Nilai-nilai moralitas dalam Syair Mu’allaqah

66 untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa di dunia Ketiga bait syair tersebut membuktikan akan adanya nilai-nilai moralitas religius pada masa Jahiliyah, yaitu: 1. Keyakinan akan adanya Tuhan YME 2. Keyakinan akan adanya pengawasan dari Tuhan YME 3. Keyakinan akan adanya hari pembalasan yaum al-hisab 4. Keyakinan akan adanya balasan baik dan buruk dari Tuhan Nilai-nilai religi tersebut oleh Zuhair digunakan agar semua pihak jujur dan tidak ada yang mengkhianati perjanjian damai yang sedang digagas. b. Nilai-nilai moralitas politik Sebagaimana kita ketahui, bahwa masa Jahiliyah adalah sebuah masa yang penuh gejolak. Perang menjadi sebuah tradisi dan budaya. Di sisi lain, penyair banyak diuntungkan oleh kondisi ini. Syair menjadi alat politik yang sangat handal, baik untuk propaganda, pemberi semangat dalam peperangan, hingga menjadi alat diplomatik. Zuhair sebagai penyair handal tentu saja tidak jauh dari gejolak politik yang terjadi saat itu. Meskipun demikian, syair-syair politiknya tidak terlepas dari nilai-nilai moralitas yang tinggi. Syair-syair Zuhair banyak mengajarkan nilai-nilai moralitas dalam berpolitik. Tentu saja, politik yang dimaksud di sini tidak terlepas dari kontek peperangan. Di antaranya terdapat dalam syair Mu’alaqat yang terkait dengan peristiwa perdamaian antara kabilah ‘Abas dan Dzubyan. Melalui syairnya tersebut, Zuhair memuji al- Harits ibnu ‘Auf dan Harem ibnu Sinan atas upaya yang dilakukan keduanya untuk melakukan rekonsiliasi. Inilah syair Mu’allaqat Zuhair yang terkenal dan sarat dengan nilai-nilai moralitas politik: هلوح فاط ىذلا تيبلاب تمسقأف م هْر جو شيرق نم ْو َ ب لاجر Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum اهودبعي ىلا ىزعلاو تالابو م ركما قيتعلا ِتيبلاو ةكم Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang dimuliakan 67 Dalam ke dua bait syair tersebut, Zuhair menggunakan dua buah sumpah, yang pertama ia bersumpah dengan Ka’bah yang diagungkan oleh bangsa Qurais و ناديسلا مع ل ا يم ِج ْد ام مرمو ليحس نم لاح لك ىلع Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap hal, baik saat lemah ataupun kuat َت ْكراد ت َع ام ْب امدعب انايبذو اس مش َم رطع مه يب اوقدو اونافت Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan untuk berdamai, setelah Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim 172 اعساو ملسلا كردن نإ امتلق دقو نم فورعمو لام لوقلا ملسن Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai نطوم رخ ىلع اه م امتحبصأف ثأمو قوقع نم اهيف نيَديعَب Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa ام تيِد ه ٍ دعم ايلع ف نميظع م ظعي دجا نم از ك حبتسي نمو Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan تحبصأف نِئماب مولكلا ى فعت مرْجم اهيف سيل نم اهمج ي Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak melakukan kesalahan. Syair di atas juga berbicara tentang konsep diyat dalam politik arab jahiliyyah di mana darah dibayar dengan diyat, bagi yang membunuh harus membayar diyat, sedangkan keluarga laisa fiha bimujrim harus menghormati keluarga yang dibunuh dan menjalin silaturahim. 172 Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman, mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan oleh aroma Mansyim. 68 ةمارغ موقل موق اهمج ي مجح ءلم مه يب اوقيرهي مو Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam مكدات نم مهيف ىرج حبصأف لافإ نم ىش ماغم ِ مَز م Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian. Nilai-nilai moralitas religi sebelumnya, sebenarnya tidak terlepas dari konteks politik bangsa Arab saat itu, yaitu tradisi berperang yang terus menerus terjadi antar kabilah. Empat keyakinan keagamaan yang disebutkan Zuhair dalam syairnya di atas, menjadi kalimat pembuka dari ajaran moralitas politik yang akan disampaikannya. Inilah pesan moral Zuhair terkait peperangan yang terjadi pada masyarakat Arab Jahiliyah: متقذو متملع ام اإ بر ا امو م جرما ثيد اب اه ع وه امو Perang itu tidak lebih dari apa yang kalian tahu dan rasakan bukan suatu pembahasan hal yang asing Dalam bait ini, Zuhair ingin mengingatkan bahwa semua orang tahu akibat dan konsekuensi dari peperangan itu, seperti nyawa melayang, luka, cacat, kehilangan harta, keluarga, dan lain sebagainya. ةميمذ اهوثعبت اهوثعبت ىم مرضتف اهومتبرض ذإ َرضتو Ketika perang itu kalian gelorakan, kalian gelorakan kehinaan Dan api perang akan menyala saat kalian nyalakan, lalu bergejolak Untuk itu, siapa saja yang menyulut api perang, sesungguhnya ia tengah melemparkan dirinya pada kehinaan akibat peperangan. اهافثب احرلا كرع مككرعتف لتو ق ث افاشك ْح لم مئتتف Lalu perang itu menusuk kulit kalian Dan membuahi dua kali, lalu melahirkan dan beranak kembar 69 مه لك َمأشأ ناملغ مكل ْجتْ تف مطفتف عضر ت ث داع رمأك Perang itu lalu melahirkan para pemuda yang buruk untuk kalian Bagai unta mandul, lalu menyusui dan menyapihnya Kedua bait terakhir, sebagai perumpamaan bahwa akibat dari peperangan itu akan melahirkan berbagai petaka yang tidak berakhir, bahkan semakin besar. Menimbulkan berbagai kerusakan dan kehancuran, serta meninggalkan generasi yang buruk akibat dendam yang tidak pernah berakhir. Kondisi seperti ini oleh Zuhair diibaratkan dengan unta mandul yang menyusui dan menyapih, yang hasilnya tidak mungkin melahirkan generasi yang baik. Melalui syair Mu’allaqatnya ini, Zuhair ingin menyampaikan beberapa nilai-nilai moralitas sebagai berikut: 1. Efek buruk peperangan yang dilakukan masyarakat Arab; 2. Perang akan selalu melahirkan dendam. 3. Perdamaian itu adalah segala-galanya. اودروأ ث مهئمظ نم اوعر ام اوعر مدلابو حاسلاب ى رفت ارامغ Mereka menjaga perdamaian yang seharusnya mereka jaga, lalu mendatangi Air yang mamancar dengan senjata dan darah اوردصأ ث مه يب ايا م اوضقف مخوتم لِبوتسم إك إ Mereka saling memberi kematian, lalu mendatangi padang rumput yang kering kerontang Itulah beberapa pesan moral politik yang disampaikan Zuhair Ibn Abi Sulma me lalui syair Mu’allaqatnya. c. Nilai-nilai moralitas sosial Inilah syair-syair Zuhair yang sarat dengan nilai-nilai moralitas sosial. Sebelum menyampaikan pesan-pesan moralnya, melalui bait syair ini, Zuhair kembali menegaskan keyakinannya bahwa ia tidak mengetahui hal ghaib yang akan terjadi esok hari atau yang akan datang: 70 هلبق ِسمأاو ِمويلا ف ام مَلْعأو ِمع ٍدغ ف ام ِمْلِع نع ّ كلو Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari Bait syair ini, sepertinya sengaja dikatakan oleh Zuhair untuk membantah pengkultusan bangsa Arab terhadap penyair yang menganggap mereka sebagai peramal dan penyihir yang mengetahui berbagai hal tentang masa depan. Ini juga menegaskan bahwa Zuhair sebagaimana dikatakan Farran sesungguhnya pemeluk agama hanif tauhid. Pada bait berikutnya, Zuhair menjelaskan pandangan hidupnya tentang kematian manusia. Kematian menurutnya bukanlah manusia yang mengatur, meskipun cara kematian bisa berbeda-beda. Bila ajal telah tiba tidak seorangpun yang bisa menghindarinya, dan bagi yang selamat dari kematian, ia akan berumur panjang, lalu tua, dan akhirnya tetap menemui kematian. بصت نم ءاوشع طبخ ايا ما تيأر مرهيف رمعي ئط نمو هتم Aku lihat kematian yang tidak pernah pandang bulu, siapa yang dikenainya Pasti akan mati, bila meleset, ia akan berumur panjang, lalu tua Dari kedua syair tersebut, ada dua sudut pandang yang dikemukakan Zuhair, yaitu: pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui akan masa depan hidupnya, kedua, tidak seorangpun yang tahu takdir kematiannya. Karena tidak seorangpun yang tahu akan masa depan dan juga takdir kematiannya, maka Zuhair mengajarkan nilai-nilai moralitas sebagai berikut: 1. Keharusan untuk berkarya ةرثك رومأ ف عناصي م نمو مس م أطويو باينأب سرضي Siapa yang tidak mampu berbuat banyak dalam hidup ini Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dan juga tidak tahu kapan kematian datang menjemput. Oleh karena itu bekerja dan berkarya adalah harga mati yang harus dilakukannya agar mampu bertahan dan memiliki 71 kehormatan, tidak terhina sebagaimana diumpamakan oleh Zuhair dengan orang yang digigit dan diinjak-injak unta. Manusia yang seharusnya menguasai kehidupan unta, bukan sebaliknya ia diperbudak unta kehidupan. Pesan moral yang terkandung dalam bait syair ini tidak akan lekang oleh waktu. Bekerja dan berkarya akan menjadikan manusia semakin berharga dan tidak menjadi sampah masyarakat, seperti disimbolkan oleh Zuhair dengan seseorang yang digigit dan diinjak-injak unta. 2. Memelihara kehormatan diri هضرع نود نم فورعما لعج نمو متشي متشلا قتي ا نمو ،رفي Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci Pada bait ini ada dua pesan moral yang ingin disampaikan oleh Zuhair, pertama, kebaikan harus dilakukan dengan ikhlas. Jika dilakukan dengan ikhlas, kebaikan itu dengan sendirinya akan memelihara kehormatan dirinya. Kedua, jangan suka mencaci dan menghina orang lain, karena pasti ia juga akan dicaci dan dihina. Pesan moral yang pertama, terkait erat dengan pesan moral yang kedua. Zuhair sepertinya ingin menegaskan bahwa kebaikan yang diberikan pada seseorang hendaknya tidak diikuti dengan dengan keikhlasan tanpa caci maki dan hinaan pada penerimanya. 3. Sifat dermawan versus sifat kikir Nilai-nilai moralitas lainnya yang juga disampaikan oleh Zuhair adalah keistimewaan sifat dermawan dan efek buruk dari sifat kikir. هلضفب لخبيف لضف اذ كي نمو ممذيو ه ع نغتسي هموق ىلع Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela... Kata fadhl لضف dalam kamus diartikan dengan kebaikan, kebajikan, keunggulan, kelebihan, sisa dan makna sejenis. Namun kata fudhul ل ضف dalam bentuk jamak dalam kamus al-Munawwir diartikan dengan kelebihan harta yang 72 lebih dari keperluan. 173 Sehingga secara umum kata fadhl bisa diartikan dengan segala kelebihan atau keunggulan yang dimiliki seseorang, bisa berbentuk harta benda atau yang kebaikan lainnya. Menurut Zuhair, seseorang yang diberi kelebihan harta atau kebaikan lainnya lalu ia bersikap kikir لخ ي pada kaumnya, ia tidak diperlukan oleh masyarakat dan akan dicela. Zuhair menggunakan kata qaum sebagai objek dari kebaikan yang harus diberikan seseorang yang memiliki kelebihan. Kaum diartikan dengan rakyat, bangsa, sanak keluarga, dan kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan adanya nilai-nilai moralitas kolektif yang ingin diajarkan oleh Zuhair pada masyarakat saat itu. Bahwa perilaku kikir terhadap kelebihan yang dimiliki oleh seseorang, akan mendapat konsekuensi sosial, yaitu ia tidak dianggap oleh masyarakat atau bahkan dilecehkan dan hina. Inilah sebuah ajaran etika yang disebut dengan teleologis yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik. 174 Pada hakekatnya Zuhair secara tidak langsung telah menganut aliran unilitarianisme sebuah prinsip hidup yang menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan. Suatu prinsip yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Zuhair telah menganut teori etika yang disebut dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. Dalam teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan 173 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, ct. 16, h. 1061 174 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 73 kebaikan kepada orang banyak. 175 Dan pada masa Jahiliyyah, larangan akan perilaku kikir, serta konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya, tampak nyata dijelaskan oleh Zuhair. 4. Menepati Janji Ajaran moralitas berikutnya yang disampaikan oleh Zuhair adalah keharusan sesorang untuk senantiasa menepati janji. ه بلق ِضْف ي نمو ْمَمذ ي ا ِفوي نمو مجمجتي ا رلا نئمطم إ Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu Menurut Zuhair, kebiasaan menepati janji akan menimbulkan efek sebagai berikut: 1 ia tidak akan jatuh pada kehinaan, dengan kata lain hidup terhormat, 2 Hatinya akan merasa tenang, 3 senantiasa dituntun pada arah kebaikan, 4 tidak terkena penyakit ragu. Seseorang yang tidak menepati janji, lebih dekat pada sifat penghianat. 5. Percaya akan takdir Tuhan Bait syair di bawah ini erat kaitannya dengan keyakinan Zuhair terhadap agama samawi. ه ل ي ايا ما بابسأ باه نمو ملسي ءامسلا بابسأ لان ولو Siapa yang takut dengan penyebab kematian, dia akan mendapatkannya Namun bila menerima ketentuan langit, maka ia akan selamat Sangat jelas, dalam bait syair ini Zuhair percaya akan kekuatan lain selain kekuatan yang ada di bumi. Kekuatan yang ada di bumi yakni para penguasa, peperangan, alam yang berat, dan lain sebagainya. Kata “jika menerima ketentuan langit ” yang diinginkan oleh Zuhair sesungguhnya adalah penguasa langit yakni Tuhan semesta alam yang menguasai langit dan bumi. Ketika manusia menyerahkan hidupnya pada penguasa langit, maka dijamin hidupnya akan selamat. 175 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 74 6. Menempatkan kebaikan pada tempatnya Pada bait syair berikut ini, Zuhair ingin menyampaikan kepada kita, bahwa kebaikan itu harus diberikan kepada yang berhak menerimanya. Jika salah sasaran, bukan kebajikan yang didapat, namun bisa jadi kecelakaan yang datang. هلهأ رغ ف فورعما لعج نمو نكي مد يو هيلع امذ دم 176 Siapa yang berbuat kebaikan bukan pada tempatnya, Bukan pujian yang ia terima, tapi cercaan yang ia dapat, dan penyesalan Untuk menjelaskan bait tersebut, saya coba untuk memberi contoh. Bila seseorang memiliki kelebihan harta, lalu harta tersebut diberikan pada orang yang membutuhkan, seperti kepada faqir miskin, yatim, fi sabilillah, dan lainnya, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut telah menempatkan kebajikan pada tempatnya. Jika negara, sebagai contoh, saat ini memberikan dana bantuan sosial kepada masyarakat miskin, namun yang menerima ternyata orang-orang yang mampu, maka bisa dipastikan, pemerintah bukan menerima pujian dari masyarakat, namun yang ada menerima hinaan dan cercaan. Ajaran ini sesungguhnya berlaku sepanjang masa. Saya yakin, nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair sesungguhnya diambil dari pengalaman hidup yang ia terima, atau ia lihat dan dirasakan. 7. Keharusan membela kehormatan Keharusan membela diri dan kehormatan, merupakan bagian dari kewajiban manusia, bukan hanya terjadi pada masa Jahiliyah yang lekat dengan dunia perang. Zuhair dalam bait syairnya mengatakan: هحاسب هضوح نع ذذي م نمو مَلْظ ي سا لا ملظي ا نمو ْم دَه ي Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata Ia akan hancur, dan siapa yang tidak menzalimi, dia akan dizalimi 176 Ali Fa’ur syarah, Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003 M, h. 111 75 Bait syair ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Bait ini erat hubungannya dengan kontek peperangan. Hal ini tampak dari kata silah senjata yang digunakan oleh penyair. Sesungguhnya, bait syair di atas bukan dimaksudkan untuk saling menzalimi, namun untuk menyatakan bahwa siapa yang kuat, dia akan menang dan yang lemah akan kalah. Manusia diwajibkan membela kehormatan dirinya, untuk itu, ia dituntut menjadi orang yang kuat. 8. Etika pergaulan Ajaran moralitas lainnya yang juga disampaikan oleh Zuhair melalui syairnya adalah etika pergaulan. هقيدص ا و دَع بسَ ْبرغي نمو م رَكي ا هسفن م ركي ا نمو Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai Menurut Zuhair, bergaul itu merupakan suatu keharusan. Sebab dengan bergaul kita akan mengenal mana kawan dan mana lawan, sehingga tidak salah dalam menempatkan diri dan akhirnya merugikan diri sendiri. Orang yang tidak mau bergaul dengan orang lain, berarti tidak menghormati dirinya sendiri. Bagaimana ia akan menempatkan dirinya di antara manusia lain, tanpa ia mengenal siapa yang akan menghormatinya, dan siapa pula yang harus ia hormati. 9. Menjaga akhlak Bait syair ini lebih dekat pada ajaran “tampillah apa adanya” jangan dibuat- buat, jangan bersikap munafiq. نم ئرما د ع نكت امهمو ةقيلخ ملعت سا لا ىلع ىف اهاخ نإو Akhlak baik ataupun buruk seseorang itu, meskipun ia mengira bisa disembunyikan dari manusia, tetap saja tercium Jika berbuat salah, hendaklah mengakui kesalahannya dan jangan menyembunyikannya, sebab serapat-rapatnya orang menyimpan bangkai, lambat laun akan tercium juga. 76 10. Cara berkomunikasi هصخش كل بجعم نم ىرت نئاكو ملكتلا ف هصقن وأ هتدايز Berapa banyak orang yang engkau lihat menakjubkan Saat berbicara, panjang ataupun singkat Kita sering melihat dan mendengar seseorang yang sangat menarik saat berbicara, saat panjang lebar ataupun bicara singkat. Lalu ia tegaskan akan pentingnya nilai-nilai moralitas dalam berkomunikasi: ن ىفلا ناسل ،فص نو داؤف فص مدلاو محللا ةروص اإ ىقبي ملف Ucapan seorang pemuda itu, separuh dari dirinya, separuh lagi adalah hatinya Jika tidak, pemuda itu hanyalah gumpalan daging dan darah. 11. Kehebatan anak muda Pemuda menurut Zuhair adalah sosok yang memiliki kehidupan yang masih panjang dan harus bermimpi untuk menggapai cita-cita, sebaliknya orang yang sudah tua, tidak usah banyak bermimpi, sebab manfaatnya sudah tidak terlalu besar. دعب ملح ا خيشلا افس نإو ملَ ةهافسلا دعب ىفلا نإو 177 Orang tua yang bodoh, tak memiliki mimpi Sedangkan anak muda, setelah kebodohan ia bermimpi Dalam menyampaikan nilai-nilai moralitas di atas, Zuhair tidak menggunakan gaya bahasa yang bersifat memerintah, namun lebih pada peringatan dan sebab akibat yang akan diperoleh. Bila buruk, maka hasil yang diperoleh adalah keburukan, dan jika baik, hasil yang diperolehpun adalah kebaikan pula. Hal ini menunjukan kearifan yang dimilikinya.

D. Analisis Nilai-nilai Moralitas

Sebagaimana dibahas pada bab 2, bahwa secara garis besar tolak ukur moralitas dibagi ke dalam dua teori, yaitu deontologis dan teleologis. Deontologis 177 Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, Beirut: Dar al- Ma’rifah, 2005 M1426 H, h.42-44 77 mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan. 178 Maka berdasarkan teori tersebut, bisa dipastikan bahwa Zuhair ibnu Abi Sulma dalam mengajarkan nilai-nilai moralitasnya, baik buruknya diukur berdasarkan akibat yang ditimbulkan. Dengan kata lain, jika kamu melakukan ini, maka akan begini, atau siapa yang melakukan hal ini, maka akan begini.. Contoh: ه بلق ِضْف ي نمو ْمَمذ ي ا ِفوي نمو مجمجتي ا رلا نئمطم إ Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu Hal ini sesuai dengan teori etika teleologis yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik. 179 Teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat. Teori ini kemudian terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan, menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan. 180 Kalau egoisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna 178 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67 179 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 180 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76 78 bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. 181 Berdasarkan teori filsafat etika tersebut, bila melihat pada syair-syair Zuhair di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa Zuhair ibnu Abi Sulma sesungguhnya telah mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai moralitas universal. Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak. 182 Hanya saja yang agak sulit dibedakan, apakah nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair ibn Abi Sulma merupakan nilai-nilai moralitas yang dasarnya adalah agama, atau hanya sebatas ajaran kehidupan yang ia peroleh dari pengalaman hidup yang ia dapatkan. Bila Zuhair termasuk penganut agama hanif dan berlandaskan tauhid ilahiyah, maka bisa diyakini bahwa ajaran yang disampaikan tersebut merupakan bagian dari ajaran-ajaran agama. Sebab sebagaimana disampaikan oleh Burhanudin Salam, bahwa pada dasarnya antara etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya: - Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. - Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak memaksa. 183 Adapun perbedaannya adalah: - Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian. - Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia. 181 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77 182 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 183 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183 79 Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat. Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di alam fana ini. Dalam syairnya, Zuhair jelas menyatakan akan keyakinannya terhadap hari akhirat bahkan adanya hari pembalasan yang disimpan dan suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan ini saya menyimpulkan, bahwa seseungguhnya nilai- nilai moralitas yang ada pada masa Jahiliyah sesungguhnya bersumber pada ajaran agama dan juga pengalaman hidup dari penyair itu sendiri. Hal ini juga mematahkan pendapat Muhammad Yusuf Farran yang mengatakan bahwa sebagian periwayat dan juga analis menganggap bahwa Zuhair sebenarnya memeluk agama nenek moyangnya yang disebut dengan watsani penyembah berhala. Kalaupun dalam syair-syairnya ada yang mengandung makna tauhid, semata-mata hanya perasaan yang dihasilkan dari pengalaman hidupnya. 184

E. Tinjauan Islam terhadap nilai-nilai moralitas dalam syair Jahiliyyah

Syair-syair Zuhair sesungguhnya banyak mengandung perumpamaan- perumpamaan amtsal dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak mudah difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair zuhair juga banyak menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di kemudian hari. Islam sesungguhnya mengajarkan umatnya nilai-nilai moralitas universal. Apa yang disampaikan oleh Zuhair dalam syair-syairnya di atas, hanyalah sebagian kecil dari nilai-nilai moralitas universal tersebut. Lalu bagaimana menurut pandangan Islam tentang nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair yang lahir pada masa Jahiliyah? Nilai-nilai moralitas dalam bahasa Arab dan diserap ke dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah akhlak yang merupakan bentuk jamak dari khuluk. Dalam Ensiklopedi Pengetahuan al- Qur’an dan Hadits, sumber akhlak dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: Akhlak yang bersumber pada agama dan akhlak yang bersumber dari pengalaman. 184 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibnu Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990, h. 37