Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra
12
2. Ma’ani wa akhilah. Ma’ani adalah makna, sedangkan akhilah atau khayal adalah imajinasi. Ma’ani dalam puisi sama dengan kandungan atau amanat
yang ingin disampaikan oleh penyair. Sedangkan khayal erat hubungannya dengan unsur yang ketiga yaitu gaya Bahasa.
3. Uslub wa alfazh. Uslub adalah gaya bahasa, sedangkan alfazh adalah diksi atau pilihan kata. Gaya Bahasa dan diksi erat kaitannya dengan imajinasi.
Imajinasi dalam syair biasanya disampaikan dengan gaya bahasa khas, seperti menggunakan isti’arah metafora, tasybih perumpamaan, majas
dan kinayah. Pemilihan kata yang tepat dan juga gaya Bahasa yang indah dalam syair, mampu mempengaruhi emosi dan perasaan pendengarnya.
4. Wazan dan qâfiyah. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait syair yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh.
37
Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-
syi’riyah, yakni bentuk- bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam
dalam syair Arab.
38
Wazan di dalam syair arab erat hubungannya dengan irama musik.
39
Adapun qafiyah adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf
mati yang ada di antara keduanya.
40
Abdurridha Ali mendefinisikan qafiyah secara modern, yaitu bunyi-bunyian yang membentuk irama musik yang
didendangkan oleh penyair di bait pertama dan diulang kembali pada akhir bait.
41
Wazan dan qafiyah yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah rhyme dan metre
42
atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rima dan matra.Berdasarkan hal tersebut wazan dan qafiyah
pada dasarnya masuk ke dalam struktur luar atau bentuk yang dalam puisi yang disebut dengan irama atau nada.
37
. al- Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458
38
. Ibrahim Anis, Musiqâ al- Syi’r, hal. 50
39
Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al-
Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah Irama syair Arab: Klasik dan modern
40
al- Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, h.
41
Abduridho Ali, Musiqa al- Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah, Oman: Dar al-Syuruq,
1997, h. 168
42
. lih. Roger Allen, an Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2004, 74
13
Istilah-istilah yang terdapat pada wazan dan qafiyah tersebut, selanjutnya turut menentukan jenis dan corak syair Arab dari aspek bentuk. Untuk itu, syair
Arab dari segi bentuk terbagi ke dalam tiga aliran, yaitu: 1. Syair multazim klasiktradisional, yaitu syair yang terikat dengan aturan
wazan dan qâfiyah. 2. Syair mursal atau muthlaq,yaitu syair yang terikat dengan satuan irama atau
taf’ilah, namun tidak terikat oleh wazan dan qafiyah. . Sebagai contoh, syi’ir Ahmad Faris al-Syidyaq berikut ini:
ْلا ماعو رهش ِك ع دعبلا ةعاس ةعاس وه امأك ىضم لصو
جََ تَأ ةَبَابَص َلْيِو طلا َلْي للا م
ِكْيِلْفَ ت ْىِذ ٍمْو ج ِل ْىمِ جَ تَو
َابَصلا ِت بَه ْنِإ ِبْلَقْلا ِ ِّم ق فَََْو ِك يح ر ما رْدَبْلا ِِْرِ كَذ ي
43
Rangkaian syi’ir tersebut terdiri dari, bait pertama berdasarkan pada bahr khafif, bait kedua bahr kamil, dan bait ketiga adalah bahr thawil.
3.
Syair mantsûr atau syair hurr puisi bebas, yaitu syair yang bebas dari segala bentuk kaidah ilmu arudl.Syair kontemporer banyak menggunakan
metode ini dalam penggubahannya. Corak ini saat ini sangat digemari dan dianggap lebih mudah karena tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu
seperti ilmu Arudh, atau bahkan taf’ilah sekalipun. Selain itu, karena tidak adanya aturan dalam bentuk, syair ini lebih demokratis dan akomodatif
dalam mengilustrasikan kata-kata. Namun demikian syair dalam bentuk ini terkadang tidak dianggap sebagai bagian dari syair Arab, karena sudah
terkontaminasi oleh sastra Barat, dan dianggap ikut berperan menghilangkan karakteristik syair Arab murni yang menjadi ciri khas
bangsa Arab. Contohnya syair kontemporer karya Qassim Haddad berikut ini:
43
. al- Mu’jam al-Mufashshal fi Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa funun al-Syi’r, hal. 286
14
تلخدف... اعم تاقوأا عيم ترسو تلخد
أدبي م ءدب ِأب ترعشو ةفطن ترص
افط ا ي ج ترس ترس خئاشلا لهكلا لاجرو
دعب دلوأ م ِأك
.....
