Kehidupan sosial, Politik, dan Agama pada Masa Zuhair Ibnu Abi

32 Sulaiman as. Sedangkan kota-kota dan perkampungan-perkampungan yang di sekitar Jazirah Arab belum menganut system pemerintahan sebagaimana Yaman, namun berbeda antara satu dengan lainnya. Dr. Jawad Ali dalam bukunya Tarikh al-Arab Qabla al-Islam menyatakan bahwa sebagian kota dan kampong terutama di Arab bagian Barat seperti Mekah tidak dipimpin oleh seorang raja, namun dipimpin oleh beberapa orang laki-laki penguasa. Mereka tidak diberi gelar raja. Para pemimpin tersebut diberi diangkat berdasarkan perjanjian. Di Mekah, pusat kepemimpinan mereka dinamakan dengan Darun Nadwah. 105 Adapun masyarakat Badawi, mereka menganut sistem kabilah yang dipimpin oleh seorang sayyid. Mereka sama sekali tidak memiliki pusat pemerintahan yang mengurusi urusan kehidupan mereka. Masing-masing kabilah, berdiri sendiri-sendiri dan mengatur urusan masing-masing. Anggotanya berasal dari kabilah mereka sendiri. Mereka menempati sebuah wilayah yang mereka namakan dengan al-hima. Mereka tunduk pada ketua kabilah sebagai pimpinan tertinggi. Ia dipilih berdasarkan fanatisme kabilah. Kebebasan mereka bersifat individual, bukan social. Hak individu adalah hak kelompok, dan hak kelompok adalah hak individu. Semua berdasarkan pada fanatisme kabilah. Prinsip mereka adalah bantulah saudaramu baik dia sedang dizalimi atau menzalimi. Berdasarkan hal tersebut, mereka lebih memprioritaskan keturunan, dan mengungguli yang lain. Untuk itu ‘Amr ibnu Kaltsum berkata dalam syairnya: اوفص ءاما انْدرو نإ برشنو ا يطو اردك انرغ برشيو 106 Berdasarkan hal tersebut, wajib bagi mereka memperbanyak keturunan. Prinsipnya “dengan Banyak akan membuat gentar”.Kehidupan bangsa Arab saat itu bisa diibaratkan dengan kehidupan hutan. Seperti yang diutarakan oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma ملظي ملظي ا نم . Kabilah bagi masyarakat Arab saat itu, bertanggung jawab untuk mempertahankan hak-hak anggotanya dan menjaganya. Di dalam kabilah terdapat seorang tetua syaikh yang diangkat sebagai pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat 105 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 27 106 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 28 33 kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura-pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya. 107 Ketua kabilah atau yang disebut dengan syaikh, harus berwibawa, kaya, cerdas, berpandangan luas, rela berkorban, dermawan, berani, penuh kasih, sabar, dan lainnya dari sifat positif. Pimpinan inilah yang mengendalikan kabilah, mereka yang memerintahkan untuk berperang atau tidak. 108 Adapun para penyair, pada masa Jahiliyah berfungsi sebagai juru bicara mereka alsinat al-qabail. Para penyair bertugas menjaga dan melindungi kehormatan kabilah melalui syair-syair mereka, sebagaimana prajurit menjaga kehormatan kabilah dengan pedang dan panah mereka. 109 Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, untuk itu mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan dosa-dosa, sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota. 107 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 11 108 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 29 109 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 29 34 Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan kepada kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf yang bersekutu atau ‘maulâ’ sekutu. 110 Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilah- kabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syair-syair jahili. Oleh karena itu pula, untuk memahami syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahili seseorang harus memahami benar kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka. 111 Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan tantangan yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi kehidupannya, bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan merampas. Hubungan yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan peperangan, meskipun terkadang ada angin segar yang menghembuskan perdamaian, sebagaimana terdapat dalam mu’alaqahnyasyair Zuhair ibnu Abi Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang mereka gubah biasanya tidak terlepas dari gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi antar mereka, seperti menuntut balas, bangga karena menang, memberi julukan pada senjata-senjata yang digunakan perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup yang seperti ini sangat mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka bangga dengan watak- watak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji, dan menjaga harga diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu. 112 110 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 11-12 111 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 12 112 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 25 35 Fanatisme sempit terhadap kabilah ini, menjadikan kondisi sosial politik bangsa Arab pada masa Jahiliyyah kacau dan tidak aman, diselimuti dengan rasa khawatir, karena perang yang berkepanjangan yang biasa disebut dengan Ayyâm al- Arab. Perang bagi bangsa Arab Jahili adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh berbagai faktor. Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Arab Jahili. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus kali pula. Perang telah menyita separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak dua kali. 113 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri. 114 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bangsa Adnan terbagi menjadi beberapa kelompok yang disebut kabilah. Kabilah terbesar adalah cabang dari Rabî’ah dan Mudhar. Kabilah Rabî’ah dan Mudhar adalah dua kabilah terkuat sepanjang dua abad terakhir sebelum datangnya Islam. Antara kedua kabilah besar ini terjadi perseteruan yang berkepanjangan. Perseteruan tersebut bisa terjadi antara kabilah Rabi’ah dan Mudhar atau pun sesama cabang kabilah, baik dalam rumpun kabilah yang sama atau pun berbeda. 115 Berikut ini beberapa perang yang sangat terkenal pada masa Jahiliyyah: 1. Perang Basûs Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib 116 , dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. 113 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry, London: William Norgate, 1985, hal. xxii 114 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur: Utusan Publications Distributors SDN. BHD, 1982, hal. 7 115 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 22 116 Taghlib ibn Wâ’il adalah anak keturunan dari Rabi’ah dari Adnan. Ia adalah saudara kandung dari Bakr. Di antara penyair kabilah Taghlib yang sangat terkenal adalah al-Muhalhil, Amr ibn Kultsum dan al-Akhthal. Kabilah ini menganut agama Nasrani. Ferdinand, Al-Munjid fi al- Lughah wa al- ‘Alâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986, hal. 177 36 Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang himâ yang disebut dengan al- ‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor onta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan. 117 Selain perang-perang tersebut, masih banyak perang-perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Rabi’ah dan Mudlar, atau antara Tamim Mudlar dan Bakr ibn Wa’il Rabi’ah. Perang tersebut saling bergantian, sehari untuk kabilah Tamim dan hari lainnya untuk kabilah Bakr. Peperangan yang terjadi di dalam kabilah- kabilah Arab ini didokumentasikan dalam buku-buku sejarah dan sastra, dan banyak cerita yang dilebih-lebihkan. Dalam sastra Arab Jahili, kisah tentang perang mendominasi tema-tema yang terdapat dalam syair. 118 2. Perang Dâhis wa al- Ghabrâ’ Perang Dâhis wa al- Ghabrâ’ adalah peristiwa peperangan yang terjadi dalam kabilah Mudlar, yaitu antara Bani ‘Abs dan Dzubyân. Faktor penyebabnya adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah perlombaan semacam pacuan kuda. Al-Fazari melepaskan kudanya yang bernama al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan kudanya yang bernama Dâhis. Pada pertandingan tersebut, Dahis seharusnya memenangkan perlombaan, kalau saja bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani Fazarah sebelum mencapai garis finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai pemenang, dan sejak itu 117 Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi al- syi’r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, 1981, hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al- Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 22 118 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 23 37 peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga empat puluh tahun lamanya. 