Perbedaan Ekspresi Bcl-2 Pada Hiperplasia Endometrium Non Atipik Simpleks Dan Kompleks Di RS.H.Adam Malik Medan

(1)

PERBEDAAN EKSPRESI Bcl-2 PADA HIPERPLASIA

ENDOMETRIUM NON ATIPIK SIMPLEKS DAN KOMPLEKS

DI RS.H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH:

RICCA PUSPITA RAHIM

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

2014


(2)

PENELITIAN I

Prof. dr.

dr. INDRA GUN

dr. HOTMA PART

Dr. dr. HE

dr. KHAIRANI S

Diajukanuntukme

usyaratuntukme

INI DI BAWAH BIMBING

PEMBIMBING :

r. DELFI LUTAN, MSc, SpO

NASTI MUNTHE, M.Ked (OG

PENYANGGAH :

TOGI PASARIBU, M.Ked (O

HENRY SALIM SIREGAR, S

SUKATENDEL, M.Ked (OG

elengkapitugasdanmemen

encapaikeahliandalambida

GAN TIM 5

OG.K

OG), SpOG.K

(OG), SpOG

SpOG.K

G), SpOG.K

enuhisalahsat

angObstetrid


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

“Bismillaahirrahmaanirrahiim”

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya atas izin dan kemurahan-Nya lah penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis saya ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan pustaka, khususnya tentang :

”PERBEDAAN EKSPRESI Bcl-2 PADA HIPERPLASIA

ENDOMETRIUM NON ATIPIK SIMPLEKS DAN KOMPLEKS di RS.H. ADAM MALIK MEDAN ”

Dengan selesainya penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program


(5)

ii

Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K) dan Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG), SpOG(K), selaku ketua dan sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU, Medan.

Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) dan dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK USU, Medan.

Kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K), Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. Dr. dr. H. M. Thamrin Tanjung, SpOG(K), Prof. dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG(K), Prof. dr. T. M. Hanafiah, SpOG(K), Prof. dr. Budi R. Hadibroto, SpOG(K), Prof. dr. Daulat H. Sibuea, SpOG(K), Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K), dan dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG(K), yang secara bersama-sama telah berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi. Semoga ALLAH SWT membalas kebaikan budi guru-guru saya tersebut.

Kepada Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) selaku orang tua angkat saya selama menjalani masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat yang bermanfaat kepada saya selama dalam pendidikan.

Kepada Prof.dr.Delfi Lutan,MSc,SpOG.K, dr. Indra G. Munthe, M.Ked (OG),SpOG.K selaku pembimbing tesis ini, serta dr. Hotma Partogi Pasaribu,M.Ked(OG),SpOG, Dr.dr.Henry Salim Siregar,SpOG.K dr. Khairani Sukatendel ,M.Ked(OG),SpOG.K selaku penyanggah.


(6)

Terimakasih kepada para guru saya di tim 5 ini, atas segala koreksi, kritik yang membangun, serta atas segala bantuan, bimbingan, juga waktu dan pikiran yang telah diluangkan dengan penuh kesabaran, dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan penulisan dan penyusunan tesis ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.

Kepada dr. Putri C. Eyanoer, MPH dan Dr. Surya Dharma, MPH yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis obgyn dan tesis magister saya.

Kepada Divisi Ginekologi yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian ini.

Kepada dr. Hotma Partogi Pasaribu,M.Ked(OG),SpOG dan Dr.dr.Sarma N.Lumbanraja M.Ked(OG),SpOG.K sebagai pembimbing tesis magister saya bersama Dr. dr. Letta S.Lintang, MKed(OG), Sp.OG, Dr.Binarwan Halim, Mked(OG), SpOG.K, dan Dr. Deri Edianto, Mked(OG)SpOG.K selaku penyanggah dan narasumber dalam penulisan tesis magister saya. Terimakasih kepada para guru saya di tim 5 ini, atas segala koreksi, kritik yang membangun, serta atas segala bantuan, bimbingan, dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan penulisan dan penyusunan tesis ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.

Kepada Dr.Nazaruddin Jaffar SpOG K selaku pembimbing Referat Fetomaternal saya yang berjudul : “Peranan kortisol terhadap kehamilan preterm. Kepada Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG),


(7)

iv

Reproduksi saya yang berjudul : “ Infertilitas Karena Faktor Pria” dan kepada dr. Riza Rivany,SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat Onkologi-Ginekologi saya yang berjudul “ Biomarker untuk Deteksi dan Monitoring Kanker Ovarium”. Kepada dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing Minirefarat Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi saya yang berjudul : “ Infeksi Saluran Kemih Berulang”

Para guru yang saya hormati, seluruh staf pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik di RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi, RS Tembakau Deli, RSU Sundari dan RS KESDAM II Putri Hijau, Medan, yang telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.

Direktur RSUP H. Adam Malik, Medan dan Ketua Departemen Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi tersebut.

Direktur RSUD dr. Pirngadi, Medan dan Ketua SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan dr. Syamsul Arifin Nasution, M.Ked(OG), SpOG(K) beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi tersebut.


(8)

Direktur RS Haji Mina Medan dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan dr. H. Muslich Perangin-angin, SpOG, Direktur RS Tembakau Deli dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan dr. H. Sofian Abdul Ilah, SpOG direktur RSU Sundari dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan, dr. H. M. Haidir, MHA, SpOG, Kepala RUMKIT KesDam II / Bukit Barisan ”Puteri Hijau” dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Mayor CKM dr. Gunawan Rusuldi, SpOG, serta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi-instansi tersebut.

Laboratorium Patologi Anatomi FK USU beserta staf yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

Kepada senior-senior saya,teman seangkatan saya dan rekan-rekan PPDS saya berterima kasih atas segala bimbingan dan dukungan selama ini.

Seluruh PPDS yang pernah menjadi tim jaga saya dan dengan kebersamaan yang indah, saling mendukung dan memberikan semangat dan berkomitmen untuk seia sekata dengan penuh loyalitas dalam bertugas selama menempuh pendidikan ini, saya ucapkan terima kasih

Kepada seluruh staf pegawai negeri dan pegawai honorer dan seluruh petugas yang bekerja di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSHAM dan RSPM, terima kasih atas bantuannya selama ini.


(9)

vi

Seluruh pasien, rekan dokter muda, staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis pada seluruh instansi ditempat saya pernah mengikuti pendidikan maupun bertugas. Terima kasih banyak atas segala kerjasama, bantuan, bimbingan, serta kebaikan yang diberikan selama masa pendidikan yang saya jalani.

Tiada kata yang dapat saya ucapkan selain rasa syukur kepada Allah SWT dan Sembah sujud serta terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang sangat saya cintai H. Abdul Rahim Chan (alm) dan Hj. Syamsinar yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari sejak kecil hingga kini. Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak mertua H.Rasul B (alm) dan ibu mertua Hj. Hamdani, yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada saya.

Tiada kata yang bisa mengungkapkan rasa terima kasih kepada suami saya, dr. Mensyuknil Hasra SpOT dan teramat khusus untuk Buah hatiku tercinta, Chesa Salsabila Mecca dan Cardova Fayzzil Mecca, yang memberi inspirasi serta penyemangat saya dalam menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan kepada keluarga kita.

Kepada abangku Yasser Arcan terima kasih atas dukungan kepada saya selama menjalani pendidikan.

Kepada seluruh Keluarga yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak


(10)

langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan doa, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Sem oga A ll ah SW T sena nt ia sa m em be r i kan rahm at - N ya k epad a ki ta semua.

Medan, November 2014


(11)

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI viii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR TABEL. xi

DAFTAR SINGKATAN xii

ABSTRAK xiii

ABSTRACT xv

Bab I Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 4

1.3. Hipotesa Penelitian 5

1.4. Tujuan Penelitian 5

1.4.1. Tujuan Umum 5

1.4.2 Tujuan Khusus 5

1.5. Manfaat Penelitian 6

1.5.1 Manfaat Teoritis 6

1.5.2 Manfaat Metodologis 6

1.5.3 Manfaat Aplikatif 6

Bab II Tinjauan Pustaka 7

2.1 Bcl-2( B Cell Lymphoma 2) 7

2.2 Apoptosis 9

2.2.1 Defenisi 9

2.2.2 Fungsi Apoptosis 10

2.2.3 Regulasi Apoptosis 11

2.2.4 Ekspresi Bcl-2 Pada Hiperplasia Endometrium 17

2.2.5 Pemeriksaan Ekspresi Bcl-2 21

2.3 Hiperplasia Endometrium 28


(12)

2.3.1 Defenisi 28

2.3.2 Klasifikasi 29

2.3.3 Epidemiologi 31

2.3.4 Patogenesis 32

2.3.5 Gambaran Klinis 33

2.3.6 Diagnosis 34

2.3.7 Penatalaksanaan 36

2.4 Kerangka Teori 38

2.5 Kerangka Konsep 39

BAB III Metode Penelitian 40

3.1 Rancangan Penelitian 40

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian 40

3.3 Populasi Penelitian 40

3.4 Sampel Dan Besar Sampel 40

3.5 Identifikasi Variabel 41

3.6 Cara Kerja Dan Teknik Pengumpulan Data 42

3.7 Defenisi Operasional 44

3.8 Kerangka Kerja 46

3.9 Analisa Data 47

Bab IV Hasil Dan Pembahasan 48

Bab V Kesimpulan Dan Saran 54

Daftar Pustaka 55


(13)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tiga subgroup Bcl-2 protein dan bcl-2 homolog domain 8

