tangkap;  dan  3  nelayan.  Menurut  Diniah  2008  mengemukakan  bahwa perikanan  tangkap  merupakan  suatu  kegiatan  ekonomi  dalam  memanfaatkan
sumberdaya alam, khususnya penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang  ada  di  lingkungan  perairan.  Dalam  pelaksanaan  kegiatan  di  bidang
penangkapan,  dihadapkan  pada  karakteristik  khusus  yang  tidak  di  miliki  oleh sistem  eksploitasi  sumberdaya  pertanian  lainnya.  Beberapa  karakteristik  khusus
tersebut  yaitu:  1  sumberdaya  pada  umumnya  tidak  terlihat  invisible;  2 merupakan  milik  bersama  common  property;  3  eksploitasisumberdaya
memiliki resiko yang sangat tinggi high risk; dan 4 produk sangat mudah rusak higly perishable.
Karakteristik  -  karakteristik  tersebut  memyebabkan  sulitnya  pemanfaatan sumberdaya  ikan  dibandingkan  dengan  sumberdaya  lainnya.  Perangkat  ilmu
perikanan  sangat  dibutuhkan  untuk  memungkinkan  pemanfaatan  sumberya tersebut  meliputi  aspek-aspek  biologi,  teknologi  sosial,  dan  ekonomi  Monintja
1989.
2.4.2 Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan  perikanan  berkaitan  dengan  tugas  yang  kompleks  bertujuan untuk  menjamin  adanya  hasil  dari  sumberdaya  alam  yang  optimal  bagi
masyarakat di daerah dan negara yang diperoleh melaui pemanfaatan sumberdaya perikanan  secara  berkelanjutan.  Praktek  open  acces  yang  selama  ini  berjalan,
banyak  menimbulkan  masalah  yaitu  kerusakan  sumberdaya  hayati  laut, pencemaran,  over-exploitation  dan  konflik  antar  nelayan.  Hal  ini  diakibatkan
ketidakpastian  pemilikan  atas  sumberdaya,  serta  tidak  ada  batasan  siapa,  kapan, dimana, dan bagaimana kegiatan perikanan dilakukan Satria 2001. Upaya untuk
mengelola  sumberdaya  perikanan  sangat  penting  untuk  dilakukan  dalam mengantisipasi terjadinya masalah-masalah, baik ekologi maupun sosial ekonomi
di wilayah pesisir dan laut sangat penting untuk dilakukan. Berdasarkan Undang
– undang No. 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang – undang  No.  31  Tahun  2004  menyebutkan  bahwa  pengelolaan  perikanan  adalah
semua  upaya  termasuk  proses  yang  berintergrasi  dalam  pengumpulan  informasi, analisis,  perencanaan,  konsultasi,  pembuatan  keputusan,  alokasi  sumberdaya  dan
implementsi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang
perikanan yang dikelolah oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk kelangsungan produktivitas hayati dan tujuan  yang telah ditetapkan. Pengelolaan
sumberdaya perikanan untuk tiap masing-masing daerah berbeda, sehingga untuk membuat  suatu  kebijakan  atau  memilih  model  pengelolaaan  sumberdaya
perikanan  harsu  melihat  kondisi  sosial,  ekonomi,  politik  dan  budaya  masyarakat setempat.  Artinya,  setiap  kebijakan  yang  akan  ditetapkan  dalam  pengelolaan
sumberdaya perikanan tersebut tudak bias di generalisasi pada semua daerah. Hal ini dikarenakan heterogennya budaya masyarakat Indonesia, kondisi geografis dan
karakteristik sumberdaya Anggraini 2002.
