Teori Campur Kode Campur Kode dalam Karangan Narasi Siswa Kelas VIII MTs (Madrasah Tsanawiyah) Manbaul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah II Bartu Ceper, Tangerang

speech act atau discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur danatau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode”. 11 Hal yang sama juga dinyatakan oleh Gumperz dalam Jendra terkait faktor situasi yang memungkinkan terjadinya campur kode, “Kedua, pembicara dwi bahasa dikatakan mencampur kode tapi tidak beralih dari satu ke yang lain ketika tidak ada topik yang berubah, juga tidak ada perubahan dalam situasi”. Second, bilingual speakers are said to mix codes but not switch from one to other when there is no topic that changes, nor does the situation. 12 . Menurut Subyakto dalam Suwandi, “Campur kode ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai anara orang-orang yang kita kenal dengan akrab. Dalam situasi berbahasa yang informal ini, kita dapat dengan bebas mencampur kode bahasa atau ragam bahasa kita; khususnya apabila ada istilah-istilah yang tidak dapat diungkapkan dalam bahasa lain”. 13 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, suatu tindak bahasa dapat dikatakan campur kode yakni ketika seorang dwibahasawan menggunakan pengetahuan bahasa yang ia miliki ke dalam ujarannya secara spontan, tanpa memikirkan situasi yang sedang terjadi. Adapun terjadinya campur kode dilatarbelakangi oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Campur kode yang sering ditemukan yaitu dipakai saat penutur berada dalam situasi yang santai atau informal. Campur kode digunakan untuk melancarkan jalannya komunikasi dua arah. Bila campur kode ditemukan di situasi resmi atau formal, karena keterbatasan kosakata 11 P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia, 1984, h. 32 12 Made Iwan Indrawan Jendra, Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languanges. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, h. 79 13 Sarwiji Suwandi, Sebalinguistik Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa. Surakarta: UNS Press, 2008, h. 87 bahasa yang digunakan. Sehingga, perlu menggunakan bahasa lain agar maksudnya tersampaikan. Dalam hal ini, Nababan menyatakan, “Ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, itu disebabkan karena tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa asing; dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau menggarisbahawahi kataungkapan bahasa asing yang bersangkutan”. 14 Menurut Suwito, “Latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu: tipe yang berlatar belakang pada sikap attitudinal type dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan linguistic type”. 15 Yang dimaksud dengan tipe sikap yaitu, penutur mengetahui siapa mitra tuturnya dan bagaimana situasi berbahasa formal atau informal yang sedang dilakukan. 2. Latar belakang lainnya seseorang melakukan campur kode karena si penutur ingin menunjukkan kelas sosialnya. Pranowo menyatakan: “Ciri-ciri khusus adanya campur kode antara lain adanya ketergantungan yang landai adanya hubungan timbal-balik antara peranan siapa yang memakai dan fungsi apa yang hendak dicapai oleh pembicara melalui ujaran bahasa. Ciri lain adanya campur kode adalah adanya unsur-unsur bahasa atau variasi bahasa yang satu menyicip di dalam bahasa lain dengan tidak lagi memiliki fungsi sendiri. Unsur itu telah menyatu dalam bahasa yang disisipi dan telah kehilangan fungsi aslinya yang secara keseluruhan hablur dan mendukung makna bahasa yang disisipinya”. 16 Suwito juga menyatakan pendapat yang sama terkait hal yang telah disebutkan, yaitu ada tipe yang belatar belakang atas kebahasaan, adalah penutur yang memiliki pengetahuan lebih dari satu bahasa. 17 menurut Nababan, campur kode bisa terjadi bila pembicara ingin 14 Nababan, op.Cit. 15 Suwito, op. Cit., h.77 16 Pranowo, op. Cit. 17 Suwito, op. Cit. memamerkan keterpelajarannya atau kedudukannya. 18 Penutur ini biasanya tergolong seorang yang dwibahasawan bahkan multibahasawan. Dengan adanya latar belakang ini, mendorong seseorang untuk bisa menunjukkan kemampuannya dalam banyak bahasa. 3. Adapun Ohoiwutun juga menyatakan hal lainnya yang melatarbelakangi terjadinya campur kode, yaitu pemenuhan kebutuhan mendesak need filling motive dan adanya motif prestise prestige filling motive. 19 Pemenuhan kebutuhan mendesak need filling motive misalnya, kurangnya kosakata suatu bahasa sehingga mengadopsi bahasa lain untuk mewakili maksud yang dituju. Hal ini biasanya banyak ditemukan dalam istilah teknologi. Contoh peminjaman bahasa asing dalam bidang teknologi yang dinyatakan oleh Jendra: “Seorang pembicara dwibahasawan keturunan Indonesia meminjam kata bahasa Inggris. Contoh: Saya lihat tadi hand phonemu di meja”. An Indonesian bilingual borrows English word. e.g. Saya lihat tadi hand phonemu di meja. 20 Dengan demikian, campur kode merupakan suatu gejala bahasa yang dapat ditemukan pada seorang dwibahasawan bahkan multibahasawan, dengan menyisipkan serpihan-serpihan bahasa satu ke dalam bahasa lainnya. Penyisipan dilakukan karena berfungsi untuk: 1. Melancarkan komunikasi dengan memudahkan penyampaian maksud yang akan disampaikan, 18 Nababan, op.Cit. 19 Ohoiwutun, op. Cit., h.71 20 Jendra, op. Cit.,h. 83 2. Sikap kegengsian, kebutuhan akan pengakuan sosial dalam menunjukkan status keterpelajarannya, dan 3. Adanya keterbatasan kosakata dalam suatu bahasa.

B. Karangan

Menulis karangan merupakan bagian dari kegiatan untuk melatih salah satu kemampuan berbahasa yang diajarkan di sekolah. Menurut Danim, “Karangan atau esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekpresikan opini penulis tentang fenomena, gejala, atau subjek tertentu. Karangan juga bermakna curahan berpikir seseorang mengenai fenomena, gejala, atau subyek tertentu yang dituangkan dalam bentuk tulisan”. 21 Karangan merupakan tulisan yang menceritakan suatu ide atau pemikiran yang dimiliki oleh penulis yang bersifat ekspresif. Gie menyatakan batasan karangan yaitu, “Karangan adalah hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis yang dapat dibaca dan dimengerti oleh masyarakat pembaca”. 22 Menurut Lado dalam Wibowo terkait batasan karangan “Mengarang adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang- lambang grafik tersebut, asalkan mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu”. 23 Dengan demikian, karangan tidak hanya menitikberatkan pada gagasan penulis yang diwujudkan menjadi tulisan saja. Tetapi, ide juga bisa diekspresikan ke dalam semua bentuk seperti berupa grafik. Agar gagasan atau ide penulis dapat tersampaikan, karangan perlu dibuat dengan menggunakan penyampaian yang teratur. Misalnya karangan 21 Sudarwan Danim, Karya Tulis Inovatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013, h. 40 22 The Liang Gie, Terampil Menulis. Yogyakarta: ANDI OFFSET, 2002, h.3 23 Wahyu Wibowo, Manajeman Bahasa Pengorganiasasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, h. 56 berupa tulisan harus menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Sehingga, karangan tersebut bisa dinikmati oleh pembacanya. Widagdho membagi karangan menjadi empat jenis, “Ada karangan yang nadanya bercerita, entah faktual atau cuma fiksi belaka. Ada karangan yang melukiskan sesuatu hal sedemikian rupa sampai pembaca hanyut oleh pelukan pengarangnya. Ada karangan yang memberikan keterangan terhadap sesuatu hal, atau mengembangkan sebuah gagasan sehingga menjadi konkret. Dan ada karangan yang berusaha meyakinkan pembaca agar sependapat”. 24 Jenis karangan ada empat, yaitu 1 Narasi, karangan yang bersifat menceritakan, 2 Deskripsi, karangan yang bersifat melukiskan, 3 Eksposisi, karangan yang bersifat memaparkan, dan 4 Argumentasi, karangan yang bersifat mempengaruhi. Sesuai dengan jenis-jenisnya, karangan juga memiliki tujuan dalam pembuatannya. Menurut Hugo dalam Wibowo, tujuan karang-mengarang yaitu a Tujuan penugasan assignment purpose, b Tujuan altrustik altrustic purpose, c Tujuan persuasif persuasive purpose, d Tujuan penerangan informational purpose, e Tujuan pernyataan diri self expressive purpose, f Tujuan kreatif creative purpose, dan g Tujuan pemecahan masalah problem- solving purpose. 25 Menulis karangan karena penugasan, contohnya terjadi pada siswa di sekolah karena menulis merupakan salah satu kegiatan pembelajaran di sekolah. Menulis karangan dengan tujuan menghibur pembaca, sering ditemukan di majalah dengan pembahasan mengenai artis. Menulis karangan dengan tujuan penerangan, dapat ditemukan di koran. Menulis karangan dengan tujuan pernyataan diri, yaitu menulis karangan untuk menunjukkan ke masyarakat akan bakat menulis yang dimiliki. Misalnya menulis puisi atau cerpen di majalah. Menulis dengan tujuan kreatif demi pencapaian nilai seni. Hal ini terjadi atas dorongan kreativitas yang lebih tinggi dibanding pernyataan diri. Seperti, menulis 24 Djoko Widagdho, Bahasa Indonesia Pengantar Kemahiran Berbahasa Di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, h.105 25 Wibowo, op. Cit., h.57 novel. Yang terakhir karangan yang bertujuan sebagai pemecahan masalah demi menjelaskan, memaparkan jalan keluar dari sebuah permasalahan. Contohnya, menulis menulis skripsi, tesis, dan disertasi. Karangan dalam penelitian ini dibatasi dalam jenis karangan narasi, yaitu karangan yang sifatnya menceritakan sesuatu.

C. Karangan Narasi

Hikmat dan Solihati mengemukakan, “Karangan narasi merupakan karangan yang menceritakan atau menyampaikan urutan peristiwa secara kronologis”. 26 Cerita mengenai terjadinya peristiwa demi peristiwa yang terangkum dalam susunan sejumlah kejadian atau peristiwa. Widagdho menyatakan hal yang sama, “Karangan narasi adalah karangan yang menceritakan satu atau beberapa kejadian dan bagaimana berlangsungnya peristiwa-peristiwa tersebut. Rangkaian kejadian atau peristiwa ini biasanya disusun menurut urutan waktu secara kronologis”. 27 Rangkuman cerita tidak hanya tersusun atas beberapa kejadian saja, tetapi adanya urutan waktu menjadi hal yang penting di dalamnya. Fitriyah dan Gani mengungkapkan hal yang lebih singkat, “Narasi artinya cerita”. 28 Sejalan dengan pendapat tersebut, Hikmat dan Solihati menyatakan, “Kata narasi diambil dari bahasa Inggris naration yang bermakna bercerita”. 29 Dengan demikian, narasi adalah sebuah cerita yang menceritakan tentang rangkaian sebuah kejadian yang dibalut dengan waktu terjadinya kejadian tersebut. Danim menyatakan hal yang lebih jelas mengenai karangan narasi, “Karangan naratif menggambarkan suatu ide dengan cara bertutur tertentu. Peristiwa yang diceritakan biasanya 26 Hikmat dan Solihati, op. Cit. 27 Widagdho, op. Cit., h.106 28 Mahmudah Fitriyah dan Ramlan Abdul Gani, Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, h.135 29 Ade Hikmat dan Nani Solihati, Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa S1 Pascasarjana, Guru, Dosen, Praktisi, dan Umum. Jakarta: PT Grasindo, 2013, h. 90 mengikuti alur sesuai urutan waktu”. 30 Rangkaian cerita yang dijelaskan secara detail, dapat memudahkan pembaca ketika membacanya. Vivian dalam Achmadi menyatakan bahwa tulisan naratif itu menuturkan cerita. Oleh karenanya, cerita yang tertulis berkaitan erat dengan waktu dan perbuatan manusia. 31 Gambaran kejadian yang diceritakan oleh pengarang biasanya sangat dekat dengan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Baik cerita yang mengedepankan daya khayal pengarangnya, sehingga menjadi cerita fiksi seperti dongeng. Atau cerita yang mengutamakan logika hal yang masuk akal pengarangnya yang berupa cerita nonfiksi, misalnya biografi seorang pengusaha. Kemudian Akhaidah dkk memaparkan,”Oleh sebab itu, unsur yang penting pada sebuah narasi adalah adalah unsur perbuatan dan tindakan. Perbuatan dan tindakan ini terjadi dalam suatu rangkaian waktu”. 32 Melalui cerita yang ditulis secara rinci mengenai perbuatan tokoh serta jalannya sebuah konflik yang terangkai oleh waktu. Pernyataan Keraf merangkum semua pendapat para ahli, “Narasi berusaha menjawab pernyataan, Apa yang sedang terjadi?”. 33 Keraf membagi karangan narasi menjadi dua, yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. “Narasi ekspositoris pertama-tama bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut”. 34 Dalam narasi ekspositoris, pengarang menceritakan suatu proses peristiwa yang dilakukan oleh siapa saja, berdasarkan fakta dan menggunakan bahasa yang logis agar 30 Danim, op. Cit., h.44 31 Muchsin Achmadi, Materi Dasar Pengajaran Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1988, h. 113 32 Akhaidah, dkk., Materi Pokok Menulis II. Jakarta: Karunika Jakarta, 1986, h.1.2 33 Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia, 1989, h.136 34 Ibid