Gambar 2.2 Regulasi Apoptosis pada endometrium manusia. 12

Gambar 2.3 Apoptosis jalur Intrinsik dan Ekstrinsik 16

Gambar 2.4 Mekanisme Apoptosis 17

Gambar 2.5. Analisis imunohistokimia dari Bcl-2 dan Bax 18

Gambar 2.6 Apoptosis sel pada kelenjar Endometrium 19

Gambar 2.7 Analisis dari Apoptosis 20

Gambar 2.8 Kelenjar Endometrium yang positif Bcl 2 22

Gambar 2.9 Klasifikasi Histologi Hiperplasia Endometrium 30

Gambar 2.10 Proportion Score (PS) dan Intensity Score (IS) 45


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium 29

Tabel 2 Perbandingan hiperplasia simpleks dan kompleks dengan

hiperplasia atipikal simpleks dan kompleks 31 Tabel 4.1 Distribusi frekuensi hiperplasia endometrium

berdasarkan karakteristik 46

Tabel 4.2 Perbedaan ekspresi Bcl-2 berdasarkan kekuatan intensitas 47 Tabel 4.3 Perbedaan rerata ekspresi Bcl-2 antara hiperplasia

endometrium non atipik simpleks dan kompleks 49


(15)

xii

DAFTAR SINGKATAN

Bcl-2 : B cell lymphoma-2

Bax : Bcl-2 Associated x

Bcl-xl : B cell lymphoma-extra large

Mcl-1 : Myeloid cell leukemia-1

Bcl-2α : B cell lymphoma-2α

Bcl-2β : B cell lymphoma-2β

mRNA : messenger Ribo Nucleated Acid

Bak : Bcl-2 Associated Killer

Bid : BH3 domain only death promoter

Bik : Bcl-2 interacting killer

Noxa : Noxa A gene

Puma : p53 upregulated modulator of apoptosis

Hrk : Harakiri, Bcl 2 Interacting Protein

BNIP3 : Bcl-2/ adenovirus E1B19kDa Interacting Protein

Bad : Bcl-2- associated death promoter

TNF-α : Tumor Necrosis Factor α

NF-κβ : Nuclear Factor kappa-light –chain-enhancer of activated B-cell

Apaf-1 : Apoptosis-activating factor-1

IAP : Inhibitors of Apoptosis

FAS : Fragment Apoptosis Stimulating

FAPD : Fas- Associated Protein with Death Domain

FasL : Fas Ligand

PARP : Poly ADP-ribose Polymerase


(16)

PERBEDAAN EKSPRESI Bcl-2 PADA HIPERPLASIA ENDOMETRIUM NON ATIPIK SIMPLEKS DAN KOMPLEKS DI RS.H.ADAM MALIK MEDAN

Rahim RP, Lutan D, Munthe IG, Pasaribu HP, Siregar HS, Sukatendel K Divisi Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi – Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran – Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia, November 2014

ABSTRAK

Latar Belakang : Hiperplasia endometrium adalah proliferasi selular yang berlebihan mengarah ke peningkatan volume jaringan endometrium. Hiperplasia endometrium prekursor keganasan genitalia wanita Apoptosis berperan pada hiperplasia endometrium. Apoptosis diatur oleh beberapa gen, termasuk Bcl-2.

Tujuan : Mengetahui perbedaan ekspresi imunohistokimia Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks..

Metode : Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan analisa komparatif. Populasi penelitian adalah pasien dengan hiperplasia endometrium yang mendapat perlakuan biopsi endometrium dimana jaringan akan diperiksa dalam bentuk blok parafin. Subyek penelitian diambil dari preparat blok parafin hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks di Laboratorium Patologi Anatomi RSHAM dan FK.USU Medan

Hasil : Dari penelitian didapatkan 44 orang subjek penelitian, yang dibagi menjadi 2 kelompok, hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks. Berdasarkan usia, sebagian besar subjek berusia >40 tahun . Pada kelompok simpleks sebanyak 12 orang (54,5%), dan kompleks sebanyak 17 orang (77,30%), p=0.705. Proporsi ekspresi Bcl2 pada kelompok simpleks lebih banyak dengan intensitas yang lemah (45,5%), sedangkan pada kelompok kompleks proporsi terbesar dengan intensitas sedang (31,8%). Rerata intensitas ekspresi imunohistokimia Bcl2 jaringan hiperplasia endometrium non atipik simpleks adalah 1,23, lebih rendah dari kelompok kompleks dengan 1,50, nilai p>0,05


(17)

xiv Kesimpulan : Tidak ada perbedaan bermakna antara gambaran intensitas ekspresi imunohistokimia Bcl2 jaringan hiperplasia endometrium non atipik simpleks dengan kompleks.

Kata Kunci : hiperplasia endometrium, apoptosis, Bcl-2


(18)

DIFFERENCE OF Bcl-2 EXPRESSION IN SIMPLEX AND COMPLEX NON ATYPICAL ENDOMETRIAL HYPERPLASIA AT ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL

MEDAN

Rahim RP, Lutan D, Munthe IG, Pasaribu HP, Siregar HS, Sukatendel K Division of Reproductive Endocrinology and Fertility Medicine

Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine – University of Sumatera Utara

Medan, Indonesia, November 2014

ABSTRACT

Background : Endometrial hyperplasia is an excessive cellular proliferation which leads to the increase of endometrial tissue volume. Endometrial hyperplasia is a precursor of malignancy in women’s genitalia. Apoptosis may play a role in endometrial hyperplasia and regulated by several genes, including Bcl-2.

Purpose : To find the difference between immunohistochemistry expression of Bcl-2 in simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia

Method : This is an analytic observational study with comparative analysis. Population of the study are patients with endometrial hyperplasia receiving endometrial biopsy, where the tissue will be examined in form of paraffin block. Study subjects were taken from simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia paraffin block which available in Histopathology Laboratory of Adam Malik General Hospital and USU Medical Faculty Medan.

Result : From this study, 44 subjects were obtained, divided into 2 groups, simplex and

complex non-atypical endometrial hyperplasia Based on age, most subjects are from

the age group of >40 years .With 12 subjects in simplex group (54,5%), and 17 subjects in complex group (77,30%), p=0.705. Based on proportion of Bcl2 expression, the majority in simplex group shows weak intensity (45,5%), majority in complex group shows moderate intensity (31,8%). Mean immunohistochemisry expression intensity of

Bcl-2 in simplex non-atypical endometrial hyperplasia is 1,23, lower than complex


(19)

xvi Conclusion : No significant difference was found between the immunohistochemisry expression intensity of Bcl-2 in simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia.

Keyword : endometrial hyperplasia, apoptosis, Bcl-2


(20)

PERBEDAAN EKSPRESI Bcl-2 PADA HIPERPLASIA ENDOMETRIUM NON ATIPIK SIMPLEKS DAN KOMPLEKS DI RS.H.ADAM MALIK MEDAN

Rahim RP, Lutan D, Munthe IG, Pasaribu HP, Siregar HS, Sukatendel K Divisi Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi – Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran – Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia, November 2014

ABSTRAK

Latar Belakang : Hiperplasia endometrium adalah proliferasi selular yang berlebihan mengarah ke peningkatan volume jaringan endometrium. Hiperplasia endometrium prekursor keganasan genitalia wanita Apoptosis berperan pada hiperplasia endometrium. Apoptosis diatur oleh beberapa gen, termasuk Bcl-2.

Tujuan : Mengetahui perbedaan ekspresi imunohistokimia Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks..

Metode : Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan analisa komparatif. Populasi penelitian adalah pasien dengan hiperplasia endometrium yang mendapat perlakuan biopsi endometrium dimana jaringan akan diperiksa dalam bentuk blok parafin. Subyek penelitian diambil dari preparat blok parafin hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks di Laboratorium Patologi Anatomi RSHAM dan FK.USU Medan

Hasil : Dari penelitian didapatkan 44 orang subjek penelitian, yang dibagi menjadi 2 kelompok, hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks. Berdasarkan usia, sebagian besar subjek berusia >40 tahun . Pada kelompok simpleks sebanyak 12 orang (54,5%), dan kompleks sebanyak 17 orang (77,30%), p=0.705. Proporsi ekspresi Bcl2 pada kelompok simpleks lebih banyak dengan intensitas yang lemah (45,5%), sedangkan pada kelompok kompleks proporsi terbesar dengan intensitas sedang (31,8%). Rerata intensitas ekspresi imunohistokimia Bcl2 jaringan hiperplasia endometrium non atipik simpleks adalah 1,23, lebih rendah dari kelompok kompleks dengan 1,50, nilai p>0,05


(21)

xiv Kesimpulan : Tidak ada perbedaan bermakna antara gambaran intensitas ekspresi imunohistokimia Bcl2 jaringan hiperplasia endometrium non atipik simpleks dengan kompleks.

Kata Kunci : hiperplasia endometrium, apoptosis, Bcl-2


(22)

DIFFERENCE OF Bcl-2 EXPRESSION IN SIMPLEX AND COMPLEX NON ATYPICAL ENDOMETRIAL HYPERPLASIA AT ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL

MEDAN

Rahim RP, Lutan D, Munthe IG, Pasaribu HP, Siregar HS, Sukatendel K Division of Reproductive Endocrinology and Fertility Medicine

Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine – University of Sumatera Utara

Medan, Indonesia, November 2014

ABSTRACT

Background : Endometrial hyperplasia is an excessive cellular proliferation which leads to the increase of endometrial tissue volume. Endometrial hyperplasia is a precursor of malignancy in women’s genitalia. Apoptosis may play a role in endometrial hyperplasia and regulated by several genes, including Bcl-2.

Purpose : To find the difference between immunohistochemistry expression of Bcl-2 in simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia

Method : This is an analytic observational study with comparative analysis. Population of the study are patients with endometrial hyperplasia receiving endometrial biopsy, where the tissue will be examined in form of paraffin block. Study subjects were taken from simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia paraffin block which available in Histopathology Laboratory of Adam Malik General Hospital and USU Medical Faculty Medan.

Result : From this study, 44 subjects were obtained, divided into 2 groups, simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia Based on age, most subjects are from the age group of >40 years .With 12 subjects in simplex group (54,5%), and 17 subjects in complex group (77,30%), p=0.705. Based on proportion of Bcl2 expression, the majority in simplex group shows weak intensity (45,5%), majority in complex group shows moderate intensity (31,8%). Mean immunohistochemisry expression intensity of Bcl-2 in simplex non-atypical endometrial hyperplasia is 1,23, lower than complex group with 1,50, p-value>0,05


(23)

xvi Conclusion : No significant difference was found between the immunohistochemisry expression intensity of Bcl-2 in simplex and complex non-atypical endometrial hyperplasia.

