Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra

12 2. Ma’ani wa akhilah. Ma’ani adalah makna, sedangkan akhilah atau khayal adalah imajinasi. Ma’ani dalam puisi sama dengan kandungan atau amanat yang ingin disampaikan oleh penyair. Sedangkan khayal erat hubungannya dengan unsur yang ketiga yaitu gaya Bahasa. 3. Uslub wa alfazh. Uslub adalah gaya bahasa, sedangkan alfazh adalah diksi atau pilihan kata. Gaya Bahasa dan diksi erat kaitannya dengan imajinasi. Imajinasi dalam syair biasanya disampaikan dengan gaya bahasa khas, seperti menggunakan isti’arah metafora, tasybih perumpamaan, majas dan kinayah. Pemilihan kata yang tepat dan juga gaya Bahasa yang indah dalam syair, mampu mempengaruhi emosi dan perasaan pendengarnya. 4. Wazan dan qâfiyah. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait syair yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh. 37 Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al- syi’riyah, yakni bentuk- bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab. 38 Wazan di dalam syair arab erat hubungannya dengan irama musik. 39 Adapun qafiyah adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya. 40 Abdurridha Ali mendefinisikan qafiyah secara modern, yaitu bunyi-bunyian yang membentuk irama musik yang didendangkan oleh penyair di bait pertama dan diulang kembali pada akhir bait. 41 Wazan dan qafiyah yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah rhyme dan metre 42 atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rima dan matra.Berdasarkan hal tersebut wazan dan qafiyah pada dasarnya masuk ke dalam struktur luar atau bentuk yang dalam puisi yang disebut dengan irama atau nada. 37 . al- Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458 38 . Ibrahim Anis, Musiqâ al- Syi’r, hal. 50 39 Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al- Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah Irama syair Arab: Klasik dan modern 40 al- Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, h. 41 Abduridho Ali, Musiqa al- Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah, Oman: Dar al-Syuruq, 1997, h. 168 42 . lih. Roger Allen, an Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2004, 74 13 Istilah-istilah yang terdapat pada wazan dan qafiyah tersebut, selanjutnya turut menentukan jenis dan corak syair Arab dari aspek bentuk. Untuk itu, syair Arab dari segi bentuk terbagi ke dalam tiga aliran, yaitu: 1. Syair multazim klasiktradisional, yaitu syair yang terikat dengan aturan wazan dan qâfiyah. 2. Syair mursal atau muthlaq,yaitu syair yang terikat dengan satuan irama atau taf’ilah, namun tidak terikat oleh wazan dan qafiyah. . Sebagai contoh, syi’ir Ahmad Faris al-Syidyaq berikut ini: ْلا ماعو رهش ِك ع دعبلا ةعاس ةعاس وه امأك ىضم لصو جََ تَأ ةَبَابَص َلْيِو طلا َلْي للا م ِكْيِلْفَ ت ْىِذ ٍمْو ج ِل ْىمِ جَ تَو َابَصلا ِت بَه ْنِإ ِبْلَقْلا ِ ِّم ق فَََْو ِك يح ر ما رْدَبْلا ِِْرِ كَذ ي 43 Rangkaian syi’ir tersebut terdiri dari, bait pertama berdasarkan pada bahr khafif, bait kedua bahr kamil, dan bait ketiga adalah bahr thawil. 3. Syair mantsûr atau syair hurr puisi bebas, yaitu syair yang bebas dari segala bentuk kaidah ilmu arudl.Syair kontemporer banyak menggunakan metode ini dalam penggubahannya. Corak ini saat ini sangat digemari dan dianggap lebih mudah karena tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu seperti ilmu Arudh, atau bahkan taf’ilah sekalipun. Selain itu, karena tidak adanya aturan dalam bentuk, syair ini lebih demokratis dan akomodatif dalam mengilustrasikan kata-kata. Namun demikian syair dalam bentuk ini terkadang tidak dianggap sebagai bagian dari syair Arab, karena sudah terkontaminasi oleh sastra Barat, dan dianggap ikut berperan menghilangkan karakteristik syair Arab murni yang menjadi ciri khas bangsa Arab. Contohnya syair kontemporer karya Qassim Haddad berikut ini: 43 . al- Mu’jam al-Mufashshal fi Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa funun al-Syi’r, hal. 286 14 تلخدف... اعم تاقوأا عيم ترسو تلخد أدبي م ءدب ِأب ترعشو ةفطن ترص افط ا ي ج ترس ترس خئاشلا لهكلا لاجرو دعب دلوأ م ِأك ..... 44 Syair tersebut tampak jelas, sudah membebaskan diri dari segala ikatan syair klasik dan syair mursal, dan tidak ada bedanya dengan puisi-puisi di negara lain, selain bahasanya. Demikianlah beberapa pembahasan yang terkait dengan unsur-unsur intrinsik dalam puisi atau syair. Di dalam kajian strukturalis genetic, unsur-unsur intrinsic tersebut merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan di samping unsur-unsur ekstrinsik. c. Unsur ekstrinsik sastra Sebagaimana disebut di atas, bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses pembuatan sebuah karya sastra, seperti social, politik, ekonomi, agama, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Namun demikian, menurut mursal esten, bila kajian terlalu menekankan pada unsur ekstrinsik, tidak lagi disebut dengan kajian sastra, tetapi berubah menjadi kajian politik, ekonomi, social, dan lain sebagainnya. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia disebutkan bahwa unsur ekstrinsik karya sastra dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu unsur ekstrinsik utama dan unsur ekstrinsik penunjang. Unsur ekstrinsik utama adalah pengarang. Dari unsur pengarang, sebuah karya sastra dapat ditelusuri hal-hal yang berkaitan dengan kepekaan, imajinasi, inteletualitas, dan pandangan hidup pengarang. Adapun unsur ekstrinsik penunjang yaitu norma-norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya, 44 . data diperoleh dari http: www. Jehat al- syi’r 15 konvensi sastra, dan konvensi Bahasa. Kedua unsur ekstrinsik tersebut dapat ditelusuri melalui karya sastra. 45 d. Posisi strukturalis genetik Setelah penulis membahas tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan strukturalis genetik, dan apa hubungannya dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra? Secara bahasa struktur berarti bangun, bentuk, desain, konstruksi, format, gatra, rupa, system, tata, wujud, komposisi, morfologi, susunan, tekstur. 46 Keunikan yang terdapat dalam unsur-unsur intrinsik karya sastra -sebagaimana telah dibahas sebelumnya- menarik perhatian para peneliti, sehingga lahirlah teori strukturalisme al- bina’iyyah. Sebuah teori yang memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat, maupun usur-unsur ekstrinsik lainnya, seperti biografi, psikologi, sosiologi dan sejarah yang mempengaruhinya. 47 Kritik sastra structural adalah kritik objektif yang menekankan aspek instrinsik karya sastra. Untuk itu yang menentukan nilai estetika sebuah karya sastra tidak sebatas keindahan Bahasa, namun juga relasi antar unsur intrinsic. Unsur- unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak benda seni yang terdiri dari unsur-unsur. Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, gaya Bahasa, dan amanat. Sedangkan puisi terdiri dari tema, gaya Bahasa, imajinasi, ritme atau irama, rima, diksi, symbol, dan amanat. Semua unsur tersebut dari kacamata teori strukturalisme terjalin satu dengan yang lainnya dengan rapi dan memiliki interrelasi dan saling ketergantungan. 48 Terfokusnya kritik sastra pada unsur-unsur intrinsik, memicu munculnya teori baru yang merasa tidak puas dengan teori strukturalis. Teori strukturalis dianggap tidak memperdulikan unsur-unsur lain yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, geografi, sejarah, serta aspek-aspek social lainnya. 45 Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, h. 245 46 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 613 47 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, h. 183 48 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 184 16 Kekurangan yang terdapat pada teori strukturalisme murni ini, memicu lahirnya teori-teori strukturalisme revisi di antaranya muncul dari sosiolog Marxis Lucien Goldman dan George Lukacs yang mengembangkan teori baru yang disebut dengan strukturalis genetic, yaitu strukturalisme yang berorientasi pada unsur genetic social yang mempengaruhi lahirnya karya sastra. Dengan demikian, strukturalisme genetic menjadi suatu teori kritik yang menghubungkan struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui ideology atau cara pandang yang diekspresikan, baik yang berbentuk gagasan-gagasan, inspirasi, dan perasaan- perasaan yang menyatukan anggota kelompok social tertentu, sebagai hasil dari situasi social, politik dan ekonomi yang dihadapi secara kolektif. Ideology yang berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka. 49 Dr. Wa’il Sayyid Abdurrahim menyebut istilah strukturalis genetik dalam Bahasa Arab dengan al-bunyawiyah al- takwiniyyah. 50 Ada 3 hal yang membedakan strukturalisme genetic dengan kritik sosiologi sastra. Strukturalisme genetic harus meliputi 3 hal, yaitu aspek intrinsic teks sastra, latar belakang pencipta, dan latar belakang social budaya dan sejarah masyarakat saat lahirnya karya sastra. Di sisi lain, sosiologi sastra tidak mementingkan kajian unsur-unsur intrinsic. 