untuk produk yang disimpan pada suhu dingin, yaitu berupa TTI berupa media agar yang disimpan pada suhu 0-16
o
C yang akan mengalami perubahan warna dari merah menjadi kuning seiring dengan penurunan pH sebagai hasil dari
metabolisme mikroba didalam media. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Vaikousi et al. 2009, yaitu dengan mengaplikasikan prototype TTI terhadap
daging cincang yang disimpan pada suhu dan waktu tertentu.
2.2 Kitosan
Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak setelah selulosa. Kitin termasuk polimer karbohidrat yang
terdapat pada serangga, fungi, dan kulit crustacea seperti kepiting, rajungan, dan udang dengan rumus
β 1,4-2-asetamido-2-deoksi-D-glucopyranosa, sedangkan kitosan
β 1,4-2-amino-2-deoksi-D-glucopyranose Sanford dan Hutchings 1987. Kitosan dapat diperoleh dari limbah industri pengolahan udang. Selama ini
limbah udang baru dimanfaatkan oleh industri kecil dalam pembuatan terasi, kerupuk udang, petis, dan campuran pakan ternak Kim 2004. Kitosan telah lama
digunakan sebagai edible film dan bahan alami untuk pharmaceutical, medical, pembungkus kertas, dan industri pengolahan pangan Sanford dan Hutchings
1987. Penggunaan kitosan sebagai pelapis pelindung antara lain sebagai pelapis semipermeabel terhadap perubahan fisik kimia pada sayuran dan buah selama
penyimpanan. Struktur kimia kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia kitin dan kitosan Hoagland dan Parris 1996 mengemukakan alasan dalam membuat film
dengan bahan dasar kitosan adalah : i kitosan merupakan turunan kitin, polisakarida paling banyak di bumi setelah selulosa; ii kitosan dapat membentuk
film dan membran dengan baik; dan iii sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik. Film dengan bahan dasar
kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk dirobek sebanding dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang Buttler et al.
1996.
Kitosan memiliki gugus amino bebas polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Apabila kitosan dilarutkan dalam
asam maka kitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi dan pembentuk film Rinaudo 2006.
Film sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk polimer yang mudah dibentuk. Proses pembentukan polimer disebut sebagai proses polimerisasi.
Polimer yang berupa larutan encer memiliki rantai bebas bergerak, sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang beragam. Akan tetapi polimer
dalam bentuk padat memiliki rantai tidak teratur sehingga gerakan dan konfigurasinya terbatas Sumarto 2008.
Film yang terbuat dari bahan kitosan memiliki banyak keunggulan, antara lain sifat biodegradable yang telah dibuktikan Makarios-Laham dan Lee 1995.
Di dalam tanah, PE-chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji. Selain itu Ban et
al. 2005 membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 28 mampu memberi kekuatan tarik 10 kali lipat dari film tepung kanji komersial. Sementara Chen et
al. 2007 telah meneliti mengenai karakteristik ikatan yang terjadi pada film kitosan dan PVA menemukan bahwa pembentukan film kitosan dan PVA adalah
melalui interaksi ikatan hidrogen antara kitosan dan PVA membuat struktur kimia film yang dihasilkan sangat kokoh yaitu ikatan hidrogen antar molekul antara
NH
3 +
pada struktur khitosan dan OH
-
pada polivinil alkohol. Gugus amino NH
2
pada khitosan telah diprotonasi menjadi NH
3 +
dalam larutan asam asetat, dan gugus OH
-
pada polivinil alkohol akan berikatan dengan NH
3 +
membentuk ikatan hidrogen Xu et al. 2004. Oleh karena itu pengembangan film dengan bahan
kitosan dan PVA sangat potensial digunakan sebagai matrik pembawa warna untuk kemasan cerdas dengan indikator warna.
2.3 Polivinil Alkohol PVA
Polivinil alkohol adalah suatu kopolimer vinil alkohol yang tersusun dari komonomer unit vinil seperti ethylene dan prophylene. Pembentukan polivinil
alkohol dilakukan melalui proses hidrolisis saponifikasi dari polivinil asetat. Reaksi ini dapat berjalan dengan adanya katalis yaitu garam palladium II
klorida Schonberger et al. 1997. Polivinil alkohol merupakan polimer sintetik yang mudah diuraikan secara biologi biodegradable dan tidak beracun. Pada
pengembangannya, polivinil alkohol sudah diaplikasikan dalam bidang kesehatan, pelapis bahan, bahan pembuat detergen, lem, serta pengemulsi Hodgkinson dan
Taylor 2000.
