Faktor-Faktor yang Membentuk Konsep Diri Miss Indonesia

4.4 Faktor-Faktor yang Membentuk Konsep Diri Miss Indonesia

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri individu, antara lain keluarga, reference group, orang lain, dan pendidikan. Melihat dari sisi faktor- faktor yang mempengaruhi konsep diri, informan 1 dan informan 2 menyatakan bahwa faktor yang paling mempengaruhi dirinya adalah keluarga. Perlu diketahui, bahwa kedua informan tersebut berasal dari keluarga yang kurang harmonis, dimana kedua orangtua mereka bercerai saat kedua informan masih sangat kecil.

Informan 1 menyatakan bahwa latar belakang keluarga adalah faktor yang paling membentuk konsep diri informan: “Seandainya punya orangtua yang harmonis kayak teman-teman, aku pasti lebih percaya diri, nggak pemalu … Tapi, gara-gara orangtua cerai aku jadi... apa yah? Jadi sangat ngga percaya diri, pemalu, sangat ngga bisa berteman, jadi negatif b anget sih.”

Informan 1 juga menyatakan bahwa sifat kompetitifnya didapat dari pola asuh yang diterima dari ibunya: “Karena mamiku kan terobsesi banget anaknya pintar. Jadi dari kecil itu udah

dipaksa belajar. Setiap pulang sekolah kalau temenku itu pada main, aku belajar. Di les-in pelajaran.Senin sampai Jumat. Terus kalau ada ujian, mamiku personally tuh tanyain aku gitu, jadi ngasih ujian ke aku, kalau ngga dipaksa belajar. Setiap pulang sekolah kalau temenku itu pada main, aku belajar. Di les-in pelajaran.Senin sampai Jumat. Terus kalau ada ujian, mamiku personally tuh tanyain aku gitu, jadi ngasih ujian ke aku, kalau ngga

Demikian juga halnya dengan informan 2 yang menyatakan bahwa latar belakang keluarga adalah faktor yang paling mempengaruhi informan menjadi pribadi yang tertutup dan susah bergaul:

“Aku harus hidup tanpa ayah dimana teman teman sebaya aku tuh pergi-pergi sama ayahnya sedangkan aku engga dan aku belum ngerti apa itu perceraian. Jadi itu menciptakan diri aku sebagai orang yang benar benar tertutup eh.. selalu sirik sama orang lain yang punya ayah dan selalu menyalahkan kedua orangtuaku kenapa aku jadi anak korban perceraian… Aku tumbuh diantara dua orang itu, mama yang sering nangis, kakak yang tertutup dan aku tuh dulu benci sama aku. Itu yang bikin aku sering ngomong sendiri. Karena apa yah... ibaratnya aku ngga punya orang buat diajak ngomong, ngga bisa cerita dan ngga bisa nanya ma papa kemana?”

Namun, informan 1 menyatakan selain latar belakang keluarga, informan 1 juga dipengaruhi oleh reference group yaitu sahabat-sahabatnya di bangku kuliah yang cukup memberikan dampak positif bagi infoman:

“Dulu kan waktu di Amerika kan aku kuper ngga punya teman. Di UPH tuh justru pengen ngerasain sekali-sekali gimana sih rasanya jadi anak gaul. Gimana sih nongkrong di kafe gitu loh. Tapi untungnya aku ketemu mereka.Mereka tuh alim-alim gitu. Seandainya aku ngga ketemu mereka, mungkin aku sekarang udah rusak. Jangankan Miss Indonesia, mungkin sekarang aku lagi ngerokok ngga tau dimana. Jadi karena mereka tuh, hmm, influence yang super positif ke aku, aku jadi tetap, yah walaupun aku bukan yang super gaul, tapi aku udah bisa berteman. Waktu hang out juga paling cuma nonton ke mall, shopping, bukan clubbing atau apa gitu.”

Selain latar belakang keluarga dan reference group, latar belakang pendidikan informan yang selalu berprestasi dan sempat bersekolah di luar negeri cukup membentuk dan mengubah pribadi informan menjadi lebih percaya diri:

“Karena akademis aku bagus jadi aku percaya diri. Ini modalku, ini yang bisa aku banggain. Terus dengan kuliah di UPH jurusan Hubungan Internasional, juga wawasannya lebih luas lah. Apalagi Miss Indonesia juga berhubungan dengan yang gitu-gitu, jadi ya lebih percaya diri aja.”