Keyword : endometrial hyperplasia, apoptosis, Bcl-2


(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam arti luas hiperplasia endometrium berhubungan dengan proliferasi selular yang berlebihan mengarah ke peningkatan volume jaringan endometrium, di mana peningkatan kelenjar endometrium ke stroma terlihat rasio lebih besar dari 1:1. Hiperplasia endometrium selanjutnya diklasifikasikan atas dasar kompleks kelenjar endometrium dan setiap sitologi atipia, sehingga berdasarkan sistem klasifikasi terdiri dari simpleks atau kompleks hiperplasia dengan atau tanpa atipia.1

Penelitian untuk mencari insidensi hiperplasia endometrium pada wanita berusia 18-90 tahun telah banyak dilakukan. Menurut penelitian Reed et al pada tahun 2009 didapatkan insidensi hiperplasia endometrium jenis simpleks adalah 142 per 100.000 wanita, kompleks 213/100.000 wanita, atipik 56/100.000 wanita dengan usia terbanyak untuk jenis simpleks dan kompleks adalah 50 tahun sedangkan jenis atipik adalah 60 tahun.2

Hiperplasia endometrium mempengaruhi wanita premenopause dan menopause, dengan jumlah sekitar 15% kasus perempuan dengan perdarahan postmenaupose. Sebaliknya, hiperplasia endometrium dapat juga asimtomatik dan mungkin pada beberapa kasus, regresi spontan tidak terdeteksi. Hiperplasia endometrium secara klinis terutama berkaitan dengan resiko berkembangnya menjadi karsinoma endometrium ketika


(25)

2

hiperplasia dikaitkan dengan sitologi atipia. Diyakini bahwa sebagian besar kanker endometrium dibedakan berdasarkan lesi hiperplastik, mulai dari hiperplasia endometrium tanpa atipia dan hiperplasia dengan atipia, untuk dibedakan menjadi karsinoma endometrium. 1

Hiperplasia endometrium merupakan salah satu prekursor paling sering pada keganasan genitalia wanita. American Cancer Society (ACS) memprediksikan bahwa 40.100 kasus baru kanker uterus akan didiagnosis pada tahun 2003, yang mana 95% diharapkan berasal dari endometrium. ACS juga memperkirakan terdapat kira-kira 6800 wanita Amerika akan meninggal akibat kanker uterus pada tahun 2003. Adanya estrogen unopposed dari siklus anovulatori dari pemakaian estrogen dari luar pada wanita pascamenopause dapat meningkatkan resiko terjadinya hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium. Sistem klasifikasi hiperplasia endometrium telah dikembangkan berdasarkan tingkat kompleks kelenjar endometrium dan gambaran atipikal hasil sitologi. Hiperplasia atipik telah diduga berhubungan erat dengan kecenderungan terjadinya karsinoma endometrium dan adanya karsinoma endometrium saat ditemukannya hiperplasia endometrium.3

Di Amerika Serikat, kanker endometrium merupakan kanker yang paling umum didiagnosis pada sistem reproduksi perempuan. Strategi untuk mendiagnosis lesi pramalignan endometrium secara sensitif dan akurat sangat diperlukan. Perkembangan menjadi adenokarsinoma endometrium biasanya di awali oleh lesi prakanker, termasuk hiperplasia


(26)

endometrium dimana disebabkan oleh proliferasi endometrium yang tidak terkontrol. Apoptosis mengatur hemostasis endometrium selama siklus menstruasi. 4,5

Penelitian lain oleh Boise et al pada tahun 1993 meneliti tentang gen B cell lymphoma – 2 (Bcl-2) yang berperan dalam regulasi apoptosis. Jumlah sel dikontrol melalui keseimbangan proliferasi sel dan kematian sel. Apoptosis merupakan proses aktif dimana sel dapat mati selama perkembangan pada eukariosit kompleks. Kematian sel diinduksi program baik ekstrinsik maupun intrinsik. Kematian sel ditandai dengan kurangnya volume sel, pecahnya membran sel, kondensasi nuklear, dan degenerasi DNA.6

Penelitian Vaskivuo et al pada tahun 2002 membahas tentang peranan apoptosis dan faktor apoptosis Bcl-2 pada hiperplasia endometrium. Penelitian ini dilakukan pada 85 kasus spesimen histerektomi dengan usia 25-77 tahun. Hasil penelitian menunjukkan apoptosis berperan pada hiperplasia simpleks, kompleks, dan atipik. Proses apoptosis menurun pada hiperplasia endometrium. Bcl-2 terdeteksi pada hiperplasia endometrium dan endometrium normal. Laju apoptosis pada tipe simpleks adalah 0,49 dan kompleks adalah 0,52.5

Apoptosis diatur oleh beberapa gen, diantara gen tersebut, yang termasuk faktor penting adalah golongan gen Bcl-2. Bcl-2 merupakan gen anti-apoptosis yang pertama kali diidentifikasi pada limfoma non-hodgkin. Gen tersebut memiliki kemampuan menghambat berbagai macam sinyal


(27)

4

apoptosis, dan ekspresi dari gen ini telah ditemukan meningkat pada neoplasma pada manusia, termasuk keganasan mammae, prostat, tiroid, dan karsinoma sel paru sel besar. Bax merupakan gen lain yang merupakan golongan dari Bcl-2, tetapi berlawanan dengan Bcl-2, gen ini cenderung menginduksi terjadinya apoptosis.7

Menurut penelitian loffe et al pada tahun 1998 membahas tentang Bcl-2 tinggi pada hiperplasia simpleks dan fase proliferasi serta menurut penelitian Kokawa et al pada tahun 2001 meneliti bahwa Bcl-2 meningkat pada hiperplasia non atipik. Disini Bcl-2 berperan pada jalur intrinsik apoptosis dan mengatur pertumbuhan endometrium serta hiperplasia endometrium non-atipik.8,9

Bcl-2 merupakan protoonkogen yang menghambat terjadinya onkogenesis, tetapi dalam keadaan berlebihan malah bisa memberikan efek sebaliknya yaitu memicu onkogenesis, Bcl-2 juga dapat menjadi faktor prognostik kearah keganasan sementara adanya beberapa penelitian yang kontroversi di mana ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia non atipik simpleks lebih tinggi dan sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut dan juga belum adanya penelitian di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, peneliti ingin meneliti bagaimana perbedaan ekspresi imunohistokimia Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks.4,5,7,8


(28)

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dirumuskan masalah apakah terdapat perbedaan ekspresi imunohistokimia Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks.

1.3 Hipotesa Penelitian

Ho = Tidak ada perbedaan rerata ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dibanding kompleks.

Ha = Ada perbedaan rerata ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dibanding kompleks.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan ekspresi imunohistokimia Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks.

1.4.2 Tujuan khusus:

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks berdasarkan karakteristik.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi hiperplasia endometrium non-atipik simpleks dan kompleks berdasarkan hasil staining histopatologi. 3. Untuk mengetahui perbedaan ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia


(29)

6 1.5 Manfaat penelitian

1.5.1. Manfaat teoritis

Dapat diketahui bagaimana perbedaan ekspresi imunohistokimia Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks. Sekaligus diharapkan dapat menjadi dasar pada penelitian selanjutnya terhadap hiperplasia endometrium.

1.5.2. Manfaat Metodologis

Dapat diketahui bagaimana pemeriksaan ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium melalui pemeriksaan imunohistokimia.

1.5.3. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini diharapakan bermanfaat untuk memperoleh data tentang bagaimana ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium sehingga dapat menjadi landasan pilihan pemeriksaan dan mendiagnosis lebih spesifik pada penderita hiperplasia endometrium.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bcl-2 ( B cell lymphoma-2)

Bcl-2 merupakan B-cell lymphoma / leukemia-2 dan protein kedua dari berbagai protein yang ditemukan pada limfoma. Sesuai dengan namanya, gen ini ditemukan karena keterlibatannya dalam keganasan sel-B, dimana terjadi translokasi kromosomal yang kemudian mengaktifkan sebagian besar gen pada non-Hodgkin’s sel-B limfoma folikuler.10,11

Gen Bcl-2 memiliki lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tiga exons yang mana exon 2 dan sebagian kecil dari exon 3 mengkode protein. Bcl-2 mengkode 2 mRNA, yaitu Bcl-2α dan Bcl-2β, yang mana hanya Bcl-2α yang sepertinya memiliki relevansi biologis. Protein Bcl-2 merupakan membran protein yang memiliki berat molekul 26 kDa terletak pada bagian sitosolik dari amplop nuklear, retikulum endoplasma dan bagian luar membran mitokondria dan sitoplasma.12,13

Berdasarkan dari struktur dan fungsi, protein Bcl-2 adalah suatu regulator utama pada proses apoptosis meliputi antiapoptosis dan proapoptosis. Saat ini ada 18 anggota family Bcl-2 yang telah diidentifikasi dan dibagi kedalam 3 grup, yaitu 14,15,16,17

1. The anti apoptotic channel-forming protein meliputi Bcl-2, Bcl-xl, Mcl-1.


(31)

8

2. The proapoptotic channel-forming protein diwakili Bax ( Bcl-2 associated x protein) dan Bak ( Bcl-2 associated killer), aktifitas dari kelompok sub grup ini bersifat menstimulasi pelepasan sitokrom c dari membran mitokondria

3. The proapoptotic channel-forming protein yaitu Bid ( BH3 domain-only death agonist ), Bik, NOxa, Puma, Hrk, BNIP3, Bad (Bcl-2

associated death-only death promoter) merupakan molekul proapoptosis. Protein kelompok ini mendorong kematian sel sebagai protein adaptor yang terikat pada jalur upstream untuk memutuskan berlangsungnya program apoptosis.

Gambar 2.1.Tiga subgroup Bcl-2 protein dan bcl-2 homolog domain14

Bcl-2 dapat memperpanjang hidup sel. Ekspresi protein ini seringkali berlebihan pada berbagai keganasan meskipun tanpa adanya


(32)

translokasi kromosom t (14;18) yang mengakibatkan perubahan gen Bcl-2. Resistensi obat bisa terjadi oleh karena meningkatnya ekspresi Bcl-2, kanker. Paparan yang berlebihan Bcl-2 bisa menyebabkan suatu keadaan terjadinya kemoresisten.18

2.2 Apoptosis 2.2.1 Definisi

Apoptosis adalah mekanisme fisiologis dari kematian sel yang telah menunjukkan peranan dalam onset dengan atau perkembangan kanker. Gangguan pada pengaturan sel yang mengkontrol apoptosis dapat memicu ganguan homeostasis dari jaringan seperti keseimbangan prolifersi dan apoptosis sel. Apoptosis berperan dalam perkembangan siklus sel dari endometrium normal.5

Apoptosis berasal dari bahasa Yunani, yang artinya gugurnya putik bunga atau daun dari batangnya. Pada tahun 1972, Kerr J.F et al mempublikasikan artikel British Journal of Cancer dengan judul :Apoptosis: a basic biological phenomen with ranging implication in tissue kinetic. Artikel ini menjelaskan proses kematian normal pada sel yang disebut dengan apoptosis.12

Apoptosis berbeda dengan nekrosis. Apoptosis pada umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh. Bila sel kehilangan kemampuan melakukan apoptosis maka sel tersebut dapat membelah secara tak terbatas dan akhirnya menjadi kanker. Nekrosis


(33)

10

adalah kematian sel yang disebabkan oleh kerusakan sel secara akut. Sel – sel yang dimusnahkan karena cedera (seperti cedera oleh mekanikal, terinfeksi oleh toksik). Pada nekrosis terjadi perubahan pada inti yang pada akhirnya dapat menyebabkan inti menjadi lisis dan membran plasma menjadi ruptur.19,20

2.2.2 Fungsi Apoptosis 21

1. Terminasi sel, keputusan untuk apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan sekitarnya ataupun dari sel yang berasal dari immune system. Hal ini fungsi apoptosis adalah untuk mengangkat sel yang rusak, mencegah sel menjadi lemah atau kurangnya nutrisi dan mencegah penyebaran virus.