Polivinil alkohol berbentuk serbuk yang berwarna putih dan dapat larut dalam air pada suhu 80
o
C serta memiliki densitas sebesar 1.20 – 1.30 gcm
3
Sheftel, 2000. Polivinil alkohol dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kemasan plastik film. Polivinil alkohol memiliki kuat sobek sekitar 147
– 834 Nmm, kuat tarik sebesar 44
– 64 MNm
2
, serta persen pemanjangan sebesar 150 –
400 . Dengan karakteristik tersebut, polivinil alkohol dapat dibentuk menjadi kemasan plastik film yang biodegradable Hodgkinson dan Taylor 2000.
2.4 Stabilitas Warna Antosianin
Struktur dan konsentrasi antosianin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin. Antosianin umumnya lebih stabil pada
larutan asam dibandingkan pada larutan netral atau alkali. Dalam keadaan asam, struktur dominan antosianin berada dalam bentuk inti kation flavium yang
terprotonisasi dan kekurangan elektron. Peningkatan nilai pH menyebabkan kation flavilum menjadi tidak stabil dan mudah mengalami transformasi struktural
menjadi senyawa tidak bewarna seperti kalkon Jackman dan Smith 1996.
Oksigen dapat menstimulasi terjadinya proses degradasi antosianin secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung oksigen mampu menyebabkan
oksidasi antosianin membentuk senyawa tidak berwarna yang menurunkan stabilitas warna antosianin. Secara tidak langsung senyawa hidroksiradikal
mampu menyebabkan oksidasi pada struktur antosianin membentuk senyawa tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna
antosianin Ningrum 2005.
Cahaya juga dapat menyebabkan terjadinya proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu menstimulasi terjadinya reaksi
fotokimia fotooksidasi dapat menyebabkan pembukaan cincin karbon nomor dua. Pada akhirnya reaksi fotokimia fotooksidasi tersebut mampu membentuk
senyawa yang tidak berwarna seperti kalkon yang merupakan indikator degradasi warna antosianin Ningrum 2005. Degradasi lanjutan antosianin dapat
membentuk senyawa turunan lain yang tidak berwarna seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehida dan asam benzoate tersubtitusi lainnya. Jackman dan
Smith 1996.
Suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin. Peningkatan suhu pengolahan hingga penyimpanan dapat mengakibatkan
kerusakan dan perubahan warna antosianin secara cepat, yaitu melalui tahapan : i terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosidik antosianin dan menghasilkan
aglikon-aglikon yang labil; dan ii terbukanya cincin aglikon sehingga terbentuk gugus karbinol dan kalkon yang tidak berwarna. Selanjutnya menurut Jackman
dan Smith 1996, senyawa kalkon dapat mengalami degradasi membentuk senyawa tidak berwarna yang lebih sederhana yaitu asam karboksilat seperti asam
benzoat tersubtitusi dan karboksi-aldehida seperti 2,4,6 trihidroksibenzaldehida.
2.5 Tanaman Erpa Aerva sanguinolenta
Salah satu tanaman yang merupakan sumber potensial pewarna antosianin adalah daun tanaman erpa Aerva sanguinolenta yang termasuk kedalam suku
Amaranthaceae dan genus Aerva. Tanaman ini memiliki nama dagang atau nama umum sambang colok. Tanaman erpa memiliki beberapa nama daerah yaitu Ki
Sambang Sunda, Sambang Colok Jawa dan Rebha et raedhan Madura. Menurut Mardisiswojo dan Harsono 1985, tanaman ini tumbuh liar di halaman
dan di ladang-ladang sampai di dataran setinggi kira-kira 1000 m dari permukaan laut. Ada juga yang ditanam orang di halaman-halaman sebagai tanaman hias.
Heyne 1987 menambahkan bahwa tanaman sambang colok merupakan tanaman berbatang lemas dan tingginya sekitar 0.3-2 m. Daun sambang colok berbentuk