13 4 Menyusun skenario perencanaan tata ruang Teluk Lampung yang bersifat
partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan.
1.6 Kerangka Konsepsional
Secara konsepsional, penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wilayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan
perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah
perencanaan tata ruang Dahuri et al. 2001; Tyldesley
2004; Gangai dan
Ramachandran 2010 . Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi
positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, atau sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan
struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama Rustiadi et al. 2009. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka
pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demkian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan
karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan.
Sesuai dengan hukum geografi pertama dari Tobler 1970, yang menyatakan bahwa “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun
yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan yang lebih dari lainnya ”. Oleh karena
itu, ruang daratan dan perairan yang berbatasan langsung di wilayah pesisir akan saling terkait dan mempengaruhi secara lebih erat. Dengan demikian, paduan
karakteristik ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir harus dapat diakomodasi dalam suatu perencanaan tata ruang yang komprehensif.
Penataan ruang dan perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran yang berkelanjutan sebagai buah pengalaman manusia dan
bersifat iteratif Rustiadi et al. 2009. Dalam perkembangannya, perencanaan tata ruang tidak terlepas dari berbagai teori dan metode yang terkait dengan ilmu
kewilayahan dan ekonomi wilayah, dan terus berevolusi. Teori fundamental dari ekonomi wilayah dimulai dari karya von Thünen pada tahun 1826, yang dikenal
14 sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru
yang digagas Krugman pada awal 1990-an. Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah
dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran
dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010.
Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu Rustiadi et al.
2009: 1 kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan 2 adanya kemauan
politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk
dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting.
Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi.
Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat
rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya,
maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan. Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir
Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan
strategis kawasan tertentu maupun kawasan andalan. Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, danatau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis
provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupatenkota di bawahnya.
Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.
15
Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi
lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama Graham
1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008
yaitu: 1 populasi penduduk, 2 aktivitas ekonomi, dan 3 penggunaan ruang tata ruang.
Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling
berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan
penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi.
Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar
komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas
ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.
Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang Rustiadi et al. 2009
RTRW Nasional Fungsional
RTR Pulau Kepulauan Rencana Tata Ruang
Wilayah RTRW Umum
RTRW Provinsi
RTRW Kabupaten Kota
RTR Kawasan Strategis Nasional RTR Kawasan Strategis Provinsi
RTR Kawasan Strategis KabupatenKota
Rencana Detil Tata Ruang RDTR Rencana Tata Ruang Rinci
16 Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh holistik
dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari
perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut Deal dan Schunk 2004; Wiek and
Walter 2009; Faure et al. 2010. Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan
para pemangku kepentingan Brown et al. 2001. Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di
wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir.
Analisis prospektif partisipatif participatory prospective analysis, PPA, memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku
kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan
Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004. Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat
digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng
dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010. Terdapatnya anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling
bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada
rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan
spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik
sebagai lex generalis bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
memiliki kekhasan tersendiri sebagai lex specialis Adrianto 2010, seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir
haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.