Berbeda halnya dengan informan 1, informan 2 tidak merasa mendapat banyak pengaruh dari reference group karena informan lebih suka menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri:

“Waktu kecil sih aku ngga terlalu banyak menghabiskan waktu sama teman- teman ya karena itu kan, aku lebih banyak dirumah dan ngomong sendiri …Aku sendiri orangnya ngga terpengaruh sama sekali sama teman- teman. Aku lebih nyaman sama diri aku sendiri, aku lebih suka nulis diary kayak mama daripada main sama temen- temen.”

Bahkan informan 2 menegaskan kembali bahwa ia lebih dipengaruhi oleh keluarganya dan bukan oleh reference group-nya:

“Kalau teman-teman aku jadi remaja yang agak nakal. Mereka mulai coba ngerokok, mereka coba pacaran yang ga sesuai dengan norma kita. Disitu aku ngga. Kedengerannya aneh. Tapi aku sama Kakak percaya kalau karma itu ada. Kakakku selalu bilang, emmm, setelah kita masing-masing punya pacar

ya, „kalau Kakak suka ngapa-ngapain cewek, kamu pasti diapa-apain. Nah karena Kakak ngga pernah ngapa-ngapain cewek, jadi kamu ngga boleh diapa- apain cowok.‟ Jadi sekalipun aku main sama temen-temen yang bilang „ih lo ngga begini ya? Lo ngga gaul!‟ tapi aku selalu inget muka Kakak, dan air mata Mama yang ngebesarin aku.”

Bagi informan 2, latar belakang pendidikan juga cukup mempengaruhi informan dalam hal psikologis: “Yah mungkin karena aku merasa pendidikan formal membantu menciptakan

karakter seseorang. Apalagi setelah aku belajar jadi ketua, aku mulai mengerti cara bicara yang baik didepan orang.”

Informan 2 juga menunjukkan keaktifannya dalam dunia pendidikan dengan mengikuti organisasi dan berprestasi dalam bidang akademis: “…aku ngga pernah keluar dari 10 besar. SMP aku malah ngga pernah keluar dari dua besar. SMP aku ikut ketua OSIS, ketua mading, ketua teater. Pokoknya semua aku cobain.”

Di sisi lain, informan 3 dan informan 4 berasal dari latar belakang keluarga yang harmonis, tetapi ada perbedaan pengaruh. Informan 3 merasa sifatnya yang tertutup dan agak sulit bergaul sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, dimana ayahnya adalah seorang yang sangat ketat dalam mengasuh anak:

“…masa kecil orangnya pendiam banget sih. Sosialnya juga kurang, maksudnya jarang temenan. SMP baru mulai temenan… Karena emang orangtua orangnya strict gitu. Jadi kebawa, jadi orangnya agak-agak terkekang gitu. Apa yang ada diotak ngga langsung diomongin. Harus dipikir lagi dipikir lagi diomongin ngga ya… strictnya gimana ya emmm...ya banyak sih, dia pengen tuh anaknya bisa banyak punya prestasi. Abis itu mau anaknya nilainya bagus. Terus apalagi ya. Ya kira-kira gitu sih. Pergaulan juga dijaga. Dia ngga mau ada kesalahan.”

Senada dan serupa hal nya dengan apa yang terjadi dengan informan 2, reference group sendiri tidak terlalu berpengaruh terhadap informan 3. Hal ini dikarenakan informan 3 sangat menjaga nilai-nilai dan aturan yang diajarkan oleh sang ayah:

“Anak-anak Melbourne juga jarang sih maksudnya yang terlalu gaul banget gitu kan, biasanya ketemu yang di club- club gitu kan, terus emang…secara bokap strict jadi kita emang ngga..ngga clubbing gitu loh jadi emang ketemunya anak-anak yang di univ atau ngga perkumpulan yang perkumpulan agama… ngga ngga juga sih maksudnya…kadang-kadang dia strict, tapi dia kasih reasonnya gitu kenapa gitu. Misalnya ngga boleh clubbing karena di clubbing pengaruh jahatnya banyak, mis alnya sama aja kayak…mengekspos diri kamu ke..bahaya, gitu kan. Kita ngerti lah alasannya”

Dalam hal latar belakang pendidikan, informan 3 merasa latar belakang pendidikan cukup mempengaruhi dalam hal perubahan pola pikir, cara pandang Dalam hal latar belakang pendidikan, informan 3 merasa latar belakang pendidikan cukup mempengaruhi dalam hal perubahan pola pikir, cara pandang

“…menurut aku karena kalau kita pendidikannya tinggi mindset kita pasti berubah, misalnya cara pandang terhadap hidup pasti berubah, terus kita juga pasti lebih ada manners lah kalau misalnya ada berpendidikan. ”

Sementara itu, informan 4 merasa pengaruh keluarga sama besarnya dengan pengaruh reference group: “Kayanya 50-50 sih kak. Aku bener-bener kalo di peer group aku, aku jadi seutuhnya. Tapi begitu aku merasa jatoh di peer group, orang tua itu yang selalu motivasi.”

Latar belakang keluarga mempengaruhi informan 4 dalam hal pengambilan keputusan: “Bisa dibilang besar banget. Kadang-kadang apa yang aku lakuin, kalo kata orang tua ngga, aku juga ngga lakuin. Karena aku tipe yang percaya banget sama orang tua aku. Jadi apa yang dia bilang selalu aku turutin.”

Sementara itu, reference group mempengaruhi informan 4 dalam hal pengungkapan diri. Ketika SD, informan 4 banyak bergaul dengan anak laki-laki sehingga informan 4 menjadi tomboy, tetapi ketika SMP teman-teman di sekitarnya adalah anak-anak perempuan yang memperhatikan penampilan dan suka berbelanja sehingga informan 4 juga mulai terpengaruh untuk suka berbelanja. Ketika duduk di bangku SMA, informan 4 bergaul dengan anak-anak yang suka belajar, sehingga informan 4 pun terpengaruh memiliki motivasi untuk belajar. Namun, di sisi lain, informan 4 juga memiliki teman-teman ketika ia mengikuti berbagai ajang kompetisi, bahkan salah satunya menjadi sahabat dekatnya. Dalam hal ini informan 4 mengemukakan alasan: “…sebenernya peer group itu bener-bener mempengaruhi kelakuan orang, kadang-kadang kita berlaku sama dengan mereka padahal itu bukan kemauan hati, kaya jadi sama dengan orang lain. Tapi ada kalanya tuh kita harus sama kaya mereka supaya diterima banyak orang.… Ada satu sahabat ini yang tadinya itu deket banget. Dia tuh yang bener-bener ngerubah aku total banget dari yang aku dulu tomboy bisa kaya sekarang feminin. Aku ngerasa peran dia tuh gede banget sama aku. Mungkin dia kali ya yang perannya lebih gede dari oran tua. Soalnya dia bisa ngerubah aku lebih kaya sekarang gitu. Kita deket banget.

Karena dia bisa sampe ngerubah aku. Aku kan orangnya ngga gitu terbuka sama orang baru kan sebenernya, tapi dia yang tau banyak tentang aku gitu. Dia sampe ngerti kalo dal am posisi ini, aku tuh kenapa.”

Dalam hal latar belakang pendidikan, informan 3 menyatakan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi informan dalam hal cita-cita informan yang ingin menjadi jurnalis serta hobinya dalam bidang menulis. Informan mengatakan bahwa pemilihan pendidikan lepas dari campur tangan orang lain, dan benar-benar berdasarkan dirinya sendiri sesuai dengan hobi yang dimilikinya: “Aku harapannya begitu masuk komunikasi UI bener-bener bisa mendorong dan mengembangkan talenta, dan biar kerjanya sesuai passion juga.”

Dari hasil wawancara dengan keempat informan di atas, dapat diketahui bahwa faktor yang paling mempengaruhi konsep diri informan pada dasarnya adalah keluarga, baik informan yang hidup dalam keluarga yang harmonis maupun yang kurang harmonis. Informan menjadi pribadi yang sedemikian rupa tidak lepas dari latar belakang masalah maupun nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga. Namun demikian, dalam tahap selanjutnya, pembentukan konsep diri informan juga cukup dipengaruhi oleh reference group dan latar belakang pendidikan formal.