1 Pengelolaan Sentralistis
Menurut Nikijuluw
2002, pengelolaan
sentralistis Government
Centralized  Management  adalah  rezim  pengelolaan  sumberdaya  dengan pemerintah  sebagai  pemegang  kekuasaan  dan  wewenang  dalam  memanfaatkan
sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur,  hak  ekslusif  dan  hak  mengalihkan.  Model  pengelolaan  sentralistis
berlangsung sejak era orde lama hingga orde baru. Implikasi dari model ini adalah munculnya  berbagai  konflik  yang  sangat  kompleks  di  masyarakat.  Hal  ini
dikarenakan  model  ini  bersifat  top-down,  sehingga  menempatkan  masyarakat nelayan  sebagai  objek  sasaran  kebijakan,  akibatnya  masyarakat  kurang  peduli
terhadap  kebijakan  yang  dibuat.  Selain  itu,  model  ini  mengabaikan  pluralisme hukum yang berlaku sudah lama di masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di
beberapa daerah masyarakat pesisir Dahuri 1999. Selain  itu  Fathullah  2000,  mengemukakan  bahwa  akibat  dari  sentralistik
aturan hukum dan pemonopolian aparat penegak hukum  adalah terciptanya krisis kepercayaan terhadap hukum formal oleh masyarakat. Hal ini di karenakan sikap
pemerintah  pusat  yang  melupakan  nilai  dan  harga  diri  masyarakat  adat  atau daerah.  Selain  itu,  pembangkangan  terhadap  hukum  formal  di  sebabkan  oleh
lemahnya penegakan hukum dan mahalnya biaya pengawasan dalam pelaksanaan suatu  aturan  hukum  serta  terjadinya  praktek-praktek  kolusi  antara  oknum  aparat
dengan nelayan dalam melakukan praktek penangkapan ikan secara illegal.
2 Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan  perikanan  berbasis  masyarakat  merupakan  suatu  proses pemberian wewenang, tanggungjawab, dan kesempatan kepada masyarakat  untuk
mengelola  sumberdaya  perikanannya  sendiri  dengan  memperhatikan  kebutuhan, keinginan,  tujuan  dan  aspirasinya  Nikijuluw  2000.  Dengan  model  ini,
masyarakat  ikut  bertanggung  jawab  dalam  menjalankan  kebijakan  pengelolaan sumberdaya  perikanan  karena  masyarakat  dilibatkan  dalam  pembuatan
perencanaan,  pelaksanaan,  pengawasan  hingga  evaluasi.  Partispasi  masyarakat tersebut  merupakan  wujud  kepentingan  terhadap  kelangsungan  sumberdaya
perianan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari Satria 2002b. Dengan  demikian  pengelolaan  perikanan  berbasis  masyarakat  lebih  efektif
dan  efisien  karena  proses  pengambilan  keputusan  dilakukan  oleh  masyarakat lokal,  sehingga  dapat  mengakomodir  setiap  aspirasi  masyarakat  serta  pembuat
kebijakan  lebih  memahami  kondisi  daerahnya  Satria  2002a.  Kelemahan  dari model  ini  adalah  tidak  mampu  mengatasi  masalah-masalah  diluar  komunitas,
berlaku hanya pada daerah tertentu, sangat  rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi tingginya biaya institusionalisasinya.
Pengelolaan  perikanan  berbasis  masyarakat  dapat  dibentuk  melalui Nikijuluw 2002:
1 Pemerintah  beserta  masyarakat  mengakui  praktek-praktek  pengelolaan sumberdaya  perikanan  yang  selama  ini  dilakukan  oleh  masyarakat  secara
turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selam ini; 2 Pemerintah  dan  masyarakat  kembali  atau  merevitalisasi  adat  dan  budaya
masyarakat dalam mengelola perikanan; dan 3 Pemerintah memeberikan tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya kepada
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
3 Ko-Manajemen
Menurut  Nikijuluw  2002,  Ko-manajemen  perikanan  adalah  rezim derivative  yang  dari  rezim  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  yang  berbasis
masyarakat  PSPBM  dan  rezim  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  oleh pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau
pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Ditegaskan  pula  oleh  Carter  1996  bahwa  sesungguhnya  konsep pengelolaan  sumberdaya  alam  yang  berakar  pada  masyarakat  CBM  memiliki
beberapa dimensi positif yaitu 1 mampu mendorong pemerataan equity dalam pengelolaan  sumberdaya  alam;  2  mampu  merefleksikan  kebutuhan-kebutuhan
masyarakat  lokal  yang  spesifik;  3  mampu  meningkatkan  manfaat  lokal  bagi seluruh  anggota  masyarakat  yang  ada;  4  mampu  meningkatkan  efisiensi  secara
ekonomi maupun teknis; 5 responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; 6 mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; dan 7
masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pomeroy and Williams  1994  menyatakan  bahwa  penerapan  Co-Management  akan  berbeda-
beda  dan  tergantung  pada  kondisi  spesifik  lokasi,  maka  Co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh
problem  dari  pengelolaan  perikanan  atau  sumberdaya.   Tetapi  lebih  dipandang sebagai  alternatif  pengelolaan  yang  sesuai  untuk  situasi  dan  lokasi  tertentu.
Beberapa  kunci  kesuksesan  dari  model  Co-Management  menurut  Pomeroy  and Williams 1994 adalah sebagai berikut:
1  Batas-batas  wilayah  yang  jelas  terdefinisi; Batas-batas  fisik  dari  suatu
kawasan  yang  akan  dikelola  harus  dapat  ditetapkan  dan  diketahui  secara pasti  oleh  masyarakat.   Dalam  hal  ini,  peranan  pemerintah  daerah  dalam
menentukan zoning  dan  sekaligus melegalisasinya menjadi  sangat  penting. Batas-batas  wilayah  tersebut  harus  berdasarkan  pada  sebuah  ekosistem
sehingga  sumberdaya  alam  tersebut  dapat  lebih  mudah  untuk  diamati  dan dipahami;
2  Kejelasan  keanggotaan ;  Segenap  pelaku  atau  rumahtangga  masyarakat
yang  berhak  memanfaatkan  sumberdaya  alam  di  sebuah  kawasan  dan berpartisipasi  dalam  pengelolaan  daerah  tersebut  harus  dapat  diketahui  dan
didefinisikan dengan jelas.  Jumlah rumahtangga tersebut tidak boleh terlalu banyak  sehingga  proses  komunikasi  dan  musyawarah  yang  dilakukan
menjadi lebih efektif;
3  Keterikatan  dalam  kelompok ;  Kelompok  masyarakat  yang  terlibat
hendaknya  tinggal  secara  tetap  di  dekat  wilayah  pengelolaan.   Dalam konteks  ini,  maka  kebersamaan  masyarakat  akan  kelihatan  baik  dalam  hal
etnik, agama, persamaan alat penangkapan dan lain-lain;
4  Manfaat  harus  lebih  besar  dari  biaya ;  Setiap  individu  masyarakat  di
sebuah  kawasan  pengelolaan  mempunyai  harapan  bahwa  manfaat  yang diperoleh  dari  partisipasi  mereka  dalam  Co-Management  akan  lebih  besar
dibanding biaya yang dikeluarkan;
5  Pengelolaan  yang  sederhana ;  Dalam  model  Co-Management,  salah  satu
kunci  kesuksesan  adalah  penerapan  peraturan  pengelolaan  yang  sederhana dan  tidak  birokratis.  Proses  monitoring  dan  penegakan  hukum  dapat
dilakukan oleh masyarakat sendiri;
6  Legalisasi  dari  pengelolaan ;  Masyarakat  lokal  yang  terlibat  dalam
pengelolaan  membutuhkan  pengakuan  legal  dari  Pemerintah  Daerah, sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara
hukum terlindungi;
7  Kerjasama  dan  kepemimpinan  dalam  masyarakat ;  Kunci  sukses  yang
lain  adalah  adanya  individu  maupun  sebuah  kelompok  inti  yang  bersedia melakukan  upaya  semaksimal  mungkin  demi  berjalannya  proses  Co-
Management  ini.   Upaya  tersebut  termasuk  adanya  kepemimpinan  yang diterima  oleh  semua  pihak  khususnya  di  dalam  kalangan  masyarakat  lokal
tersebut;
8  Desentralisasi  dan  pendelegasian  wewenang ;  Pemerintah  Daerah  sebagai
bagian  dari  tripatriat  pengelolaan  dengan  model  Co-Management  ini  perlu memberikan  desentralisasi  proses  administrasi  dan  pendelegasian  tanggung
jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat; dan
9  Koordinasi  antara  pemerintah  dengan  masyarakat ;  Sebuah  lembaga
koordinasi  badan  koordinasi  pengelolaan  wilayah  pesisir  secara  terpadu
berbasis  pada  masyarakat  yang  berada  di  luar  kelompok  masyarakat  yang terlibat  dan  beranggotakan  wakil  dari  masyarakat  lokal  dan  wakil
pemerintah  merupakan  hal  yang  penting  pula  dibentuk  dalam  rangka memonitor penyusunan pengelolaan lokal dan pemecahan konflik.
Tujuan  utama  Ko-manajemen  adalah  pengelolaan  perikanan  yang  lebih tepat,  efisien,  adil  dan  merata.  Tujuan  sekundernya  adalah  1  mewujudkan
pembangunan  berbasis  masyarakat;  2  mewujudkan  proses  pengambilan keputusan  secara  desentralisasi,  sehingga  dapat  memberikan  hasil  yang  lebih
efektif, dan 3 sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif.
2.5  Dasar Hukum 2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan