KONDISI MAKSIMUM STABILISASI BEKATUL DENGAN TEKNIK EKSTRUSI ULIR GANDA TANPA DIE

21 tinggi dibandingkan varietas japonica pada asam lemak palmitat, stearat, linolenat, dan arakidat sedangkan lebih rendah pada kadar asam oleat, linoleat, dan eicosanoat. Tabel 7 . Komposisi asam lemak dari minyak bekatul berbagai varietas Jenis asam lemak Komposisisi asam lemak Gilirang a Inpari 7 a Inpari 8 a Varietas U.S. b C 14:0 0.66 0.75 0.89 0.20 C 16:0 24.13 21.86 22.82 15.00 C 16:1 0.26 0.19 0.25 - C 18:0 1.99 2.13 2.10 1.90 C 18:1 32.24 35.23 41.54 42.50 C 18:2 37.90 36.79 29.99 39.10 C 18:3 1.40 1.36 1.25 1.10 C 20:0 0.71 0.81 0.42 0.50 C 20:1 0.31 0.36 0.16 - C 22:0 - - - 0.20 a Ubaidillah, 2010 b McCaskill dan Zhang, 1999

4.3 KONDISI MAKSIMUM STABILISASI BEKATUL DENGAN TEKNIK EKSTRUSI ULIR GANDA TANPA DIE

Stabilisasi bekatul pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die merk Berto. Pada penelitian ini, parameter yang diamati adalah kecepatan ulir dan kecepatan umpan. Kombinasi dari kedua parameter tersebut diperoleh dari program JMP sehingga diperoleh 13 kombinasi perlakuan. Pada parameter X1 kecepatan ulir, nilai -1 adalah 12 hz, nilai 0 adalah 17 hz, dan nilai +1 adalah 22 hz. Nilai -1 sebesar 12 hz ditentukan berdasarkan batas minimum dari ekstruder yang digunakan untuk berfungsi dengan baik. Nilai 0 dan +1 ditentukan dengan jarak sebesar 5 hz dari nilai -1. Pada parameter X2 kecepatan umpan, nilai -1 adalah 10 hz, nilai 0 adalah 20 hz dan nilai +1 adalah 30 hz. Nilai -1 sebesar 10 hz juga merupakan batas minimum dari kecepatan umpan ekstruder agar dapat berfungsi dengan baik. Nilai 0 dan +1 ditentukan dengan jarak 10 hz, hal ini ditujukan agar perbedaan kecepatan umpan cukup signifikan. Bekatul yang digunakan dalam proses stabilisasi adalah bekatul segar yang baru digiling. Penggilingan dilakukan dengan rice huller sebanyak dua kali hingga sekam terlepas, kemudian beras pecah kulit disosoh dengan rice polisher. Pada tahap penyosohan, terjadi gesekan pada bulir beras sehingga diperoleh bekatul. Gesekan-gesekan yang terjadi menyebabkan peningkatan suhu dari beras sosoh dan bekatul yang dihasilkan. Pada tahap ini terjadi kontak langsung antara minyak bekatul dengan enzim lipase. Kondisi suhu yang meningkat tersebut turut mendorong aktivitas lipase dalam menghidrolisis lemak. Tahap penggilingan dan penyosohan beras harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat agar kerusakan bekatul minimum. 22 Bekatul yang telah dihomogenkan dengan dry mixer, kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder tanpa die. Stabilisasi dilakukan pada berbagai kombinasi kecepatan umpan dan ulir sehinggga diperoleh 13 sampel bekatul terstabilisasi. Bekatul terstabilisasi tersebut diayak dengan ayakan 40 mesh agar diperoleh ukuran partikel bekatul yang sama serta memisahkan bekatul dari dedak kasar dan sekam. Stabilisasi bekatul pada penelitian ini tidak dilakukan dengan penambahan air, karena kadar air bekatul awal yang sudah cukup tinggi yaitu 12-13. Analisis asam lemak bebas awal dilakukan pada 13 sampel bekatul terstabilisasi dari masing-masing varietas dan sampel bekatul tanpa stabilisasi untuk mengamati pengaruh dari stabilisasi. Analisis asam lemak bebas selanjutnya dilakukan setelah penyimpanan bekatul selama 15 hari dalam inkubator suhu 37°C. Suhu ini dipilih karena merupakan suhu optimum dari lipase bekatul menurut Luh et al.1991. Kenaikan asam lemak bebas dari bekatul setelah 15 hari merupakan nilai Y yang digunakan dalam penentuan kondisi maksimum dengan metode RSM. Tabel 8 menunjukkan persamaan dan nilai R 2 dari model respon permukaan pada keempat varietas. Tabel 8 . Persamaan model dari keempat varietas Varietas Persamaan model R 2 IR 64 Y= 96.587 - 1.157 X 1 - 0.437 X 2 - 0.064 X 1 2 + 0.271 X 2 X 1 + 0.353 X 2 2 0.58 Ciherang Y= 87.496 – 3.445 X 1 – 0.923 X 2 + 0.176 X 1 2 + 0.849 X 2 X 1 + 1.501 X 2 2 0.68 Pandan wangi Y= 75.645 – 4.240 X 1 – 2.576 X 2 + 1.488 X 1 2 + 2.606 X 2 X 1 + 2.640 X 2 2 0.69 Sintanur Y= 73.676 – 2.894 X 1 – 1.381 X 2 + 1.075 X 1 2 + 0.920 X 2 X 1 + 0.765 X 2 2 0.48 Model respon permukaan pada varietas IR 64 ditunjukkan pada Gambar 6. Pada varietas IR 64 nilai R 2 sebesar 0.58, artinya model hanya menggambarkan 58 dari total perlakuan pada taraf 0.05, sedangkan 42 lainnya dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel yang digunakan. Nilai P dari model tersebut sebesar 0.1919 lebih besar dari taraf 0.05, artinya model yang diperoleh pada IR 64 belum tepat Lampiran 4a. -4 -2 2 4 6 8 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 K e n a ik a n X 1 X2 IR 64 -4 -2 2 4 6 8 Gambar 6 . Model respon permukaan varietas IR 64 23 Nilai R 2 untuk varietas ciherang sebesar 0.68, artinya model menggambarkan 68 dari total perlakuan pada taraf 0.05. Lampiran 2a menunjukkan model respon varietas ciherang. Nilai P dari model adalah 0.011 taraf 0.05, sehingga model cocok untuk menggambarkan kondisi perlakuan Lampiran 4b. Lampiran 2b menunjukkan model respon permukaan varietas pandanwangi dengan nilai R 2 sebesar 0.69, artinya model menggambarkan 69 dari total perlakuan. Nilai P sebesar 0.0875 nilai F 0.05, sehingga model yang diperoleh belum tepat Lampiran 4c. Nilai R 2 pada model respon permukaan varietas sintanur Lampiran 2c sebesar 0.48, artinya model tersebut hanya menggambarkan 48 dari total perlakuan. Nilai P sebesar 0.0043 nilai F 0.05 yang berarti model yang dihasilkan cukup tepat Lampiran 4d. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari setiap varietas, maka kombinasi X 1 dan X 2 yang menghasilkan kenaikan asam lemak bebas paling rendah berada pada nilai 12 hz dan 10 hz. Walaupun demikian hasil analisis statistika terhadap faktor kecepatan ulir dan kecepatan umpan menunjukkan bahwa faktor kecepatan ulir tidak secara signifikan mempengaruhi stabilisasi bekatul pada taraf 5 nilai P X 2 lebih besar dari 0.05. Pengaruh faktor kecepatan umpan yang tidak signifikan menunjukkan bahwa dalam proses stabilisasi bekatul yang dilakukan hanya kecepatan ulir ekstruder yang memiliki pengaruh terhadap nilai Y. Kecepatan ulir yang lebih tinggi akan menghasilkan panas lebih tinggi, namun akan menurunkan resident time bekatul di dalam laras ekstruder jika kecepatan umpan konstan sehingga waktu pemanasan bekatul menurun. Kecepatan umpan yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penumpukan bahan di dalam laras, sehingga pemanasan kurang merata. Pada umumnya resident time pada ekstruder adalah 30 detik. Waktu pemanasan yang kurang dapat menyebabkan inaktivasi lipase kurang sempurna dan reversibel. Kecepatan ulir 12 hz dan kecepatan umpan 10 hz yang digunakan merupakan batas minimum dari ekstruder agar tidak mengalami kerusakan, oleh karena itu untuk meningkatkan waktu pemanasan bekatul dapat dilakukan proses ekstrusi bekatul lebih dari satu kali. Peningkatan suhu ekstrusi tidak disarankan karena suhu yang digunakan sudah tinggi, jika ditingkatkan berpotensi merusak komponen nutrisi bekatul. Selain itu suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya case hardening, sehingga hanya bagian luar bekatul yang mengalami pemanasan sedangkan bagian dalamnya kurang memperoleh panas. Bekatul hasil stabilisasi yang disimpan selama 15 hari pada suhu 37°C menunjukkan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas, walaupun demikian jika dibandingkan dengan bekatul tanpa stabilisasi yang disimpan dalam kondisi yang sama, terdapat penurunan yang signifikan pada bekatul terstabilisasi Tabel 9. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan stabilisasi dengan teknik ekstrusi ulir ganda dapat menghambat kerusakan hidrolitik pada bekatul. Tabel 9 . Kenaikan kadar ALB bekatul pada kondisi tanpa dan dengan stabilisasi Varietas kenaikan kadar ALB tanpa stabilisasi stabilisasi 1 IR 64 36.73 0.43 ciherang 51.48 1.42 pandanwangi 53.94 4.73 sintanur 54.28 13.55 1 stabilisasi pada kondisi nilai X1=12 hz dan X2=10 hz 24

4.4 VERIFIKASI KONDISI STABILISASI BEKATUL