51 Penelitian strukturalis genetik, memandang karya sastra dari dua sudut pandang, yaitu intrinsic dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur instrinsik sebagai data dasar. Selanjutnya, unsur intrinsic tersebut dihubungkan dengan dengan unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya yang merupakan realitas dari masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir. Menurut Suwardi Endraswara, karya sastra dipandang sebagai sebuah refleksi jaman yang dapat mengungkapkan aspek social, budaya, politik ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman lahirnya karya 49 Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Jami’ah Helon: Darul ilmi wa al- Iman, 2009, h. 86. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 188 50 Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, h. 86 51 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, h. 188 17 sastra tersebut akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsic karya sastra. 52 Itulah sekilas pembahasan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra serta posisi teori strukturalis genetik dalam kritik sastra. Teori ini selanjutnya akan digunakan untuk mengkaji syair hikmah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, dari sudut pandang nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya. B. Makna Nilai-nilai Moralitas Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa amanat pesan moraldalam karya sastra sebagai bagian dari instrinsik sastra. Pesan moral atau amanat yang ingin disampaikan oleh penulis merupakan bagian dari kandungan atau isi karya sastra yang diharapkan mampu mempengaruhi pembacanya. Menurut Mursal Esten, ciptasastra yang indah, bukan semata karena bahasanya yang mengalun-alun dan penuh irama, namun ia harus dilihat secara keseluruhan dari tema, amanat, maupun strukturnya, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Mursal ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra, yaitu nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut satu sama lain saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Maka sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Moral bukan sekedar sopan santun, namun ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal. 53 Novel-novel yang ditulis oleh Nawal el- Sa’dawi, misalnya, sarat dengan pesan moral tentang perjuangan dan upaya kaum perempuan untuk melepaskan diri dari segala macam bentuk penindasan, dan menyeru kaum laki-laki, bahwa perempuan adalah makhluk yang sama yang harus diperlakukan dengan adil. Begitu pula halnya dengan puisi atau syair, kata yang singkat dan padat sebagai ciri khas puisi, di dalamnya sarat dengan amanat yang ingin disampaikan, bahkan pada sebagian puisi, amanat tersebut dapat dirasakan dari setiap bait yang digubah oleh sang penyair. 52 Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, H. 56 53 Mursal Esten, Kesusteraan: pengantar Teori Sejarah, h. 7-8 18 Untuk itu, hal-hal yang terkait dengan nilai dan moralitas perlu dibahas secara khusus, untuk dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis nilai-nilai moralitas atau amanat yang terkandung dalam syair Zuhair Ibnu Abi Sulma. a. Pengertian Nilai Nilai secara bahasa diartikan dengan 1 angka, biji, ponten, skor, kredit, poin, 2 harga, harkat, kadar, martabat, taraf, bobot, jenis, kualitas, mutu 3 adab, etik, kultur, norma, pandangan hidup, sila sangsakerta 4 arti, makna, faedah, kegunaan, manfaat, profit. Bernilai berarti: 1 berharga, berfaedah, berguna, bermanfaat, produktif, 2 berbobot, berkualitas, dan bermutu. 54 Secara bahasa, kata nilai dalam bahasa Arab disebut dengan qiyam sebagai bentuk jamak dari qîmah. Ibnu Manzhur memaknai qiyam dengan tsaman al-syai bi al-taqwîm atau harga sesuatu berdasarkan penghargaan. 55 Untuk itu, nilai keagamaan menurut KBIH adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan. 56 Di dalam bahasa Inggris, nilai disebut dengan value. Secara umum kata value nilai merujuk pada sesuatu yang bernilai atau berharga, bisa berbentuk objek atau peristiwa, bisa orang atau perbuatan, ide atau kebiasaan. Teori nilai, atau aksiologi, adalah sebuah pendekatan di mana nilai sebagai kategori umum dijadikan sebagai obyek utama dalam analisis filosofis pemikiran Barat pada abad 19 yang kemudian berkembang di abad 20. Di antara para ahli teori nilai terkemuka Bernard Bosanquet, JNFindlay, Alexius Meinong, dan Max Scheler di Eropa. Alejandro Korn di Amerika latin, dan C.I. Lewis, Ralph Barton Perry, John Dewey, dan Stephen Lada di Amerika Serikat. 