2. Mempertahankan homeostasis, artinya jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan harus berada dalam keadaan yang relative konstan, hal ini dapat dicapai jika kecepatan mitosis seimbang dengan kematian sel.

3. Perkembangan embryonal, pada masa embryo perkembangan suatu jaringan atau organ didahului oleh pembelahan dan diferensiasi sel dan kemudian dikoreksi melalui apoptosis.

4. Interaksi limfosit, perkembangan limfosit B dan limfosit T pada tubuh manusia merupakan suatu yang kompleks, yang akan membuang sel – sel yang berpotensi menjadi rusak. Sitotoksik T dapat menginduksi


(34)

apoptosis secara langsung pada sel melalui terbukanya suatu celah pada target membrane dan pelepasan zat – zat kimia untuk mengawali proses apoptosis.

5. Involusi hormonal pada usia dewasa, misalnya pada pelepasan sel endometrium selama siklus menstruasi, regresi pada payudara setelah masa menyusui dan atresia folikel pada menopause.

2.2.3 Regulasi Apoptosis

Apoptosis diatur oleh beberapa gen. diantara gen tersebut, yang termasuk faktor penting adalah golongan gen Bcl-2. Bcl-2 merupakan gen anti-apoptosis yang pertama kalo diidentifikasi pada limfoma non-hodgkin. Gen tersebut memiliki kemampuan menghambat berbagai macam sinyal apoptosis, dan ekspresi dari gen ini telah ditemukan meningkat pada neoplasma pada manusia, termasuk keganasan mammae, prostat, tiroid, dan karsinoma sel paru sel besar. Bax merupakan gen lain yang merupakan golongan dari Bcl-2, tetapi berlawanan dengan Bcl-2, gen ini cenderung menginduksi terjadinya apoptosis. Gen-gen yang merupakan golongan dari kelompok Bcl-2 dapat membentuk homo atau heterodimer satu sama lain. Pro-apoptosis dari royein Bax tergantung pada pembentukan Bax yang bersifat homodimer pada membrane mitkondria. Efek antagonis dari gen Bcl-2 telah dipengaruhi sebagian oleh Bcl-2-Bax heterodimer yang mencegah terbentuknya Bax-homodimer. Telah diduga bahwa rasio selular dari Bcl-2/Bax merupakan faktor kunci penting yang


(35)

12

membuat sel resisten terhadap stimulus apoptosis, sedangkan rasi yang rendah menginduksi kematian sel. 5,22,23

Gambar 2.2. Regulasi Apoptosis pada endometrium manusia. Pada fase

sekretori endometrium rasio Bcl-2/Bax menurun. Hal ini dikontrol oleh hormone-horman ovarium . Penurunan rasio tersebut menandakan peningkatan apoptosis pada endometrium selama menstruasi11

TNF-α merupakan sitokin yang menginduksi apoptosis melalui reseptor spesifik. Aktivasi dari reseptor TNF memicu aktivasi dari enzim proteolitik (kaskase) yang bertanggung jawab terhadap eksekusi dari apoptosis. Bagaimanapun untuk menunjang apoptosis, TNF-α dapat mengawali sinyal lain termasuk mengaktivasi NF-ĸB, sebuah fakor transkriptase yang terlibat dalam regulasi dari gen pada respon imun, perkembangan embrionik, onkogenesis, dan apoptosis. Sedangkan beberapa observasi telah menduga sebuah fungsi pro-apoptosis dari


(36)

ĸB, sebuah peran anti-apoptosis telah diketahui pada beberapa jenis sel. NF-ĸB terlbat dalam transkriptase dari beberaapa gen anti-apoptosis, termasuk faktor yang terkait dengan reseptor TNF yaitu TRAF-1 dan TRAF-2, yang merupakan golongan dari penghambat gen apoptosis.

NF-ĸB terdapat pada endometrium selama siklus menstruasi, tetapi hubungannya dengan apoptosis jaringan belum diketahui.5

Mekanisme apoptosis sangat kompleks dan rumit. Secara garis besarnya yaitu:

1. Adanya signal kematian (penginduksi apoptosis).

Signal yang menginduksi apoptosis bisa berasal dari ekstrinsik antara lain: hormon, faktor pertumbuhan, nitrik oxide dan sitokine. Signal intrinsik misalnya radiasi ionisasi, kerusakan karena oksidasi radikal bebas, dan gangguan pada siklus sel, panas, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan keadaan yang dapat menimbulkan pelepasan signal apoptosis intrinsik melalui kerusakan sel. Kedua jalur penginduksi tersebut bertemu didalam sel, berubah menjadi famili protein pengeksekusi utama yang dikenal caspase, yang merupakan mediator sebenarnya kematian sel.16,17,22,23

Signal apoptosis bisa terjadi secara intrinsik (internal) diinisiasi melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel. Sedangkan jalur ekstrinsik (eksternal) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor kematian (death receptor)


(37)

14 a. Jalur Intrinsik (Mitochondria Pathway)

Jalur apoptosis intrinsik akan menghasilkan peningkatan permeabilitas mitokondria dan pelepasan dari molekul pro-apoptosis (death inducers) ke dalam sitoplasma.23,24 Mitokondria mengandung protein seperti sitokrom c yang penting bagi kehidupan, tetapi bila beberapa protein yang serupa terlepas ke dalam sitoplasma (merupakan indikasi bahwa sel tersebut tidak sehat), akan menginisiasi program “bunuh diri” dari apoptosis. Pelepasan protein mitokondria ini dikontrol secara seimbang melalui anggota keluarga protein Bcl antara pro dan antiapoptosis. Salah satu yang utama adalah Bcl-2, Bcl-x dan Mcl-1. Normalnya protein ini terdapat pada sitoplasma dan membran mitokondria, dimana mereka mengontrol permeabilitas mitokondria dan mencegah kebocoran protein mitokondria yang nantinya memiliki kemampuan untuk mencetuskan kematian.24,25 Bila sel kehilangan sinyal bertahan/survival, terjadi kerusakan DNA, atau kesalahan sintesis protein maka akan merangsang stres retikulum endoplasma (RE), sensor dari kerusakan atau stres akan diaktifkan. Sensor kemudian akan mengaktifkan dua kritikal (proapoptosis) efektor, Bax dan Bak, yang membentuk oligomers yang kemudian masuk ke dalam membran mitokondria dan membuat saluran/channel yang memperbolehkan protein dari membran dalam mitokondria untuk bocor ke dalam sitoplasma. BH3 juga mengikat dan memblok fungsi dari Bcl-2 dan Bcl-x, diwaktu yang sama sintesis dari Bcl-2 dan Bcl-x menurun. Hasil dari aktivasi dari


(38)

Bak disertai dengan hilangnya fungsi perlindungan dari anggota keluarga Bcl antiapoptosis, maka terjadi pelepasan beberapa protein mitokondria ke dalam sitoplasma yang akan mengaktifkan alur caspase. Salah satu protein tersebut adalah sitokrom c, yang diketahui fungsinya pada respirasi mitokondria. Sekali terlepas ke dalam sitosol, sitokrom c mengikat protein yang dinamakan Apaf-1 (apoptosis-activating factor-1, homolog dari Ced-4 pada C elegans), yang kemudian akan membentuk hexamer berbentuk seperti roda yang disebut apoptosom.22,23 Komplek ini dapat mengikat caspase-9, inisiator caspase yang penting dari alur mitokondria dan enzim akan memecah molekul caspase-9 yang berdekatan, sehingga membentuk sebuah proses auto-amplifikasi. Protein mitokondria lainnya, seperti Smac/diablo, memasuki sitoplasma, kemudian mereka mengikat dan menetralisir protein sitoplasma yang berfungsi sebagai inhibitor fisiologis apoptosis. Fungsi normal dari inhibitor fisiologis apoptosis adalah untuk memblokir aktivasi caspases, termasuk caspase-3 dan menjaga sel-sel tetap hidup, netralisasi dari IAP ini merupakan inisiasi dari alur caspase.23

b. Jalur Ekstrinsik (Death Receptor Pathway)

Pathway ini diinisiasi oleh pengikatan reseptor kematian pada permukaan sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirimkan sinyal apoptotic. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1 yang dihubungkan dengan


(39)

16

protein Fas (CD95). Pada saat fas berikatan dengan ligandnya, membrane menuju ligand (Fasl). Tiga atau lebih molekul fas bergabung FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul procaspase 8 ini kemudian dibawa keatas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Enzyme ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzyme untuk mediator pada fase eksekusi.10

Gambar 2.3. Apoptosis jalur Intrinsik dan Ekstrinsik25

2. Tahap pelaksanaan apoptosis (Fase degradasi atau eksekusi)

Sel yang mulai apoptosis, secara mikroskopis akan mengalami perubahan: sel mengerut dan lebih besar, sitoplasma tampak lebih padat, kromatin menjadi kondensasi dan fragmentasi yang padat pada membrane inti (pyknotik), kromatin berkelompok dibagian perifer, DNA


(40)

yang ada didalamnya pecah menjadi fragmen – fragmen, membrane sel memperlihatkan tonjolan – tonjolan yang ireguler (membrane blebbing),

sel yang terpecah menjadi beberapa fragmen (apoptoties bodies).10

3. Fagositosis

Apoptotic bodies ini akan difagosit oleh sel yang berada disekitarnya. Adanya sel – sel fagosit ini dapat menjamin tidak menimbulkan respon inflamasi setelah terjadinya apoptosis.10,23

Gambar 2.4 Mekanisme apoptosis23

2.2.4 Ekspresi Bcl-2 pada Hiperplasia Endometrium

Pola ekspresi dari gen pengatur apoptosis pada Bcl-2, Bax, dan TNF-α bergantung pada siklus menstruasi, diduga bahwa faktor-faktor ini sedikitnya mengatur sebagian dari steroid pada ovarium. Ekspresi dari