119 Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat kali, pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara keduanya di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir perempuan lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga masih di Pasar Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab terakhir yaitu bahwa Urwah al-Rahhal orang yang biasa bepergian, menjamin barang dagangan al- Nu’man ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat, namun pada kenyataannya di jalan ia dibunuh oleh al-Barâdl. Demikianlah beberapa gambaran situasi politik bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Kondisi politik seperti itu, tentu saja sangat mempengaruhi kondisi social masyarakat Arab Jahiliyyah. c. Kondisi Keagamaan Menurut Philip K. Hitti, berdasarkan syair-syair Jahili, orang Arab Badawi tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun. 120 Untuk itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan masyarakat Arab Jahili dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi pegangan. Sebagian menyembah matahari 121 , sebagian lainnya menyembah bulan 122 dan bintang 123 , ada juga yang menyembah malaikat atau dewa dan lain sebagainnya, atau bahkan ada yang tidak memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah 119 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 22-23 120 Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, Jakarta: Serambi, 2006, hal. 120 121 Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams hambanya matahari 122 kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah 123 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius Dog Star 38 kepercayaan mereka terhadap berhala watsaniyah. Kehidupan bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal itu berlangsung hingga kedatangan Islam. 124 Karena pengaruh berhala yang sangat kuat, setiap rumah penduduk Mekah memiliki berhala pribadi yang selalu disembah. Jika mereka hendak bepergian, maka orang yang terakhir harus mengusap berhala terlebih dahulu, dan pada saat tiba dari perjalanan, orang yang pertama tiba harus mengusapnya. Selain suku Quraisy, setiap rumah memiliki sesuatu yang mirip ka’bah dan letakkan di dalamnya berhala untuk disembah, diagungkan, serta diminta petunjuknya dan juga thawaf. Berhala-berhala tersebut terus disembah hingga kedatangan Islam. 125 Selain diletakkan di rumah, setiap kabilah memilki berhala masing-masing sebagai simbol dan kebanggaan kabilah, seperti Wudd berhala kabilah Daumah al- Jandal, Jauf kabilah Kulaib, Yaghuts kabilah Jarsy, Hubal kabilah Quraisy diletakka n di dalam Ka’bah, Latta kabilah Thaif, Manat kabilah Aus dan Khazraj, dan lain sebagainya. 126 Agama masyarakat Arab Badawi mempresentasikan pola keyakinan bangsa Semit paling awal dan primitif. Sebagaimana keyakinan bangsa primitif, maka mereka sesungguhnya adalah pemeluk kepercayaan animisme. Perbedaan yang nyata antara kehidupan oasis dan gurun pasir, telah memberikan mereka konsep ideologi awal yang paling penting, yaitu kepercayaan mereka terhadap dewa yang dianggap sebagai penentu. Roh pemilik tanah yang subur kemudian dipandang sebagai dewa pemberi kebajikan, sementara roh pemilik tanah yang gersang dipuja sebagai dewa jahat yang harus ditakuti. 127 Kondisi ideologi yang terdapat dalam masyarakat Arab ini tidak banyak diceritakan dalam syair-syair Jahili. Hal itu menurut penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili disebabkan para penyair lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat konkrit dan kasat mata dan sulit untuk mempercayai hal-hal yang di luar kemampuan akal 124 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 34 125 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 34 126 Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa T ârikhihi, hal. 22-23 127 Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, hal. 121 39 mereka. Biasanya mereka menyebut berhala dalam syair untuk bersumpah, dan itu pun jumlahnya tidak banyak, seperti menyebut nama Latta dan Uzza dalam syair Aus ibn Hajar berikut ini: اه يد ناد نمو ىزعلاو تالابو ركأ نه م ه نإ هابو Demi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainya Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka berhala-berhala itu 128 Atau syair yang diungkapkan al-Nâbighah al-Dzubyâni berikut ini: ةبير كسف ل كرتأ ملف تفلح بهذم ءرملل ه ءارو سيلو Aku bersumpah tidak pernah aku ragu padamu Karena tidak ada yang bisa diyakini seseorang selain Allah 129 Bait syair tersebut menunjukkan bahwa bersumpah dengan nama Allah tidak berarti seseorang beriman dan mengesakan Allah, serta mengeluarkan mereka dari kekafiran dan kemusyrikan. Untuk itu, sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti, salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Al-Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M. 130 Di samping kepercayaan yang telah disebutkan tersebut, ada juga beberapa orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, hanya saja jumlah mereka sangat sedikit dan jarang muncul di tengah khalayak. Pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama- 128 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 26 129 `Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyah, 1416 H1996 M, cet. 3, hal. 27 130 dikutip oleh Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, hal. 126 dari Winnet 40 sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan. 131 Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al-‘Ibad’, yang merupakan keturunan Bani Taghlib yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal. 132 Keyakinan Watsani yaitu penyembahan terhadap berhala, merupakan mayoritas kepercayaan masyarakat Arab Jahiliyyah. Mereka yakin bahwa dengan menyembah patung-patung tersebut akan mendekatkan mereka pada Allah SWT. Al-Zamaksyari menyebutkan jumlah patung-patung yang menjadi sesembahan bangsa Arab Jahiliyyah dan terletak di Ka’bah sebanyak 360 buah berhala. Penyembahan terhadap berhala ini sesungguhnya hanyalah tradisi yang dirturunkan dari nenek moyang mereka bukan keyakinan yang muncul dari dasar nurani. 133 Dengan kondisi keagamaan dan kepercayaan seperti ini, lalu bagaimanakan nilai-nilai moralitas religi disampaikan oleh Zuhair Ibnu Sulma dalam syair- syairnya. 131 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 26 132 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 27 133 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 22 41 BAB IV UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM SYAIR MU’ALLAQÂT ZUHAIR IBNU ABI SULMÂ Zuhair Ibnu Abi Sulmâ adalah penyair Jahiliyah yang sangat produktif. Hal ini tentu tidak diragukan, karena seorang penyair umumnya menjadi juru bicara kabilah. Terjadinya perang ataupun damai antar kabilah saat itu, tidak terlepas dari kepiawaian penyairnya. Untuk itu, Zuhair memiliki karya syair yang sangat banyak, dan salah satu syairnya sangat terkenal karena masuk ke dalam kategori al- M u’allaqât al- Sab’. Syair Mu’allaqât merupakan karya terbaik Zuhair Ibnu Abi Sulmâ. Di dalamnya mengandung nilai-nilai moralitas universal yang tinggi. Karena syair- syair Zuhair banyak memberikan pesan moralitas kepada masyarakat Arab saat itu, ia juga dikenal sebagai penyair hikmah. Pada bab ini, saya akan membahas secara khusus tentang syair al- Mu’allaqât Zuhair dilengkapi dengan analisis intrinsik terhadap syair tersebut dari segi bentuk dan isi.

A. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ.

a. Pengertian syair Al-Mu’allaqât Di dalam Diwan Zuhair Ibn Abi Sulmâ disebutkan sebanyak 16 judul syair karya Zuhair, satu di antaranya dikenal dengan syair al- Mu’allaqah. 134 Al- Mu’allaqâh, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri memiliki banyak nama, seperti; al-Mudzahhabât 135 , al- Sab’u al-Thiwâl 136 , dan al- Samûth 137 , namun nama yang paling terkenal adalah al- Mu’allaqât. Ada beberapa pendapat tentang penamaan al- Mu’allaqât itu sendiri, sebagian berpendapat bahwa dinamakan demikian, karena syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benang mutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd. Rabbah 134 Kumpulan syair- syair karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, lihat ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2003 135 al-Mudzahhabât adalah karya-karya emas, atau yang tertulis dengan tinta emas 136 al- Sab’u al-Thiwâl berarti tujuh yang panjang 137 al-Samuth di dalam kamus berarti tergantung, benang, dan tali yang bermutiara. 42 penulis al- ‘Aqd al-Farid, Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah. 138 Adapun yang dimaksud dengan al- Mu’allaqât dalam terminologi sastra Arab adalah syair-syair pemenang festival yang biasa diadakan setiap tahun di pasar `Ukazh pada bulan Haram. Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang menjadi juara, dikenal dengan al- sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang digantung. 139 Dengan demikian Al- Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak tujuh syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang bagus, lalu digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât karya emas Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh lainnya. 140 Al- Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab Jahili, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulmâ, Labîd ibn Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Harits ibn Halzah. 141 Berdasarkan hal tersebut, syair Mu’allaqât Zuhair termasuk satu dari 7 tujuh syair terbaik yang lahir dari 7 penyair terbaik masa Jahiliyah. Inilah salah satu alasan penulis mengambil syair karya Zuhair sebagai objek analisis dalam penelitian ini. Alasan lainnya adalah karena syair Al- Mu’allaqât Zuhair sarat dengan nilai-nilai moralitas, baik sosial, politik, maupun religi. b. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ 138 Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu; al-Adab al-Jâhili, hal. 61. lih. juga al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 49 139 Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, Jakarta: Serambi, 2006, hal. 100, footnot 140 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 49. lih. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 61-62 141 Kumpulan dari tujuh syair al- Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât al- Sab’ yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1405 H1985 M 43 Inilah syair Al- Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ yang kandungannya sarat dengan nilai-nilai moralitas: َفْوَأ مأ نِمأ 142 ِم لكت م ٌةَْمِد ِجاردلا ةناموح 143 م لثتماف 144 Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam ٌرايد 145 نتمق رلاب اه 146 اهأك ِمَصْعِم رشاون ف ٍمْشَو عيجارم Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan 147 ةَفْلِخ نشم مارآاو نِعلا اه ِمَثََْ لك نم َنْضه ي اهؤاطأو Di perkampungan itu sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur نم اه تْفَ قَو ة جِح نيرشع دعب م هوت دعب رادلا تفرع ا يَََْف Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini ٍلَحْرِم س رَع م ف اعْف س ياثأ ِم لثتي م ضو ا مذِجك ايؤنو kutemukan tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil 142 Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair mantan istri Zuhair. Lih. Riwayat Hidup Zuhair Bab IV. 143 Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan Mekah dekat al-Waqba. 144 Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al- A’rabi al- Mutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah Mu’jam al-Buldan, jilid 5, h. 53. ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102 145 Di dalam Syarh al-M u’allaqat al-Sab’ menggunakan kata dâr tunggal, sedangkan dalam Diwan Zuhair Ibnu abi Sulma menggunakan kata diyâr Jamak. Penulis memilih kata diyâr disesuaikan dengan kalimat berikutnya yang mengumpamakan diyâr dengan titik-titik nilai yang ada di pergelangan tangan. Bila hanya satu rumah, maknanya juga tidak terkait dengan sempurna, dengan bait berikutnya yang menyebutkan di sana terdapat sapi-sapi dan kijang-kijang yang berlalu- lalang. 146 Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad Mu’jam al-Buldan, jilid 3, h. 58 147 Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh. 44 اهِعْبَرل تلق رادلا تفرع ا ملف ِمَلْساو عْبَرلا اهيأ احابص ْمِعْنَأ اأ Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah.. نئاغظ نم ىرت له يليلخ رصبت ل م يلعلاب ن ج قوف نم ءا ْر ِ ث Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup Yang melintasi bukit-bukit dari atas mata air Jurtsum 148 و نم نع نا قلا َن ْلعج هَنْز َح مرحو لح نم نا قلاب مكو Bukit Qanan di sebelah kanan meraka dengan tanah-tanahnya yang keras Dan di bukit Qanan itu ada yang sudah menikah, ada juga yang masih lajang َلع ْو َن مأب ٍطا ِع ت ٍقا كو ل ٍة ِوار ٍد َح ِشاو ْي م اه ِكاش َه ِة لا مد Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik Dengan warna merah darah di tepinya هَتم نولعي نابو سلا ف َنْك روو مع تما معا لا لد نهيلع Mengendarai unta di atas bukit di atas barang-barangnya Tampak senang dan menyenangkan ب نْركب تساو اروك ةرحسب نرح مفلا ف ديلاك سرلا ىداول نهف Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut 149 ٌرظ مو قيدصلل ىهلم نهيفو ينأ عل ق لا ن سوتما رظا م Mereka sangat menyenangkan bagi sahabat dan menjadi pemandangan Yang menarik bagi mata yang memandang لز م لك ف نهعلا تات ف نأك ِم طَ م ا فلا ُبَح هب َنْلزن Bulu-bulu yang bertebaran ke setiap rumah dan menghampiri 148 Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad 149 Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok.