Rumusan Masalah Campur Kode dalam Karangan Narasi Siswa Kelas VIII MTs (Madrasah Tsanawiyah) Manbaul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah II Bartu Ceper, Tangerang

mencapai penguasaan bahasa kedua. Hal ini yang membuat terjadinya gejala campur kode. Ohoiwutun mengemukakan pernyataan mengenai campur kode sebagai berikut: “Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual, sering dijumpai suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan atau interferensi berbahasa performance interference. Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain. Kita namai gejala ini campur kode code mixing”. 5 Berdasarkan pendapat di atas, dalam dialek masyarakat tutur yang memiliki kemampuan dua bahasa atau lebih dapat ditemukan perubahan sistem bahasa yang dianggap menyalahi kaidah gramatika bahasa itu sendiri. Contohnya, terselipnya kosakata bahasa Inggris di dalam percakapan yang menggunakan bahasa Arab. Menurut Weinreich dalam Ohoiwutun, “Menamai campur kode ini sebagai mix grammar”. 6 Berdasarkan pendapat Weinreich, campur kode merupakan percampuran tata bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lainnya. Terkait contoh campur kode lainnya menurut Aslinda dan Leni, “Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia”. 7 Seseorang yang berkemampuan memasukkan unsur-unsur bahasa satu ke bahasa lainnya, dapat dipastikan merupakan seorang bilingual. Indonesia menjadi contoh negara yang memiliki masyarakat multilingual. Karena Indonesia memiliki banyak ragam bahasa, sebagian besar masyarakatnya dapat menguasai bahasa ibu yang berupa bahasa daerah. Kemudian bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, menjadi bahasa kedua. Atau sebaliknya. Hal ini 5 Paul Ohoiwutun. Sosiolinguistik memahami bahasa dalam konteks masyarakat dan kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc, 1997, h. 69 6 Ibid, h.70 7 Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Soiolinguistik. Bandung: PT Refika Aditama, 2014, h. 87 memungkinkan terjadinya campur kode di kalangan masyarakatnya dengan menyisipkan istilah-istilah dari bahasa daerah ketika berbicara dengan situasi informal. Menurut Suwito, “Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi”. 8 Sikap penutur bahasa yang mulai tidak memperhatikan terlebih dahulu bagaimana latar belakang mitra tuturnya, serta rasa gengsi penutur untuk menunjukkan keahlian berbahasanya, sangat memungkinkan terjadinya campur kode. Kemudian, bergesernya fungsi suatu bahasa karena penyisipan unsur bahasa lain yang pada awalnya dilakukan secara coba- coba. Setelah terjadi interaksi dan mendapat respon dari masyarakat tutur, unsur bahasa lain tersebut akan digunakan secara kontinu yang berdampak pada hilangnya fungsi asli bahasa sebenarnya Menurut Nababan, “Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa yang hanya ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau mudahnya pengungkapan seseorang pengguna bahasa kita sebut campur kode”. 9 Campur kode terjadi ketika ujaran yang berasal dari pemilihan ragam bahasa digunakan oleh penutur, atas dasar kenyamanan dalam berbicara. Suwito menyatakan, “Demikianlah maka campur kode itu terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa”. 10 Nababan mengemukakan mengenai campur kode, yaitu: “Suatu keadaan berbahasa lainnya ialah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa 8 Suwito, op. Cit, h.75 9 P.W.J. Nababan, PELLBA 2 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya: Kedua. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989, h. 194 10 Suwito, op. Cit., h.78