(41)

18

TNF-α bergantung pada siklus menstruasi. Ekspresi dari TNF-α sudah ditemukan mengalami kadar tertinggi saat endometrium menstruasi, dan rendahnya perbandingan Bcl-2/Bax diakhir menstruasi cenderung meningkatkan apoptosis dari sel-sel glandular. Pemeriksaan sebelumnya telah menggambarkan apoptosis pada hiperplasia dan karsinoma endometrium dengan melihat morfologi dari apoptosis sel. Pembuktian yang lebih baik yang mengindikasikan Bcl-2 secara umum mengalami down regulation di karsinoma endometrium, yang mana dapat meningkatkan risiko rekurensi dan menurunkan angka harapan hidup 5 tahun. Selanjutnya, ekspresi dari Bax dan faktor pengatur apoptosis lainnya telah diobservasi pada pre kanker dan kanker endometrium.26,27,28

Gambar 2.5 Analisis imunohistokimia dari Bcl-2 dan Bax pada endometrium normal, hyperplasia, dan adenokarsinoma. A) ekspresi Bcl-2 tinggi pada endometrium normal yang berproliferasi dan menurun pada hyperplasia dan karsinoma. B) sama halnya dengan Bcl-2, ekspresi dari Bax terlihat menurun pada hyperplasia tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan Bcl-2. C) rasio Bcl-2/Bax 5,12


(42)

Identifikasi ekspresi Bcl-2 pada gambar 2.5 terlihat bahwa ekspresi pada simpleks terlihat lebih tinggi dibandingkan hiperplasia non atipikal kompleks. pada proliferasi endometrium normal mendorong investigator untuk mempelajari peran potensial dari Bcl-2 pada hiperplasia endometrium. Ekspresi Bcl-2 telah diketahui meningkat pada hiperplasia endometrium. Namun, peningkatan ekspresi Bcl-2 ini tampaknya terbatas pada hiperplasia kompleks. Secara mengejutkan, ekspresi Bcl-2 ini menurun pada hiperplasia atipikal dan karsinoma endometrium.3

Gambar 2.6. Apoptosis sel pada kelenjar endometrium normal, hiperplasia, dan

kanker5

Peran gen Fas/FasL juga telah diteliti baru-baru ini pada perkembangan hiperplasia endometrium. Fas termasuk salah satu tumor necrosis factor/nerve growth factor yang berikatan dengan FasL (ligan Fas) dan menginisiasi terjadinya apoptosis. Ekspresi Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progestasional. Interaksi antara ekspresi Fas dan Bcl-2 dapat berpengaruh pada


(43)

20

perkembangan hiperplasia endometrium. Ekspresi Bcl-2 tampak menurun dengan adanya progesteron intrauterine, sedangkan ekspresi Fas tampak meningkat. 3

Studi yang telah disebutkan sebelumnya mulai memberikan kita beberapa pemikiran pada perubahan molekular yang mengarah ke terbentuknya hiperplasia dan karsinoma endometrium. Namun, pemahaman kita belumlah lengkap dan studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan lebih dalam perbedaan ekspresi Bcl-2 dan pada patogenesis molekular hiperplasia endometrium non atipikal simpleks dan kompleks. 3

Gambar 2.7. Analisis dari apoptosis dengan menggunakan penandaan 3’-end in

situ dan ekspresi dari Bcl-2. (A) pada endometrium normal dan patologis. Pada kelenjar endometrium yang berproliferasi apoptosis terjadi sangat tidak bermakna, tetapi apoptosis sel terihat meningkat pada sel stroma (panah). (B) pada karsinoma endometrium grade II apoptosis terjadi dalam jumlah yang banyak (panah). (C) presentasi lapangan gelap dari mRNA Bcl-2 memperlihatkan ekspresi yang tinggi pada endometrium yang berproliferasi. (D) dan rendah pada hiperplasia endometrium kompleks.5


(44)

2.2.5 Pemeriksaan Ekspresi Bcl-2

a. Penandaan In Situ 3’-end dari DNA Apoptosis

Penandaan in situ 3’-end dari DNA apoptosis merupakan yang pertma kali dicetuskan, dengan menggunakan ApopTag in situ yaitu suatu alat untuk mendeteksi terjadinya apoptosis (Oncor, Gaithesburg, MD). 5,21

b. Hibridisasi In Situ

Analisis hibridisasi in situ dibuat dengan menggunakan penandaan biotin untuk Bcl-2 dan Bax. 5,21

c. Imunohistokimia

Potongan paraffin di deparafinisasi dengan xylene dan di hidrasi bertingkat dengan serial alkohol. Bcl-2 dideteksi dengan menggunakan anti monoclonal dari tikus antibodi Bcl-2, Bax menggunakan antibodi Bax anti-manusia dari poliklonal kelinci, TNF-α menggunakan antibodi anti-manusia dari monoclonal tikus, dan NF-ĸB menggunakan antibodi anti-manusia dari poliklonal kelinci. 5,29

Pewarnaan immunohistokimia dievaluasi dengan memakai indeks pewarnaan yang didasarkan pada test pendahuluan. Intensitas pewarnaan ditentukan berdasarkan :

• 0 = tidak dijumpai sel yang mengikat antibodi • 1 = lemah atau tidak dapat dibedakan.

• 2 = sedang, dijumpai pada beberapa sel.


(45)

22

Gambar 2.8 Kelenjar endometrium yang menunjukkan positif adanya Bcl-212

Suatu studi di Cina juga menyebutkan terdapat hubungan antara ekspresi gen Bcl-2 dengan resiko terjadinya kanker endometrium (p< 0,05).30

Penjagaan homeostasis dari jaringan tubuh sangat erat hubungannya dengan proses pengaturan proliferasi sel dan apoptosis pada integritas jaringan. Terdapat penelitian yang mengevaluasi ekspresi apoptosis dengan protein regulasi apoptosis yaitu Bcl-2 pada hiperplasia endometrium.31

Apoptosis merupakan proses morfologi dan biokimia dari nekrosis yang menyebabkan disfungsi sel. Deregulasi proses apoptosis dapat disebabkan banyak faktor yaitu penyakit autoimun, defek perkembangan, dan kanker. Endometrium manusia merupakan jaringan tubuh yang sangat bergantung pada proses apoptosis, proliferasi, dan diferensiasi. Sistem ini dipengaruhi keadaan hormonal seperti estradiol dan progesteron. Apoptosis dilaporkan terdeteksi pada fase sekresi akhir atau pada fase sekresi awal.31,32


(46)

Apoptosis diatur oleh gen pro dan anti apoptosis. Protein Bcl-2 merupakan protein kompleks yang berperan dalam apoptosis.Rasio Bcl-2/Bax ,merupakan kunci proses apoptosis dimana nilai yang kecil akan menyebabkan kematian sel. Ekspresi Bcl-2 tidak hanya dideteksi pada hiperplasia endometrium, akan tetapi juga ditemukan pada payudara, paru-paru, prostat, dan kanker tiroid atau melanoma.31,33

Caspase terjadi pada inisiator apoptosis. Caspase inisiator apoptosis terdiri dari kaspase 2, 8, 9, dan 10. Juga terdapat Caspase efektor apoptosis yaitu 3, 6, 7. Protein diaktifkan oleh caspase misalnya poli ADP ribose polimerase (PARP). PARP merupakan enzim nuklear yang berperan dalam perbaikan DNA dan stabilisasi genom. Enzim ini juga terdeteksi pada hiperplasia endometrium.31

Terdapat penelitian yang mengukur kadar Bcl-2 pada hiperplasia endometrium. Penelitian ini dilakukan pada 25 pasien dengan usia rata-rata 58 tahun. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi Bcl-2 yang menurun sehingga menyebabkan terhambatnya proses apoptosis dan terjadi perkembangan sel kanker.31

Penelitian Vaskivuo et al pada tahun 2002 membahas tentang peranan apoptosis dan faktor apoptosis Bcl-2 pada hiperplasia endometrium. Penelitian ini dilakukan pada 85 kasus spesimen histerektomi dengan usia 25-77 tahun. Hasil penelitian menunjukkan apoptosis berperan pada hiperplasia simpleks, kompleks, dan atipikal. Proses apoptosis menurun pada hiperplasia endometrium. Bcl-2


(47)

24

terdeteksi pada hiperplasia endometrium dan endometrium normal. Laju apoptosis pada tipe simpleks adalah 0,49 dan kompleks adalah 0,52.5

Penelitian lain oleh Boise et al pada tahun 1993 meneliti tentang gen Bcl-2 yang berperan dalam regulasi apoptosis. Jumlah sel dikontrol melalui keseimbangan proliferasi sel dan kematian sel. Apoptosis merupakan proses aktif dimana sel dapat mati selama perkembangan pada eukariosit kompleks. Kematian sel diinduksi program baik ekstrinsik maupun intrinsik. Kematian sel ditandai dengan kurangnya volume sel, pecahnya membran sel, kondensasi nuklear, dan degenerasi DNA.34

Salah satu faktor yang berperan penting adalah Bcl-2 yang berasal dari translokasi 14;18 pada sel B limfoma. Translokasi ini menghasilkan ekspresi deregulasi gen Bcl-2. Hal ini akan menyebabkan apoptosis.34

Penelitian lain oleh Sarmadi menilai reseptor estrogen dan progesteron pada hiperplasia endometrium. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kelebihan reseptor progesteron pada 100% kasus hiperplasia endometrium sehingga diperlukan terapi hormonal.35

Bcl-2 juga dapat digunakan sebagai pertanda dalam menilai terapi progestin pada hiperplasia non atipik kompleks seperti penelitian yang dilakukan Upson et al pada tahun 2012.36

Pada sel mamalia, apoptosis dipicu melalui dua faktor yaitu jalur ekstrinsik atau reseptor kematian dan jalur intrinsik yaitu mitokondrial. Kekurangan dari Bcl-2 dapat menjadi karsinogenik seperti pada kasus kanker payudara, kolon, tiroid, dan endometrium. Ekspresi Blc-2 yang


(48)

tinggi akan memperlambat pertumbuhan sel hingga kematian sel, sedangkan ekspresi Bcl-2 yang rendah akan memicu inhibisi apoptosis sel.37

