, (2) ada pendidik, (3) ada yang di didik (4) adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan (5) dalam usaha tersebut tentu ada alat-alat yang digunakan.11

Dan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.12

Dari beberapa rumusan pendidikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa, yang berarti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik. Dan apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat kelak mereka hidup.

Kemudian tentang rumusan tentang pendidikan Islam, para ahli pun berbeda pendapat dalam merumuskannya. Misalnya Muhammad Atiyah memberikan pengertian pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa “Tarbiyah Islamiyah adalah upaya mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya, baik dengan lisan atau tulisan”.13

Sementara menurut Prof. Dr. Omar al-Toumy, pendidikan Islam diartikan sebagai “Usaha mengubah tingkah laku individu dalam

11

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif,1986), h. 131

12

UUSPN, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), Cet. III, h. 2

13


(24)

kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dengan alam sekitarnya melalui proses pendidikan. Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami”.14

Syahminan Zaini dalam bukunya Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam memaparkan bahwa “Pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran-ajaran Islam, agar

terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia”.15

Dan Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.16

Dari beberapa defenisi di atas tentang pendidikan Islam terkandung hal-hal sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam itu mempunyai dasar dan tujuan yang jelas,sesuai

dengan ajaran Islam.

2. Pendidikan menurut Islam tidak terbatas sampai dewasa,tetapi

sampai terwujud kehidupan yang sempurna,makmur dan bahagia.

3. Hakikat pendidikan Islam adalah merupakan usaha mengarahkan dan

membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah manusia kea rah titik maksimal perkembangan dan pertumbuhannya.

14

Omar Muhammad Al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 399

15

Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta : kalam Mulia, 1986), Cet. I, h. 4

16

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif,1986), h. 131


(25)

B. Dasar Pendidikan Islam

“Dasar (Arab: asas, Inggris: poundation, Perancis: fondemen, Latin:

fundementum ) secara bahasa berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan)”.17

“Dasar adalah landasan unuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu”.18 Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam dan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad (hasil pikiran manusia). Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan disebut ilmu pendidikan Islam. Tanpa dasar ini, tidak akan ada ilmu pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya dapat dirinci sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT untuk menjadi pedoman bagi seluruh umat, dengan segala petunjuk-Nya yang lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam.

Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

17

Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi, (Beirut : Dar Al-Fikr), h. 211.

18

HQ Shaleh, dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2000), h. 12.


(26)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu Yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah dengan dan Tuhan mullah Yang Paling Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4), Dia mengajarkan kpada manusia apa yang tidak diketahuinya (5), (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

2. Sunnah

Dasar yang kedua setelah Al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah, amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah al-Qur’an karena Allah SWT menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya, sebagai firman-Nya:

اﺬ ﻻا

\

׃

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu ( yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab: 21).

Dalam suatu hadis Nabi SAW bersabda:

ا

ﻰ ﺻ

ﷲا

لﻮﺳر

لﺎ

لﺎ

ﷲا

ر

ةﺮ ﺮه

ﻰﺑأ

ﺳو

:

ﺖآﺮ

ﻜ ﻓ

ﺮ ا

ا

نا

ﺘﻜ

ا ﻬﺑ

اﺪﺑا

باﺘآ

و

ﺔ ﺳ

ﻮﺳر

)

اور

ﻚ ا

(

19

Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal (perkara), kamu sekalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya(HR.Imam Malik)

19

Abu Abdillah bin Anas (Imam Malik), al- Muwaththa, (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), h. 785.


(27)

As-Sunah ialah perkataan ( لاﻮ ا ), perbuatan ( لﺎ ﻓا ) ataupun

pengakuan ( ﺮ ﺮ ) Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan

ialah kejadian atau perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang diketahui oleh Nabi Muhammad SAW dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu terjadi. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an yang juga berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dengan segala aspeknya.

Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan, bahwa dalam lapangan pendidikan, Sunnah mempunyai dua faedah:

a. Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagai terdapat di dalam

Al-Qur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di dalamnya.

b. Menggariskan metode-metode pendidikan yang dapat

dipraktekkan.20 3. Ijtihad

Ijtihad ialah para fuqaha yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum dipertegaskan lagi hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di sesuatu tempat pada

20

Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. II, h. 32.


(28)

kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hal-hal ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.

Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah sebagian besar bersifat pokok-pokok dan prinsipnya saja termasuk dalam aspek pendidikan. Sejak diturunkannya ajaran Islam sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.

C. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Islam

1. Fungsi Pendidikan Islam

Menurut Ahmad Tafsir,"pendidikan adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan, dan orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal

dan hati.”21 Hal ini memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam

berfungsi mengembangkan semua potensi pada peserta didik sehingga dapat mencapai kemampuan maksimal. Sehingga ia mampu memahami dirinya, orang lain dan lingkungan disekitarnya.

Selain itu, dengan merujuk kepada konsep rububiyah Allah SWT

terhadap manusia, maka pendidikan Islam berfungsi untuk mempersiapkan manusia agar mampu melaksanakan tugas dan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan baik.

2. Tujuan Pendidikan Islam

21

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 26.


(29)

Setiap manusia mempunyai tujuan: tujuan pendidikan dengan tujuan hidup manusia terdapat keterkaitan. Karena, pada dasarnya pendidikan bertujuan memelihara kehidupan manusia dan isi tujuan pendidikan Islam merupakan penjabaran dari tujuan hidup manusia di muka bumi ini. Maka pada hakikatnya tujuan dari pendidikan Islam itu adalah realisasi dari cita-cita ajaran itu sendiri, yang membawa misi kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat bagi umat Islam.

Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Zainuddin dalam buku Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, memandang dan membagi tujuan pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu:

a. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berpikir,

menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.

b. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak

mulia dan berkepribadian yang kuat.

c. Aspek ke-Tuhanan, yang menghantarkan manusia beragama agar

dapat mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.22

Dalam hal ini, Abuddin Nata mencoba memberikan ciri-ciri tujuan pendidikan Islam. Antara lain adalah:

a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini

dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak-Nya.

b. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya

dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah SWt sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi

kekhalifahannya tidak disalahgunakan.

d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia

agar memilki keterampilan, ilmu serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.

22

Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), Cet. I, h. 48


(30)

e. Mengarahkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.23

Berdasarkan hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam dalah mengarahkan manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, mengembangkan aspek keilmuan aspek kerohanian dan juga aspek ke-Tuhanan serta mengarahkan kepada dua kebahagiaan di dunia dan akhirat.

D. Metode Pendidikan Islam

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, metode diartikan dengan “cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai suatu maksud”.24 Adapun beberapa metode pendidikan Islam sebagai berikut:

1. Metode Keteladanan

Yang dimaksud dengan metode keteladanan yaitu “suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik dalam ucapan maupun perbuatan”.25

Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW dan dianggap paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil. Abdullah Ulwan misalnya, dalam kutipan Hery Noer Ali dikatakan bahwa, “pendidikan barangkali akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya”.26

23

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53

24

WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), Cet. VII, h. 250

25

Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 155

26

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 178


(31)

Hal ini disebabkan karena “secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal”.27

2. Metode Pembiasaan

“Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya).”28

Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melaksanakannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan, sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya.

3. Metode Memberi Nasihat

Hery Noer Ali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah “penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat”.29

Dalam penggunaan metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Diantaranya dengan

27

Ramayulis, Metode Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001), Cet. III, h. 127

28Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 184.

29Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 191.


(32)

menggunakan kisah-kisah Qur’ani, baik kisah-kisah Nabawi maupun umat terdahulu yang banyak terdapat pelajaran yang dapat dipetik.

4. Metode Motivasi dan Intimidasi

Metode motivasi dan intimidasi ini dalam bahasa Arab disebut dengan uslub al-targhib wa al-tarhib atau metode targhib dan tarhib.

Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai yang kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, dan kebahagiaan yang dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya.

Tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti, menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamnya sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT.30

“Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang dalam psikologis belajar yang disebut sebagai law of happiness atau prinsip yang

mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar”.31 Dan metode

intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.

5. Metode Persuasi

Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekuatan akal. Penggunaan metode persuasi didasarkan atas

30

Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 121

31

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 197


(33)

pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk mengguakan akalnya dalam membedakan antara yang benar dan salah serta antara yang baik dan buruk.

Penggunaan metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka terhindar dari meniru yang tidak dilandaskan pertimbangan rasional dan pengetahuan.

“Selain metode-metode di atas masih terdapat metode-metode lainnya antara lain metode Amsal, metode kisah Qur’ani, metode Ibrah dan

Mauizah, metode Tajribi (latihan pengalaman) dan metode Hiwar”.32

32

Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 61


(34)

BAB III

TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13 A. Asbabun Nuzul

Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 11-13:


(35)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Mengenal.Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

lagi Maha” ( QS. Al-Hujurat (49) : 11-13)

Dalam suatu riwayat, ayat 11 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai larangan memberi gelar kepada orang lain, dengan nama-nama gelar di zaman jahiliah yang sangat banyak. Ketika Nabi SAW memanggil seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada beliau bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat yang melarang memanggil orang dewasa yang tidak disukainya.1

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 12 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang mengumpat menceritakan keaiban orang lain.2

1

HQ Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbut Diponegoro, 1995), Cet.XVII, h. 473

2

HQ Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbut Diponegoro, 1995), Cet.XVII, h. 474


(36)

Sedangkan ayat 13 surat al-Hujurat turun ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah, Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan mengumandangkan azan. Berkatalah beberapa orang “apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah ?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling takwa.3 (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah)

Dalam riwayat lain ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hidin akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata : “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami ?”.

Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamad yang bersumber dari Abu bakar bin Abi Daud di dalam tafsirnya.

B. Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13

Surat yang tidak lebih dari 18 ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan.4

Surat al-Hujurat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh

seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia

3

Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’, 1993), Cet-I, h. 496

4

Sayyid Qutbah, Sayyid Qutbah, tafsir Qur’an, Terj. As’as Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. I, Jilid X, h. 407


(37)

secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-golok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama.

Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis akan menafsirkannya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini :

ﺔ ﺮﺨ ا

Mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-olokkan).Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya sukhriyah dan As-sikhriyah (huruf sin didhamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk.5

ا

م

Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan perempuan. Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutif Abuddin Nata, kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu qiyam yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu.6

ﻻو

اوﺰ

Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Jangan sebagian kamu mencela sebagai yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin aalah seperti satu jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.

اوﺰﺑﺎ ﻻو

بﺎ ﻻﺎﺑ

Saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai orang lain.

5

Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 220

6

Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. I, h 235


(38)

ا

Nama dan Kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya.

اﻮ ﺘ ا

Jauhilah oleh kalian,perintah ini mengandung makna bersungguh-sungguh untuk menjauhinya.

ﺛﻻا

Dosa. Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’ala, dengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib.

اﻮ

Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup oleh orang.

ا

Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.

ذ

آ

و

ﻰ ا

Dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)

بﻮ ﺸ ا

Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang.7

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan/tertib, disiplin, menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian

7


(39)

itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.

Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan keharmonisan, al-Qur’an merupakan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Surat al-Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata kehidupan manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur. Salah satu kandungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat berisi perintah untuk melakukan perdamaian (ishlah) setelah terjadinya pertikaian, serta penjelasan tentang beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian, sehingga umat Muslim diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk mencegah timbulnya pertikaian tersebut. Sebab pertikaian bukan merupakan ajaran Islam, terlebih lagi disebabkan oleh hal yang sederhana, seperti halnya mengolok-ngolok. Berikut penulis akan menjelaskan kandungan makna surat al-Hujurat ayat 11 berdasarkan pendapat para mufassir, adapun uraian tafsir dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman adalah mereka yang membenarkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan

juga Rasul-Nya.8 “Kata (ﺮﺨ ) yaskhar/memperolok-olokkan ialah menyebut

kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan , perbuatan atau tingkah laku.9 Contoh mengolok-ngolok misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. Shukriyah juga berarti menghina dan menganggap rendah orang lain dan hal ini jelas haram.

8

Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIII, h. 585

9

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Volume XIII, h. 251


(40)

Kata ( مﻮ ) qaum merupakan (kata) yang menunjukan arti jamak dari sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-anak.10

Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa

menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita.

“Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk al-Qur’an yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok

pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu”.11

Melalui ayat 11 ini, al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan

kesayangan “Hai orang-orang yang beriman.” Dia melarang suatu kaum

mengolok-ngolok kaum yang lain.

Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-ngolok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan disisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan disini Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan dan hubungan baik dengan Allah Ta’ala tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta.12

Larangan mengolok-ngolok orang lain juga ditegaskan dalam sebuah hadits yang berbunyi :

ﷲا

دﻮ

ﷲا

ر

و

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﻰ ا

ل

" :

ا

ﺧﺪ

نﺎآ

ةرذ

ل

ﺮ آ

"

ر

ل

:

ﺮ ا

نا

نﻮﻜ

نا

و

ﺎ ﺣ

لﺎ

؟

" :

ا

نا

ﺎ ا

ا

ل

و

ا

ﺮ ﺑ

ﺮ ﻜ

س

ﺎ ا

"

13

)

ﺮﺘ ا

اور

ي

(

Dari Abdullah Ibn Masud ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji Dzarrah dari sifat sombong.” Seseorang bertanya: Apakah seseorang itu menyenangi apabila pakaian dan sandalnya bagus? Sesungguhnya Allah

10

Fakhrur Razi, tafsir Fukhrur Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) h. 132

11

Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418

12

Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, Jakarta: Akbar, 2004), Cet-1, h. 387

13


(41)

Indah dan menyukai sesuatu yang indah. Kesombongan itu ialah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia (HR. Tirmidzi) Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-ngolok itu hukumnya haram karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan permusuhan.

أ

اﺮ ﺧ

اﻮ

ﻮﻜ

ن

Boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala maka Allah mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compang-camping, atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar berbciara. Karena ia barangkali lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala.14

Orang yang mengolok-olok orang lain berarti ia telah melakukan dua kesalahan ganda, pertama mengolok-olok itu sendiri dan yang kedua ia menganggap bahwa dirinya lebih sempurna dari orang lain. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang diolok-olok itu bisa jadi kedudukannya lebih mulia dalam pandangan Allah, dibanding yang mengolok-olok.

Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tidak bisa dipastikan berdasarkan pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan atau pelanggaran yang tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang memelihara amal-amal lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat tercela dalam hatinya, yang tidak patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat tersebut. Dan barangkali orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat, ternyata Allah mengetahui sifat terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat

ampunan karenannya.15

ﱠ ﻜ

نأ

ءﺎ

ءﺎ

ﻻو

ﱠ ﻬ

ا

14

Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, h. 222

15


(42)

Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wnaita lainnya, karena barangkali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok (dalam pandangan Allah).

Ayat tersebut menyebutkan larangan wanita mengolok-olok orang lain. Padahal, wanita sudah tercakup dalam makna kaum. Wanita memang dapat saja masuk dalam pengertian qaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja didalamnya terdapat kata al-mu’minat/wanita-wanita. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata (

ﺎء

) nisa /perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. “ini menunjukkan bahwa penghinaan sebagian wanita terhadap sebagian yang lain sudah menjadi bagian moralitas mereka.16

Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-ngolok itu dilakukan ditengaj orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang sakit hati.17 Firmannya “Asa an yakunna khairam minhunna, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justeru sangat keliru. Kekliruan itu mengantar mereka menghina dan

melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian.18

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan fisik maupun harta yang dimilikinya, akan tetapi allah melihat keikhlasan amal yang dilakukannya.

يور

ﺘ ا

ىﺬ

ﺖ ﺎ

ﺔﺸ

:

ﺖ ﻜﺣ

ﷲا

ﻰ ﺻ

ر

و

لﺎ ﻓ

:

"

ﻰ ﺮ

ﻰ أ

ر

ﺖ ﻜﺣ

اﺬآ

ناو

اﺬآو

,

ﺎ و

ةأ

ا

ﺔ ﺻ

نا

ا

لﻮﺳ

ر

ﺖ ﻓ

ﺎهﺪ ﺑ

ﺬﻜه

ا

ةﺮ

ﺎﻬ أ

,

لﺎ ﻓ

:

ﺖﺣ

ﺑﻜ

ﺘﺣ

ﺮ ا

ء

ﺎ ﺑ

ﺖﺣﺰ

19

)

اور

ا

ى

ﺮﺘ

(

16

Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, … h. 388

17

Ahmad Maraqhi, Tafsir al-Maraghi.., h. 222

18

M. Quraish Shihab, tafsir al-Misbah, …, h. 252

19


(43)

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dihadapan Nabi SAW saya menirukan seorang lelaki. Maka beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku meniru seorang lelaki padahal aku meniru seorang lelaki padahal aku sendiri dan begini/” Aisyaj berkata, maka yang berkata, “Ya Rasulullah, sesunggunya Shadiyah itu seorang wanita … ‘Aisyah memperagakan dengan tangannya sedemikian rupa yang maksudnya bahwa shafiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul SAW bersabda, “sesungguhnya kamu telah mencampur suatu kata-kata yang sekiranya dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur seluruhnya. (HR. Tirmizdi).

Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang seseorang berdasarkan rupa (ketampanan) dan hartamu, akan tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatanmu.

ﻜ أ

اوﺰ ﻻو

Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. Kata (

او

) talmizu

terambil dari kata (

ﺰ ا

) al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memakai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini aalah salah satu bentuk kekurangan dan penganiayaan.20 Menurut Yusuf al-Qardawi al-lamz berarti al-wakhzu ‘serangan’ dan ath-tha’nu ‘tusukan’ makna yang dimaksud disini adalah celaan. Seakan-akan orang yang mencela orang lain sedang mengarahkan ayunan pedangnya dan tusukan tombak kepadanya. Penafsiran ini tepat sekali, bahkan

serangan lidah lebih dahsyat dan lebih menyakitkan.21 Menurut Ibn Katsir

mencela bisa dilakukan dengan perbuatan (al-hamz), dan perkataan (al-lamz).

Baik al-hamz maupun al-lamz dua-duanya dilarang. Mengadu domba adalah

termasuk mencela lewat perkataan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

“Kecelakaanlah bagi setiap pencela dengan perkataan dan perbuatan.” (QS Al-Humazah [104]:1).22

Larangan ini (mencela diri-sendirinya) hampir sama dengan firman-Nya “Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri” maksudnya janganlah satu sama

20

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ….h. 251

21

Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam …., h. 388

22


(44)

ﺎ ا

ل

ﺎ ﻬ

ا

ر

ﺮ ﺸﺑ

ن

:

ل

ﻮﺳ

ر

لﺎ

ﺳو

ا

ﻰ ﺻ

ا

:

ﺆ ا

ﻰﻓ

آ

ﺎ و

هداﻮ و

ﻬ ﺣ

ا

ﺎﺳ

ﻰ اﺪ

ﻰﻜﺘ

اذا

ﺪ ا

ﺪ ا

ﺮﻬ

ﺎﺑ

ﻰ او

23

)

ىرﺎﺨ ا

اور

(

Dari Nu’man bin Basyir ra., berkata Nabi SAW bersabda, Anda akan melihat kaum mukmin adalah kasih sayang dan cinta mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarkan kepada lain-lain anggota sehingga badanya terasa panas dan tidak dapat tidur. (HR. Bukhari)

Ayat di atas dengan tegas melarang melakukan mengejek diri sendiri. Tetapi maksudnya adalah orang lain. Karena ejekan yang dilakukan oleh seseorang, maka ejekan tersebut akan kembali kepada pelakunya (yang mengejek). Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang lain menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek diri sendiri.

و

ﺎﺑ

ﺎﺑأو

Dan janganlah kamu panggl-memanggil dengan gelar-gelar buruk

Kata (

او

ﺰﺑﺎ

) terampil dari kata (

ا

) an-Nabz yakni buruk. At-tanabuz

adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang

mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan

sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang

23


(45)

Menurut Wahbah Zuhaili memberi panggilan yang buruk ini maksudnya memanggil saudaranya yang muslim dengan panggilan wahai orang fasik, orang munafiq. Bisa juga memanggil saudaranya yang sudah masuk Islam dengan panggilan wahai Yahudi atau Nasrani. Atau memanggil seseornag: wahai anjing, keledai dan babi.25 Tindakan seperti itu jelas dilarang dalam Islam. Karena, diantara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu

menyinggung dna mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia.26

Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lain-lain, adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat dengan taubatan nashuha, haruslah dipanggil dengan panggilan yang menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya.

Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Mislanya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, bahkan al-‘Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy (sI rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).27

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai menyakitkan perasaannya.

ﺳﻻا

ﻻاﺪ ﺑ

ق

ﻮ ا

Seburuk-buruk panggilan ialah kefasihan sesudah iman kata

(

ا

) al-ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan.

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …. H. 252

25

Wahbah Zyhaili, Tafsir Munir…, h. 584

26

Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418

27


(46)

Wabah Zuhaili dalam tafsir munir mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan

(

قﻮ

ا

) memberi gelar buruk seperti yang dilakukan oleh orang

jahiliyah setelah masuk Islam. Maksudnya sangat tercela memberikan sebutan fasik setelah yang bersangkutan beriman dengan sebenarnya.29 Menurut pendapat lain yang ini mengandung makna seburuk-buruk pengenalan/tanda kepada seseorang yang tidak masuk Islam adalah menyebutnya dengan sebutan fasiq atau

Yahudi.30

Dari yat ini dapatdipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan pamggilan yang menyakitkan.

و

ﺎﻓ

و

ه

ا

ﱠﻈ

نﻮ

Siapa saja yang tidak yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, “maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. Dan pasti akan menerima konsekuesinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat.31

28

M. Quraish Shihab, Fafsir al-Misbah…, h. 253

29

Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584

30

Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi…, h. 133

31


(47)

Ayat ini mengandung larangan bagi siapa saja yang mengolok-olok orang lain, mengejek diri sendiri dan memberi gelar yang buruk bahkan menjadikannya

menjadi suatu kebiasaan, dengan memandangnya sebagai orang yang zalim.32

Padahal kezaliman itu merupakan kata lain dari syirik. Demikianlah ayat di atas mencanangkan prinsip-prinsip kesantunan diri bagi masyarakat yang unggul dan mulia tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat :

1. Mengolok-olok orang lain

2. Mengejek diri kamu sendiri

3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk.

Berikut rincian ayat 12 surat al-Hujurat, Allah swt berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),

Kata (

اﻮ ﺘ ا

) Ijtanibu terambil dari kata ( ) Janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini

kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf (

ت

) ta’ pada kata tersebut

berfungsi penekanan yang berarti kata Ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah.

Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.33

Kata

اﺮ آ

banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau

diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki

32

Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi..., h. 133

33


(48)

Yang dimaksud dengan dhann (dugaan) adalah batas pertengahan antara yakin dan ragu, dhann (dugaan) bisa bersifat kuat (mendekati benar) dan juga bersifat lemah.35

Allah swt melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesame manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang Baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kesalahan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu.36

Orang-orang mukmin haruslah menjauhi buruk sangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberikan tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah.

Namun demikian praduga buruk itu hanya diharamkan terhadap orang yang disaksikan sebagai orang yang menutup aibnya, saleh dan terkenal amanatnya. “Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan dosa, seperti orang yang masuk-masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka terhadapnya.”37

Wabbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu

terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya

wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah, maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih

34

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254

35

Mahmud Hajazi, Tafsir Wadhih, (Beirut, Dar al-Jil, tt), Jilid III, h. 507

36

Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 27.

37


(49)

sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan

untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang

dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada

Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan berbaik sangka kepada

saudaranya yang muslim, dan yang berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. 38

Ada juga dhan yang diperbolehkan misalnya rincian hukum keagamaan.

Pada umumnya atau dengan kata lain banyak dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny/dugaan, dan tentu saja apa yang berdasar kepada dugaan hasilnya pun adalah dugaan.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa buruk sangka merupakan perbuatan yang akan membawa kita krisis, seperti berikut ini :

ﻰﺘ ﻻ

تﺎ ز

ث ﺛ

:

ﻈ ا

ءﻮﺳو

ﺪ او

ةﺮ أ

)

ﻰ اﺮ ا

اور

(

39

Tiga macam membawa krisis bagi umatku; memandang kesialan, dengki dan buruk sangka.(HR at-Thabrani)

Dugaan demikian berburuk sangka tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, oleh karena itu seorang Muslim harus berusaha menghindari sifat buruk sangka tersebut. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang laki-laki bertanya, “Amalan apakah yang dapat menghilangkan dari buruk sangka ya Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengki maka mohon ampunlah kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka maka janganlah memeriksa benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakanla saja rencanamu.”

ﻈ ا

نإ

ﺛإ

Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang

38

Wabah Zuhaili, Tafsir Munir…., h. 578.

39


(1)

jiwa mereka. Sehingga wujud dari taubat dengan beramal saleh dapat dilaksanakan dalam kehidupan.

5. Pendidikan takwa yaitu dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, juga mendidik manusia untuk saling menghormati dan menghargai orang lain dari kelebihan dan kekurangan, karena tinggi rendahnya derajat seseorang diukur dari ketakwaannya.

Adapun aplikasi aspek-aspek tersebut dalam pendidikan Islam sebagai berikut:

1. Larangan menghina dan merendahkan orang lain dapat disampaikan dengan metode ceramah,kisah,ibrah,mauidzah dan keteladanan. 2. Larangan berburuk sangka dapat disampaikan dengan metode

keteladanan,nasihat dan pembiasaan.

3. Larangan menggunjing dapat dilakukan dengan metode keteladanan,nasihat,kisah dan tarhib

4. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat (ceramah).

5. Pendidikan takwa dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasihat, keteladanan dan metode kisah.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan metode-metode lain sebagai penerapannya. Karena setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam menyampaikan materi kepada peserta didik hendaknya menggunakan beberapa metode, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dalam rangka menambah wawasan penulis dan memberi manfaat bagi pembaca dari kandungan QS. al-Hujurat ayat 11-13 antara lain:


(2)

79

1. Disadari dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, para pendidik agama Islam masih lebih banyak berorientasi kepada sisi pengajaran (kognitif) demi tercapainya dan terselesakannya kurikulum, sedangkan dari segi afektif dan psikomotorik masih terabaikan. Maka seharusnyalah sebagai pendidik untuk kembali memperhatikan dan menumbuhkan kembali landasan paedagogiek dengan tekad, semangat, dan tentunya dengan kerja keras guna tercapainya ketiga tujuan tersebut.

2. Seorang pendidik, khususnya orang tua sebagai pendidik pertama dalam keluarga haruslah mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan perhatian, serta menanamkan aspek-aspek agama Islam yang akan membentengi mereka dari perbuatan-perbuatan tercela dan sangat dilarang dalam syari’at Islam. Peran orang tua sangat penting sekali dalam pembentukan akhlak seseorang, karena sebagian besar pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah itu jauh lebih banyak ketimbang pendidikan formal di sekolah yang hanya beberapa jam saja.

Tentunya peranan orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga, serta pendidik pada umumnya berkewajiban menanamkan nilai-nilai pendidikan agama yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah, sebagai upaya untuk membentuk kepribadian muslim yang baik sesuai dengan yang diharapkan.


(3)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Angket Siswa


(4)

80

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid.

II, 1991.

Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj, Jakarta: Pustaka al- Kautsar, Cet. I, 1997.

Aly, Hery, Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1999.

Amin, Rusli, M, Pencerahan Spritual, Jakarta: al-Mawardi Prima, Cet. I, 2002. Amini, Ibrahim, Agar Tidak Salah Mendidik Anak, terj, Jakarta: al-Huda, Cet. I, 2006.

Ardani, Moh, Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadah, Jakarta: Karya Mulia, Cet. I, 2001.

Aththar, M. Jamil, Sunan Tirmidzi, Bairut: Dar Al-Fikr, Juz. III, 1994.

Bigha, Dhaib, Mustafa, Mukhtashar Shahih Bukhari, Beirut: Yamamah, 1999. Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1999. Djuwaeli, Irsyad, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama

Mandiri, Cet. I, 1998.

Ghazali, Muhammad, Berdialog dengan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. IV, 1999.

Hude, Darwis, dkk, Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-II, 2002.

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, Beirut: Dar al-Fikri, Juz. IV, 2000.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Cet. I, 1999.

Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj, Bandung: Marja, Cet. VI, 2006. Imam Malik, al-Muwaththa, Beirut: Dar al-Fikri, 1994.

Imam Muslim, Shahih Muslim, Riyadh: Darussalam, Cet. I, 1998.

Jalal, Abdul Fatah, Azas-Azas Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Cet. I, 1998.


(5)

Ma’lauf, Louis, Al-Muhid fi Al-Lughoh wa al-A’lam, Beirut: Dar Al-Masyriq, Cet. XVI, 1986.

Maraghi, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, terj, Semarang: Toha Putra, 1993

Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.

Muhammad Al-Taumi, Oman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Mustofa, Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci al-Qur’an, Semarang: CV. As-Syifa’, Cet. I, 1993.

Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. II, 1996.

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1999.

_____, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada, Cet. I, 2002. Noor, Syamsuddin, Rahasia Do’a-do’a dalam al-Qur’an, Jakarta:Pustaka

al-Mawardi, Cet. I, 2006.

Poerdarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet.

VII, 1984.

Qardawi, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, terj, Solo: Intermedia, Cet. IV, 2007. Qutbh, Sayyid, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, terj, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2004.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1994.

________, Metode Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. III, 2001.

Razi, Fakhrur, Tafsir Fakhrur Razi, Beirut: Dar al-Fikri, Jilid XIV, 1985. Saefuddaulah, M, dkk, Akhlak Ijtimaiyah, Jakarta: PT: Pamator, Cet. I, 1998. Shaleh, HQ, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000. Shalih bin Abdul Azis, Jamiut Turmudzi, Riyadh: Darussalam, Cet. I, 1999.

Shihab, Quraish, Muhammad, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.

XIX, 1994.


(6)

82

Shiqr, Ahmad, Jamiul Ahadits, Beirut: Darul Fikr, Juz. IV, 1994.

Syahidin, Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, Jakarta: CV. Mizaka Galiza, Cet. I, 1999.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1999.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, Cet. VII, 1996.

Toumy, Omar, Moh, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. I, 1979.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 1999.

Zaini, Syahminan, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Dasar Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1986.

Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 1991.