57 Menurut Syatori Isma’il, dalam memahami makna nilai, terbagi ke dalam tiga kelompok, pertama kelompok yang mengartikan nilai sebagai aturan-aturan yang dijadikan sebagai tolak ukur, kedua, sesuatu yang tercermin dari tingkah laku 54 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, cet. 3, h. 429 55 Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m1410 h, jilid 12, h. 500 56 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 690 57 J. Wentzel Vrede van Huyssteen editor in Chief, Enchylopedia of Science and Religion, Detroit,New York, dll: GALE, 2003, v. 2, h. lih. foto 19 seseorang, dan ketiga pendapat yang menggabungkan keduanya. 58 Maka menurut Ibrahim Ibnu Nasher, al-qiyam nilai adalah seperangkat norma atau prinsip- prinsip dasar yang luhur yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman perbuatan mereka dalam menghakimi tindakan lahir dan batin mereka. 59 b. Pengertian Moral Secara bahasa, moral dimaknai dengan: 1 adab, akhlak, budi pekerti, etik, kehormatan, kejujuran, kesusilaan, pandangan hidup, sila skt, tata susila, 2 batin, mental 3 amanat, iktibar ar, makna, pelajaran, pesan. Bermoral berarti beradab, berbudi, bersusila, elegan, tahu adatetiket, sopan. Moralitas mengandung arti etika, integritas, kebaikan dan kebajikan. 60 Dalam bahasa Arab, kata moral disebut dengan akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq. 61 Ibnu Manzhur mengartikan kata al-khuluq dengan al-sajiyyah atau karakter. 62 Berdasarkan hal ini, al-Ghazali mendefinisikan kata akhlak dengan suatu tindakan yang dilakukan secara spontan tanpa perlu pemikiran lagi. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi akhlak ke dalam 2 bagian, yaitu akhlak terpuji al-akhlaq al-mahmudah dan akhlak tercela al-akhlaq al-sayyiah. 63 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mendefinisikan akhlak dengan sebuah tindakan yang bersumber dari pengetahuan yang benar, hasrat yang tulus, ekspresi lahir dan batin, sejalan dengan keadilan dan kebijaksanaan, bermanfaat, serta perkataan yang benar. 64 58 Ahmad Syatori Ismail, Ghars al-Qiyam al-Akhlaqiyyah min Khilal al-Kutub al- Madrasiyyah wa al-Adabiyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip Dhiya’uddin Zahir, 1995, h. 18. 59 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http:www.al- jazirah.com201120110924ar3.htm 60 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 418 61 Kata akhlak dalah bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa arab tanpa ada perubahan. 62 Ibnu Manzhur, Lisan al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m1410 h, jilid 12, h.86 63 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Kairo: Maktabah al- Iman,1996, cet. 1, J. 3, h. 77 64 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Tibyan fi Aqsam al- Qur’an, Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, tth, h. 144 20 Moral dalam bahasa lain disebut juga dengan etika. Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Menurut Magnis Suseno, etika adalah ilmu bukan dan bukan sebuah ajaran. Dan yang memberi norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. 65 Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah- petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut dengan orang yang tidak bermoral, atau kurang bermoral. Secara singkat kita bisa menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Purwa Hadiwardoyo, membagi moral social ke dalam beberapa bagian, yaitu ideology, politik, ekonomi, social, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta pekerjaan dan profesi. 66 Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas adalah prinsip-prinsip dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh seseorang dalam berperilaku. 67 c. Ukuran Baik dan Buruk Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku- perilaku yang tidak baik. 68 65 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 1 66 Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, h. 74-94 67 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http:www.al.Jazirah.com201120110924ae3.htm. 68 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 3 21 Lalu apakah ukuran baik dan buruk itu? Dalam filsafat etika, disebutkan bahwa baik dan buruk diukur dengan standarisasi umum yang berlaku bagi semua manusia dan tidak hanya berlaku bagi sebagian manusia. Secara garis besar tolak ukur ini dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori deontologis dan teleologis. Deontologis mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan. 69 Istilah deontologi berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” duty. Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontology, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat dan tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan sebagai tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. 70 Etika teleologis justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik. 71 Karena teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat, maka teori ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan, menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan. 72 Kalau egoism menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna 69 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67 70 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 68 71 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 72 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76 22 bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. 73 Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak. 74 Menurut Burhanudin Salam, pada dasarnya antara etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya: - Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. - Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak memaksa. 75 Adapun perbedaannya adalah: - Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian. - Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia. Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat. Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di alam fana ini. - Agama islam sumbernya dari Allah SWT, sedangkan etika dengan segala macam dan jenisnya bersumber dari pemikiran manusia sesuai aliran masing-masing. - Ajaran agama dapat melengkapi dan memperkuat ajaran etika, tetapi tidak semua ajaran dan pandangan etika, dapat diterima oleh agama. 73 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77 74 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 75 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183 23 Maka semua manusia yang beragama islam dengan sendirinya mengerti soal-soal etikamoral, tetapi yang mempelajari etika sebagai suatu ilmufilsafat, belum tentu beragama. 76 Aliran relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Aliran yang menyakini bahwa sesuatu misalnya pengetahuan atau moralitas bersifat relative terhadap prinsip tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu adalah benar atau paling benar. Aliran ini terbagi dua, yaitu relativisme kognitif dan relativisme etika. Relativisme kognitif adalah pandangan yang menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau pengetahuan tentang dunia. Dunia hanyalah tunduk pada berbagai penafsiran, karena ia tidak memiliki sifat intrinsic dan tidak ada seperangkat norma epistemic yang secara metafisis lebih istimewa dari yang lain. 77 Adapun yang dimaksud dengan relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relative terhadap budaya atau pilihan individu. 78 Relativisme etika terbagi ke dalam relativisme individual dan relativisme social. Relativisme individual adalah teori bahwa setiap individu berhak menentukan kaidah moralnya sendiri. Sedangkan relativisme social adalah pandangan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya sendiri. Donaldson, sebagaimana dikutip oleh M. A Shomali menyatakan bahwa kebanaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Fieser sebagaimana dikutip oleh M.A Shomali mengatakan bahwa relativisme moral adalah pandangan bahwa norma-norma moral bersumber dari persetujuan social yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain. 79 Lawan dari teori relativisme etika adalah absolutism etika, suatu pandangan yang meyakini bahwa ada berbagai kebenaran moral yang universal. Sebagaimana dikutip dari Pojman, Sebagian lain memilih istilah objektivisme etika sebagai lawan dari relativisme etika. Objektivisme etika menekankan bahwa meski berbagai budaya berbeda-beda dalam prinsip moralnya, namun demikian beberapa prinsip 76 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 184 77 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999, h. 1 78 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, h. 33 dari Pojman 79 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, h. 35 dari Fieser 24 moral memiliki validitas universal, sekalipun misalnya, sebuah budaya tidak mengakui kewajiban mencegah kejahatan yang tidak beralasan, prinsip itu benar, dan budaya tersebut harus mengikutinya. 80 Secara umum konsep-konsep moralitas dapat diukur dari: 1. Apakah tindakan ini baik atau buruk? 2. Apakah perbuatan ini benar atau salah? 3. Apakah perbuatan ini harus dilakukan atau tidak? Demikian beberapa penjelasan yang terkait dengan, teori strukturalis genetik, dan nilai-nilai moralitas. Teori-teori ini oleh penulis akan dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis syair-syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma dari sudut pandang nilai-nilai moralitas. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai moralitas pada masa Jahiliyyah yang tercermin dalam syair-syair Zuhair, apakah mencerminkan moralitas deontologis ataukah teleologis. Lalu sejauh mana, unsur- unsur ekstrinsik mempengaruhi terhadap penciptaan syair Zuhair yang terlahir pada masa Jahiliyah, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah masa yang tidak bermoral. 80 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika terjemah, h. 38-39 25 BAB III ZUHAIR IBN ABI SULMA: RIWAYAT HIDUP, SYAIR DAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAHILIYAH

A. Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma

Zuhair ibnu Abi Sulma termasuk ke dalam tokoh sastrawan Arab Jahiliyah periode awal bersama dengan Imru al-Qais 81 dan al-Nabighah al-Dzubyani 82 . Nama lengkapnya adalah Zuhair Ibnu Abi Sulma al-Muzani Ibnu Rabi’ah ibnu Abi Rabbah ibn Qurth ibn al- Harits ibn Mazin ibn Halawah ibn Tsa’labah ibn Tsaur ibn Hirmah ibn Lathim ibn ‘Utsman ibn ‘Amr ibn ‘Id ibn Thabikhah ibn al-Yas. Ia dinasabkan pada Muza inah binti Ka’ab ibnu Rabwah ibu ‘Amr ibnu Ad, salah seorang nenek kabilah Rabi’ah dari pihak bapak. Kabilah Zuhair dinasabkan pada neneknya dan dinamakan dengan nama tersebut. 83 Buku-buku sejarah sastra klasik, maupun penelitian-penelitian terbaru tidak banyak menceritakan tentang kehidupan Zuhair kecil, selain bahwa ia hidup dan tinggal di lingkungan Bani Abdillah ibnu Ghathfan dan paman-pamannya dari Bani Murrah kabilah Dzubyan. Zuhair tumbuh berkembang di bawah pemeliharaan pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadîrseorang penyair hebat sekaligus pemimpin yang dihormati lagi kaya. Basyamah termasuk salah seorang hartawan Jahiliyyah yang mampu mencungkil mata unta, salah satu tradisi bangsa Arab Jahiliyyah bila seseorang sudah memiliki seribu unta sebagai simbol bahwa ia 81 Nama lengkapnya yaitu ibn Hujr ibn al-H arits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar yang agung ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh. Dzu al-Qurûh adalah julukan bagi Umru al-Qais yang memiliki penyakit kulit lepra menjelang akhir hayatnya. Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al- Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H1990 M, hal. 17 82 Ia adalah Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama al- Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân. Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al- Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dar al- Ma’arif, 1962, hal. 143 83 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Mesir: Dar al- Ma’arif, 1916, cet.16, h. 69. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990 M, h. 31 26 seorang yang kaya. Saat meninggal dunia, Basyamah mewariskan kemuliaan dan akhlak yang baik kepada Zuhair, di samping keahlian dalam menggubah syair. 84 Selain dari pamannya Basyamah, kepandaianZuhair dalam menggubah syair juga diperoleh dari suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar seorang penyair yang sangat terkenal dan menjadi guru sejumlah penyair pada masa itu seperti al-Nabighah al-Dzubyani. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zuhair menarik perhatian Aus, sehingga ia memberikan perhatian lebih pada Zuhair, dan Zuhair banyak mengambil pelajaran syair yang bagus darinya. 85 Zuhair menikah dengan seorang perempuan mulia bernama Laila yang dijuluki dengan Ummu Aufa. Dari Ummu Aufa, Zuhair dianugerahi beberapa anak, namun semuanya meninggal saat masih kecil. Keinginannya untuk mendapatkan keturunan, memaksa dia menikah kembali dengan seorang perempuan bernama Kabsyah binti Umâr ibnu Sahîm dari Bani Abdillah ibnu Ghatfan. Darinya, Zuhair dianugerahi tiga orang putra yaitu Ka’ab, Buhair, dan Salim. Salim putranya yang ketiga meninggal saat kanak-kanak, semasa Zuhair masih hidup. 86 Namun demikian, Kabsyah istri barunya tersebut kurang cerdas dan senang dipuji, sehingga Zuhair merasa jemu dan ingin kembali pada istri pertamanya Ummu Aufa yang selalu memperlakukannya dengan baik. Sayang, Ummu Aufa menolak permohonan Zuhair untuk kembali bersatu, karena ia merasa telah diduakan. 87 Zuhair terkenal sebagai pribadi yang kaya raya dan dermawan. Ia juga meyakini akan adanya hari kebangkitan dan juga hisab. Hal ini tampak dalam syair- syairnya yang fenomenal.

B. Syair-syair Zuhair

Bila dipertanyakan, mengapa Zuhair bisa menjadi seorang penyair yang hebat saat itu. Jawabannya, tentu saja karena Zuhair tumbuh di sebuah rumah yang diliputi aura syair.Ayahnya yang bernama Rabi’ah ibnu Rabah adalah seorang penyair. Demikian pula pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadir dan 84 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 33. Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Mesir: Dar al- Ma’arif, 1916, cet.16, h. 69 85 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34 86 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34 87 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 35 27 juga suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar, keduanya merupakan penyair Jahiliyah yang terkenal. Selain itu, kedua saudara perempuannya, yaitu Salma dan al-Khansa, keduanya penyair perempuan yang terkenal saat itu. Zuhair juga dikaruniai dua orang anak laki-laki yang juga menjadi penyair terkenal hingga masa Islam, yakni Ka’ab dan Bajirah. Dan lingkungan seperti ini tidak dimiliki penyair lain semasanya. 88 Terkait syair-syair Zuhair, Umar Ibn al- Khathab mengatakan: “ Zuhair adalah seorang penyair yang tidak bertele-tele dalam ungkapannya, menghindari syair-syair yang rumit, dan tidak memuji kecuali apa adanya. 89 a. Tema-tema aghrad dalam syair Zuhair Muhammad Yusuf Farran, menyebutkan sebanyak 5 lima tema yang ada dalam syair-syair Zuhair, yaitu ghazal, washaf, madh, ritsa, hija, dan hikmah. Ghazal adalah syair yang secara khusus ditujukan untuk memuji dan menyanjung perempuan, termasuk di dalamnya kenangan-kenangan penyair dengan perempuan yang dicintainya, tempat-tempat yang pernah mereka lalui bersama, dan lain sebagainya. Contoh syair ghazal Zuhair: َفْوَأ مأ نِمأ 90 ِم لكت م ٌةَْمِد ِجاردلا ةناموح 91 م لثتماف 92 Tidak adakah jejak-jejak Ummi Aufa, mengapa tidak berbicara jejak-jejaknya di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam نتمق رلاب اه ٌرايد 93 اهأك ِمَصْعِم رشاون ف ٍمْشَو عيجارم perkampungannya yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan 88 Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, Beirut: Dar al- Ma’rifah, 2005 M1426 H, h. 42. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 37 89 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn u Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 47 dari kitab al-Aghani dan al-Umdah. 90 Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair mantan istri Zuhair. Lih. Riwayat Hidup Zuhair Bab IV. 91 Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan Mekah dekat al-Waqba. 92 Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al- A’rabi al- Mutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah Mu’jam al-Buldan, jilid 5, h. 53. ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102 93 Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad Mu’jam al-Buldan, jilid 3, h. 58 28 Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan 94 ةَفْلِخ نشم مارآاو نِعلا اه ِمَثََْ لك نم َنْضه ي اهؤاطأو Di dalamnya sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur ة جِح نيرشع دعب نم اه تْفَ قَو م هوت دعب رادلا تفرع ا يَََْف Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini ٍلَحْرِم س رَع م ف اعْف س ياثأ ِم لثتي م ضو ا مذِجك ايؤنو kutemukan tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil اهِعْبَرل تلق رادلا تفرع ا ملف ِمَلْساو عْبَرلا اهيأ احابص ْمِعْنَأ اأ Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah.. نئاغظ نم ىرت له يليلخ رصبت ل م يلعلاب ن ا ج قوف نم ء ْر ِ ث Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup- sekedup Yang melintasi bukit-bukit dari atas mata air Jurtsum 95 b. Gaya bahasa Syair Zuhair Dalam menggubah syairnya, Zuhair banyak menggunakan tasybih perumpamaan, isti’arah metafora, dan majas melalui hal-hal yang bersifat konkrit untuk menggambarkan ide, emosi, dan imajinasinya. Selain itu syairnya ringkas, padat, banyak mengandung hikmah dan pelajaran. 96 94 Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh. 95 Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad 96 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Mesir: Dar al- Ma’arif, 1916, cet.16, h. 69