Penelitian Cahyanti pada tahun 2008 tentang Bcl-2 dan indeks apoptosis pada hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks. Pada pemeriksaan imunohistokimia Bcl-2 didapatkan gambaran immunostaining spesifik berwarna coklat pada sitoplasma sel. Ekspresi Bcl-2 terdapat pada semua kasus hiperplasia endometrium non-atipik simpleks dan kompleks. Intensitas staining pada epitel kelenjar positif kuat pada hiperplasia simpleks sebanyak 85,7% dan terdapat peningkatan intensitas staining kuat pada hiperplasia kompleks 96,4% bila dibandingkan dengan hiperplasia simpleks, tetapi perbedaan intensitas staining tersebut tidak bermakna.38

Pada hasil penelitian Bcl-2 juga didapatkan ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium non-atipik simpleks dan kompleks didapatkan adanya perbedaan yang bermakna dengan nilai ekspresi Bcl-2 pada hiperplasia endometrium kompleks lebih tinggi dibandingkan yang simpleks. Endometrium dengan Bcl-2 ≥ 0,92 mempunyai resiko 2,6 kali untuk terjadinya hiperplasia non-atipik kompleks dibandingkan Bcl-2 < 0,92.38

Pada hasil pemeriksaan sel apoptosis pada kelenjar endometrium dari hiperplasia endometrium non-atipik dijumpai nilai median indeks


(49)

26

apoptosis pada hiperplasia non-atipik simpleks 10 (5-40) dan yang kompleks 8 (1-30).38

Dapat disimpulkan bahwa pada hiperplasia endometrium non-atipik dengan adanya aktivitas proliferasi sel kelenjar yang meningkat dibandingkan stroma, disebabkan ekspresi Bcl-2 sebagai anti-apoptosis yang meningkat. Ekspresi Bcl-2 tersebut akan menyebabkan penurunan kemampuan apoptosis dengan nilai indeks apoptosis yang rendah. Pada hiperplasia endometrium non-atipik kompleks. 38

Penelitian Barhoom tentang Bcl-2 tidak hanya dilakukan pada manusia akan tetapi pada jamur gloeosporoides, dimana jamur ini juga memerlukan Bcl-2 sebagai regulator apoptosis.39

Terdapat peneltian oleh Santoso D pada tahun 2013 yang membedakan indeks apoptosis berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada pasien yang menjalani hemodialisa. Indeks apoptosis perempuan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan laki-laki (0,7325 vs 0,55175). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di kelompok perempuan non-diabetes yang menjalani hemodialisis, indeks apoptosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok laki-laki dan pembandingnya.40

Penelitian Teguh M tentang perbedaan indeks apoptosis antara pasien pre-eklamsia dengan normal. Hasil penelitian didapatkan terdapat perbedaan bermakna indeks apoptosis dimana indeks meningkat pada pasien pre-ekalmsia.41


(50)

Penelitian Gao et al pada tahun 2000 meneliti tentang mRNA Bcl-2 yang berkorelasi dengan kemoresistensi pada sel kanker manusia. Ekspresi Bcl-2 didapatkan paling tinggi berada pada fase G1 saat pembelahan sel.42

Penelitian Bcl-2 juga dilakukan pada kasus glioblastoma serta kanker paru dan didapatkan hasil Bcl- 2 berperan pada penyakit ini dalam mengontrol apoptosis. Bcl-2 juga dijadikan pertanda dalam menilai prognosis pasien.43,44,45

Penelitian oleh Hardian et al meneliti tentang indeks apoptosis dan Bcl-2 pada hiperplasia endometrium yang rekuren. Hasil peneltiian didapatkan hiperplasia endometrium berkorelasi dengan indeks apoptosis namun tidak berkorelasi dengan ekspresi Bcl-2.46

Sel apoptosis dapat dikenali melalui perubahan morfologi stereotipikal. Sel akan mengerut, menunjukkan deformasi, dan tidak lengket dengan sel di sekitarnya. Kromatin akan memendek, plasma akan mencair atau bengkak.10

Sel yang mengalami apoptosis akan dimakan makrofag dan dibuang dari jaringan tanpa mengakibatkan respon inflamasi. Proses ini mengaktifkan enzim proteolitik terutama untuk mencerna DNA menjadi fragmen oligonukleosal. Apoptosis berbeda dengan nekrosis sel dimana nekrosis sel akan terjadi tanpa terkontrol sehingga menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya dan memancing respon inflamasi.10


(51)

28

Apoptosis dapat dipicu dari berbagai stimuli baik dalam maupun luar sel seperti adanya ligasi pada reseptor permukaan sel oleh DNA perbaikan untuk memperbaiki struktur DNA yang cacat, ataupun sel yang mengalami iradiasi atau obat sitotoksik.10

2.3 Hiperplasia Endometrium 2.3.1 Definisi

Hiperplasia endometrium didefinisikan sebagai proliferasi kelenjar dengan ukuran dan bentuk ireguler dan dengan peningkatan rasio kelenjar/stroma. Hiperplasia endometrium kemudian diklasifikasikan menjadi hiperplasia simpleks dan hiperplasia kompleks berdasarkan tingkat kompleksitas proliferasi kelenjar. Hiperplasia sederhana (dulunya disebut kistik atau hiperplasia ringan) adalah lesi proliferatif dengan tingkat kompleksitas minimal dan dikelilingi banyak stroma diantara kelenjar. Hiperplasia kompleks (dulunya disebut hiperplasia moderat) adalah lesi proliferatif dengan tingkat kompleksitas yang berat. Pada hiperplasia kompleks, kelenjar dapat bervariasi dalam ukuran, dan jumlah stroma yang minimal diantara kelenjar.3


(52)

2.3.2 Klasifikasi

Hiperplasia endometrium juga diklasifikasikan berdasarkan adanya gambaran sitologi atipikal. Gambaran sitologi atipikal mengacu pada pembesaran sel epitel yang hiperkromatik dengan nukleoli prominen dan peningkatan rasio inti / sitoplasma.

Tabel 1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium 3,47

Gambaran sitologi atipik merupakan faktor prognostik paling penting untuk mengarah ke karsinoma. Klasifikasi hiperplasia endometrium yang lebih simpleks telah direkomendasikan berdasarkan pentingnya sitologi atipik: hiperplasia non atipik dan hiperplasia atipik. Kurang dari 2% hiperplasia non atipik berkembang menjadi karsinoma, dan durasi rata-rata untuk menjadi karsinoma memerlukan waktu 10 tahun. Hiperplasia atipikal berkembang menjadi karsinoma pada 23% kasus dengan waktu rata-rata 4 tahun.3


(53)

30 Gambar 2.9. Klasifikasi Histologi Hiperplasia Endometrium 1

Hiperplasia endometrium didefinisikan sebagai proliferasi kelenjar yang tidak teratur bentuk dan ukuran dengan peningkatan kelenjar rasio stroma. Hal ini lebih dikategorikan menjadi simpleks dan kompleks, didasarkan pada kompleksitas kelenjar. World Health Organization (WHO) membuat sistem klasifikasi untuk hiperplasia endometrium, yang kemudian direvisi pada tahun 2003, dibentuk berdasarkan dari Group Oncology Gynecologic (GOG) dan International Society of Gynecological Patologist (ISGP). Data - data menunjukkan bahwa sebagian besar hiperplasia non atipik merupakan awal, tingginya lesi reversibel dalam patogenesis endometrium dan karsinoma atipik hiperplasia endometrium adalah prekursor endometrioid kanker endometrium.1,47


(54)

Tabel 2 Perbandingan hiperplasia non atipik simpleks dan kompleks dengan hiperplasia atipik simpleks dan kompleks3

Patologi Jumlah Pasien (%) Jumlah Regresi (%) Jumlah Persisten Jumlah Progessivitas menjadi karsinoma Hiperplasia

Simpleks 93 74 (80) 18 (19) 1 (1)

Hiperplasia

Kompleks 29 23 (80) 5 (17) 1 (3)

Hiperplasia atipik

simpleks 13 9 (69) 3 (23) 1 (8)

Hiperplasia atipik

kompleks 35 20 (57) 5 (14) 10 (29)

2.3.3 Epidemiologi

Terlepas dari kenyataan bahwa karsinoma endometrium adalah ginekologi yang paling umum di Amerika Serikat, dengan kejadian 23,2 pada 100.000 perempuan. Dapat mempengaruhi wanita dalam segala usia, dengan keluhan utama perdarahan uterus yang abnormal. Sangat sedikit yang diketahui tentang kejadian hiperplasia endometrium. Hiperplasia Endometrium tidak hanya predisposisi untuk karsinoma endometrium, penyajian gejala klinis, menoragia dan menometroragia, sering menyebabkan emergensi dan evaluasi rawat jalan. Selain itu, pasien menanggung beban biaya dan beban evaluasi diagnostik medis, bedah dan pengobatan (termasuk biopsi endometrium, dilatasi dan kuretase, histerektomi, dan terapi potensial progestogen yang panjang


(55)

32 2.3.4 Patogenesis

Pada suatu studi retrospektif, Kurman menjelaskan perjalanan alamiah dari hiperplasia endometrium. Pada studi 170 wanita dengan hiperplasia endometrium diikuti selama satu tahun tanpa histerektomi. Hanya 2 pasien (2%) yang awalnya didiagnosis hiperplasia tanpa gambaran atipik berkembang menjadi karsinoma. Pada kedua pasien ini, diagnosis awal hiperplasia tanpa gambaran atipik berkembang menjadi hiperplasia endometrium dengan gambaran atipik sebelum didiagnosis karsinoma endometrium.3

Hiperplasia non atipik cenderung untuk mengalami regresi secara spontan, sedangkan hiperplasia atipik cenderung untuk berkembang progresif. Studi lain dari 45 pasien yang menjalani histerektomi untuk diagnosis preoperatif hiperplasia endometrium. Tidak dijumpai kasus terjadinya karsinoma endometrium bersamaan dengan hiperplasia endometrium non atipik. 3

Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi onkogen Bcl-2 sepanjang fase proliferatif. Bcl-2 merupakan onkogen yang terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenal pada limfoma folikular tetapi telah dilaporkan terdapat pada banyak keganasan manusia. Apoptosis selular secara parsial dihambat oleh ekspresi Bcl-2 yang menyebabkan sel hidup lebih lama. Ekspresi Bcl-2 tampaknya diatur melalui kontrol hormonal, dan ekspresinya menurun secara signifikan pada saat fase sekresi siklus menstruasi. Menurunnya ekspresi Bcl-2


(56)

berhubungan dengan munculnya sel apoptotik dalam endometrium yang terlihat pada mikroskop elektron selama fase sekresi dalam siklus menstruasi. 3,7