44
Syair tersebut tampak jelas, sudah membebaskan diri dari segala ikatan syair klasik dan syair mursal, dan tidak ada bedanya dengan puisi-puisi di negara lain,
selain bahasanya. Demikianlah beberapa pembahasan yang terkait dengan unsur-unsur
intrinsik dalam puisi atau syair. Di dalam kajian strukturalis genetic, unsur-unsur intrinsic tersebut merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan di samping
unsur-unsur ekstrinsik. c. Unsur ekstrinsik sastra
Sebagaimana disebut di atas, bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses pembuatan sebuah karya sastra, seperti social,
politik, ekonomi, agama, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Namun demikian, menurut mursal esten, bila kajian terlalu menekankan pada unsur
ekstrinsik, tidak lagi disebut dengan kajian sastra, tetapi berubah menjadi kajian politik, ekonomi, social, dan lain sebagainnya.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia disebutkan bahwa unsur ekstrinsik karya sastra dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu unsur ekstrinsik utama dan
unsur ekstrinsik penunjang. Unsur ekstrinsik utama adalah pengarang. Dari unsur pengarang, sebuah karya sastra dapat ditelusuri hal-hal yang berkaitan dengan
kepekaan, imajinasi, inteletualitas, dan pandangan hidup pengarang. Adapun unsur ekstrinsik penunjang yaitu norma-norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya,
44
. data diperoleh dari http: www. Jehat al- syi’r
15
konvensi sastra, dan konvensi Bahasa. Kedua unsur ekstrinsik tersebut dapat ditelusuri melalui karya sastra.
45
d. Posisi strukturalis genetik Setelah penulis membahas tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, lalu
apa sebenarnya yang dimaksud dengan strukturalis genetik, dan apa hubungannya dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra?
Secara bahasa struktur berarti bangun, bentuk, desain, konstruksi, format, gatra, rupa, system, tata, wujud, komposisi, morfologi, susunan, tekstur.
46
Keunikan yang terdapat dalam unsur-unsur intrinsik karya sastra -sebagaimana telah dibahas
sebelumnya- menarik perhatian para peneliti, sehingga lahirlah teori strukturalisme al-
bina’iyyah. Sebuah teori yang memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan
pembaca sebagai penikmat, maupun usur-unsur ekstrinsik lainnya, seperti biografi, psikologi, sosiologi dan sejarah yang mempengaruhinya.
47
Kritik sastra structural adalah kritik objektif yang menekankan aspek instrinsik karya sastra. Untuk itu yang menentukan nilai estetika sebuah karya sastra
tidak sebatas keindahan Bahasa, namun juga relasi antar unsur intrinsic. Unsur- unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak benda seni yang terdiri dari unsur-unsur.
Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, gaya Bahasa, dan amanat. Sedangkan puisi terdiri dari tema, gaya Bahasa, imajinasi, ritme atau irama, rima, diksi, symbol, dan
amanat. Semua unsur tersebut dari kacamata teori strukturalisme terjalin satu dengan yang lainnya dengan rapi dan memiliki interrelasi dan saling
ketergantungan.
48
Terfokusnya kritik sastra pada unsur-unsur intrinsik, memicu munculnya teori baru yang merasa tidak puas dengan teori strukturalis. Teori strukturalis
dianggap tidak memperdulikan unsur-unsur lain yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, geografi, sejarah, serta aspek-aspek
social lainnya.
45
Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, h. 245
46
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 613
47
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, h. 183
48
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 184
16
Kekurangan yang terdapat pada teori strukturalisme murni ini, memicu lahirnya teori-teori strukturalisme revisi di antaranya muncul dari sosiolog Marxis
Lucien Goldman dan George Lukacs yang mengembangkan teori baru yang disebut dengan strukturalis genetic, yaitu strukturalisme yang berorientasi pada unsur
genetic social yang mempengaruhi lahirnya karya sastra. Dengan demikian, strukturalisme genetic menjadi suatu teori kritik yang menghubungkan struktur
sastra dengan struktur masyarakat melalui ideology atau cara pandang yang diekspresikan, baik yang berbentuk gagasan-gagasan, inspirasi, dan perasaan-
perasaan yang menyatukan anggota kelompok social tertentu, sebagai hasil dari situasi social, politik dan ekonomi yang dihadapi secara kolektif. Ideology yang
berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.
49
Dr. Wa’il Sayyid Abdurrahim menyebut istilah strukturalis genetik dalam Bahasa Arab dengan al-bunyawiyah al-
takwiniyyah.
50
Ada 3 hal yang membedakan strukturalisme genetic dengan kritik sosiologi sastra. Strukturalisme genetic harus meliputi 3 hal, yaitu aspek intrinsic teks sastra,
latar belakang pencipta, dan latar belakang social budaya dan sejarah masyarakat saat lahirnya karya sastra. Di sisi lain, sosiologi sastra tidak mementingkan kajian
unsur-unsur intrinsic.
51
Penelitian strukturalis genetik, memandang karya sastra dari dua sudut pandang, yaitu intrinsic dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur instrinsik
sebagai data dasar. Selanjutnya, unsur intrinsic tersebut dihubungkan dengan dengan unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya yang merupakan realitas
dari masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir. Menurut Suwardi Endraswara, karya sastra dipandang sebagai sebuah
refleksi jaman yang dapat mengungkapkan aspek social, budaya, politik ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman lahirnya karya
49
Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Jami’ah Helon: Darul ilmi wa al- Iman, 2009, h. 86. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h.
188
50
Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, h. 86
51
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, h. 188
17
sastra tersebut akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsic karya sastra.
52
Itulah sekilas pembahasan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra serta posisi teori strukturalis genetik dalam kritik sastra. Teori ini selanjutnya akan
digunakan untuk mengkaji syair hikmah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, dari sudut pandang nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya.
B.
Makna Nilai-nilai Moralitas
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa amanat pesan moraldalam karya sastra sebagai bagian dari instrinsik sastra. Pesan moral atau amanat yang
ingin disampaikan oleh penulis merupakan bagian dari kandungan atau isi karya sastra yang diharapkan mampu mempengaruhi pembacanya.
Menurut Mursal Esten, ciptasastra yang indah, bukan semata karena bahasanya yang mengalun-alun dan penuh irama, namun ia harus dilihat secara
keseluruhan dari tema, amanat, maupun strukturnya, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Mursal ada beberapa nilai yang harus dimiliki
oleh sebuah ciptasastra, yaitu nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut satu sama lain saling terkait dan
tidak bisa dipisahkan. Maka sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Moral bukan sekedar sopan
santun, namun ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal.
53
Novel-novel yang ditulis oleh Nawal el- Sa’dawi, misalnya, sarat dengan
pesan moral tentang perjuangan dan upaya kaum perempuan untuk melepaskan diri dari segala macam bentuk penindasan, dan menyeru kaum laki-laki, bahwa
perempuan adalah makhluk yang sama yang harus diperlakukan dengan adil. Begitu pula halnya dengan puisi atau syair, kata yang singkat dan padat
sebagai ciri khas puisi, di dalamnya sarat dengan amanat yang ingin disampaikan, bahkan pada sebagian puisi, amanat tersebut dapat dirasakan dari setiap bait yang
digubah oleh sang penyair.
52
Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, H. 56
53
Mursal Esten, Kesusteraan: pengantar Teori Sejarah, h. 7-8
18
Untuk itu, hal-hal yang terkait dengan nilai dan moralitas perlu dibahas secara khusus, untuk dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis nilai-nilai
moralitas atau amanat yang terkandung dalam syair Zuhair Ibnu Abi Sulma. a. Pengertian Nilai
Nilai secara bahasa diartikan dengan 1 angka, biji, ponten, skor, kredit, poin, 2 harga, harkat, kadar, martabat, taraf, bobot, jenis, kualitas, mutu 3 adab,
etik, kultur, norma, pandangan hidup, sila sangsakerta 4 arti, makna, faedah, kegunaan, manfaat, profit. Bernilai berarti: 1 berharga, berfaedah, berguna,
bermanfaat, produktif, 2 berbobot, berkualitas, dan bermutu.
54
Secara bahasa, kata nilai dalam bahasa Arab disebut dengan qiyam sebagai bentuk jamak dari qîmah.
Ibnu Manzhur memaknai qiyam dengan tsaman al-syai bi al-taqwîm atau harga sesuatu berdasarkan penghargaan.
55
Untuk itu, nilai keagamaan menurut KBIH adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa
masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.
56
Di dalam bahasa Inggris, nilai disebut dengan value. Secara umum kata value nilai merujuk pada sesuatu yang bernilai atau berharga, bisa berbentuk
objek atau peristiwa, bisa orang atau perbuatan, ide atau kebiasaan. Teori nilai, atau aksiologi, adalah sebuah pendekatan di mana nilai sebagai kategori umum dijadikan
sebagai obyek utama dalam analisis filosofis pemikiran Barat pada abad 19 yang kemudian berkembang di abad 20. Di antara para ahli teori nilai terkemuka Bernard
Bosanquet, JNFindlay, Alexius Meinong, dan Max Scheler di Eropa. Alejandro Korn di Amerika latin, dan C.I. Lewis, Ralph Barton Perry, John Dewey, dan
Stephen Lada di Amerika Serikat.
57
Menurut Syatori Isma’il, dalam memahami makna nilai, terbagi ke dalam tiga kelompok, pertama kelompok yang mengartikan nilai sebagai aturan-aturan
yang dijadikan sebagai tolak ukur, kedua, sesuatu yang tercermin dari tingkah laku
54
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, cet. 3, h. 429
55
Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m1410 h, jilid 12, h. 500
56
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 690
57
J. Wentzel Vrede van Huyssteen editor in Chief, Enchylopedia of Science and Religion, Detroit,New York, dll: GALE, 2003, v. 2, h. lih. foto
19
seseorang, dan ketiga pendapat yang menggabungkan keduanya.
58
Maka menurut Ibrahim Ibnu Nasher, al-qiyam nilai adalah seperangkat norma atau prinsip-
prinsip dasar yang luhur yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman perbuatan mereka dalam menghakimi tindakan lahir dan batin mereka.
59
b. Pengertian Moral Secara bahasa, moral dimaknai dengan: 1 adab, akhlak, budi pekerti, etik,
kehormatan, kejujuran, kesusilaan, pandangan hidup, sila skt, tata susila, 2 batin, mental 3 amanat, iktibar ar, makna, pelajaran, pesan. Bermoral berarti beradab,
berbudi, bersusila, elegan, tahu adatetiket, sopan. Moralitas mengandung arti etika, integritas, kebaikan dan kebajikan.
60
Dalam bahasa Arab, kata moral disebut dengan akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq.
61
Ibnu Manzhur mengartikan kata al-khuluq dengan al-sajiyyah atau karakter.
62
Berdasarkan hal ini, al-Ghazali mendefinisikan kata akhlak dengan suatu tindakan yang dilakukan secara spontan tanpa perlu pemikiran
lagi. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi akhlak ke dalam 2 bagian, yaitu akhlak terpuji al-akhlaq al-mahmudah dan akhlak tercela al-akhlaq al-sayyiah.
63
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mendefinisikan akhlak dengan sebuah tindakan yang bersumber dari pengetahuan yang benar, hasrat yang tulus, ekspresi lahir dan
batin, sejalan dengan keadilan dan kebijaksanaan, bermanfaat, serta perkataan yang benar.
64
58
Ahmad Syatori Ismail, Ghars al-Qiyam al-Akhlaqiyyah min Khilal al-Kutub al- Madrasiyyah wa al-Adabiyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis
for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip Dhiya’uddin Zahir, 1995, h. 18.
59
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http:www.al- jazirah.com201120110924ar3.htm
60
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 418
61
Kata akhlak dalah bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa arab tanpa ada perubahan.
62
Ibnu Manzhur, Lisan al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m1410 h, jilid 12, h.86
63
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Kairo: Maktabah al- Iman,1996, cet. 1, J. 3, h. 77
64
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Tibyan fi Aqsam al- Qur’an,
Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, tth, h. 144
20
Moral dalam bahasa lain disebut juga dengan etika. Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya. Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku
hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Menurut Magnis Suseno, etika adalah ilmu bukan dan bukan sebuah ajaran. Dan yang memberi
norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas.
65
Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-
petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana
manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut dengan
orang yang tidak bermoral, atau kurang bermoral. Secara singkat kita bisa menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Purwa
Hadiwardoyo, membagi moral social ke dalam beberapa bagian, yaitu ideology, politik, ekonomi, social, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta pekerjaan
dan profesi.
66
Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas adalah prinsip-prinsip dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh seseorang dalam
berperilaku.
67
c. Ukuran Baik dan Buruk Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan,
tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak
dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku- perilaku yang tidak baik.
68
65
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 1
66
Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, h. 74-94
67
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center,
2013 dikutip
dari Ibrahim
ibn Nasher
al-Hamud, http:www.al.Jazirah.com201120110924ae3.htm.
68
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 3
21
Lalu apakah ukuran baik dan buruk itu? Dalam filsafat etika, disebutkan bahwa baik dan buruk diukur dengan standarisasi umum yang berlaku bagi semua
manusia dan tidak hanya berlaku bagi sebagian manusia. Secara garis besar tolak ukur ini dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori
deontologis dan teleologis. Deontologis mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis
teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan.
69
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” duty.
Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontology, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan
dibenarkan berdasarkan akibat dan tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan sebagai tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.
70
Etika teleologis justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang
ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.
71
Karena teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat, maka teori ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut
aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini
disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan, menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari
segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan.
72
Kalau egoism menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai
baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan
universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna
69
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67
70
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 68
71
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72
72
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76
22
bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan
kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat.
73
Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak.
74
Menurut Burhanudin Salam, pada dasarnya antara etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya:
- Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan
meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk.
- Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak
memaksa.
75
Adapun perbedaannya adalah: -
Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika
bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian. -
Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia.
Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat. Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di
alam fana ini. -
Agama islam sumbernya dari Allah SWT, sedangkan etika dengan segala macam dan jenisnya bersumber dari pemikiran manusia sesuai
aliran masing-masing. -
Ajaran agama dapat melengkapi dan memperkuat ajaran etika, tetapi tidak semua ajaran dan pandangan etika, dapat diterima oleh agama.
73
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77
74
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79
75
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183
23
Maka semua manusia yang beragama islam dengan sendirinya mengerti soal-soal etikamoral, tetapi yang mempelajari etika sebagai suatu ilmufilsafat,
belum tentu beragama.
76
Aliran relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Aliran yang menyakini bahwa
sesuatu misalnya pengetahuan atau moralitas bersifat relative terhadap prinsip tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu adalah benar atau paling benar. Aliran ini
terbagi dua, yaitu relativisme kognitif dan relativisme etika. Relativisme kognitif adalah pandangan yang menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau
pengetahuan tentang dunia. Dunia hanyalah tunduk pada berbagai penafsiran, karena ia tidak memiliki sifat intrinsic dan tidak ada seperangkat norma epistemic
yang secara metafisis lebih istimewa dari yang lain.
77
Adapun yang dimaksud dengan relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral
bersifat relative terhadap budaya atau pilihan individu.
78
Relativisme etika terbagi ke dalam relativisme individual dan relativisme social. Relativisme individual adalah teori bahwa setiap individu berhak
menentukan kaidah moralnya sendiri. Sedangkan relativisme social adalah pandangan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya
sendiri. Donaldson, sebagaimana dikutip oleh M. A Shomali menyatakan bahwa kebanaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Fieser
sebagaimana dikutip oleh M.A Shomali mengatakan bahwa relativisme moral adalah pandangan bahwa norma-norma moral bersumber dari persetujuan social
yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain.
79
Lawan dari teori relativisme etika adalah absolutism etika, suatu pandangan yang meyakini bahwa ada berbagai kebenaran moral yang universal. Sebagaimana
dikutip dari Pojman, Sebagian lain memilih istilah objektivisme etika sebagai lawan dari relativisme etika. Objektivisme etika menekankan bahwa meski berbagai
budaya berbeda-beda dalam prinsip moralnya, namun demikian beberapa prinsip
76
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 184
77
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999, h. 1
78
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, h. 33 dari Pojman
79
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, h. 35 dari Fieser
24
moral memiliki validitas universal, sekalipun misalnya, sebuah budaya tidak mengakui kewajiban mencegah kejahatan yang tidak beralasan, prinsip itu benar,
dan budaya tersebut harus mengikutinya.
80
Secara umum konsep-konsep moralitas dapat diukur dari: 1. Apakah tindakan ini baik atau buruk?
2. Apakah perbuatan ini benar atau salah? 3. Apakah perbuatan ini harus dilakukan atau tidak?
Demikian beberapa penjelasan yang terkait dengan, teori strukturalis genetik, dan nilai-nilai moralitas. Teori-teori ini oleh penulis akan dijadikan sebagai
landasan dalam menganalisis syair-syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma dari sudut pandang nilai-nilai moralitas. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai
moralitas pada masa Jahiliyyah yang tercermin dalam syair-syair Zuhair, apakah mencerminkan moralitas deontologis ataukah teleologis. Lalu sejauh mana, unsur-
unsur ekstrinsik mempengaruhi terhadap penciptaan syair Zuhair yang terlahir pada masa Jahiliyah, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah masa yang tidak
bermoral.
80
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, h. 38-39
25
BAB III ZUHAIR IBN ABI SULMA: RIWAYAT HIDUP, SYAIR DAN
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAHILIYAH