1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang intinya mengatur
tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah di wilayah laut yakni 12 mil untuk daerah provinsi dan 4 mil kabupatenkota, serta mengakui keberadaan nilai-
nilai lokal yang terdapat diberbagai pelosok daerah pesisir. Meskipun otonomi daerah menimbulkan kontroversi dikalangan para ahli lingkungan, termasuk
kekhawatiran terjadinya kerusakan di lingkungan kelautan dan perikanan, namun kegiatan perikanan yang bertanggung jawab responsible fisheries dapat
diwujudkan dalam nuansa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Keyakinan tersebut dilandasi oleh adanya kearifan lokal yang mengatur tentang pengelolaan
perikanan di wilayah pesisir. Menurut Solihin 2002 pemberlakuan aturan lokal dalam pengelolaan perikanan dapat meminimalkan berbagai konflik yang
sebelumnya kerap terjadi. Pertama, hilangnya konflik internal antara masyarakat nelayan lokal yang disebabkan oleh pelanggaran zona tangkapan. Kedua,
berkurangnya konflik antara nelayan lokal dan luar yang menggunakan alat tangkap yang sifatnya merusak seperti potasium sianida, dinamit dan bahan
beracun lainnya. Secara historis aturan adat pranata sosial ini tersebar luas di beberapa
wilayah pesisir Indonesia, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam Panglima Laot, Lampung Rumpon, Bali dan Lombok Awig-awig, Maluku Sasi, dan beberapa
di kawasan Indonesia Timur, seperti Sulawesi dan Papua dinamakan Hak Ulayat Laut HUL. Latar belakang berdirinya hukum adat dilandasi oleh dua faktor
antara lain; pertama, adanya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur
secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri Sarasehan Masyarakat
Adat Nusantara 1999. Pemahaman tentang masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk melihat peran serta masyarakat dalam penerapan aturan hukum
adat, serta mengetahui apakah peraturan yang dibuat oleh hukum adat dapat diterima
seluruh masyarakat
atau hanya
sekelompok orang
yang mengatasnamakan seluruh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Keterlibatan masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan hukum adat agar tetap eksis dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Selain itu, keberadaan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan bagi hukum adat untuk menerapkan peraturan serta sanksi yang tegas kepada
masyarakat yang melanggar. Kedua, adanya pengakuan dari Pemerintah terhadap kearifan lokal dalam
mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional. Perubahan paradigma pembangunan nasional melalui kebijakan pengelolaan perikanan berbasis otonomi
daerah memberikan ruang bagi hukum adat untuk mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18 Undang-
undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pengusahaan perairan pesisir atau PWP3 dapat diberikan kepada; a orang perseorangan warga negara
Indonesia; b badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar dihargainya hak masyarakat adatlokal
dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sasi, Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta memberikan ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Selain itu, perhatian terhadap hak-hak kepemilikan property rights dalam sistem pengelolaan
perikanan di perairan umum dan kajian pola interaksi antar pemangku kepentingan stakeholders di wilayah tersebut, serta dampaknya terhadap
komunitas rumah tangga perikanan sudah saatnya menjadi perhatian. Kemudian tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat
perikanan bisa dikembangkan dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan rules sistem pengelolaan wilayah perairan umum Suhana 2008.
Dasar pemikiran masyarakat tentang hukum adat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya yaitu demografi penduduk. Hal tersebut dilihat dari
kondisi masyarakat yang mendiami sutau wilayah, dimana pada awalnya
masyarakat menyebar secara homogen namun seiring dengan perkembangan zaman kondisi masyarakat menjadi heterogen. Perubahan pola hidup masyarakat
dari homogen menjadi heterogen akan mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang berlaku sejak nenek moyang di zaman
dahulu. Hal tersebut terjadi akibat pengaruh budaya dari masyarakat luar yang mendiami wilayah tersebut menyebabkan pemahaman masyarakat tentang
kearifan lokal perlahan-lahan menjadi berkurang. Hal mendasar yang perlu dipahami dalam hukum adat yaitu apakah nenek moyang pada zaman dahulu
membentuk hukum adat berdasarkan pemikiran tentang konservasi atau hanya untuk optimasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Proses adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungan sekitar
mengakibatkan kajian hak ulayat laut hanya dikaitkan dengan permasalahan di seputar aspek ekologi. Padahal praktek hak ulayat laut berkaitan juga dengan
proses dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi. Sehingga untuk memahami konsep hak ulayat laut secara utuh dengan masalah yang begitu
kompleks harus dikaji secara menyeluruh Wahyono et al 2000. Untuk mengatasi kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka
penguatan lembaga adatkearifan lokal di Indonesia harus menjadi perhatian utama dalam membuat rancangan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan yang berkelanjutan. Hadirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa
perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem pemerintahan sentralistis menjadi desentralisasi, sehingga membuka peluang untuk menciptakan
pembangunan berkelanjutan dengan cara merevitalisasi kearifan lokal yang ada. Hal ini dikarenakan terbukanya pintu partisipasi masyarakat dalam menyusun
suatu rancangan kebijakan hingga pengawasan pelaksanaan Solihin 2004. Upaya mengatur akses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Seram Timur
diatur berdasarkan kesepakatan masyarakat adat secara bersama. Akses memanen atau mengambil hasil perikanan laut diatur dan disepakati bersama oleh
masyarakat mengandung unsur –unsur larangan mengambil hasil perikanan laut
pada jangka waktu tertentu. Maksud pengaturan tersebut adalah agar pemanenan
hasil perikanan laut dilakukan pada waktu yang tepat. Bentuk aturan ini bagi masyarakat Maluku dikenal dengan istilah adat sasi Wattimena dan Papilaya
2005. Menurut Novaczek dan Harkes 1998, daerah laut yang diatur oleh sasi memiliki kondisi ekologi yang lebih baik dibandingkan dengan daerah laut yang
tidak di-sasi seperti kondisi terumbu karang yang rusak. Oleh sebab itu, keberadaan kearifan lokal diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
1.2 Rumusan masalah