2.3.5 Gambaran Klinis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala klinis paling sering yang diakibatkan oleh hiperplasia endometrium. Unopposed estrogen dari pemakaian estrogen eksogen atau siklus anovulatori mengakibatkan hiperplastik endometrium dengan perdarahan terus-menerus. Pasien pada usia reproduktif dengan hiperplasia endometrium khasnya sekunder akibat sindrom polikistik ovarium (SPOK). SPOK mengakibatkan unopposed estrogen sekunder dari siklus anovulatori. Pasien usia muda dapat juga mempunyai kadar estrogen lebih tinggi akibat sekunder dari konversi androstenedione periferal dalam jaringan lemak (pasien obese) atau tumor ovarium yang mensekresi estrogen (misalnya, tumor sel granulosa).3

Pasien pascamenopause dengan hiperplasia endometrium juga mengeluhkan adanya perdarahan pervaginam. pada kelompok usia ini harus dipertimbangkan kejadian karsinoma, atrofi endometrium merupakan penyebab paling sering pada perdarahan pascamenopause. Hiperplasia dan karsinoma secara khas menunjukkan gejala perdarahan pervaginam berat, sedangkan pasien dengan atrofi biasanya datang dengan keluhan perdarahan pervaginam ringan.3


(57)

34 2.3.6 Diagnosis

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala klinis yang paling sering dikeluhkan pasien hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan pascamenopause akan dijumpai hiperplasia endometrium pada 15% kasus dan kanker pada 10% kasus. Temuan ultrasound secara insidental yang menunjukkan penebalan endometrium untuk hiperplasia endometrium. Wanita dibawah usia 40 tahun yang mengeluhkan perdarahan uterus abnormal khasnya memiliki gangguan hormonal yang dapat membaik tanpa harus dilakukannya pemeriksaan diagnostik, misalnya ultrasound, atau kuretase endometrium.3,21

1. Ultrasonografi

Ultrasonografi transvaginal merupakan prosedur diagnostik dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan endometrium. Namun, pada wanita pascamenopause, efikasinya sebagai pemeriksaan penapisan untuk mendeteksi hiperplasia atau karsinoma endometrium belum diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal Estrogen/Progestin Interventions), nilai batas ketebalan endometrium 5 mm memiliki nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, sensitivitas, dan spesivisitas untuk hiperplasia atau karsinoma endometrium masing-masing 9%, 99%, 90%, dan 48%. 3,5,21,

Ultrasonografi dapat berperan sebagai pemandu untuk menentukan apakah wanita dengan perdarahan pascamenopause memerlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut (misalnya kuretase) untuk


(58)

menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339 wanita dengan perdarahan pascamenopause, tidak dijumpai ketebalan endometrium ≤4 mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun periode follow up.5

2. Biopsi Endometrium Pipelle

Pengambilan sampel endometrium dengan Pipelle merupakan pemeriksaan yang efektif dan relatif murah untuk mengumpulkan jaringan Studi sebelumnya menjelaskan wanita dengan bermacam-macam penyebab perdarahan uterus abnormal; namun, yang paling penting adalah kemampuan Pipelle untuk mendiagnosis secara benar wanita dengan hiperplasia dan karsinoma endometrium. Pada studi metaanalisis terhadap 7914 wanita, Pipelle mempunyai sensitivitas 99% dalam mendeteksi kanker endometrium pada wanita pascamenopause, tetapi pada wanita dengan hiperplasia endometrium, sensitivitas menurun menjadi 75%.7

3. Kuretase dan Histeroskopi atau Dilatasi

Histeroskopi telah diterima secara umum sebagai baku emas dalam mengevaluasi kavum endometrium. Namun, histeroskopi saja dalam mendeteksi hiperplasia atau karsinoma dapat menghasilkan positif palsu yang tinggi dan harus dilakukannya dilatasi dan kuretase. Apabila dikombinasi dengan biopsi, histeroskopi memiliki sensitivitas, spesifisitas,


(59)

36

masing-masing 98%, 95%, ketika dibandingkan dengan temuan histologi pada saat dilakukan histerektomi. 3,4

2.3.7 Penatalaksanaan

Banyak studi telah dilakukan untuk melihat efikasi penanganan konservatif dengan progestin dan agonis GnRH dalam menangani wanita dengan hiperplasia endometrium. Dalam memilih penanganan konservatif pada wanita dengan hiperplasia endometrium bergantung pada beberapa factor meliputi usia pasien, keinginan untuk hamil lagi, resiko operasi dan adanya gambaran sitologi endometrium.4

Progestin telah digunakan untuk menangani hiperplasia endometrium selama lebih dari 40 tahun. Pada kelompok wanita pascamenopause berjumlah 52 orang yang didiagnosis dengan hiperplasia atipik atau hiperplasia non atipik, 90% pasien mengalami remisi sempurna setelah diterapi dengan 40 mg megestrol acetate perhari selama rata-rata 42 bulan. Megestrol acetate memiliki efek samping yang rendah dan aman pada dosis yang tinggi. Dengan dosis 160 sampai 320 mg perhari selama 3 bulan, tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar glukosa darah atau profil lipid serum, walaupun wanita tersebut menunjukkan sedikit penambahan berat badan.4

Medroxyprogesterone acetate siklik telah digunakan secara efektif untuk menangani wanita menopause dengan hiperplasia endometrium tanpa gambaran atipik. Pada 65 pasien dengan hiperplasia endometrium


(60)

tanpa gambaran atipik, 10 mg medroxyprogesterone acetate per hari selama 14 hari mulai diberikan kepada pasien. Regresi hiperplasia tampak pada 80% pasien, dan 92% dari pasien ini kembali memiliki endometrium normal pada saat 12 bulan terapi4,48,49.

Studi pada 42 wanita dengan hiperplasia non atipik (n=30) dan hiperplasia atipik (n=12), terapi selama 6 bulan menggunakan leuprolide acetate atau triptorelin menunjukkan hasil regresi pada semua pasien, kecuali 7 orang pasien. Ketujuh pasien ini merupakan pasien hiperplasia non atipik. Norethisterone acetate dengan dosis 500 mg perminggu selama 3 bulan dengan 3,75 mg triptorelin setiap bulan selama 6 bulan menunjukkan hasil regresi pada 16 pasien dari 19 pasien setelah follow up 5 tahun. Dari 3 pasien yang diperkirakan gagal pengobatan, 1 orang mengalami rekurensi, 1 menetap, dan 1 mengalami progesivitas. 4,48,49


(61)

38 2.4 Kerangka Teori

Endometrium normal Progesteron normal atau rendah

Unopposed

estrogen

Protein anti apoptosis (Bcl-2) ↑

Protein pro apoptosis (Bax,Fas-FasL,TNF alfa) ↓ Protein anti apoptosis

(Bcl-2) ↓

Protein pro apoptosis (Bax,Fas-FasL, TNF alfa) ↑

Proliferasi Sel Endometrium

Hiperplasia endometrium Apoptosis Normal

Simpleks Kompleks

Apoptosis ↓

Endometrium normal Menstruasi

Obesitas Anovulasi

Tumor sekresi estrogen


(62)

2.5. Kerangka Konsep

Ekspresi BCL - 2 Hiperplasia endometrium

non atipik

Variabel Bebas


(63)

40 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik untuk melihat perbedaan ekspresi Bcl2 jaringan hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks dan dilakukan analisa komparatif.

3.2. Waktu dan Tempat penelitian

Tempat penelitian di lakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan RSUP H. Adam Malik Medan sedangkan pemeriksaan imunohistokimia dilakukan di Departemen Patologi Anatomi (PA) Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan mulai September hingga Oktober 2014.

3.3. Populasi Penelitian

Adalah pasien dengan hiperplasia endometrium yang mendapat perlakuan biopsi endometrium dimana jaringan akan diperiksa dalam bentuk blok parafin.

3.4 Sampel dan besar sampel 3.4.1 Sampel

Sampel penelitian ini adalah sebagian dari populasi.


(64)

3.4.2 Besar sampel

Penentuan besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap rerata 2 populasi:

n1 = n2 = 2 (Zα + Zβ) δ 2 = 2 (1,96 +0,84 ) 0,32 2 x1 – x2 0,27

n1 = n2 = 22 subyek

Besar sampel total adalah n1 + n2 = 44 subyek Dimana:

n1 = n2 = besar sampel

Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya bergantung pada

nilai α yang ditentukan. Nilai α = 0,05 Zα=1,96

Zβ = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya bergantung pada

nilai β yang ditentukan. Nilai β = 0,20 Zβ=0,84

δ = Standar deviasi = 0,32 4

x1 – x2 = selisih rerata yang dianggap bermakna yang ditetapkan sebesar 0,2738

3.5 Identifikasi variabel Variabel Bebas

• Ekspresi Bcl-2

Variabel Tergantung


(65)

42 3.6. Cara kerja dan teknik pengumpulan data

Subyek penelitian diambil dari preparat blok parafin hiperplasia endometrium non atipik simpleks dan kompleks di Laboratorium Patologi Anatomi RS.HAM dan FK.USU Medan

1. Setelah mendapat persetujuan dari komisi etik untuk melakukan penelitian, penelitian dimulai dengan mengumpulkan data dari histopatologi pasien yang pernah diperiksa histopatologis dan didiagnosa hiperplasia endometrium non atipik.

2. Dari data PA tersebut, diambil data rekam medik tentang identitas lengkap dan karakteristik pasien.

3. Dilakukan peminjaman sediaan parafin blok.

4. Blok parafin dipotong dengan microtome, ketebalan 4 μ kemudian difiksasi diatas objek glass.

5. Kemudian dilakukan deparafinisasi slide

6. Rehidrasi dilanjutkan dengan pencucian dengan air mengalir. Masukkan slide ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval: set up Preheat 650C, Running time 980C selama 15 menit.

7. Pan pen. Segera masukkan dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4.

8. Blocking dengan peroksidase block.

9. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 10. Blocking dengan Normal horse Serum (NHS) 3%. 11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4


(66)

12. Inkubasi dengan antibodi primer (monoclonal mouse anti-body Bcl-2 oncoprotein khusus, Clone 100/D5 (Leica Biosystems Newcastle, United Kingdom).

13. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 14. Dako Real Envision Rabbit.

15. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4

16. DAB+substrat Chromogen solution dengan pengenceran 20uL DAB: 1000 uL substrat (tahan 5 hari di suhu 2-8oC setelah di mix). 17. Cuci dengan air mengalir.

18. Counterstain dengan hematoxylin 19. Cuci dengan air mengalir

20. Lithium carbonat (5% dalam aqua). 21. Cuci dengan air mengalir.

22. Dehidrasi (Alk 80%, Alk 96%, Alk Abs). 23. Clearing (xylol 1 xylol 2, xylol 3)

24. Mounting + cover glass

25. Dilakukan interpretasi sediaan tersebut oleh dua orang ahli Patologi Anatomi, dilakukan penilaian dengan uji kappa.


(67)

44 3.7. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara dan alat ukur

Kategori skala 1 Hiperplasia

Endometrium non-atipik

Suatu kondisi patologis pada endometrium berupa peningkatan

proliferasi kelenjar endometrium yang mengakibatkan perubahan rasio kelenjar dan stroma.

Simpleks: gambaran kelenjar yang irregular dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi dan dijumpai kelenjar kistik. Kelenjar dipisahkan oleh stroma yang masih banyak.

Kompleks: Susunan kelenjar yang padat, irregular, saling berdekatan dan menempel (back to

back position)

dengan sedikit stroma yang masih terlihat

Histopatologi 1.simpleks 2.kompleks

nominal

2 Usia Masa hidup pasien sejak tanggal kelahiran

Melihat dari rekam medis

≤ 40 tahun > 40 tahun

Ordinal

3 Ekspresi Bcl-2 Hasil imunostaining Bcl-2 pada jaringan endometrium yang dinilai berdasarkan pewarnaaan (staining) Bcl-2 pada sitoplasma yang berwarna coklat. Melihat hasil pemeriksaan imunohistokim ia dengan Mikroskop dengan skor Allerd.

0= tidak dijumpai sel yang mengikat antibody

1= lemah atau tidak dapat dibedakan. 2 = sedang,

dijumpai pada beberapa sel. 3= kuat dijumpai

pada sebagian besar atau semua sel

Rasio


(68)

Tabel 4.4 Penilaian Proporsi Skor (PS) dan Intensity Score (IS)50

Observasi PS PS atau IS Observasi IS

tidak ada yang terwarnai 0 tidak terwarnai

kurang dari 1% sel terwarnai 1 intensitas pewarnaan lemah 1 – 10% sel terwarnai 2 intensitas pewarnaan sedang 11 – 33% sel terwarnai 3 intensitas pewarnaan kuat 34% - 66% sel terwarnai 4

67 – 100% sel terwarnai 5


(69)

46 3.8. Kerangka Kerja

Data Hiperplasia Endometrium dari

Histopatologi

ANALISIS STATISTIK

Pewarnaan imunohistokimia Bcl-2 Hiperplasia endometrium

non atipik simpleks

Pewarnaan

imunohistokimia Bcl-2 Sampel Parafin blok

Hiperplasia endometrium non atipik kompleks Review slide


(70)

3.9 Analisa Data

Data yang terkumpul ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Untuk menentukkan kelayakkan hasil pemeriksaan hasil pemeriksaan observer akan dilakukan uji kappa dianggap layak apabila ≥ 75 %. Untuk menganalisa perbedaan rerata hasil pemeriksaan imunohistokimia BCL-2 dilakukan uji statistik menggunakan uji Mann Whitney dengan derajat kepercayaan 95%.


(71)

48 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa 22 blok parafin jaringan hiperplasia endometrium non atipik pada masing – masing kelompok simpleks dan kompleks berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi hiperplasia endometrium berdasarkan karakteristik

Berdasarkan karakteristik usia subjek penelitian, pada hiperplasia endometrium non atipik lebih banyak dengan usia >40 tahun . Pada kelompok hiperplasia endometrium non atipik simpleks sebanyak 12 orang (54,5%), dengan rerata 42.14 ± 10.106 dan 77,3 % pada kelompok hiperplasia endometrium non atipik kompleks juga sebagian besar berusia > 40 tahun dengan rerata usia 43.18 ± 7.974. Namun dari hasil uji t


(72)

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok berdasarkan karakteristik usia (p=0.705). Hasil seperti tersebut diatas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, karena pada usia perimenopause (46-51 tahun) insidensi hiperplasia endometrium akan mengalami peningkatan, terutama pada wanita yang mempunyai riwayat paparan terhadap estrogen endogen maupun eksogen. Paparan estrogen yang tidak seimbang seperti terapi sulih hormon maupun anovulasi kronis merupakan beberapa faktor yang meningkatkan insidensi hiperplasia endometrium.2,3

Penelitian yang dilakukan oleh Reed, et al tentang insidensi hiperplasia endometrium menunjukkan hal yang sama, dimana hiperplasia endometrium terjadi sebagian besar pada kelompok subjek yang juga berusia lebih dari 40 tahun, tepatnya pada kelompok umur 50-54 tahun.2

Sementara penelitian oleh Cahyanti tentang Bcl-2 dan indeks apoptosis hiperplasia endometrium non-atipik simpleks dan kompleks juga menunjukkan hal yang sama, dengan rerata usia yang lebih mendekati penelitian ini, yakni 42,5 tahun.38


(1)

Group Statistics

Subyek N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Skor_Intensitas2 dime

nsion

1

1,00 22 1,1364 ,99021 ,21111

2,00 22 1,5455 1,10096 ,23473

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks Hiperplasia Endometrium

non-atipik N Mean Rank Sum of Ranks

Bcl-2 observer 1 Simpleks 22 21,00 462,00

Kompleks 22 24,00 528,00

Total 44

Bcl-2 observer 2 Simpleks 22 20,09 442,00

Kompleks 22 24,91 548,00

Total 44

Test Statisticsa

Bcl-2 observer 1 Bcl-2 observer 2

Mann-Whitney U 209,000 189,000

Wilcoxon W 462,000 442,000

Z -,803 -1,292

Asymp. Sig. (2-tailed) ,422 ,196


(2)

Reliability

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 44 100,0

Excludeda 0 ,0

Total 44 100,0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Measure of Agreement Kappa ,908 ,051 10,355 ,000

N of Valid Cases 44

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

Group Statistics

kelompok hiperplasia N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

usia pasien simpleks 22 42.14 10.106 2.155

kompleks 22 43.18 7.974 1.700

skor Bcl 2 simpleks 22 2.68 2.476 .528

kompleks 22 3.00 2.289 .488


(3)

Tes normalitas data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

usia pasien skor Bcl 2

N 44 44

Normal Parameters(a,b) Mean 42.66 2.84

Std. Deviation 9.011 2.362

Most Extreme Differences

Absolute .134 .185

Positive .094 .185

Negative -.134 -.115

Kolmogorov-Smirnov Z .889 1.224

Asymp. Sig. (2-tailed) .409 .100

a Test distribution is Normal. b Calculated from data.

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference

Upper Lower

usia pasien

Equal variances assumed

.572 .454 -.381 42 .705 -1.045 2.744 -6.584 4.493

Equal

variances not assumed

-.381 39.845 .705 -1.045 2.744 -6.593 4.502

skor Bcl 2 Equal variances assumed

.012 .914 -.443 42 .660 -.318 .719 -1.769 1.133

Equal

variances not assumed


(4)

No Nama Usia Suku No. PA Subyek hiperplasia endometrium skor total Bcl-2 skor total Bcl-2

(thn) non atipik observer 1 observer 2

1 xxx 46 Batak B/1115/13 simpleks 1 1

2 xxx 50 Aceh B/1321/13 simpleks 2 2

3 xxx 36 Melayu B/3682/12 simpleks

0

0

4 xxx 43 Batak O/3538/14 simpleks 1

1

5 xxx 71 Batak B/2947/08 simpleks 3 2

6 xxx 43 Nias B/2643/09 simpleks 1 1

7 xxx 40 Jawa OK/112/14 simpleks 0 0

8 xxx 49 Melayu OK/103/14 simpleks 1 1

9 xxx 35 Batak OB/13/2014 simpleks 1 1

10 xxx 32 JAwa B/32/14 simpleks 0 0

11 xxx 30 Batak OK/31/14 simpleks 1 1

12 xxx 43 Batak B/283/13 simpleks 0 0

13 xxx 22 Batak B/266/13 simpleks 3 2

14 xxx 44 Aceh OK/233/13 simpleks 3 3

15 xxx 40 Jawa B/213/13 simpleks 1 1

16 xxx 40 Jawa B/208/13 simpleks 3 3

17 xxx 45 Melayu B/154/13 simpleks 1 1

18 xxx 40 Melayu OK/54/13 simpleks 0 0

19 xxx 28 Batak OK/357/12 simpleks 1 1

20 xxx 53 Batak OK/307/12 simpleks 1 1

21 xxx 46 Batak OK/270/12 simpleks 3 3

22 xxx 51 Batak HJ/257/14 simpleks 0 0

23 xxx 44 Jawa O/4462/13 kompleks 3 3

24 xxx 43 Aceh B/3134/13 kompleks 1 1

25 xxx 49 Jawa B/2294/12 kompleks 3 3

26 xxx 21 Melayu B/4858/09 kompleks 0 0

27 xxx 36 Aceh B/73499/13 kompleks 2 2

28 xxx 30 Minang OK/7292/12 kompleks 3 3

29 xxx 42 Jawa OK/68/2012 kompleks 2 2

30 xxx 42 Batak H/071/14 kompleks 0 0

TABEL INDUK


(5)

31 xxx 47 Batak HJ/104/14 kompleks 1 1

32 xxx 50 Minang B/2811/13 kompleks 2 2

33 xxx 48 Aceh B/4170/13 kompleks 0 1

34 xxx 35 Minang JH/2404/14 kompleks 0 0

35 xxx 45 Batak H/2765/14 kompleks 2 2

36 xxx 47 Batak JH/2215/14 kompleks 0 0

37 xxx 46 Jawa JH/1960/14 kompleks 3 3

38 xxx 48 Aceh

JH/1896/14

kompleks 2 2

39 xxx 54 Batak JH/1602/14 kompleks 0 0

40 xxx 44 Batak JH/1354/14 kompleks 1 1

41 xxx 35 Jawa JH/1198/14 kompleks 2 2

42 xxx 45 Jawa JH/1167/14 kompleks 3 3

43 xxx 42 tionghoa JH/1033/14 kompleks 2 2


(6)

GAMBARAN EKSPRESI IMUNOHISTOKIMIA Bcl-2

Ekspresi negative Bcl-2

Ekspresi lemah Bcl-2

Ekspresi sedang Bcl-2

Ekspresi kuat Bcl-2