Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4
Syair sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi, ide, dan gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh
masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi. Jika demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benar-benar tidak
mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu suatu pembuktian dan analisis.
Melalui syair karya Zuhair ibnu abi Sulma seorang penyair sekaligus filsuf bangsa Arab Jahiliyah,
10
penulis akan mencoba mengungkap nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, baik nilai-nilai
moralitas yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.
11
Sebelum pembahasan lebih lanjut, berikut ini contoh syair Zuhair ibn Abi Sulma yang mengandung nilai-nilai moralitas sosial:
كَي ْنَمَو ِهِلْضَفِب ْلَخْبَيَ ف ،ٍلضف اذ
ِمَمْذ يو ه ع نغتسي هموق ىلع
12
Siapa yang memiliki kelebihan, lalu ia kikir dengan kelebihannya tersebut kepada kaumnya, niscaya ia akan ditinggalkan dan dicela.
Karya sastra baik puisi maupun prosa biasanya dicipta oleh sang pengarang bukan tanpa makna. Ada pesan khusus atau amanat yang biasanya ingin
disampaikan oleh penulis menyangkut ide dan pemikirannya tentang kehidupan, baik yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.
13
terjadi, atau akan terjadi. Eric A. Havelock, Preface to Plato, New York: The Universal Library Grosset Dunlap, 1971, h. 236
10
Zuhair ibnu Abi Sulma penyair Arab masa Jahiliyah ayah dari Ka’ab ibnu Zuhair sahabat Rasul SAW. Semasa hidupnya, ia banyak menggubah syair-syair hikmah yang mengajarkan nilai-
nilai moralitas kemananusiaan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak pernah ada.
11
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan panldangan hidup pengarang dan pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan ini
biasanya berbentuk petunjuk tentang hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, cet. 8, h, 321
12
Ali Fâ’ûr, Diwan Zuhair ibnuAbi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H2003 M, h. 110
13
Menurut Burhan Nurgiyantoro, karya sastra digunakan untuk menyampaikan pesan dengan pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi akan sangat berbeda
efeknya dibanding yang lewat tulisan nonfiksi. Unsur imajinasi, emosi, serta gaya bahasa yang mewarnai karya sastra, terkadang lebih mengena untuk dijadikan sebagai media informasi dan
penyampai pesan, jika dibanding dengan menggunakan gaya bahasa yang bersifat ilmiah. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2010, cet. Ke-
8, h. 321
5
Pada bait syair di atas, tampak jelas pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair, yaitu anjuran agar seseorang tidak bersifat kikir pada sesama,
terutama bagi mereka yang memiliki kelebihan. Kata fadl dalam kamus Lisan al- ‘Arab adalah lawan kata dari naqs kurang atau dengan kata lain kelebihan. Kata
fadl juga sama dengan kata fadîlah yang mengandung arti derajat yang tinggi.
14
Diksi yang digunakan penyair tersebut jelas menyatakan bahwa kelebihan yang harus dibagikan ke sesama itu bukan sebatas harta, namun lebih luas lagi, yakni
mencakup kelebihan dalam berbagai hal. Namun biasanya hal yang paling umum yang terkait dengan kata bakhil adalah harta. Berdasarkan hal tersebut, jelas sekali
bahwa konsep dasar filantropi sosial sesungguhnya telah ada sejak zaman Jahiliyah. Selain anjuran untuk bersifat dermawan, penyair selanjutnya juga
mengingatkan masyarakat dengan sanksi sosial yang mungkin diterima oleh seseorang yang diberi kelebihan namun kikir. Ada dua sanksi yang disebutkan
penyair sebagai konsekuensi kekikiran, pertama ia tidak lagi dibutuhkan orang yustagna ‘anhu. Hal ini berarti ia akan dijauhi oleh komunitasnya sendiri. Kedua,
ia akan mendapat celaan atau gunjingan yudzmam dari masyarakat sebagai bentuk sanksi moral. Jika demikian, lalu di manakah perbedaan nilai-nilai moralitas Islam
dan Jahiliyah? Manusia dalam pandangan al-
Qur’an adalah makhluk yang mulia fî ahsan taqwîm, QS 95:4 diciptakan untuk semata-mata mengabdi kepadaNya. Di dalam
diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas manusia sekalipun QS 2:30; QS
18:50. Dengan potensi tersebut manusia mengemban tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan dengan misi utama menciptakan tatanan sosial yang bermoral di
muka bumi QS 33:72. Dan bangsa Arab Jahiliyah, adalah manusia yang juga diberi kesempurnaan akal dan fikiran yang tentu saja diberi potensi pengetahuan
kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral. Lalu di mana letak kekurangan bangsa Arab Jahiliyah?
Pertanyaan-pertanyaan yang melengkapi hampir setiap paragraf yang penulis sajikan ini, perlu suatu pembahasan yang mendalam, sehingga terjawab
secara meyakinkan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas secara umum
14
Ibnu Manzur, Lisan al- ‘Arab, Beirut: Dar Sâdir, 1410 H1990 M, jilid 11, h. 524
6
dan bagaimana pula sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, melalui pendekatan strukturalis genetik ini, penulis
bermaksud mengadakan sebuah penelitian tentang: TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH
KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA. B.
Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua permasalahan yang menjadi landasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Nilai-nilai moralitas apa yang terkandung dalam syair-syair hikmah Zuhair Ibnu Abi Sulma menurut sudut pandang teori strukturalis
genetik? 2. Bagaimanakah sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang
dikemukakan oleh Zuhair ibnu Abi Sulma?