Nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-hajj ayat 41

(1)

i

NIM : 106011000044

Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam

Judul : Nilai-nilai Pendidikan Ibadah yang Terkandung dalam Surat al- Hajj ayat 41

Skripsi ini mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan ibadah. Pembahasan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.

Pendidikan ibadah merupakan proses membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya, semua ini bersumber dari penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri dihadapan sang pencipta.

Untuk memperoleh data yang representatif dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku, ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif.

Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisa pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan. Nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41 meliputi: Nilai pendidikan ibadah salat dapat meningkatnya kualitas hubungan dengan Allah swt, menjadikan jiwa seorang muslim sebagai jiwa yang kokoh, dan sebagai sarana pengendalian diri bagi seorang muslim. Nilai pendidikan ibadah zakat dapat berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri muzakki (pemberi zakat) yang berguna bagi lingkungan, menjadi media silaturrahmi dan sarana pembersihan jiwa dan harta, serta penghancur jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Nilai pendidikan ibadah amr ma’ruf dan nahi munkar dapat Bukti identitas Islam dalam suatu lingkungan, filter bagi lingkungan dari setiap hal yang membahayakan lingungan, dan sarana pembeda antara yang haq dan bathil dalam kehidupan.


(2)

ii

meskipun masih belum sempurna.

Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyakanya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini:

1. Kedua Orang Tua penulis (H. Balyah dan Hj. Rohmanah) yang telah merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendo’akan dan mencukupi moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat), kakak tercinta Hijazi, Kholisah, Bahjah, Cherman, Maimunah serta adikku Qori Amaliah yang selalu mendorong penulis agar skripsi ini dapat segera diselesaikan.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M. A, beserta seluruh staffnya.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Bahrissalim, M.Ag dan seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA beserta seluruh staffnya.

4. Bapak Dr. Anshori, M.A, LAL yang telah sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(3)

iii

dapat bermanfaat dikemudian hari.

6. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

7. Teman-temanku Mahasiswa UIN Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2006 khususnya kelas “B” (Arief selaku editor skripsi penulis, Ansori, Deden, Naseh, Roni, Yudi, Azis), sahabat-sahabat PPMPK serta Ibnu dan Fadhil yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal alamin.

Jakarta, 19 Oktober 2010


(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 4

C. Pembatasan Masalah... 5

D. Perumusan Masalah... 5

E. Tujuan Penelitian... 5

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai... 7

2. Pengertian Pendidikan... 8

3. Pengertian Pendidikan Islam... 10

4. Tujuan Pendidikan Islam... 11

5. Dasar Pendidikan Islam... 15

B. Ibadah 1. Pengertian Ibadah... 18

2. Dasar hukum Ibadah... 21

3. Macam-macam Ibadah... 24

4. Ruang Lingkup Ibadah... 26


(5)

v

A. Teks Ayat dan Terjemahnya... 30 B. Tafsir Ayat... 30

BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN IBADAH YANG

TERKANDUNG DALAM SURAT AL-HAJJ AYAT 41

1. Pendidikan Shalat... 37 2. Pendidikan Zakat... 53 3. Pendidikan Amr Ma’ruf dan Nahi

Munkar...

66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 77 B. Saran... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 79


(6)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟anul Karim adalah “mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya

selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah swt. kepada Rasulullah, Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan

yang lurus.”1

Al-Qur‟an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur‟an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, serta tak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari. Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur‟an dapat diberlakukan dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun, selama tidak ada larangan atau hambatan bagi umat Islam untuk melaksanakannya.

Al-Qur‟an sebagai ajaran suci umat Islam, di dalamnya berisi petunjuk menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya. Menanggalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya berarti

1

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, penerjemah. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), Cet. IX, h. 1.


(7)

menanti datangnya masa kehancuran. Sebaliknya, kembali kepada al-Qur‟an berarti mendambakan ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an berisi kedamaian.

Al-Qur‟an mengandung tiga hal:

1. Yang berkaitan dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul dan hari akhir. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu kalam (tauhid) atau disebut juga ilmu ushûl al-dîn.

2. Yang berkaitan dengan gerak-gerik hati dan sifat yang mengandung anjuran untuk memperindah akhlak. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu akhlak.

3. Yang berkaitan dengan anggota badan, di antaranya yang berbentuk perintah-perintah untuk dilaksanakan, larangan-larangan untuk dijauhi dan yang berbentuk pilihan. Masalah ini merupakan pembahasan para

fuqahâ.2

Dari penjelasan tentang kandungan al-Qur‟an yang telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Hudory, penulis berasumsi bahwa al-Qur‟an mengkhususkan pada tiga aspek:

1) Berkaitan dengan masalah ketauhidan. Seperti pengenalan tentang sifat-sifat ketuhanan, meyakini adanya malaikat, mempercayai para rasul, mempercayai kepada kitab-kitab Allah, mempercayai adanya hari akhir, serta mempercayai kepada qada dan qadar.

2) Berkaitan dengan masalah akhlak. Antara lain menjunjung kehormatan kaum Muslimin, taubat, husn al-zhan (positive thinking) kepada orang lain, serta amr ma‟ruf nahi munkar.

3) Berkaitan dengan masalah ibadah. Seperti salat, zakat, puasa, serta haji. Sebagai salah satu contoh tentang nilai-nilai al-Qur‟an tersebut diatas dapat ditemukan dalam surat al-Hajj/22 ayat 41.



























2


(8)

“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj/22: 41)

Di dalam ayat ini terdapat nilai-nilai ibadah yang bisa dijadikan sandaran bagi umat Islam dalam melangsungkan kehidupan ibadahnya. Nilai-nilai

tersebut berupa salat, zakat, dan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Tentunya

dalam memahami ayat ini agar dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari diperlukan adanya proses memahami atau yang biasa disebut dengan proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu sendiri tidak mungkin dilakukan tanpa adanya komponen-komponen pendukung seperti orang yang berusaha memahami, orang yang memberikan pemahaman, dan sesuatu yang akan dipahami. Semua proses pembelajaran ini jika dilakukan dengan tanpa adanya paksaan maka dapat disebut pendidikan.

