Kaitan LRB dengan Sampah Organik Kulit Buah Kompos dan Pengomposan

serta menjaga kebersihan, mengubah sampah menjadi kompos, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mengatasi masalah akibat genangan.

2.3 Kaitan LRB dengan Sampah Organik Kulit Buah

Kawasan pasar merupakan penyumbang terbesar sampah dari total sampah yang dihasilkan setiap harinya. Hal ini sangat logis karena setiap pedagang buah baik yang menjual langsung buah ataupun membuat jus menghasilkan sampah, baik sampah organik maupun anorganik. Sampah organik yang dihasilkan pedagang jus buah atau makanan dari buah yaitu sampah organik kulit buah sisa- sisa buah. Menurut Brata dan Nelistya 2008, sampah rumah tangga, dalam hal ini termasuk kulit buah, terdiri dari 60-70 sampah organik. Sampah organik merupakan sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh organisme tanah. Oleh karena itu sampah organik setiap rumah tangga bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ekosistem tanah. Lubang resapan biopori dapat mempermudah penanganan sampah organik, dengan memasukkannya ke dalam tanah untuk menghidupi biota tanah. Fauna tanah dapat memproses sampah tersebut dengan cara memperkecil ukuran dan mencampurkannya dengan mikroba tanah yang secara sinergi dapat mempercepat proses pengomposan secara alami. Dengan segera dimasukkannya sampah organik ke dalam LRB, maka tidak terjadi penumpukan sampah baik di TPS ataupun TPA.

2.4 Kompos dan Pengomposan

Teknologi pengomposan telah dikenal sejak zaman dahulu, bahkan definisi kompos serta pengomposan itu sendiri sangat beragam. Menurut Obeng dan Wright 1987, pengomposan bisa diartikan sebagai proses dekomposisi biologi dari unsur pokok sampah organik dengan kondisi yang diatur. Murbandono 1999, mengartikan kompos sebagai bahan organis yang telah menjadi lapuk, seperti daun-daun, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang, serta kotoran hewan. Sedangkan Sutanto 2002, mengartikan pengomposan sebagai proses biologi oleh mikroorganisme secara terpisah atau bersama-sama dalam menguraikan bahan organik menjadi bahan semacam humus. Proses pengomposan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Sutanto 2002 menyebutkan faktor-faktor tersebut yaitu kelembaban, aerasi, penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah CN, nilai pH, dan suhu. Proses mikrobiologi yang terjadi selama pengomposan dilakukan oleh bakteri, aktinomisetes, serta jamur. Ketiga mikroba ini mutlak memerlukan bahan organik yang digunakan untuk pertumbuhannya. Bakteri adalah organisme sederhana dan kecil yang sering disebut juga dengan hewan berklorofil. Bentuknya bermacam-macam dan ukurannya berkisar 0,5-20 mikron. Aktinomisetes yang sering juga disebut aktinimisit merupakan mikroba yang berkembang membentuk filamen seperti jamur. Ukuran kecil dan struktur selnya yang rumit menyebabkan aktinomisetes dikelompokkan sebagai bakteri. Jamur merupakan organisme yang lebih besar namun tidak memiliki klorofil. Tubuh jamur terdiri dari helaian panjang yang disebut miselium Djaja, 2008. Banyak kriteria sehingga suatu bahan organik telah layak disebut sebagai kompos. Murbandono 1999, menyebutkan bahwa bahan organik yang layak dikatakan kompos apabila CN rasio nya telah mendekati CN rasio tanah. Telah diketahui bahwa rata-rata CN rasio tanah pertanian berkisar 10-12. Namun selain CN rasio mendekati CN rasio tanah banyak sumber yang mengatakan bahwa syarat kompos yaitu warna berubah menjadi gelap, sifatnya mudah hancur, dan beraroma seperti tanah. Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Menurur Rynk 1992 f aktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain: Rasio CN: Rasio CN yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio CN di antara 30 sd 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio CN terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Ukuran Partikel: Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan porositas. Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. Aerasi: Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen aerob. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan kelembaban. Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Porositas: Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban Moisture content: Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15. Apabila kelembaban lebih besar dari 60, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Temperatur: Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60 o C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 o C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. pH: Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH pengasaman, sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. Kandungan hara: Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan. Kandungan bahan berbahaya: Beberapa bahan organik ada yang mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam- logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan . Berikut adalah Tabel CN rasio beberapa bahan organik yang berguna untuk membandingkan CN rasio sesama bahan organik termasuk kulit pisang dan kulit nanas.. Tabel 1. CN rasio beberapa bahan organik Bahan CN Rasio Sisa makanan 15 Dedaunan 50 Jerami 80 Sisa-sisa buah-buahan 35 Pupuk kandang kering 20 Sumber : Obeng and Wright 1987

2.5 Pengomposan dalam Lubang Resapan Biopori