Analisis Unsur-unsur Intrinsik Syair Mu’allaqah

54 1. Bagian awal atau muqadimah syair nasib. Nasib adalah penyebutan nama perempuan dan berbagai hal yang terkait dengan perempuan yang memiliki kehidupan yang sangat dekat dengan penyair, bisa kekasih, istri, anak, ataupun saudara. Nasib menjadi ciri khas dari syair Jahiliyah. Secara sosiologi, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jahiliyah sangat lekat dengan perempuan, namun hal ini tidak berarti mereka menempatkan perempuan sebagai sosok yang dimuliakan. Tradisi penyebutan perempuan pada syair-syair Jahiliyah, lebih pada sikap alamiah laki-laki yang mencintai perempuan sebagai lawan jenis. Hal ini terbukti dari syair Zuhair yang menjadikan Ummu Aufa yang bernama asli Laila sebagai mukadimah nasib syairnya. Padahal Ummu Aufa sebagaimana dibahas pada bab 3 adalah mantan istrinya yang diceraikan gara-gara anak-anaknya meninggal semua saat masih kecil. ِم لكت م ٌةَْمِد َفْوَأ مأ نِمأ م لثتماف ِجاردلا ةناموح Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam اهأك نتمق رلاب اه ٌرايد ِمَصْعِم رشاون ف ٍمْشَو عيجارم Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan 161 ةَفْلِخ نشم مارآاو نِعلا اه ِمَثََْ لك نم َنْضه ي اهؤاطأو Di perkampungan itu sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur َ قَو ة جِح نيرشع دعب نم اه تْف م هوت دعب رادلا تفرع ا يَََْف Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini ٍلَحْرِم س رَع م ف اعْف س ياثأ ِم لثتي م ضو ا مذِجك ايؤنو kutemukan tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir 161 Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh. 55 Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil اهِعْبَرل تلق رادلا تفرع ا ملف ِمَلْساو عْبَرلا اهيأ احابص ْمِعْنَأ اأ Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah.. نئاغظ نم ىرت له يليلخ رصبت ل م يلعلاب ن ج قوف نم ءا ْر ِ ث Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup Yang melintasi bukit-bukit dari atas mata air Jurtsum 162 قلا َن ْلعج هَنْز َحو نم نع نا مرحو لح نم نا قلاب مكو Bukit Qanan di sebelah kanan meraka dengan tanah-tanahnya yang keras Dan di bukit Qanan itu ada yang sudah menikah, ada juga yang masih lajang َلع ْو َن مأب ٍطا ِع ت ٍقا كو ل ٍة ِوار ٍد َح ِشاو ْي م اه ِكاش َه ِة لا مد Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik Dengan warna merah darah di tepinya هَتم نولعي نابو سلا ف َنْك روو مع تما معا لا لد نهيلع Mengendarai unta di atas bukit di atas barang-barangnya Tampak senang dan menyenangkan ب نْركب تساو اروك ةرحسب نرح مفلا ف ديلاك سرلا ىداول نهف Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut 163 ٌرظ مو قيدصلل ىهلم نهيفو نأ ي عل ق لا ن سوتما رظا م Mereka sangat menyenangkan bagi sahabat dan menjadi pemandangan Yang menarik bagi mata yang memandang لز م لك ف نهعلا تات ف نأك ِم طَ م ا فلا ُبَح هب َنْلزن 162 Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad 163 Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok. 56 Bulu-bulu yang bertebaran ke setiap rumah dan menghampiri Seakan-akan biji pohon al-fana yang belum mekar ةما ِم اقر ز ءاما ندرو املف ميختما رضا ا يصع نعضو Saat tiba di mata air yang jernih Merekapun mendirikan kemah Nasib, pada umumnya bukan hanya ada pada bait pertama yang menyebutkan nama perempuan, namun juga bait-bait berikutnya yang menceritakan berbagai hal tentang tokoh perempuan yang ada dalam nasib. Dalam syair Zuhair nasib dimulai dengan menyebutkan nama Ummu Aufa Laila mantan istrinya, lalu rumah dan perkampungan tokoh perempuan dengan segala peristiwa di dalamnya, bekas-bekas yang dilalui oleh sang tokoh, serta kehidupan lainnya yang ada di sekitar tokoh perempuan, sebagaimana tampak pada syair-syair di atas. 2. Bagian tengah merupakan tema ghardh dari syair Bagian tengah syair oleh Zuhair digunakan untuk menyampaikan tujuannya. Tujuan utama dari syair al- Mu’allaqât Zuhair yang sangat popular ini adalah memuji madh Harem ibn Sinan dan al- Harits ibn ‘Auf. Dua tokoh perdamaian antara kabilah ‘Abbas dan Dzubyan. Hal ini tampak pada bait-bait di bawah ini: هلوح فاط ىذلا تيبلاب تمسقأف م هْر جو شيرق نم ْو َ ب لاجر Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum اهودبعي ىلا ىزعلاو تالابو م ركما قيتعلا ِتيبلاو ةكم Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang dimuliakan و ناديسلا مع ل ا يم ِج ْد ام مرمو ليحس نم لاح لك ىلع Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap hal, baik saat lemah ataupun kuat َت ْكراد ت َع ام ْب امدعب انايبذو اس وقدو اونافت مش َم رطع مه يب ا Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan untuk berdamai, setelah 57 Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim 164 نم فورعمو لام اعساو ملسلا كردن نإ امتلق دقو لوقلا ملسن Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai نطوم رخ ىلع اه م امتحبصأف ثأمو قوقع نم اهيف نيَديعَب Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa ام تيِد ه ٍ دعم ايلع ف نميظع م از ك حبتسي نمو م ظعي دجا ن Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan تحبصأف نِئماب مولكلا ى فعت مرْجم اهيف سيل نم اهمج ي Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak melakukan kesalahan. ةمارغ موقل موق اهمج ي مجح ءلم مه يب اوقيرهي مو Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam مكدات نم مهيف ىرج حبصأف لافإ نم ىش ماغم ِ مَز م Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian ةلاسر يع فاحأا غلبأ اأ مسْق م لك متمسقأ له نايبذو Mohon sampaikan pada para pemimpin bani Asad dan Ghatfan pesan dariku Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh? Untuk meyakinkan keseriusan perdamaian antara dua kabilah, sebagai penyair yang cerdas, Zuhair memulai pujian untuk kedua tokoh al-sayidani 164 Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman, mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan oleh aroma Mansyim. 58 dengan 2 dua sumpah yang bersifat religious. Sumpah pertama atas nama ka’bah sebagai tempat ibadah thawaf yang dibangun oleh bani Jurhum sebagai moyang dari kedua kabilah yang berperang tersebut Abbas dan Dzubyan. Sumpah kedua, Zuhair juga menggunakan Latta dan Uzza, dua berhala yang dijadikan sembahan bangsa Arab saat itu. Kedua sumpah ini menunjukkan bahwa apa yang akan diutarakannya adalah sebuah keseriusan. Pujian-pujian madh yang disampaikan oleh Zuhair kepada kedua pembesar kabilah tersebut, sesungguhnya untuk meyakinkan kepada anggota kabilah lainnya agar menuruti perdamaian yang telah disepakati bersama dengan mencontohkan kebesaran kedua tokoh tersebut yang tidak mungkin menghianati antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga akan melaksanakan perjanjian- perjanjian yang telah disepakati. 3. Pesan moral yang ingin disampaikan Syair Al- Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ adalah syair yang sarat dengan pesan moral. Para kritikus sastra Arab bahkan memasukan syair ini ke dalam kategori syair hikmah, dan pada masa Islam banyak dikutip sebagai kata-kata mutiara. Namun secara umum, pesan moral yang terdapat dalam syair tersebut terdiri dari: 1. Kejujuran pada Tuhan 2. Perdamaian, Konsekuensi perang dan hukum yang berlaku dalam peperangan 3. Etika social 4. Etika pergaulan Pesan moral tersebut selanjutnya akan dibahas secara khusus dalam pembahasan berikut ini. c. Gaya Bahasa Zuhair adalah penyair dari para penyair, karena ia tidak suka bertele-tele dalam ungkapan-ungkapannya, menjauhi kata-kata yang liar, dan tidak memuji kecuali karena memang pantas untuk dipuji. 165 Ungkapan Umar ibn al-Khathab 165 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibn Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M, 129 59 tersebut, secara umum cukup memberi gambaran kepada kita gaya bahasa Zuhair Ibnu Abi Sulmâ dalam menggubah syair-syairnya. Dalam syair al- Mu’allaqât di atas, saya menemukan beberapa karakteristik gaya bahasa Zuhair, seperti: 1. Penggunaan tasybih. Tasybih, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perumpamaan. Gaya bahasa tasybih banyak digunakan dalam mukadimah al- Mu’allaqât Zuhair. Dalam mukadimah tersebut, tasybih digunakan Zuhair untuk menggambar sesuatu atau keadaan washf. Dari empat belas 14 bait syair mukadimah nasib lima diantaranya menggunakan gaya bahasa perumpamaan tasybih. Sebagai contoh: اهأك نتمق رلاب اه ٌرايد ِمَصْعِم رشاون ف ٍمْشَو عيجارم Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan ب نْركب تساو اروك ةرحسب نرح مفلا ف ديلاك سرلا ىداول نهف Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut 166 Dalam bait tersebut, dengan jelas Zuhair menggunakan artikel أك seakan- akan dan bagai yang merupakan alat tasybih dalam bahasa Arab. أك seakan- akan dan bagai, seperti merupakan artikel perumpamaan yang paling banyak digunakan. Pada bait pertama, zuhair menggunakan perumpamaan suatu benda konkrit hissi dengan benda konkrit hissi lainnya, yaitu kata diyar rumah-rumah di perkampungan dengan titik- titik nila maraji’ wasym yang dilukiskan di pergelangan tangan. Sedangkan pada bait kedua, suatu keadaan diibaratkan dengan sesuatu yang konkrit, yaitu iringan para perempuan di lembah Ras diumpamakan dengan tangan yang masuk ke mulut. Selain أك dan , ada juga yang menggunakan kata yang bermakna kata kerja “menyerupai” seperti dalam bait berikut ini: 166 Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok. 60 َلع ْو َن مأب ٍطا ِع ت ٍقا كو ل ٍة ِوار ٍد َح ِشاو ْي م اه ِكاش َه ِة لا مد Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik Dengan warna merah di tepinya bagai darah Kata م ِكاش َه ِة dalam syarh al- Mu’allaqât al-Sab’ diartikan dengan ة باشم yang artinya menyerupai. 167 Dalam ilmu balaghah, gaya bahasa tasybih yang menggunakan unsur lengkap musyabbah, musyabbah bih, wajh syibh, dan adat tasybih disebut dengan tasybih mursal dan termasuk ke dalam tasybih yang paling sederhana. Gaya bahasa tasybih termasuk gaya bahasa yang digemari penyair Jahiliyah. Gaya bahasa tasybih perumpamaan biasanya digunakan penyair untuk menggambarkan suatu keadaan yang disebut dengan washf, sebagaimana tampak pada kedua contoh di atas. 2. Penggunaan majas dan metafora. Selain tasybih, Zuhair juga menggunakan gaya bahasa yang lebih tinggi dari tasybih yaitu majas. Majaz adalah gaya bahasa yang digunakan bukan pada makna yang sebenarnya, karena ada indicator qarinah yang memalingkannya dari makna asli ke makna majazi. Di antara jenis majas yang digunakan Zuhair dalam syairnya adalah isti’arah metafora. Isti’arah adalah gaya bahasa perumpamaan yang hanya menyebutkan salah satu tharf tasybih. Yang dimasud dengan tharf tasybih adalah sesuatu yang diumpamakan musyabbah dan yang dibuat perumpamaan musyabbah bih. Gaya bahasa majas isti’arah yang digunakan Zuhair tampak pada bait syair berikut ini: ِم لكت م ٌةَْمِد َفْوَأ مأ نِمأ م لثتماف ِجاردلا ةناموح Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam 167 Ibn Abdillah al-Zauzini, Syarh al- Mu’allaqat al-Sab’, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1985, h. 64 61 Kata dimnah ٌةَْمِد sebagaimana disebutkan dalam Syarh alAl- Mu’allaqât al-sab ’ diartikan dengan sesuatu yang hitam yang ada pada bekas rumah yang ditinggalkan penghuninya, seperti tahi binatang ba’r, abu ramad, bekas tungku masak, dan lainnya. Dalam syair di atas, kata dimnah dianalogikan dengan manusia. Hal ini tampak dari qarinah indicator yang disebutkan setelahnya yaitu kata lam takallami tidak berbicara. Melalui gaya bahasa majas isti’arah, dimnah atau puing-puing hitam oleh Zuhair diserupakan dengan manusia dan diminta untuk berbicara menyampaikan kabar tentang kekasih yang dicintainya. Contoh majas lainnya yang ada dalam syair al- Mu’allaqât Zuhair: فذقم حاسلا ىكاش دسأ يدل م لَق ت م رافظأ دَبِل هل Di hadapan sang singa yang berkuku tajam lagi besar bersurai, dengan kuku-kuku yang panjang Kata Asad singa dalam bait tersebut, bukan merujuk pada makna yang sesungguhnya, namun merujuk pada Hushain ibn Dhamdham saudara Harem ibn Dhamdham dari kabilah Abbas. 168 Hushain dalam syair tersebut diumpamakan dengan singa yang berkuku tajam, bertubuh besar, dan berkuku tajam. Sebuah perumpamaan bagi seseorang yang gagah berani. Dalam bait tersebut, Zuhair Hanya menyebutkan musyabbah bih yang diserupakan tanpa menyebutkan musyabbah yang diserupai. Zuhair juga menyebutkan dalam syairnya tersebut ciri-ciri yang menggambarkan musyabbah bih singa bukan Hushain tokoh yang gagah berani. Hal ini tampak pada penyebutan ciri-ciri singa yang gagah berani, seperti kuku yang tajam dan bersurai. Majas yang seperti ini dalam ilmu balaghah disebut dengan isti’arah murasyahah. Selain kedua contoh tersebut, masih banyak contoh-contoh lainnya yang menggunakan gaya bahasa majas. Banyak digunakannya gaya bahasa majas pada masa Jahiliyah, menunjukkan bahwa penyair pada masa itu sudah memiliki cita rasa 168 Dalam buku Diwan Zuhair Ibn Abi Sulma dijelaskan bahwa Hushain Ibn Dhamdham adalah saudara dari Harem ibn Dhamdham. Ia mati terbunuh saat perang al- Ya’mariyah antara kabilah Abbas dan Dzubyan. Nasib Dhamdham, seperti halnya ayahnya yang terbunuh pada saat perang al- Muryaqib, ia pun dibunuh oleh ‘Antarah ibn Abi Syaddad dari kabilah Abbas. Lih. ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair Ibn Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 108 62 seni yang tinggi. Meskipun bersifat individual, seseorang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi, bisa dikategorikan sebagai seseorang yang berperadaban. 3. Jumlah syartiyyah klausa bersyarat. Gaya bahasa lainnya yang menjadi ciri khas syair Al- Mu’allaqât Zuhair adalah banyak digunakannya struktur jumlah syarthiyyah atau klausa bersyarat. Gaya bahasa model ini banyak dijumpai dalam bait yang berisi pesan-pesan moral yang biasa disebut dengan syair-syair hikmah. Syair hikmah menjadi penutup dari rangkaian syair al- Mu’allaqât Zuhair, setelah nasib sebagai puisi pembuka, madh sebagai tujuan puisi, dan hikmah sebagai amanat atau pesan moral yang hendak disampaikan oleh penyair. Inilah beberapa gambaran tentang syair Al- Mu’allaqât Zuhair dan unsur- unsur intrinsik yang membangunnya. Unsur-unsur intrinsik yang membangun syair al- Mu’allaqât Zuhair, sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya, seperti tradisi bersyair dan kondisi sosiologis masyarakat saat itu. Pesan moral yang terdapat dalam syair hikmah Zuhair dan menjadi penutup syair al- Mu’allaqât adalah salah satu unsur intrinsik yang erat kaitannya dengan kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Oleh karena itu, kajian nilai-nilai moralitas yang ada dalam syair tersebut akan dibahas secara tersendiri dalam bab berikutnya. -------00------- 63

BAB V NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR

ZUHAIR IBNU ABI SULMA Bagi sebagian orang mungkin mengira bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak banyak mengenal nilai-nilai moralitas humaniora. Sejarah lebih banyak mencatat periode Jahiliyah sebagai masa tidak berperadaban dan amoral. Catatan sejarah tersebut tidaklah salah, namun kita juga tidak boleh mengingkari kenyataan sejarah lain tentang sisi kemanusiaan pada masa itu. Hal ini terbukti dari syair-syair yang digubah oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma ayahanda Ka’ab ibnu Zuhair sahabat Rasulullah SAW. Dalam bab ini, saya secara khusus akan mengupas nilai-nilai moralitas yang tercermin dala syair Zuhair ibn Abi Sulma.

C. Nilai-nilai moralitas dalam Syair Mu’allaqah

Pada bab sebelumnya secara singkat disebutkan, bahwa secara umum nilai- nilai moralitas yang hendak disampaikan Zuhair melalui syairnya di antaranya adalah nilai-nilai moralitas religi, politik, dan sosial. a. Nilai-nilai moralitas religi Berbicara tentang nilai-nilai moralitas pada masa Jahiliyah dan dihubungkan dengan kehidupan beragama saat itu, mungkin tidak semua setuju. Namun demikian syair Zuhair Ibn Abi Sulma menjadi salah satu bukti bahwa kehidupan keagamaan saat itu masih ada meskipun dalam skala yang kecil. Keyakinan saya ini dikuatkan dengan pernyataan Muhammad Yusuf Farran saat membahas tentang kehidupan spiritual pada masa Jahiliyah. Farran menyatakan bahwa ada sebagian dari para pembesar masyarakat Arab Jahiliyah yang masih memeluk agama hanif tauhid. Mereka menjalankan kehidupannya berlandaskan pada akhlak mulia dan logika yang benar. Di antaranya adalah Waraqah Ibn Naufal, Zaid ibn ‘Amr ibn Naufal, Khalid Ibn Sinan al-‘Abbasi, Hanzhalah ibn Shafwan, 64 Qis Ibn Sa’idah al-Iyadi, ‘Amir ibn al-Zharb al-‘Udwani, ‘Ubaid ibn al-Abrash, Umayyah ibn al-Shalt, al-Nabighah al- Ja’di, serta Zuhair ibn Abi Sulma. 169 Pernyataan Yusuf Farran tersebut semakin menguatkan pendapat saya tentang adanya nilai-nilai moralitas yang berlandaskan agama. Hal ini tampak pada syair Zuhair berikut ini: ةلاسر يع فاحأا غلبأ اأ مسْق م لك متمسقأ له نايبذو Mohon sampaikan pada para pemimpin bani Asad dan Ghatfan pesan dariku Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh? مكرودص ف ام ه نمتكت اف ه ِمَتْك ي امهمو ىفخيل ِمَلعي Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti diketahuiNya. رخ ديف باتك ف عضويف رخؤي مق يف ْل جعي وأ باس ا مويل balasannya akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa di dunia Pada bait syair di atas, Zuhair memohon kepada para pembesar kabilah Asad, Ghatfan dan juga Dzubyan, untuk membawa pesan perdamaian. Lalu ia meminta kesungguhan mereka dengan bersumpah. Perlu diketahui bahwa masyarakat Arab terbiasa menggunakan sumpah dengan nama Tuhan bahkan nama Allah, seperti yang biasa dilakukan oleh Imru al-Qais berikut ini: ُ ل ف ه نم ادعاق حرب أ ىاصو أ يد ى أر اوعطق ولو Akupun berkata; Demi Allah aku masih duduk di sini Andai mereka memotong kepalaku, pasti tidak sampai 169 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibnu Abi Sulma: Hayatuhu wa Syi’ruhu, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M, h. 20 65 اهل ُ فلح ها رجاف فلح لاص او ثيدح نم ن ا ام اومانل 170 Aku bersumpah padanya layaknya sumpah orang fasiq 171 Imru al-Qais bukan satu-satunya penyair yang banyak menggunakan lafaz Allah untuk bersumpah, masih banyak penyair Jahiliyah lainnya yang menggunakan lafaz tersebut untuk bersumpah, seperti Antarah ibn Abi Syadad, dan lainnya. Namun demikian, sumpah yang mereka gunakan pada umumnya bukan sumpah yang sebenarnya, melainkan hanya tradisi saja. Untuk menghindari tradisi sumpah seperti itu, sehingga bukan sekedar permainan di bibir mereka saja, Zuhair menegaskan dengan bait: مكرودص ف ام ه نمتكت اف ِمَلعي ه ِمَتْك ي امهمو ىفخيل Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah Untuk menghindar, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti diketahuiNya. Bait syair tersebut jelas mengajarkan masyarakat Arab agar bersikap jujur. Dalam hal ini, para pembesar ketiga kabilah tersebut harus jujur bahwa bersedia membawa misi perdamaian kepada kabilah masing-masing, bukan hanya sumpah di mulut saja. Untuk itu Zuhair menegaskan perlunya kejujuran pada Tuhan, sebab tiada ada yang bisa bersembunyi dari Tuhan, karena Tuhan maha mengetahui. Lafaz Allah yang digunakan oleh Zuhair dalam syairnya, jelas membuktikan keyakinannya terhadap Allah Tuhan semesta alam. Pada bait berikutnya, kembali Zuhair menegaskan keyakinannya akan adanya hari pembalasan sebagai ancaman kepada mereka agar berlaku jujur dan tidak menyembunyikan niat-niat buruk untuk mengkhianati perjanjian damai. رخ ديف باتك ف عضويف رخؤي مق يف ْل جعي وأ باس ا مويل balasannya akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan 170 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth, hal 124-125 171 sumpah yang dilakukan oleh orang fasiq atau orang-orang yang banyak melakukan dosa dan kebohongan, bukan sumpah yang sebenarnya. 66 untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa di dunia Ketiga bait syair tersebut membuktikan akan adanya nilai-nilai moralitas religius pada masa Jahiliyah, yaitu: 1. Keyakinan akan adanya Tuhan YME 2. Keyakinan akan adanya pengawasan dari Tuhan YME 3. Keyakinan akan adanya hari pembalasan yaum al-hisab 4. Keyakinan akan adanya balasan baik dan buruk dari Tuhan Nilai-nilai religi tersebut oleh Zuhair digunakan agar semua pihak jujur dan tidak ada yang mengkhianati perjanjian damai yang sedang digagas. b. Nilai-nilai moralitas politik Sebagaimana kita ketahui, bahwa masa Jahiliyah adalah sebuah masa yang penuh gejolak. Perang menjadi sebuah tradisi dan budaya. Di sisi lain, penyair banyak diuntungkan oleh kondisi ini. Syair menjadi alat politik yang sangat handal, baik untuk propaganda, pemberi semangat dalam peperangan, hingga menjadi alat diplomatik. Zuhair sebagai penyair handal tentu saja tidak jauh dari gejolak politik yang terjadi saat itu. Meskipun demikian, syair-syair politiknya tidak terlepas dari nilai-nilai moralitas yang tinggi. Syair-syair Zuhair banyak mengajarkan nilai-nilai moralitas dalam berpolitik. Tentu saja, politik yang dimaksud di sini tidak terlepas dari kontek peperangan. Di antaranya terdapat dalam syair Mu’alaqat yang terkait dengan peristiwa perdamaian antara kabilah ‘Abas dan Dzubyan. Melalui syairnya tersebut, Zuhair memuji al- Harits ibnu ‘Auf dan Harem ibnu Sinan atas upaya yang dilakukan keduanya untuk melakukan rekonsiliasi. Inilah syair Mu’allaqat Zuhair yang terkenal dan sarat dengan nilai-nilai moralitas politik: هلوح فاط ىذلا تيبلاب تمسقأف م هْر جو شيرق نم ْو َ ب لاجر Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum اهودبعي ىلا ىزعلاو تالابو م ركما قيتعلا ِتيبلاو ةكم Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang dimuliakan