Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
memungkinkan terjadinya campur kode di kalangan masyarakatnya dengan menyisipkan istilah-istilah dari bahasa daerah ketika berbicara
dengan situasi informal. Menurut Suwito,
“Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi
mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung
satu fungsi”.
8
Sikap penutur bahasa yang mulai tidak memperhatikan terlebih dahulu bagaimana latar belakang mitra tuturnya, serta rasa gengsi penutur untuk
menunjukkan keahlian berbahasanya, sangat memungkinkan terjadinya campur kode. Kemudian, bergesernya fungsi suatu bahasa karena
penyisipan unsur bahasa lain yang pada awalnya dilakukan secara coba- coba. Setelah terjadi interaksi dan mendapat respon dari masyarakat tutur,
unsur bahasa lain tersebut akan digunakan secara kontinu yang berdampak pada hilangnya fungsi asli bahasa sebenarnya
Menurut Nababan, “Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa yang hanya ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau
mudahnya pengungkapan seseorang pengguna bahasa kita sebut campur kode”.
9
Campur kode terjadi ketika ujaran yang berasal dari pemilihan ragam bahasa digunakan oleh penutur, atas dasar kenyamanan dalam
berbicara. Suwito menyatakan, “Demikianlah maka campur kode itu terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur,
bentuk bahasa, dan fungsi bahasa”.
10
Nababan mengemukakan mengenai campur kode, yaitu: “Suatu keadaan berbahasa lainnya ialah bilamana orang mencampur
dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa
8
Suwito, op. Cit, h.75
9
P.W.J. Nababan, PELLBA 2 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya: Kedua. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989, h. 194
10
Suwito, op. Cit., h.78
speech act atau discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian,
hanya kesantaian penutur danatau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode”.
11
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Gumperz dalam Jendra terkait faktor situasi yang memungkinkan terjadinya campur kode, “Kedua,
pembicara dwi bahasa dikatakan mencampur kode tapi tidak beralih dari satu ke yang lain ketika tidak ada topik yang berubah, juga tidak ada
perubahan dalam situasi”. Second, bilingual speakers are said to mix codes but not switch from one to other when there is no topic that
changes, nor does the situation.
12
. Menurut Subyakto dalam Suwandi, “Campur kode ialah penggunaan
dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai anara orang-orang yang kita kenal dengan akrab. Dalam situasi berbahasa yang informal ini,
kita dapat dengan bebas mencampur kode bahasa atau ragam bahasa kita; khususnya apabila ada istilah-istilah yang tidak dapat diungkapkan dalam
bahasa lain”.
13
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, suatu tindak bahasa dapat dikatakan campur kode yakni ketika seorang dwibahasawan menggunakan
pengetahuan bahasa yang ia miliki ke dalam ujarannya secara spontan, tanpa memikirkan situasi yang sedang terjadi.
Adapun terjadinya campur kode dilatarbelakangi oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Campur kode yang sering ditemukan yaitu dipakai saat penutur berada
dalam situasi yang santai atau informal. Campur kode digunakan untuk melancarkan jalannya komunikasi dua arah. Bila campur kode
ditemukan di situasi resmi atau formal, karena keterbatasan kosakata
11
P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia, 1984, h. 32
12
Made Iwan Indrawan Jendra, Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languanges. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, h. 79
13
Sarwiji Suwandi, Sebalinguistik Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa. Surakarta: UNS Press, 2008, h. 87