Memang dalam ayat ini tidak tertuang kalimat “pendidikan” secara

tersurat. Akan tetapi secara tersirat, ayat ini memberikan indikasi adanya pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”3 Dengan definisi pendidikan yang telah disebutkan, maka jelaslah bahwa dalam pelaksanaan suatu ibadah memerlukan pendidikan. Karena tidak mungkin seseorang langsung dapat melaksanakan suatu ibadah tanpa adanya pendidikan atau dalam hal ini usaha secara sadar untuk mengetahui hal-hal yang dibutuhkan dalam terlaksananya ibadah tersebut. Setelah terjadinya proses pendidikan ibadah yang kemudian diiringi dengan pengamalan, otomatis akan muncul nilai-nilai dari pelaksanaan ibadah tersebut.

3

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 3.


(9)

Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi di dalam kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur‟an yang telah disebutkan dalam surat al-Hajj ayat 41. Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai tersebut banyak terjadi di setiap lapisan masyarakat muslim. Hal ini dapat terlihat dari berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, seperti menganggap remeh ibadah, kurangnya rasa saling menghormati orang lain, dan pelanggaran hukum-hukum syariat lainnya.

Hal ini terjadi disebabkan karena minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya arti ibadah tersebut. Sebagaimana pengertian ibadah dalam Kamus Istilah Fiqih, “ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata; baik dalam bentuk kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah swt.”4

Untuk itu, diperlukan upaya strategis untuk memulihkan kondisi tersebut dengan cara menumbuhkembangkan kembali rasa cinta terhadap nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam al-Qur‟an. Karena dengan adanya rasa cinta terhadap hal tersebut, maka akan tumbuh kesadaran untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan ibadah dalam setiap aspek kehidupan.

Dari latar belakang diatas, penulis berpendapat bahwa kurangnya penerapan nilai-nilai pendidikan ibadah menjadi salah satu faktor penyebab merosotnya moral masyarakat muslim. Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkan ke dalam skripsi dengan judul: “Nilai-nilai Pendidikan Ibadah yang Terkandung dalam Surat Al-Hajj ayat 41.”

4

M. Abdul Majieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2, h. 109.


(10)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:

1. Nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.

2. Penerapan nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41. Nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi:

1. Nilai pendidikan ibadah salat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.

2. Nilai pendidikan ibadah zakat yang terkandung dalam surat a-Hajj ayat 41.

3. Nilai pendidikan ibadah amr ma‟ruf nahi munkar yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.

D. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini, penulis bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas. Maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu: “nilai-nilai pendidikan ibadah apa saja yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41?”

E. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah salat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41

2. Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah zakat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41


(11)

3. Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah amr ma‟ruf nahi munkar yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis memberikan beberapa manfaat dalam penelitian ini yaitu:

1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya di bidang tafsir.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi para pembaca.

3. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh penulis berikutnya.

G. Metode Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan, yaitu dengan menggunakan al-Qur‟an dan tafsirannya sebagai sumber utama dalam penulisan dalil-dalil yang berkaitan dengan pembahasan skripsi seperti: Tafsir al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Azhar dan Tafsir

Fi Zhilalil Qur‟an, serta buku-buku ilmiah yang relevan sebagai sumber

penulisan skripsi. 2. Metode Penelitian

Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode

deskriptif analisis yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat

al-Qur‟an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits

dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisa pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.

3. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang disusun oleh Aziz Fachrurrozi, dkk.


(12)

7

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Nilai-nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai

Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan

manusia sesuai dengan hakikatnya.”1

Selanjutnya, di dalam buku Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Mohammad Noor Syam menyatakan bahwa: “nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu objek yang menyangkut

suatu jenis apresiasi atau minat.”2

Lebih lanjut dikatakan bahwa: “nilai itu sungguh-sungguh ada dalam arti bahwa ia praktis dan efektif di dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Nilai-nilai itu sungguh suatu realita dalam arti bahwa ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar yang berlawanan dengan cita-cita yang palsu atau bersifat

khayali.”

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 783.

2

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133.


(13)

Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah Nabi saw. yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional.3

Dari definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan nilai ialah sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya yang hal tersebut merupakan sebuah ketetapan yang didapat dari sebuah objek dalam segala jenis minat atau apresiasi.

2. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata “didik”,lalu kata ini mendapat awalan “me-”

sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.4

Sedangkan arti pendidikan menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan beraneka ragam. Di antaranya sebagai berikut:

Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang atau

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan;

proses, cara, dan perbuatan mendidik.”5

Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1, dinyatakan bahwa: “Pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

3

Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nila-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, ( Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 3.

4

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Pustaka, 1997), h. 10.

5


(14)

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa, dan negara.”6

Sementara Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan adalah

pengembangan pribadi dalam semua aspeknya.” Dengan penjelasan bahwa

yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.7

Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8

M. Ngalim Purwanto mendefinisikan pendidikan adalah “segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.” Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.9

M. Alisuf Sabri dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan

mengemukakan berbagai pengertian pendidikan dari para ahli didik, yaitu: 1. Lengeveld: Mendidik ialah mempengaruhi anak dalam upaya

membimbingnya agar menjadi dewasa. Usaha membimbing haruslah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja. Oleh karena itu pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang disengaja antara orang dewasa dengan anak yang diarahkan kepada tujuan pendidikan.

6

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 3.

7

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 26-27.

8

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1989), Cet. VIII, h. 19.

9

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, h. 10.


(15)

2. Hoogveld: Mendidik ialah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.

3. SA. Branata, dkk: Pendidikan ialah usaha yang disengaja diadakan, baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.

4. Ki Hajar Dewantara: Mendidik ialah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.10

Berdasarkan keseluruhan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian yang bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya yang akan datang.

Dengan demikian di dalam pendidikan terdapat beberapa unsur, di antaranya:

1. Usaha; usaha itu bersifat bimbingan dan dilakukan secara sadar, 2. Ada pendidik,

3. Ada yang dididik,

4. Bimbingan mempunyai dasar dan tujuan, dan

5. Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.

Dari definisi di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai-nilai-nilai dalam pendidikan adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia untuk perkembangan jasmani dan rohani melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang dapat mengarahkan potensi personal manusia tersebut menuju terbentuknya kepribadian yang bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya yang akan datang.

3. Pengertian Pendidikan Islam

Definisi pendidikan secara umum di atas telah mendapatkan atribut Islam sehingga menjadi pendidikan Islam. Pendidikan yang sebagaimana telah disebutkan definisinya dengan pendidikan Islam mempunyai perbedaan.

10


(16)

Perbedaan tersebut antara lain pada tujuan pendidikan secara khusus, yaitu pendidikan pada umumnya bertujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pendidikan Islam adalah “suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian utama. Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah peribadi yang memiliki nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sejalan dengan pedoman

al-Qur‟an serta hadits.” Demikian Ahmad D. Marimba mendefinisikan

pendidikan Islam. Dan tampaknya dalam proses pendidikan Islam ini ia menekankan pada aspek pembentukan akhlak.

Zuhairini dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “usaha yang diarahkan pada pembentukan kepribadian seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak berdasarkan nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam pula.”11

M. Arifin berpendapat, pendidikan Islam adalah “sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseoranguntuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.”12

Sedangkan bagi Ahmad Tafsir, pendidikan Islam ialah “bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.”13 Atau dengan kata lain bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.

4. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan agama Islam secara umum adalah ”meningkatkan

keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman peserta didik tentang agama Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa

11

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 290. 12

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 2000), h. 10. 13


(17)

kepada Allah swt serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan negara.14

Secara khusus pendidikan Islam sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang telah digariskan oleh al-qur‟an, paling tidak mempunyai dua tujuan:

1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah SWT yang diwajibkannya.

2. Tujuan ilmiah, maksudnya ialah apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.15

Menurut al-Syaibani, beliau menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi tiga tujuan, yaitu:

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. 2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku

masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan dalam kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.16

Zuhairini mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan agama islam adalah membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan negara.17

Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan

“kehendak” Tuhan yang sesuai dengan syari‟at Islam, serta mengisi tugas

14

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), Cet III, h. 79.

15

Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 3.

16

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam..., h. 49. 17


(18)

kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.

Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu :

1. Membentuk akhlak mulia

2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat

3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik

5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.18

Imam al-Ghazali, sebagaiman dikutip Zainuddin dalam buku seluk-beluk pendidikan dari al-ghazali, memandang dan membagi tujuan-tujuan pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu

1. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berfikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.

2. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan kepribadian yang kuat.

3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Abdullah al-Misri secara secara lebih spesifik memberikan poin-poin sebagai tujuan pendidikan Islam :

1. Memperkenalkan kepada generasi muda tentang aqidah Islam, dasar ibadah dan pelaksanaannya dengan benar sehingga mereka dapat menghormati agamanya sendiri.

2. Menumbuhkan kesadaran agama yang benar kepada diri seseorang mengenai agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.

3. Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan pada kesadaran yang benar.

4. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.

18

Muhammad Athiyah al-Abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah. Bustami A. gain dan Djohal Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 1-4.


(19)

5. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan pada al-qur‟an dengan membacanya secara baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.

6. Menumbuhkan rasa bangga pada sejarah dan kebudayaan islam dan

syuhada serta mengikuti jejak mereka.

7. Menumbuhkan rasa senang, optimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memgang teguh prinsip, berkorban untuk islam dan tanah air, serta siap untuk membelanya. 8. Mendidika naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda serta menguatkannya dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan emosi dan menyuburkan motivasinya, serta mengajarkan adab sopan santun.

9. Menanamkan iman yang kokoh kepada Allah, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka. Serta menanamkan rasa cinta, zikir, takwa dan takut kepada Allah

10.Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci kekerasan, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.19

Dalam hal ini Abuddin Nata mencoba memberikan cirri-ciri tujuan pendidikan Islam. Antara lain adalah :

1. Mengarahkan manusia agar mejadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendaknya.

2. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.

3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalah gunakan.

4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memiliki keterampilan, ilmu, serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.

5. Mengarahkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.20

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah:

1. Membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak mulia.

19

Abdullah al-Misri, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, (Beirut : Daar al-fikri), h. 245.

20


(20)

2. Membina dan mengarahkan manusia supaya bertakwa serta dapat menunaikan hak-hak Allah, sebagai wujud pengabdiannya dalam tugasnya sebagi khalifah di bumi.

3. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan guna menunjang kehidupan dan tugas kekhalifahannya.

4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat

5. Dasar Pendidikan Islam

Dasar secara bahasa, berarti asas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan).21 lebih lanjut dikatakan bahwa, dasar adalah landasan berdirinya sesuatu. Fungsi adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.22

Pendidikan Islam sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian tertentu memerlukan dasar atau landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada

al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad (hasil pikir manusia). Dasar

inilah yang membuat ilmu pendidikan ini disebut sebagai ilmu pedidikan Islam. Tanpa dasar ini, maka tidak akan ada ilmu pendidikan Islam.

1. Al-Qur’an

Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahwu yang disampaikan oleh

malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut

syari‟ah.23

21

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, kamus..., h. 121. 22

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h. 12. 23


(21)

Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur‟an sebagai sumber pokok serta dasar pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur‟an itu yang berbunyi : surat Al-Alaq 1-5





























































“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Al-Qur‟an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Sebab pada dasarnya al-Qur‟an banyak membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh mengingat al-Qur‟an merupakan kitab hidayah, dan seseorang bisa memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah, karena pendidikan yang benar serta ketaatannya.

Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur‟an secara garis besar mempunyai tiga tujuan pokok, diantaranya :

1. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan.

2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.

3. Petunjuk mengenai syari‟ah dan hukun dengan jalan menerangkan

dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat


(22)

“Al-Qur‟an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus

ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat” 24

2. Al-Sunnah

Dasar yang kedua setelah al-Qur‟an ialah al-Sunnah Rasulullah saw, amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah

al-Qur‟an, karena Allah telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi

umatnya, sebagaimana firmannya dalam surah al-Ahzab ayat 21 berikut ini:











































”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Al-sunnah menurut bahasa artinya jalan; baik terpuji maupun tercela.

Sedang kan menurut istilah ahli hadis, ”sunnah ialah segala yang

dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat, keadaan, maupun perjalanan hidup beliau: baik yang berupa yang

demikian itu terjadi sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.25

3. Ijtihad

Ijtihad yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariat Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat Islam dalam hhal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh

al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh

aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada

al-Qur‟an dan as-Sunnah.26

Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur‟an dab as-sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan

24

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1997), Cet. XXVI, h. 40. 25

M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), Cet. II, h. 12. 26


(23)

Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhiubungan langsung dengan kebutuhan hidup manusia, pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru dari hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.

Dengan demikian, untuk melengkapi dan merealisasikan ajaran Islam itu memang sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalnya al-Qur‟an dan sunnah belum menjamin tujuan pendidikan Islam tercapai. Dalam hal ini, pemikiran para ahli pendidikan muslim adalah salah satu bentuk ijtihad dibidang pendidikan yang bisa dijadikan salah satu rujukan bagi kaum muslimin dalam bidang pendidikan Islam.

B. Ibadah

1. Pengertian Ibadah

Ibadah mengandung banyak pengertian berdasarkan sudut pandang para ahli dan maksud yang dikehendaki oleh masing-masing ahli. Dalam hal ini penulis melihat pengertian ibadah yang dikemukakan oleh berbagai ahli.

Secara etimologi "kata „ibadah‟ diambil dari bahasa Arab yang berarti beribadah atau menyembah".27

Pengertian ibadah yang lebih mencakup segala esensinya dirumuskan oleh para ulama secara terminologi adalah:

"Ibadah adalah suatu nama (konsep) yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun berbentuk perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi (dalam batin)".28

Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang beliau kutip dari Abu al-A‟la al -Maududi, berpendapat bahwa ibadah ialah “rasa tunduk seseorang kepada

27

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 886.

28


(24)

orang lain karena kebesaran dan kegagahannya, kemudian ia membatasi

kemerdekaan dan kebebasan dirinya, serta patuh secara mutlak kepadanya.”29

Di dalam Kamus Istilah Fiqih, “ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata; baik dalam bentuk kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah swt.”30

Menurut Abu Ahmadi dan Noor Salim dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, pengertian ibadah terbagi kepada dua yaitu:

1. Ibadah secara umum berarti ibadah yang mencakup perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah swt yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapat rida Allah swt.

2. Ibadah secara khusus ibadah adalah perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah swt dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. atau disebut ritual, seperti: salat, zakat, puasa, dan lain-lain.31

Secara menyeluruh kita dapat memahami bahwa ibadah itu ialah penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri dihadapan sang pencipta baik secara ucapan, perbuatan, dan gerak-gerik hati pada saat sendiri maupun di keramaian, yang diiringi dengan rasa ikhlas, rida, dan cinta dengan apa yang Ia perintahkan untuk dilaksanakan dan menjauhi apa pun yang Ia larang.

Kata ibadah diartikan berbeda menurut pandangan para ahli dalam bidangnya masing-masing :

a. Pengertian ibadah menurut ahli bahasa

Ahli bahasa mengartikan dengan: taat, menurut, mengikut, tunduk. Dan mereka mengartikan juga dengan: tunduk yang setinggi-tingginya, dan dengan doa.

b. Pengertian ibadah menurut ulama Tauhid

29

Yusuf al-Qardhawi, Ibadah dalam Islam, penerjemah. Umar Fanani, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1998), h. 37.

30 M. Abdul Majieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih..., h. 109. 31

Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. IV, h. 240.


(25)

Ulama tauhid mengartikan ibadah dengan:

"Meng-Esakan Allah, menta'zhimkan (mengagungkan)-Nya dengan sepenuh hati ta'zhim serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kita kepada-Nya (menyembah Allah sendiri-Nya)".32

Dalam pengertian ini, ibadah ialah mengesakan yang disembah, diyakini dengan keyakinan bahwa Dialah Yang Mahaesa, baik secara zat, sifat, dan perbuatan.

c. Pengertian ibadah menurut ulama Akhlak Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan :

"Mengerjakan segala taat badaniah dan menyelenggarakan segala syari'at(hukum)".

Dalam pengertian ini, masuk akhlak (budi pekerti) dan masuk pula segala tugas hidup (kewajiban-kewajiban yang diwajibkan atas seorang pribadi), baik mengenai diri sendiri maupun mengenai keluarga dan masyarakat bersama.

d. Pengertian ibadah menurut ulama Tasawuf

Adapun ulama tasawuf mengartikan ibadah dengan:

"Seorang mukallaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginannafsunya untuk membesarkan Tuhannya".

Dalam pengertian ini, ibadah ialah kemampuan seorang muslim yang sudah menjadi mukallaf untuk meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya karena mengagungkan Allah swt.

Pengertian ibadah menurut pengertian ahli tasawwuf terbagi tiga: 1. Beribadah kepada Allah karena mengharap benar akan memperoleh

pahala-Nya atau karena takut akan siksa-Nya.

32

Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari segi Hukum dan Hikmah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h. 1-2.


(26)

2. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu mulia, dilakukan oleh yang mulia jiwanya.

3. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak disembah, dengan tidak mempedulikan apa yang akan diterima, atau diperoleh dari pada-Nya.

e. Pengertian ibadah menurut ulama Fuqaha : Dalam pengertian fuqaha, ibadah itu adalah :

"Segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharappahala-Nya di akhirat".

Dalam pengertian ini, ibadah ialah segala jenis ketaatan yang dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan rida Allah Taala serta mengharap pahala yang Allah berikan di akhirat nanti.33

Dari kelima pengertian ibadah menurut para ahli, penulis menyimpulkan ibadah ialah mengikuti, menurut, serta tunduk dengan seluruh jiwa dan raga dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta meyakini dengan sepenuh hati terhadap keesaan Allah swt dalam segala hal, di antaranya yang berkaitan dengan akhlak dan kewajiban sebagai seorang pribadi dan seorang yang bermasyarakat, walaupun semua perintah dan larangan itu bertentangan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah swt dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat kelak.

Secara menyeluruh penulis memahami bahwasanya nilai-nilai pendidikan ibadah itu ialah proses membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya. Semua ini bersumber dari penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri di hadapan Sang Pencipta.

2. Dasar Hukum Ibadah

33


(27)

Ibadah sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang dikehendaki Allah, ibadah harus kita maknai secara rinci. Karena itu, keberadaan dasar hukum ibadah harus merupakan sumber utama Islam itu sendiri, yaitu

al-Qur‟an dan al-Sunnah.

a. Al-Qur‟an

Menurut bahasa al-Qur‟an adalah yang dibaca. Hal ini karena al-Qur‟an sebagai sumber utama ajaran Islam hanya dapat diketahui hukum-hukum dan ajaran yang terkandung di dalamnya dengan jelas dibaca.

Sedangkan menurut istilah, al-Qur‟an ialah “kalam Allah, yang mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasinya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nâs.”34

Di dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan perintah kepada hamba Allah untuk melaksanakan ibadah. Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah dalam arti penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif, melainkan sebagai perwujudan rasa syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah atas hamba-hamba-Nya. Adapun ayat-ayat yang menyatakan perintah untuk melaksanakan ibadah tersebut di antaranya dalam al-Qur‟an surat a l-Baqarah/2 ayat 21 yang berbunyi:



































“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2: 21)

34


(28)

Di dalam al-Qur‟an terdapat penjelasan bahwa penciptaan manusia oleh Allah tidak mengandung maksud lain kecuali supaya mereka menyembah Allah atau beribadah kepada-Nya. Hal ini disebutkan dalam al-Qur‟an surat Al-Dzâriyât/51 ayat 56 yang berbunyi:





















“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat/51: 56)

Dari dua ayat tersebut jelas tergambar program yang sudah Allah swt. tetapkan untuk manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya adalah beribadah, atau dengan kata lain menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan Allah dalam keadaan suka maupun duka.

b. Al-Sunnah

Setelah al-Qur‟an, Islam menjadikan al-Sunnah sebagai dasar hukum ibadah. Secara harfiah, al-Sunnah berarti jalan, metode, dan program. Sedangkan secara istilah, al-Sunnah adalah “sejumlah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih, baik itu berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan dibenci, peperangan, tindak-tanduk, dan seluruh kehidupan Nabi saw.”35

Dalam dunia pendidikan, al-Sunnah memiliki dua manfaat pokok. 1. Al-Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan

Islam sesuai dengan konsep al-Qur‟an, serta lebih merinci penjelasan

al-Qur‟an.

2. Al-Sunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan. Misalnya, kita dapat menjadikan kehidupan Rasulullah saw. dengan para sahabat atau pun anak-anak sebagai sarana penanaman keimanan.

Adapun hadits yang menyatakan perintah untuk melaksanakan ibadah, di antaranya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

35

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 31.


(29)

“Dari Muaz bin Jabal berkata: aku pada suatu hari, menemani Nabi saw diatas keledainya. Kemudian, ia berkata: “Hai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi saw

berkata: “Hak Allah atas hamba adalah bahwa mereka menyembah-Nya

(beribadah kepada-Nya) sendirinya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Dan hak hamba atas Allah, bahwa Dia tidak mengazab orang yang tidak musyrik terhadap-Nya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).36 3. Macam-macam Ibadah

Pembagian ibadah menurut Hasby Ash Shiedieqy berdasarkan bentuk dan sifat ibadah terbagi kepada enam macam :

1. Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir, taslim, doa, membaca hamdalah oleh orang yang bersin, memberi salam, menjawab salam, membaca basmalah ketika makan, minum dan menyembelih binatang, membaca al-Qur‟an dan lain -lain.

2. Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat, seperti berjihad di jalan Allah, membela diri dari gangguan, menyelenggarakan urusan jenazah.

3. Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan, seperti puasa, yakni menahan diri dari makan, minum dan dari segala yang merusakan puasa.

4. Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari sesutu pekerjaan, seperti i’tikaf (duduk di dalam sesuatu rumah dari rumah-rumah Allah), serta menahan diri dari jima‟ dan mubasyarah, haji, tawaf, wukuf di Arafah, ihram, menggunting rambut, mengerat kuku, berburu, menutup muka oleh para wanita dan menutup kepala oleh orang laki-laki.

5. Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan orang-orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang, memerdekakan budak untuk kaffarat.

6. Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan, khusyuk menahan diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin untuk menghadapi-Nya.37

36

Baihaqi, Fiqih Ibadah..., h. 12. 37


(30)

Di dalam buku Fiqih Ibadah karangan Baihaqi, beliau membagi Ibadah ke dalam empat macam berdasarkan:1. Khusus-umum, 2. Pelaksanaan, 3. Kepentingan pribadi dan masyarakat, 4. Bentuk dan sifatnya.

Dari segi umum dan khususnya, ibadah terbagi kepada:

1. Ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash

al-Qur‟an atau hadits, seperti salat, puasa, haji. Ibadah yang terkategori

ibadah khusus tidak menerima penambahan atau pengurangan.

2. Ibadah umum, yaitu semua perbuatan baik atau terpuji yang dilakukan oleh manusia muslim-mukmin dengan niat ibadah dan diamalkan semata-mata karena Allah.

Ibadah umum, dengan demikian amatlah banyak. Di antara contohnya adalah makan dan minum dengan niat agar badan menjadi sehat sehingga kuat beribadat. Demikian juga mendidik anak dengan niat agar ia menjadi anak yang saleh; membeli kain sarung, mukena, sajadah dengan niat agar nyaman beribadah; berusaha memperoleh uang banyak dengan niat agar dapat melaksanakan ibadah haji; bergaul dengan isteri dengan niat agar terhindar dari perbuatan zina. Demikian pula amr ma‟ruf dan nahi munkar. Singkat kata, semua perbuatan mukmin (tentu saja yang baik dan halal; yang tidak baik dan tidak halal bukan perbuatan manusia mukmin) yang dilakukan dengan niat ibadah terhitung ibadah umum.

Dari segi pelaksanaannya, ibadah terbagi kepada:

1. Ibadah jasmaniyah dan ruhaniyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani dan ruhani, seperti salat dan puasa.

2. Ibadah ruhaniyah dan maliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan ruhani dan harta, seperti zakat.

3. Ibadah jasmaniyah, ruhaniyah, dan maliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani, ruhani, dan harta sekaligus, seperti haji, dan amr ma‟ruf dan nahi munkar.

Dari segi pribadi dan masyarakatnya, ibadah terbagi kepada:

1. Ibadah fardi, yaitu ibadah yang dapat dilaksanakan secara perseorangan, seperti salat dan puasa.


(31)

2. Ibadah ijtima’i, yaitu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan sosial kebutuhan sosial kemasyarakatan, seperti zakat dan haji.

Dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah terbagi kepada:

1. Ibadah yang terdiri atas perkataan atau ucapan lidah seperti berzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bershalawat dan sebagainya.

2. Ibadah yang sudah terinci perkataan dan perbuatannya, seperti salat, zakat, puasa, dan haji.

3. Ibadah yang tidak ditentukan teknik pelaksanaannya, seperti menolong orang lain, berjihad, membela diri, mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit, dan sebagainya.

4. Ibadah yang pelaksanaannya dalam bentuk menahan diri seperti puasa, ihram, dan i’tikaf.

5. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hal, seperti membebaskan seorang dari kewajiban membayar hutangnya kepada kita, memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kepada kita dan sebagainya.38

4. Ruang Lingkup Ibadah

Menurut Ibn Taimiyah, ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah swt, baik dalam perkataan maupun perbuatan, lahir dan batin. Maka termasuk kedalam hal ini adalah salat, zakat, puasa, haji, benar dalam pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orang tua, menghubungkan silaturahmi, memenuhi janji, amr ma‟ruf nahi munkar, jihad terhadap orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim fakir miskin dan ibn sabil, berdoa, berzikir, membaca al-Qur‟an, ikhlas, sabar, syukur, rela menerima ketentuan Allah swt, tawakkal, raja‟ (berharap atas

rahmat), khauf (takut terhadap azab), dan lain-lain sebagainya.

Ruang lingkup ibadah yang dikemukakan Ibn Taimiyah di atas cakupannya sangat luas, bahkan menurut beliau semua ajaran agama itu

38


(32)

termasuk ibadah. Bilamana diklasifikasikan kesemuanya dapat menjadi beberapa kelompok saja, yaitu:

a. Kewajiban-kewajiban atau rukun-rukun syariat seperti salat, puasa, zakat, dan haji.

b. Yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban diatas dalam bentuk ibadah-ibadah sunnah, seperti zikir, membaca al-Qur‟an, doa dan istigfar. c. Semua bentuk hubungan sosial yang baik serta pemenuhan hak-hak

manusia, seperti berbuat baik kepada orang tua, menghubungkan silaturahmi, berbuat baik kepada anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil. d. Akhlak insaniyah (bersifat kemanusiaan), seperti benar dalam berbicara,

menjalankan amanah dan menepati janji.

e. Akhlak rabbaniyah (bersifat ketuhanan), seperti mencintai Allah swt dan rasul-rasul-Nya, takut kepada Allah swt, ikhlas dan sabar terhadap hukum-Nya.39

5. Tujuan Ibadah

Allah swt. menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan. Mahasuci Allah dari berbuat tanpa tujuan, bertindak serampangan, atau bersenda gurau. Allah swt. berfirman mengenai hal itu dalam al-Qur‟an surat al-Mu‟minun/23 ayat 115:



















Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. al-Mu‟minun/23: 115)

Allah swt. menciptakan manusia sesungguhnya dengan tujuan tertentu. Dia telah menjelaskan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk menyembah-Nya atau beribadah kepada-Nya.

39

A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. I, h. 6-7.


(33)

Tujuan ibadah lainnya dapat dilihat dari segi kejiwaan manusia. Sepanjang sejarahnya terlihat bahwa manusia selalu terdorong oleh dirinya dan alam lingkungannya untuk mencari Tuhan guna dipuja dan disembahnya. Jika ia tidak menemukan Tuhan yang sebenarnya, ia akan menyembah (beribadah) kepada tuhan apa saja, baik yang ada di dalam alam, seperti matahari, bulan, bintang, batu atau kayu besar dan sebagainya maupun yang dibuatnya sendiri seperti patung (berhala) atau yang lainnya.40

Ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan.

a. Tujuan pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat. b. Tujuan tambahan adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan

terwujudnya usaha yang baik.

Salat umpamanya, disyariatkan pada dasarnya bertujuan untuk menundukkan diri kepada Allah swt. dengan ikhlas, mengingatkan diri dengan berzikir. Sedangkan tujuan tambahannya antara lain adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana dipahami dari firman Allah swt:





























































“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. al-Ankabut/29: 45)

Selain itu menghindarkan diri dari kemungkaran dan kekejian. Masih banyak tujuan lain yang dapat diwujudkan melalui ibadah salat, seperti

40


(34)

beristirahat dari kesibukan dunia, membantu dalam memenuhi kebutuhan, membawa seseorang masuk surga dan menjauhkannya dari neraka.41

6. Hikmah Pelaksanaan Ibadah

Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah Allah swt, bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya dan melaksanakan hak sesama manusia. Oleh karena itu tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan manusia yang bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan akal yang terbatas.

Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia dalam menyembah Allah swt. Ini berarti ia tidak harus mengetahui rahasianya secara terperinci. Seandainya ibadah itu harus sesuai dengan kemampuan akal dan harus mengetahui hikmah atau rahasianya secara terperinci, tentu orang yang lemah kemampuan akalnya untuk mengetahui hikmah tersebut tidak akan melaksanakan atau bahkan menjauhi ibadah. Mereka akan menyembah akal dan nafsunya, tidak akan menyembah Tuhan.

Mengenai hikmah melaksanakan ibadah ini, al-Ghazali mengungkapkan bahwa ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia, sebagaimana obat untuk menyembuhkan badan yang sakit. Sebagai contoh ibadah dapat menyembuhkan hati manusia, misalnya seseorang yang sedang resah dan gelisah, keresahan dan kegelisahannya dapat disembuhkan dengan salat. Begitu juga orang yang mempunyai penyakit tamak atau rakus dalam hal makan dan minum, penyakit tersebut dapat dikurangi bahkan dapat disembuhkan bila orang tersebut rajin berpuasa.

Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, ibadah wajib diikuti sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Nabi, karena mereka dapat mengetahui rahasianya berdasarkan inspirasi kenabian, bukan dengan kemampuan akal.42

41

A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah..., h. 9. 42


(35)

29

BAB III

TAFSIR AL-

QUR’AN SURAT Al

-HAJJ AYAT 41

Surah al-Hajj adalah surah yang ke-105 jika ditinjau dari bilangan turunnya surah-surah al-Qur‟an. Dia turun sesudah surah an-Nur dan sebelum surah al-Munafiqun. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 77 ayat, menurut perhitungan pakar-pakar qira’at Mekkah dan Madinah.

Nama al-Hajj adalah satu-satunya nama yang dikenal untuk surah ini. Penamaan tersebut agaknya disebabkan karena dalam surah ini diuraikan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim as agar mengumandangkan panggilan berkunjung ke Baitullah serta beberapa uraian tentang ibadah haji dan manfaatnya.

Surat ini dimulai dengan mengajak seluruh manusia agar bertakwa dan mempersiapkan diri menghadapi kedahsyatan kiamat. Ajakan kepada seluruh manusia mengesankan bahwa surat ini Makkiyah, karena salah satu ciri ayat-ayat Makkiyah adalah ajakannya yang berbunyi ( ). Di dalam surah ini juga ditemukan ajakan kepada kaum musyrikin untuk mempercayai prinsip-prinsip pokok ajaran Islam sambil mengancam mereka dengan siksa yang pedih. Ini juga adalah ciri-ciri ayat-ayat Makkiyah. Tetapi adanya ayat-ayat yang memerintahkan salat serta uraian tentang haji dan izin berperang, mengesankan bahwa ayat-ayat ini turun setelah Nabi saw berhijrah ke Madinah, karena persoalan syariat banyak


(36)

dibicarakan oleh ayat-ayat yang turun di Madinah, apalagi dalam surah ini ada uraian tentang izin berperang yang tentu saja baru dapat terlaksana setelah terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kemampuan berperang. Dari sini, maka para ulama berbeda pendapat menyangkut masa turun surah ini, apakah sebelum Nabi berhijrah atau sesudahnya.1

Secara garis besar surat al-Hajj ayat 41 berkaitan dengan dua ayat sebelumnya dan tiga ayat setelahnya, yang berisikan tentang diizinkan membela diri dari serangan orang yang memeranginya, keterusiran kaum muslim dari tempat tinggal mereka, peritah menjalankan ibadah setelah diberikan kekuasaan, dan perintah untuk bersabar. Kemudian disaat penulis menjalani proses perkuliahan dalam mata kuliah tafsir tarbawi, terpampanglah surat al-Hajj ayat 41 sebagai salah satu ayat pendidikan diantara banyak ayat lain yang menjelaskan tentang pendidikan. Dengan dasar inilah, maka penulis mengangkat skripsi yang berjudul sebagaimana tertuang di Bab I.

A.

Teks Ayat dan Terjemahnya





































“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj/22: 41)

B. Tafsir Ayat

Menurut Abu al-Aliyah, orang yang disebutkan dalam ayat ini ialah para sahabat Muhammad saw. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Utsman bin

Affan, dia berkata, “Mengenai kamilah ayat, “orang-orang yang jika Kami

teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” ini diturunkan. Kami diusir dari

kampung halaman kami sendiri tanpa alasan yang benar, kecuali karena kami

1

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. VIII, Vol. IX, h. 3-4.


(37)

mengatakan bahwa Tuhan kami adalah Allah. Kemudian kami teguhkan di bumi, lalu kami mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang

ma‟ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. Kepunyaan Allahlah

kesudahan segala perkara. Jadi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan aku dan

para sahabatku.”

Ash-Shabah bin Suwadah al-Kindi berkata, “Aku mendengar Umar bin Abdul Aziz berkhutbah. Dia membaca ayat, „Orang-orang yang Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi.‟ Kemudian berkata, „Ketahuilah, ayat ini bukan hanya ditunjukkan kepada pemimpin semata, namun ditunjukkan kepada pemimpin dan rakyatnya. Ketahuilah, aku akan memberitahukan kepadamu kewajiban pemimpin kepada rakyatnya dan kewajiban rakyat kepada pemimpinnya. Sesungguhnya yang menjadi hak kamu dan kewajiban pemimpin ialah memperlakukan kamu dengan ketentuan Allah yang telah diwajibkan atasmu, memperlakukan sebagian kamu karena sebagian yang lain dengan ketentuan Allah, dan menunjukkan kamu kepada jalan yang lurus sesuai dengan kemampuan pemimpin. Adapun kewajiban kamu ialah menaati pemimpin tanpa terpaksa dan tidak bertentangan antara ketaatan perkataan dan perbuatan dengan ketaatan hati.”

Zaid bin Aslam berkata, “Dan kepada Allahlah kembali segala urusan” berarti pada sisi Allahlah pahala atas apa yang telah mereka lakukan.2

Orang-orang yang jika Kami anugerahkan kepada kemenangan dan

Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka merdeka dan berdaulat niscaya mereka yakni masyarakat itu mendirikan sembahyang

secara sempurna rukun, syarat dan sunah-sunahnya dan mereka juga

menunaikan zakat sesuai kadar waktu, sasaran dan cara penyaluran yang ditetapkan Allah, serta mereka menyuruh anggota-anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf, yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik dalam masyarakat itu, lagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai

2

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan Dari Allah “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”, penerjemah. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid. III, h. 379.


(38)

Ilahiah dan mereka mencegah dari yang mungkar; yakni yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. Dialah yang memenangkan siapa yang berhak dimenangkan-Nya dan Dia pula yang menjatuhkan kekalahan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia juga yang menentukan masa kemenangan dan kekalahan itu.

Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di mana pun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad saw. dan para sahabat beliau.

Masyarakat itu adalah yang pemimpin-pemimpin dan anggota-anggotanya secara kolektif dinilai bertakwa, sehingga hubungan mereka dengan Allah swt. baik, jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana dicerminkan oleh sikap mereka yang selalu melaksanakan salat dan harmonis pula hubungan anggota masyarakat, termasuk antar kaum berpunya dan kaum lemah yang dicerminkan oleh ayat di atas dengan menunaikan zakat. Di samping itu mereka juga menegakkan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, yaitu nilai-nilai ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Pelaksanaan kedua hal tersebut menjadikan masyarakat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling ingat mengingatkan dalam hal kebajikan, dan saling mencegah terjadinya pelanggaran.

Adapun al-ma’ruf, yang merupakan kesepakatan umum masyarakat, ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-munkar seharusnya dicegah. Baik yang memerintahkan dan mencegahnya adalah penguasa maupun bukan.

Siapapun diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangan / kekuasaannya, kalau dia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah / ucapannya, kalau (yang inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah melalui Abû

Sa‟îd al-Khudri).3

Jadi, janji Allah yang ditegaskan dan dikuatkan dengan realisasi yang tidak akan meleset adalah bahwa Dia pasti menolong orang-orang yang

3


(39)

menolong-Nya. Maka, siapapun yang menolong Allah pasti berhak akan pertolongan dari Allah Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa, dimana orang-orang yang ditolong-Nya tidak mungkin terkalahkan. Jadi siapa mereka? Mereka adalah:4

Mereka mendirikan sembahyang dan memberikan zakat.” Dengan

susunan ayat seperti ini bukanlah berarti mereka baru mendirikan sembahyang dan kokoh di muka bumi, atau setelah mereka menang menghadapi musuh-musuhnya, bahkan sejak semula perjuangan keyakinan dan keimanan kepada Tuhan itulah pegangan teguh mereka. Dalam pengalaman kita dimasa perjuangan melawan penjajahan Belanda, pada umumnya orang shalih dan taat sembahyang lima waktu mereka kerjakan dengan tekun. Zakat mereka berikan, tetapi setelah kedudukan kokoh di muka bumi orang mulai melalaikan zakat.

Mereka menunaikan kewajiban harta yang dibebankan kepada mereka. Mereka dapat menguasai sifat bakhil mereka. Mereka menyucikan diri dari sifat tamak. Mereka berhasil menghalau godaan dan bisikan setan. Mereka menambal kelemahan-kelemahan jamaah, dan mereka menjamin kehidupan para dluafa dan orang-orang yang membutuhkan. Sesungguhnya mereka benar-benar mewujudkan tubuh jamaah yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah:

“Berkata Amir: Aku mendengar Nu’man bin Basyir berkata: Bersabda Nabi saw: Kamu melihat orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan mereka adalah laksana sebuah tubuh yang bila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuhnya tidak dapat tidur dan merasakan demam.”(H.R Bukhari)

4

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an “Di Bawah Naungan Al-Qur’an”, penerjemah.


(1)

76

tangannya, jika tidak mampu, (ubahlah) dengan lisannya, dan jika tidak mampu (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman” (H.R. Muslim)


(2)

77 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Ibadah merupakan percerminan dari rasa syukur terhadap nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah swt. Percerminan rasa syukur dalam bentuk ibadah sangatlah luas sebagaimana yang tertuang di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam berperilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika al-Qur’an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman batin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan.

Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perintah-perintah yang Allah swt telah tetapkan dalam kandungan surat al-Hajj ayat 41 berisikan tentang nilai-nilai pendidikan ibadah yang penulis kelompokkan menjadi tiga bagian yaitu:


(3)

78

1. Nilai pendidikan ibadah salat dapat meningkatnya kualitas hubungan dengan Allah swt, menjadikan jiwa seorang muslim sebagai jiwa yang kokoh, dan sebagai sarana pengendalian diri bagi seorang muslim.

2. Nilai pendidikan ibadah zakat dapat berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri muzakki (pemberi zakat) yang berguna bagi lingkungan, menjadi media silaturrahmi dan sarana pembersihan jiwa dan harta, serta penghancur jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

3. Nilai pendidikan ibadah amr ma’ruf dan nahi munkar dapat Bukti identitas Islam dalam suatu lingkungan, filter bagi lingkungan dari setiap hal yang membahayakan lingungan, dan sarana pembeda antara yang haq dan bathil dalam kehidupan.

Dengan demikian surat al-Hajj ayat 41 ini memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang berorientasi kepada terwujudnya manusia yang shaleh baik secara intelektual, emosional dan spiritual.

B. Saran

1. Al-Qur’an selain merupakan pedoman bagi umat Islam, juga merupakan sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dunia pendidikan khususnya pendidikan ibadah dalam setiap pembahasan dan kajiannya hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an.

2. Hendaknya pendidikan ibadah dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk kepribadian muslim yang bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan tuntutan al-Qur’an.


(4)

71

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Al-Abrasi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah. Bustami A. gain dan Djohal Bahry, Jakarta : Bulan Bintang, 1984.

Al-Audah, Salman dan Ilahi, Fadil, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar,”, penerjemah. Rahmat dan Abdul Rosyid Shidiq, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1993.

Al-Baghdady, Al-‘alim Al-allâmah ‘Alâ’uddin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrohim, Tafsir Khozin, Beirut: Darul Fikri, 1979.

Al-Baijury, As-Seikh Ibrohim, Haasyiyah Al-Baijury, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2007. Al-Bantaniy, As-Syeikh Muhammad Nawawi, Tanqiihul Qoul, Jeddah: Haromain, t.t.

Al-Fakhrurrâzy, Al-imam, Tafsir Ar-roozy, Beirut: Darul Ihya Atturoots, t.t. Al-Ghazy, Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib, Bandung: Al-Ma’arif, t.t.

Al-Haddad, Syeikh Abdullah bin Alawi bin Muhammad, Risalahul Muawanah, T.tp: Dar Ihya Al-kutub Al-’Arobiyyah, t.t.

Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988. Al-Mahally, Al-Imam Jalâluddin, Al-Waraqât, T.tp: Dâr Ihya Al-kutub Al-’Arobiyyah, t.t. Al-Misri, Abdullah, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, Beirut: Daar

al-fikri.

Al-Munawwar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nila-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005.

Al-Qardhawi, Yusuf, Ibadah dalam Islam, penerjemah. Umar Fanani, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1998.

Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, penerjemah. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.

Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.

Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan Dari Allah “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”,


(5)

72 Ash Shiddieqy, Hasbi, Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari segi Hukum dan Hikmah, Jakarta:

Bulan Bintang, 1954.

_____, Pedoman Shalat, Jakarta: N.V.Bulan Bintang, 1983. _____, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1987.

Az-Zaghabi, Muhammad Abdul Malik, Malang Nian Orang yang Tidak Shalat, penerjemah. Abdul Rosyid Shiddiq, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Baihaqi, Fiqih Ibadah, Bandung: M2S Bandung, 1996.

Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional; Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1992.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Hudory, Syaikh Muhammad, Tarikh Tasyri Islami, Bairut: Darl Fiqr, 1981. Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994.

Izzudin, Abu Muhammad, Shalat Tiang Agama, Johor Baru: Perniagaan Jahabersa, 1996. Majieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.


(6)

73 Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an “Di Bawah Naungan Al-Qur’an”, penerjemah. As’ad,

dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Razak, Nasarudin, Ibadah Shalat Menurut Sunnah Rasulullah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993. Ritonga, A. Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.t.

Sabri, M Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

________, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Sjadzali, Munawir dan Soeratno, Chamamah (eds.), Ensiklopedi al-Qur’an; Dunia Islam Modern, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.

Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosda Pustaka, 1997.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Yasin, Ibnu Amin dan Yasmin, Abu, Fikih Shalat Lengkap, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.