Inaktivasi lipase pada bekatul dengan teknik ekstrusi ulir ganda
INAKTIV
T
FAK
VASI LIPA
TEKNIK EK
SY
KULTAS T
INSTITUT
ASE PADA B
KSTRUSI U
SKRIPSI
YENNY IHS
F 24061491
TEKNOLOG
T PERTANI
BOGOR
2011
BEKATUL
ULIR GAND
I
SAN
1
GI PERTAN
IAN BOGOR
DENGAN
DA
NIAN
R
(2)
INACTIVATION OF RICE BRAN LIPASE USING
DOUBLE SCREW EXTRUSION TECHNIC
Syenny Ihsan1, Feri Kusnandar1, Slamet Budijanto1
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia.
ABSTRACT
Rice bran is available abundantly and usually used as animal feed. Rice bran has very limited usage as a food source. Rice bran is rich in protein, fat, fiber, minerals, vitamin B complex and tocopherol. Rice bran is also known to have various health benefits such as lowering blood cholesterol levels. Rice bran easily experiences rancid due to high unsaturated fatty acids. Lipase enzyme catalyzes the hydrolysis of triglycerides into glycerol and free fatty acids. The purpose of this research was to study free fatty acids forming pattern of rice bran, rice bran fatty acids composition from differrent variety, and to obtain the maximum condition to stabilize rice bran using no die double screw extruder. The free fatty acid levels after 24 hours milling for IR 64, ciherang, pandanwangi and sintanur was 11.46%, 13.16%, 12.65%, and 19.03%. Rice bran fatty acid composition primarily were palmitic acid, oleic acid, and linoleic acid. Oleic acid was found abundant in the bran of non-aromatic varieties (IR 64 and ciherang). The bran from a romatic varieties (pandanwangi and Sintanur) was rich in linoleic acid. The maximum conditions for inactivation of lipase in rice bran using a no die double screw extruder was obtained from screw speed at 12 Hz. Feeding speed did not significantly affect the increase of free fatty acid levels. However the extrusion process inhibited lipids hydrolysis compared to that of bran without extrusion.
(3)
Syenny Ihsan. F24061491. Inaktivasi Lipase pada Bekatul dengan Teknik
Ekstrusi Ulir Ganda. Di bawah bimbingan Feri Kusnandar dan Slamet
Budijanto. 2011
RINGKASAN
Pada proses penggilingan gabah kering giling akan diperoleh hasil samping berupa bekatul sebanyak 8% (Pourali, 2009). Bekatul selama ini hanya banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, padahal jumlahnya melimpah, kaya akan protein, lemak, serat, mineral, vitamin B kompleks dan tokoferol serta memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan seperti menurunkan kadar kolesterol dalam darah, namun pemanfaatannya sebagai bahan pangan masih sangat terbatas. Faktor yang menjadi kendala dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sifatnya yang mudah rusak akibat ketengikan. Kerusakan bekatul terjadi sesaat setelah proses penyosohan beras pecah kulit karena adanya interaksi antara minyak bekatul (15-19,7%) dengan enzim lipase dan lipoksigenase yang secara alami terdapat dalam bekatul. Enzim lipase mengkatalisis proses hidrolisis lemak (trigliserida) menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Asam lemak bebas kemudian akan dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi peroksida, keton dan aldehid yang menyebabkan ketengikan pada bekatul. Peningkatan jumlah asam lemak bebas berdampak pada penurunan mutu bekatul sehingga bekatul tersebut tidak layak untuk dikonsumsi manusia dan memiliki umur simpan yang sangat singkat. Bekatul dengan kandungan asam lemak bebas lebih dari 10% tidak layak untuk dikonsumsi sebagai pangan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan stabilisasi lipase yang terdapat di dalam bekatul. Pada penelitian ini akan digunakan proses ekstrusi dengan ektruder ulir ganda (double screw extruder) tanpa die untuk menginaktivasi enzim lipase pada bekatul untuk menghasilkan bekatul yang stabil.
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu pengamatan pola peningkatan kadar asam lemak bebas bekatul pasca penggilingan, analisis komposisi asam lemak bekatul, optimasi kondisi stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dan verifikasi kondisi stabilisasi bekatul. Pada penelitian ini digunakan bekatul yang berasal dari empat varietas padi, yaitu dua varietas padi aromatik (pandanwangi dan sintanur) dan dua varietas padi non aromatik (IR 64 dan ciherang). Tahap pertama, bekatul dari empat varietas padi diperoleh dengan menggiling gabah menggunakan Satake Rice Machine sebanyak tiga kali. Beras pecah kulit yang diperoleh kemudian disosoh menggunakan
Satake Grain Testing Mill selama 2 menit hingga diperoleh beras sosoh dan bekatul. Analisis kadar asam lemak bebas bekatul dilakukan setiap dua jam hingga 24 jam pada suhu ruang. Analisis komposisi asam lemak dilakukan menggunakan kromatografi gas. Optimasi kondisi stabilisasi dilakukan dengan metode respon permukaan sehingga diperoleh 13 kombinasi perlakuan dengan parameter kecepatan ulir (X1) dan kecepatan umpan (X2) dan kadar asam lemak bebas setelah penyimpanan selama 15 hari sebagai respon (Y). Suhu ekstrusi yang digunakan adalah T1 = 130°C, T2 = 180°C, dan T3 = 230°C. Hasil paling baik diperoleh dari nilai X1sebesar 12 Hz dan X2 sebesar 10 Hz. Verifikasi dilakukan dengan melakukan proses ekstrusi bekatul menggunakan parameter optimasi yang telah diperoleh.
Kadar asam lemak bebas bekatul pasca 24 jam penggilingan pada varietas IR 64, ciherang, pandanwangi dan sintanur secara berurutan adalah 11.46%, 13.16%, 12.65%, dan 19.03%. Kecepatan pembentukan asam lemak bebas dari keempat varietas yang digunakan berbeda, varietas IR 64 mencapai kadar ALB 10% setelah 20 jam penyimpanan pada suhu ruang, ciherang 16 jam, pandan wangi 12 jam, dan sintanur 10 jam. Perbedaan varietas menyebabkan perbedaan aktivitas lipase bekatul. Komposisi asam lemak bekatul yang utama adalah asam palmitat, asam oleat,dan asam linoleat. Pada bekatul dari varietas non-aromatik (IR 64 dan ciherang) kandungan asam oleat paling tinggi, sedangkan pada bekatul dari varietas aromatik (pandan wangi dan sintanur) kandungan asam linoleat paling tinggi. Kondisi maksimum untuk inaktivasi lipase pada bekatul dengan teknik ekstrusi ulir ganda tanpa die berada pada kecepatan ulir 12 hz. Kecepatan umpan tidak secara signifikan mempengaruhi kenaikan kadar ALB. Proses ekstrusi dapat menghambat proses hidrolisis lipid secara enzimatis dengan baik.
(4)
INAKTIVASI LIPASE PADA BEKATUL DENGAN
TEKNIK EKSTRUSI ULIR GANDA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SYENNY IHSAN
F 24061491
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(5)
Judul Skripsi : Inaktivasi Lipase pada Bekatul dengan Teknik Ekstrusi Ulir Ganda
Nama
: Syenny Ihsan
NIM
: F24061491
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.)
(Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr.)
NIP 19680526.199303.1.004
NIP 19610502.1986031.1.002
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.)
NIP 19680505 199203.2.002
Tanggal lulus :
(6)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Inaktivasi Lipase pada Bekatul dengan Teknik Ekstrusi Ulir Ganda adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 1Maret 2011 Yang membuat pernyataan
Syenny Ihsan F 24061491
(7)
BIODATA PENULIS
Syenny Ihsan. Lahir di Jakarta pada tanggal 29 Juli 1988 dari ayah Ie Tiat Ming dan ibu Masni Santoso, sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SDK IPEKA Sunter (1994-2000), SMPK IPEKA Sunter (2000-2003) dan SMUK IPEKA Sunter (2003-2006). Penulis diterima di IPB pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan. Penulis pernah menjadi anggota divisi kerohanian KMB IPB pada tahun 2006 dan bendahara KMB IPB (Keluarga Mahasiswa Buddhis Institut Pertanian Bogor) tahun 2007. Penulis juga terlibat dalam kepanitiaan LCTIP XVI, NSPC, Vegetarian Day, dan berbagai kepanitaan lainnya. Penulis telah mengikuti pelatihan HACCP (Hazard Analytic Critical Control Point) yang diadakan oleh M-Brio pada tahun 2008. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Inaktivasi Lipase pada Bekatul dengan Teknik Ekstrusi Ulir Ganda” di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1LATAR BELAKANG ... 1
1.2TUJUAN PENELITIAN ... 2
1.3MANFAAT PENELITIAN ... 2
II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 BEKATUL ... 3
2.2 KERUSAKAN BEKATUL ... 5
2.2.1 KERUSAKAN HIDROLITIK ... 5
2.2.2 KERUSAKAN OKSIDATIF ... 6
2.3 LIPASE PADA BEKATUL ... 7
2.4 STABILISASI BEKATUL ... 8
2.5 EKSTRUDER ... 9
III.METODOLOGI PENELITIAN ... 11
3.1 BAHAN ... 11
3.2 ALAT ... 11
3.3 METODE PENELITIAN ... 11
3.3.1 Penentuan pola peningkatan kadar ALB bekatul pasca penggilingan ... 11
3.3.2 Penentuan Komposisi asam lemak bekatul ... 12
3.3.3 Penentuan kondisi maksimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die ... 13
(9)
3.3.5 Metode analisis ... 14
3.3.5.1 Kadar air bekatul ... 14
3.3.5.2 Kadar lemak kasar bekatul metode soxhlet ... 14
3.3.5.3 Analisis kadar asam lemak bebas ... 15
3.3.5.4 Analisis komposisi asam lemak bekatul ... 15
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
4.1 POLA PENINGKATAN KADAR ALB BEKATUL PASCA PENGGILINGAN ... 17
4.2 ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK BEKATUL ... 19
4.3 KONDISI MAKSIMUM STABILISASI BEKATUL DENGAN TEKNIK EKSTRUSI ULIR GANDA TANPA DIE ... 21
4.4 VERIFIKASI KONDISI STABILISASI BEKATUL ... 24
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 25
5.1 SIMPULAN ... 25
5.2 SARAN ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
(10)
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14% bb ... 4
Tabel 2. Komposisi asam lemak bekatul ... 4
Tabel 3. Perbedaan antara ekstruder ulir tunggal dan ulir ganda ... 10
Tabel 4. Kombinasi parameter stabilisasi bekatul ... 13
Tabel 5. Kadar air dan kadar lemak bekatul dari empat varietas ... 18
Tabel 6. Komposisi asam lemak bekatul pada empat varietas ... 20
Tabel 7. Komposisi asam lemak minyak bekatul berbagai varietas ... 21
Tabel 8. Persamaan model dari keempat varietas... 22
(11)
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Morfologi biji padi beserta bagian-bagiannya ... 3
Gambar 2. Mekanisme hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol ... 6
Gambar 3. Ilustrasi ekstruder ulir ganda dan ulir tunggal ... 9
Gambar 4. Diagram alir pengamatan pola peningkatan ALB bekatul ... 12
Gambar 5. Pola peningkatan kadar ALB empat varietas padi pasca penggilingan ... 17
(12)
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kadar asam lemak bebas bekatul pasca penggilingan ... 29
Lampiran 2a. Model respon permukaan pada pada varietas ciherang ... 29
Lampiran 2b. Model respon permukaan pada pada varietas pandanwangi ... 30
Lampiran 2c. Model respon permukaan pada pada varietas sintanur ... 30
Lampiran 3a. Gambar rice huller dan rice polisher kecil ... 31
Lampiran 3b. Gambar rice huller dan rice polisher besar ... 31
Lampiran 3c. Gambar ekstruder ulir ganda merk Berto ... 31
Lampiran 3d. Gambar ekstraksi minyak bekatul dengan heksana ... 32
Lampiran 3e. Gambar analisis asam lemak bebas metode titrimetri ... 32
Lampiran 4a. Hasil metode respon permukaan untuk varietas IR 64 ... 33
Lampiran 4b. Hasil metode respon permukaan untuk varietas Ciherang ... 34
Lampiran 4c. Hasil metode respon permukaan untuk varietas Pandanwangi ... 35
Lampiran 4d. Hasil metode respon permukaan untuk varietas Sintanur ... 36
Lampiran 5a. Kromatogram komposisi asam lemak bekatul varietas IR 64 ... 37
Lampiran 5b. Kromatogram komposisi asam lemak bekatul varietas ciherang ... 38
Lampiran 5c. Kromatogram komposisi asam lemak bekatul varietas pandanwangi ... 49
Lampiran 5d. Kromatogram komposisi asam lemak bekatul varietas sintanur ... 40
(13)
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Triratna yang telah melimpahkan bimbingan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan skripsi yang berjudul Inaktivasi Lipase pada Bekatul dengan Teknik Ekstrusi Ulir Ganda ini didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2010 sampai November 2010 di laboratorium bangsal percontohan pengolahan hasil pertanian (BPPHP) IPB.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Keluarga tercinta, papa, mama, Daniel dan Dicky yang tak pernah lelah memberikan kasih sayang, doa, nasihat dan dukungan baik moril maupun materi kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc selaku dosen pembimbing utama, yang selalu menyediakan waktu di tengah-tengah kesibukannya memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr selaku dosen pembimbing kedua, yang selalu dengan senang hati mendengar masalah yang dihadapi penulis dan memberi masukan yang sangat berarti.
4. Bapak Azis Boing Sitanggang, STP, M.Sc selaku dosen penguji atas semua masukannya. 5. Seluruh staf pengajar departemen ITP. Terima kasih atas bimbingan dan ilmu-ilmu yang
telah diberikan kepada penulis.
6. Tim AP4 (Pak Hendra, Mas Jaenal, Mas Ujang, dan Mas Asep) dan Mas Ubet yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
7. Pak Rojak, Bu Antin, Bu Rubiyah dan laboran lainnya yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
8. Bu Novi, Bu Kokom, dan Mbak Anie yang telah banyak membantu dalam mengurus administrasi selama penulis menjadi mahasiswa ITP.
9. Sahabat terbaikku, Richie, Daisy dan Ko Leo yang selalu membantu, memberi masukan, menyemangati dan menghibur penulis.
10. Teman – teman KMB IPB (Feriana, Margaret, Fenny, Yurina, Wahyu, dan teman-teman KMB lainnya) atas kebersamaan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
11. Teman – teman ITP 43 atas kebersamaannya selama kuliah dan penelitian berlangsung. 12. Semua rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca umumnya dan bagi penulis sendiri khususnya serta memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Maret 2011
(14)
I.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Padi merupakan salah satu komoditas strategis pertanian Indonesia. Jumlah produksi padi pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 63,840,066 ton (BPS, 2009). Pada proses penggilingan gabah kering giling akan diperoleh hasil samping berupa bekatul sebanyak 8% (Pourali, 2009).
Bekatul merupakan hasil samping dari penyosohan beras pecah kulit yang terdiri atas
lapisan perikarp, testa, lapisan aleuron, lembaga dan sebagian kecil butiran endosperm (Samli et
al., 2006). Menurut Wilkinson dan Champagne (2004), bekatul kaya akan protein, lemak, serat,
mineral, vitamin B kompleks dan tokoferol. Penelitian Kahlon et al. (1994) melaporkan bekatul
mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Berbagai penelitian lainnya juga telah melaporkan manfaat bekatul bagi kesehatan. Bekatul selama ini hanya banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, padahal jumlahnya melimpah, bernutrisi tinggi serta memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan, namun pemanfaatannya sebagai bahan pangan masih sangat terbatas.
Faktor yang menjadi kendala dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sifatnya yang mudah rusak akibat ketengikan. Kerusakan bekatul terjadi sesaat setelah proses penyosohan beras pecah kulit karena adanya interaksi antara minyak bekatul (15-19,7%) dengan enzim lipase dan lipoksigenase yang secara alami terdapat dalam bekatul. Enzim lipase mengkatalisis proses hidrolisis lemak (trigliserida) menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Asam lemak bebas kemudian akan dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi peroksida, keton dan aldehid yang menyebabkan ketengikan pada bekatul.
Menurut Ubaidillah (2010), kadar asam lemak bebas bekatul meningkat dengan cepat dari 4-6 % menjadi 12-14-6% setelah 10 jam pasca penggilingan. Peningkatan jumlah asam lemak bebas berdampak pada penurunan mutu bekatul karena asam lemak bebas memiliki karakteristik yang sangat mudah teroksidasi, sehingga bekatul tersebut tidak layak untuk dikonsumsi manusia dan memiliki umur simpan yang sangat singkat (Barnes dan Galliard, 1991). Bekatul dengan kandungan asam lemak bebas lebih dari 10% tidak layak untuk dikonsumsi sebagai pangan (Tao
et al.,1993).
Menurut Champagne (1994), permasalahan ini dapat diatasi dengan menginaktivasi lipase yang terdapat di dalam bekatul. Inaktivasi lipase pada bekatul telah dilakukan dengan beberapa cara baik secara fisik, kimia maupun secara biologi. Secara fisik dilakukan dengan
menggunakan panas (sangrai, pengering drum, microwave, autoklaf dan ekstruder), secara kimia
menggunakan alkohol, sedangkan secara biologi menggunakan enzim. Prinsip dari inaktivasi enzim lipase adalah denaturasi protein enzim dimana struktur protein enzim rusak dan kehilangan sifat fungsionalnya sehingga menyebabkan enzim menjadi tidak aktif.
Dari ketiga cara tersebut, inaktivasi lipase dengan menggunakan panas merupakan proses yang lebih efektif, dan aman untuk diterapkan pada bekatul yang akan digunakan sebagai bahan pangan, selain itu juga lebih mudah diaplikasikan di industri (Barber dan Barber, 1980). Pada
penelitian ini akan digunakan proses ekstrusi dengan teknik ekstrusi ulir ganda (double screw
extruder) tanpa die untuk menginaktivasi enzim lipase pada bekatul untuk menghasilkan bekatul yang stabil.
Double screw extruder merupakan mesin ektrusi yang memiliki lebih dari satu sumber panas, sehingga distribusi panas ke bahan lebih merata. Mesin ini juga dapat digunakan untuk
(15)
2
mengolah bahan pangan tanpa menggunakan die-nya. Keunggulan proses ini adalah proses
dapat dilakukan secara kontinyu dan diskontinyu serta dapat langsung digabung dengan mesin penggilingan padi sehingga dapat mencegah kerusakan bekatul awal akibat hidrolisis.
Pada penelitian ini akan digunakan bekatul yang berasal dari empat varietas padi, yaitu dua varietas padi aromatik (pandanwangi dan sintanur) dan dua varietas padi non aromatik (IR 64 dan ciherang). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat mengenai bekatul serta berkontribusi dalam pengembangkan bekatul sebagai bahan pangan yang diminati masyarakat.
1.2 TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui profil perubahan asam lemak bebas (FFA) bekatul pasca penggilingan padi pada
empat variates padi.
2. Mengetahui komposisi asam lemak dari bekatul yang berasal dari empat varietas padi.
3. Mendapatkan kondisi maksimum inaktivasi lipase pada bekatul untuk menghasilkan bekatul
yang stabil.
1.3 MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah meningkatnya nilai dari bekatul terstabilisasi sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi serta memberikan teknologi yang efektif dapat diterapkan pada industri padi.
(16)
2
2.1 BEKAT
Pada sebesar 1 hasil sam sebagian merupaka proses pe aleuron, e (Grist, 19G
Menu tinggi, m sumber y bervariasi kontamina
al.,2007). Karb pati. Kan pada pro kandunga yang dilak makanan polisakari Prote hal kadar
TUL
a proses penggi 5-20%, bekatu mping penggilin
lembaga biji an lapisan terlu enyosohan unt embrio, dan se
65). Morfolog
Gambar 1. Mo
urut Houston mengandung pr yang baik untu
i bergantung pa asi sekam pad Komposisi ki bohidrat yang t ndungan pati y
ses penyosoha an pati tersebu
kukan karena b (dietary fiber
ida lainnya dan ein bekatul me asam amino l
II.
TI
ilingan padi (O
ul 8-12%, dan ngan padi yan i (Houston, 1 uar berwarna k
tuk menghasil ebagian endos gi bagian-bagia
orfologi biji pa
(1972), bekat rotein, karbohi uk protein (12 ada varietas pa da proses peng imia bekatul di terdapat pada ang terdapat p an (Hargrove, ut akan mening
bagian endosp
r) yang terdir
n lignin juga ba emiliki nilai gi isin. Lisin me
INJAUAN
Oryza sativa L) menir sebesar ng terdiri atas 1972). Sedan kecoklatan dari
lkan beras pu sperm serta m an pada biji pad
adi beserta bag
tul merupakan idrat, lemak, 2-15%) dan le adi, lingkungan ggilingan (Ort isajikan dalam bekatul teriden ada bekatul dip 1994). Dam gkat kadarnya perm yang terb
ri atas struktu anyak terkandu izi yang lebih erupakan asam
N PUSTAK
) akan diperole r 5% (Widowa lapisan dedak ngkan menuru beras pecah k utih. Bekatul engandung seb di dapat dilihat
gian-bagiannya
n bahan panga mineral dan v emak (15-20% n tanam padi, d thoefer dan E
Tabel 1. ntifikasi sebag peroleh dari ba
mayanthi et a
dengan sema bawa bersama b
ur polisakarid ung dalam beka
tinggi daripad m amino pemba
KA
eh hasil sampin ati, 2001). Bek k sebelah luar
ut Hargrove kulit yang dipis terdiri atas p bagian besar v
t pada Gamba
(Orthoefer, 20
an yang memp vitamin. Bek %). Komposis derajat penggil astman, 2004; gai selulosa, he
agian endosper
al. (2007) men
akin tinggi der bekatul semak da dari dindin
atul. da beras giling atas pada beras
ng berupa seka katul merupak r butir padi, d (1994), bekat sahkan pada sa perikarp, lapis
vitamin dari b
r 1.
001)
punyai nilai g katul merupak si kimia bekat lingan gabah d ; Damayanthi emiselulosa, d rm yang terbaw nyatakan bahw rajat penyosoh kin banyak. Ser ng sel tanama g terutama dala s. Fraksi prote
am kan dan tul aat san biji izi kan tul dan et dan wa wa han rat an, am ein
(17)
4
utama dalam bekatul adalah albumin dan globulin dengan rasio antara albumin-globulin-prolamin-glutelin adalah 37 : 36 : 5 : 33 (Champagne, 2008). Albumin mempunyai kadar lisin yang tinggi. Menurut Winarno (1997), lisin merupakan salah satu asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh.
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14% bb
Komponen Jumlah
Protein (%) 12,0-15,6
Lemak (%) 15,0-19,7
Serat kasar (%) 7,0-11,4
Karbohidrat (%) 34,1-52,3
Abu (%) 6,6-9,9
Kalsium (mg/g) 0,3-1,2
Magnesium (mg/g) 5,0-13,0
Fosfor (mg/g) 11,0-25,0
Silika (mg/g) 5,0-11,0
Seng (mg/g) 43,0-258,0
Tiamin (µg/g) 12,0-24,0
Riboflavin/B2(µg/g) 1,8-4,0
Tokoferol/E (µg/g) 149-154
(Luh et al., 1991)
Kandungan lemak pada bekatul relatif tinggi. Menurut Babcock (1987), bekatul banyak mengadung asam lemak tak jenuh (lebih dari 80%). Asam palmitat, oleat dan linoleat merupakan komponen asam lemak utama yang terdapat pada minyak bekatul (Godber dan Juliano, 2004).
Komposisi asam lemak bekatul secara umum tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak bekatul
Jenis asam lemak %
Asam miristat (14:0) 0.2
Asam palmitat (16:0) 15.0
Asam stearat (18:0) 1.9
Asam oleat(18:1) 42.5
Asam linoleat (18:2) 39.1
Asam linolenat (18:3) 1.1
Asam arakhidat (20:0) 0.5
Asam behenat (22:0) 0.2
(18)
5
Sebagian besar vitamin terdapat pada bagian aleuron dan lembaga seperti halnya protein dan lemak. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Kelompok vitamin B dan vitamin E (tokoferol) banyak ditemukan di dalam bekatul, sedangkan vitamin A, C dan D hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber, 1980). Vitamin B yang terdapat dalam bekatul meliputi tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin (vitamin B3), asam pantotenat (vitamin B5) dan piridoksin (vitamin B6) (Champagne, 2008).
Bekatul mengandung komponen bioaktif yakni zat yang di dalam tubuh bekerja diluar fungsi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, melainkan untuk kesehatan (Husien, 2009). Komponen bioaktif tersebut adalah tokoferol (vitamin E), tokotrienol, oryzanol dan asam ferulat. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel
sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah (Kahlon et al., 1994).
Oryzanol merupakan fitosterol suatu ester senyawa asam ferulat yang dapat menurunkan serum
kolesterol pada manusia (Lichtenstein et al, 1994), menurunkan penyerapan kolesterol (Rong et
al.,1997), meningkatkan sekresi asam empedu dan mencegah agregasi pelet (Seetharamaiah dan
Chandrasekhara, 1990). Tocotrienol berfungsi sebagai antioksidan, membantu mencegah kanker dan penyakit kardiovaskuler (Tomeo et al, 1995; Nesaretham et al, 1998).
Bekatul mempunyai sifat fungsional sebagai penurun kolesterol (hipokolesterolemik). Mekanisme penurunan kolesterol didasari oleh kemampuan serat diet dari bekatul untuk
menyerap lipid pada jalur gastrointestinal dan peningkatan sekresi asam empedu (Kahlon et al.,
1994). Selain itu, bekatul juga mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja
enzim angiotensin i-converting enzyme (ACE), enzim yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan tekanan darah (Ardiansyah, 2006).
Disamping berbagai zat gizi, bekatul juga mengandung senyawa anti gizi yang dapat menghambat pertumbuhan. Senyawa anti gizi tersebut diantaranya asam fitat, anti tripsin, dan hemaglutinin (lectin) (Luh, 1991). Namun demikian, menurut Hargrove (1994), aktivitas senyawa anti gizi tersebut relatif rendah dan dapat diinaktivasi melalui proses pemanasan.
2.2 KERUSAKAN BEKATUL
Faktor utama yang menjadi hambatan dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sifatnya yang mudah rusak. Kandungan lemak bekatul yang tinggi (15-20%) menyebabkan mudah terjadinya kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul sehingga
bekatul berbau tengik (Damayanthi et al., 2007).
2.2.1 Kerusakan Hidrolitik
Kerusakan hidrolitik terjadi karena terjadinya kontak langsung antara lemak dan enzim lipase yang secara alami terdapat dalam bekatul. Di dalam biji padi yang utuh lipase bersifat dorman karena lipase dan minyak bekatul letaknya terpisah. Lipase terdapat di dalam lapisan testa atau lapisan selubung biji, sedangkan minyak terdapat di dalam aleuron dan lembaga (Champagne, 2008). Proses penggilingan akan menyebabkan kerusakan pada biji padi dan menyebabkan terjadi kontak langsung lipase dengan minyak. Pada saat itu, trigliserida akan terurai menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Proses ini selanjutnya disebut ketengikan hidrolitik atau kerusakan hidrolitik (Houston, 1972). Kerusakan hidrolitik minyak bekatul dapat dideteksi melalui peningkatan bilangan asam dan jumlah asam lemak bebas yang terbentuk pada bekatul. Enzim lipase baik yang berasal dari bekatul secara endogenus maupun mikroba,
(19)
6
mengawali kerusakan hidrolitik minyak bekatul. Keberadaan air dalam bahan turut membantu aktivasi lipase karena substrat tidak larut dalam air dan lipase aktif pada permukaan minyak-air (Laning, 1991). Menurut Fox (1991), laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu reaksi, kadar air, jenis substrat, konsentrasi substrat dan pH. Mekanisme hidrolisis
lemak ditunjukkan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol (anonima, 2010)
2.2.2 Kerusakan Oksidatif
Proses oksidasi dapat terjadi karena aktivitas enzimatik maupun non enzimatik. Oksidasi enzimatik terjadi akibat adanya enzim lipoksigenase, enzim yang ditemukan pada lembaga. Enzim lipoksigenase mengkatalis proses oksidasi asam lemak tak jenuh menjadi peroksida dengan bantuan radikal bebas dan oksigen. Peroksida merupakan senyawa yang labil dan akan terurai menjadi senyawa rantai karbon yang lebih pendek. Lipoksigenase mengkatalisis oksidasi
pada poly unsaturated fatty acids (PUFA) yang mengandung 1,4-pentadiene, seperti asam
linoleat, dan asam linolenat menjadi hidroperoksi asam lemak yang terkonjugasi, dan berubah menjadi berbagai macam komponen volatil seperti aldehid dan keton. Senyawa-senyawa
tersebut bertanggung jawab dalam pembentukan off-flavor tengik minyak bekatul (Charley,
1982).
Tingkat oksidasi minyak dalam bekatul akibat aktivitas lipoksigenase dikaitkan dengan asam lemak bebas yang terbentuk akibat aktivitas enzim lipase. Hal ini dikarenakan asam lemak tak jenuh berperan sebagai substrat yang bekerja pada kerusakan oksidasi enzimatis (Damayanthi
et al., 2007).
Proses oksidasi nonenzimatis dikatalisasi oleh adanya ion logam yang secara alami terdapat pada bekatul maupun akibat kontaminasi dari peralatan penggilingan. Cahaya, radiasi energi yang tinggi maupun panas juga berfungsi sebagai katalis. Oksidasi nonenzimatis dapat terjadi akibat adanya radikal bebas (autooksidasi) dan fotooksidasi. Tokoferol sebagai antioksidan alami pada bekatul dapat menghambat terjadinya proses oksidasi nonenzimatis yang berlangsung secara lambat pada biji padi (Champange, 1994).
Autooksidasi asam lemak terjadi melalui tiga fase yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada fase inisiasi terbentuk radikal bebas. Pada fase propagasi radikal bebas bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksida yang memiliki kemampuan untuk menyerang asam lemak lainnya. Rantai reaksi tersebut berhenti pada fase terminasi dimana terbentuk produk hasil deteriorasi yang stabil. Sejalan dengan reaksi autooksidasi, palatabilitas minyak tersebut akan
(20)
7
2.3 LIPASE PADA BEKATUL
Enzim lipase merupakan protein yang memiliki aktivitas katalisis terhadap reaksi hidrolisis dan sintesis ikatan ester pada lemak dan turunannya. Menurut sistem International Union of Biochemistry (IUB), enzim lipase diklasifikasikan sebagai enzim hidrolase dengan nama sistematik gliserol ester hidrolase (EC 3.1.1.3) yang menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas, gliserida parsial (monogliserida atau digliserida) dan gliserol. Enzim lipase
memiliki gugus polar dan non polar. Pada lingkungan aqueous gugus non polar (hidrofobik)
berada di dalam struktur enzim dan gugus polar (hidrofilik) berada di luar, dan sebaliknya. Sisi aktif enzim lipase terdiri atas trio residu asam amino, yaitu serin, aspartat dan histidin. Dalam struktur enzim, sisi aktif enzim lipase tersembunyi dibalik suatu tutup, yaitu polipeptida yang sering disebut lid enzim. Secara fisiologi lid enzim berfungsi untuk mencegah kerusakan proteolitik asam amino yang terdapat pada sisi aktif enzim, yang akan mempengaruhi aktivitas enzim. Lid ini bersifat fleksibel dan pada waktu membuka menyebabkan substrat dapat mencapai sisi aktif enzim.
Lid mengandung residu triptofan yang bersifat non polar. Pada saat inaktif, sisi aktif lipase masih dalam keadaan tertutup karena lid berinteraksi dengan residu hidrofobik disekitar inti katalitik. Keadaan lingkungan hidrofobik disekitar enzim akan memberikan kesempatan bagi lid untuk membuka, karena adanya interaksi antara area non polar pada lid dengan lingkungan hidrofobik. Perubahan srtuktur ini menyebabkan substrat mudah untuk berafinitas dengan sisi aktif lipase.
Pada bekatul, lipase terletak pada lapisan testa dan sedikit pada lapisan perikarp (Sastry et
al., 1977). Lipase yang terdapat pada bekatul telah diisolasi dan diteliti oleh Aizono et al.
(1976). Lipase tersebut memiliki bobot molekul 40,000 dalton. Enzim dapat teraktivasi oleh
konsentrasi rendah Ca2+ dan dihambat oleh adanya logam berat. Lipase bekatul optimum pada
pH 7.5 - 8.0 sedangkan suhu optimumnya adalah 37°C dan aktivitas lipase tidak terjadi pada
suhu penyimpanan beku (Luh et al., 1991).
Aktivitas lipase sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban. Ketika bekatul disimpan pada suhu tinggi dan kondisi lembab, kandungan asam lemak bebas akan meningkat sebesar 5-10% per hari dan dapat mencapai 70% dalam sebulan (Orthoefer dan Eastman, 2004).
Lipase pada bekatul mempunyai aktivitas hidrolisis dengan derajat keaktifan yang berbeda
berdasarkan varietas padi (Tsuzuki et al., 1994). Reaksi yang dikatalisis lipase diperkirakan
terjadi melalui pembentukan suatu senyawa intermedia asil-enzim. Jenis reaksi yang terjadi ditentukan oleh kondisi substrat terutama jumlah air yang terdapat pada campuran reaksi. Pada
kondisi dengan jumlah air banyak (aqueous), reaksi diarahkan ke hidrolisis lemak atau minyak,
sedangkan pada jumlah air yang terbatas yaitu kurang dari 1% (mikroaqueous) maka reaksi
diarahkan ke reaksi pemindahan atau pertukaran asil (Iwai dan Tsujisaka, 1984).
Inaktivasi enzim lipase dapat disebabkan oleh adanya panas tinggi, proteolisis, pH tidak optimal, oksidasi, denaturasi protein, hilangnya cofaktor dan coenzim. Namun inaktivasi paling signifikan adalah inaktivasi dengan perlakuan panas dan perubahan pH. Perlakuan panas pada protein akan meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak cepat sehingga mengganggu ikatan molekul tersebut dan protein terdenaturasi.
(21)
8
2.4 STABILISASI BEKATUL
Masalah yang sering dihadapi dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sulitnya mendapatkan bekatul secara kontinu mengingat saat panen padi yang musiman. Teknik pengawetan yang tepat diperlukan agar bekatul dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami penurunan mutu berupa ketengikan yang signifikan dan diharapkan dapat mengatasi masalah kontinuitas penyediaan bekatul.
Proses hidrolisis enzimatis berlangsung segera setelah proses penggilingan sehingga perlu segera dilakukan stabilisasi untuk mencegah hidrolisis lebih lanjut. Tujuan stabilisasi adalah membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim lipase yang terdapat pada bekatul untuk mencegah terurainya komponen minyak menjadi asam lemak bebas (Hargrove, 1994).
Menurut Barber dan Barber (1980), untuk memproses bekatul menjadi produk yang bersifat
food grade dengan mutu simpan yang baik dan memiliki nilai industri yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dihilangkan atau dihambat. Berkaitan dengan hal tersebut, inaktivasi enzim penyebab kerusakan haruslah lengkap dan tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, komponen-komponen berharga di dalam bekatul harus dipertahankan.
Prinsip stabilisasi bekatul dilakukan dengan menginaktivasi lipase yang berperan dalam reaksi hidrolisis lemak. Menurut Orthoefer (2001), metode yang telah digunakan untuk stabilisasi bekatul diantaranya pemanasan basah atau kering untuk mendenaturasi enzim lipase, penyimpanan suhu rendah, modifikasi pH, dan penambahan bahan kimia tertentu. Stabilisasi bekatul dengan pemanasan kering pada suhu tinggi seperti penyangraian atau pengeringan
dengan fluid bed dryer membutuhkan waktu lama sekitar 20-30 menit. Pemanasan yang lama
dan tidak merata dapat menyebabkan tingginya paparan mikroba, bekatul dan minyak bekatul yang berwarna gelap serta lipase dimungkinkan kembali aktif. Pemanasan kering dengan mempertahankan kelembaban bahan memberikan hasil yang lebih baik daripada pemanasan kering pada suhu tinggi.
Salah satu proses pengolahan yang mempergunakan panas adalah proses ekstrusi. Ekstrusi merupakan proses pengolahan yang mempergunakan suhu tinggi dan waktu yang singkat.
Stabilisasi bekatul dengan metode ekstrusi telah dilakukan oleh Randall et al. (1985) dengan
menggunakan ekstruder ulir ganda Brady pada suhu 130°C dan dipertahankan selama 3 menit pada suhu 97-99°C sebelum didinginkan. Bekatul yang dihasilkan tidak menunjukkan peningkatan signifikan pada nilai asam lemak bebas selama 30-60 hari. Stabilisasi bekatul dengan teknik ekstrusi dilaporkan membutuhkan biaya lebih murah, efektif, dan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
Di Jepang, penelitian proses pengawetan bekatul dengan ekstruder berulir ganda (double
screw extruder). Ekstrusi dilakukan dengan alat ekstruder (Clextral BC-45). Kadar air bekatul dinaikkan menjadi 16.6% dan suhu ekstrusi 150°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kestabilan bekatul selama penyimpan 24 hari tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan bekatul mentah.
Kelemahan penggunaan panas pada proses stabilisasi bekatul, dapat mengakibatkan peningkatan reaksi oksidasi enzimatis. Penggunaan panas menyebabkan penyebaran minyak, penghancuran antioksidan alami di dalam bekatul, dan meningkatkan luas permukaan minyak yang kontak dengan oksigen (Champagne, 1994).
Metode stabilisasi lainnya adalah penyimpanan pada suhu rendah. Suhu rendah dapat menurunkan kecepatan hidrolisis lemak oleh lipase, namun ketika terjadi peningkatan suhu maka aktivitas lipase akan kembali terjadi. Selain itu pendinginan membutuhkan biaya besar dan terbatas untuk aplikasi komersial (Orthoefer, 2001). Metode modifikasi pH hingga 4.0 dengan
(22)
2
menamba Modifika pangan. metode in stabilisas 21% (Ram2.5 EKSTR
Ekstr berdasark semua tip mendoron mampu m terdispers Berd ekstruder uap panas dihasilkan tinggi da terjadinya Berdtunggal (S
Gam
ahkan asam hid asi pH ini tidak Penambahan ni juga tidak d i bekatul adala
mezanzadeh et
RUDER
ruder adalah a kan metode op pe bahan menta
ng bahan terse melakukan pro
si dengan baik. dasarkan metod
r non pemasak s atau pemanas n oleh friksi ya an waktu yang a kontaminasi m dasarkan konstr
Single Screw E
mbar 3. Ilustras
droklorat menu k dapat diaplik
sodium metab diaplikasikan p
ah pemanasan
t al.,1999).
alat untuk mel perasi dan met
ah, yaitu mem ebut di sepanj oses pencampu
.
de operasinya (cold extruder s elektrik yang ang disebabkan
g singkat (Hig
mikroba dan in ruksi alatnya s
Extruder) dan e
si ekstruder ulir
urunkan aktivit kasikan pada b bisulfite pada
ada industri. M
dengan micro
lakukan proses ode konstruks masukkan bahan
ang ekstruder uran dengan ba , ekstruder da r). Pada ekstru g memanaskan n oleh ulir. Ek
gh Temperatur
naktivasi enzim
seperti pada Ga
ekstruder ulir g
r ganda (atas) d
tas lipase (Prab bekatul yang a bekatul dapat Metode lain ya
owave 850 W s
s ekstrusi. Ek inya. Prinsip n ke dalam lara hingga keluar aik yang bertuj apat dibagi me uder pemasak,
laras secara la kstruder pemas
re Short Time
m.
ambar 3, ekstr
ganda (Double
dan ulir tungga
bhakar dan Ve akan digunaka menghambat ang juga telah selama 3 meni
kstruder dapat operasinya ha as ekstruder da r pada lubang juan agar baha enjadi ekstrud
bahan pangan angsung. Selai sak adalah pro
e) sehingga da
ruder terdiri at
Screw Extrude
al (bawah) (An
enkantesh, 1986 an sebagai bah
aktivitas lipas dilakukan untu it pada kadar a
diklasifikasik ampir sama pa an kemudian u g die. Ekstrud an homogen d der pemasak d dipanaskan ol in itu, panas ju oses dengan suh
apat menguran tas ekstruder u
er).
nonimb,2010)
9
6). han se, uk air kan ada ulir der dan dan leh uga hu ngi ulir(23)
10
Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi High Shear Extruder untuk sereal dan
snack, Medium Shear Extruder untuk produk semi basah, dan Low Shear Extruder untuk pasta
dan produk daging. Sedangkan ekstruder ulir ganda, terdiri atas dua ulir yang sama panjang dan
terletak berdampingan dalam suatu laras. Tabel 3 menunjukkan perbedaan utama antara
ekstruder ulir tunggal dan ulir ganda. Berdasarkan arah alirannya, ekstruder ulir ganda dapat
dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan pada bentuk dan cara
pemasangan ulir di dalam laras maka terdapat ekstruder ulir ganda intermeshing dan
non-intermeshing (Harper, 1981). Ekstruder ulir ganda intermeshing dengan arah aliran counter rotating merupakan jenis ekstruder yang digunakan pada penelitian ini.
Tabel 3. Perbedaan antara ekstruder ulir tunggal dan ulir ganda (Van Zuilichem, et. al., 1982)
Perbedaan Ekstruder ulir tunggal Ekstruder ulir ganda
Mekanisme penggerakan bahan
Friksi antara logam dan bahan makanan
Penggerakan bahan kea arah
die
Penyedia energi utama Panas gerakan ulir Panas yang dipindahkan pada
barrel
Kapasitas (kg/jam) Tergantung pada kandungan air,
lemak dan tekanan Tidak tergantung apapun
Perkiraan energi per kg
produk 900-1500 kJ/kg 400-600kJ/kg
Distribusi panas Perbedaan temperatur besar Perbedaan temperatur kecil
Biaya keseluruhan Tinggi Rendah
Kandungan air
maksimum 30% 95%
Pada sistem konfigurasi non-intermeshing, sumbu kedua ulir tersebut terletak cukup
berjauhan sehingga putaran ulir yang satu tidak terlalu mempengaruhi putaran ulir yang lain.
Dalam hal ini, konfigurasi non-intermeshing dapat dianggap sebagai dua ekstruder ulir tunggal
dengan kapasitas yang lebih besar. Pada sistem intermeshing, kedua sumbu ulir tersebut cukup
berdekatan sehingga flight dari ulir yang satu dapat masuk ke dalam ruang pada ulir yang lain,
sedemikian rupa sehingga saling terkait. Sistem demikian memungkinkan self-cleaning dan
self-wiping (flight dari satu ulir menyapu dan membersihkan bahan yang berada dalam ruangulir
yang lain). Dengan demikian, kapasitas transportasi (conveying capacity) ekstruder ulir ganda,
khususnya dalam konfigurasi intermeshing akan meningkat.
Kecepatan ulir ekstruder dapat meningkatkann spesific mechanical energy (SME). Hal ini
disebabkan peningkatan dalam shear rate ketika peningkatan kecepatan ulir tercapai (Li et al.,
2004). Menurut Waluyo et al. (2003), peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan suhu
laras selama proses ekstrusi namun juga menurunkan resident time jika kecepatan umpan atau
(24)
11
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 BAHAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bekatul dari padi non-aromatik (ciherang dan IR 64), dan padi aromatik (pandanwangi dan sintanur) yang diperoleh dari usaha penggilingan gabah beras (UPGB) Sumedang. Bahan yang digunakan untuk analisis, yaitu
heksana, NaOH, KHP (asam potassium phthalate), indikator fenolftalein, alkohol, gas N2,
aquadest, metanol, BF3 (14% b/v), NaCl, Na2SO3 anhidrous, kertas saring, alumunium foil,
plastik LDPE, standar internal (asam margarat/C17:0), dan standar external FAME Mix C8-C22.
3.2 ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah huller, rice polisher, dry mixer, dan
ekstruder ulir ganda tanpa die merek Berto. Alat yang digunakan untuk analisis adalah soxhlet,
labu lemak, desikator, penangas air, oven, cawan alumunium, neraca analitik, buret, hot plate,
GC, thermometer, inkubator, erlenmeyer, gelas piala, vorteks, labu takar, tabung reaksi bertutup,
pipet tetes, pipet mohr, corong kaca, dan ayakan 40 mesh.
3.3 METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu penentuan pola peningkatan kadar asam lemak bebas bekatul selama 24 jam pasca penggilingan, penentuan komposisi asam lemak bekatul dari empat varietas dengan kromatografi gas, penentuan kondisi maksimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die dan verifikasi kondisi stabilisasi tersebut.
3.3.1 Penentuan pola peningkatan kadar asam lemak bebas (ALB) bekatul
pasca penggilingan
Bekatul dari empat varietas padi diperoleh dengan menggiling gabah menggunakan
Satake Rice Machine (Lampiran 3a) sebanyak tiga kali. Beras pecah kulit yang
diperoleh kemudian disosoh menggunakan Satake Grain Testing Mill selama 2 menit
hingga diperoleh beras sosoh dan bekatul. Bekatul yang diperoleh kemudian diayak dengan ukuran 40 mesh agar ukurannya seragam. Analisis kadar asam lemak bebas bekatul dilakukan setiap dua jam hingga 24 jam pada suhu ruang, sehingga akan diperoleh pola kenaikan asam lemak bebas bekatul pasca penggilingan. Nol jam dihitung sejak diperoleh bekatul 40 mesh, dengan asumsi waktu penggilingan dan penyosohan cukup singkat dan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan asam lemak bebas. Diagram alir pengamatan pola peningkatan ALB bekatul pasca
(25)
12
Bekatul Gabah varietas
tertentu
Gambar 4. Diagram alir pengamatan pola peningkatan ALB bekatul
3.3.2 Penentuan komposisi asam lemak bekatul
Komposisi asam lemak bekatul dari empat varietas padi diperoleh dengan metode gas kromatografi. Minyak bekatul diekstrak dari 7 gram bekatul segar dengan menggunakan alat soxhlet dan heksana sebagai pelarutnya. Minyak bekatul yang diperoleh dalam labu soxhlet masih bercampur dengan sedikit pelarutnya. Minyak
dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan dihembus dengan gas N2 selama 2
menit untuk menguapkan pelarutnya. Minyak bekatul siap digunakan untuk analisis.
Satake Rice Machine (penggilingan sebanyak 3 kali)
Beras pecah kulit
Beras sosoh
Satake Grain Testing Mill
(penyosohan selama 2 menit)
Sekam
Ayakan 40 mesh
Bekatul 40 mesh
Bekatul tidak lolos ayakan 40 mesh
Analisis kadar ALB bekatul pada 0,2,4,6,8,10,12,14,16,18,20,22,dan 24 jam pasca
(26)
13
3.3.3 Penentuan kondisi maksimum stabilisasi bekatul dengan ekstruder
ulir ganda tanpa die
Variabel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kecepatan ulir (screw) dan
kecepatan umpan (feeding) dari ekstruder ulir ganda tanpa die. Ekstruder ulir ganda
memiliki tiga sumber panas yang masing-masing dapat diatur suhunya, yaitu pada bagian
awal, tengah, dan akhir dari laras ekstruder (Lampiran 3c). Suhu ekstruder yang
digunakan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ubaidillah (2010) dimana suhu bagian awal 130°C, bagian tengah 180°C, dan bagian akhir 230°C. Kombinasi perlakuan dengan variabel kecepatan ulir (X1) dan kecepatan umpan (X2) serta kenaikan kadar asam lemak bebas sebagai respon (Y) diperoleh melalui metode
respon permukaan (Response Surface Methodology) dengan bantuan program JMP.
Kombinasi parameter stabilisasi bekatul dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kombinasi parameter stabilisasi bekatul
No
Kode kombinasi Kombinasi parameter
X1 X2 X1(screw) X2(feed)
1 -1 -1 12 10
2 -1 1 12 30
3 1 -1 22 10
4 1 1 22 30
5 -1.41421 0 16.97 20
6 1.41421 0 31.11 20
7 0 -1.41421 17 14.14 8 0 1.41421 17 42.43
9 0 0 17 20
10 0 0 17 20
11 0 0 17 20
12 0 0 17 20
13 0 0 17 20
Bekatul yang digunakan dalam stabilisasi ini adalah bekatul segar pasca
penggilingan. Gabah varietas tertentu digiling dengan rice huller (Lampiran 3b)
sebanyak dua kali agar semua sekam terlepas dan diperoleh beras pecah kulit. Beras
pecah kulit tersebut kemudian disosoh dengan menggunakan polisher sehingga diperoleh
beras sosoh yang berwarna putih dan bekatul.
Bekatul yang diperoleh diaduk dengan dry mixer agar homogen dan dimasukkan ke
dalam hopper ekstruder ulir ganda. Ektruder tersebut sebelumnya telah diatur suhu nya
dan dipanaskan hingga mencapai suhu pengaturan tersebut. Ekstruder kemudian dijalankan dan diatur kecepatan ulir serta kecepatan umpannya sesuai dengan perlakuan yang sedang dilakukan. Bekatul yang keluar dari ekstruder diletakkan pada wadah kering dan diayak dengan ukuran 40 mesh. Analisis kadar asam lemak bebas bekatul awal
(27)
14
dilakukan pada bekatul sebelum ekstrusi dan bekatul dengan perlakuan ekstrusi yang lolos ayakan.
Bekatul hasil stabilisasi ditimbang masing-masing 20 gram, dimasukkan ke dalam plastik HDPE dan disimpan dalam inkubator suhu 37°C selama 15 hari. Setelah penyimpanan 15 hari dilakukan analisis kadar asam lemak bebas bekatul, sehingga akan diperoleh kenaikan kadar asam lemak bebas (Y) selama penyimpanan. Nilai Y yang diperoleh tersebut diolah dengan metode RSM melalui program JMP. Kondisi maksimum diperoleh dari perlakuan yang memberikan nilai Y yaitu berupa kenaikan kadar asam lemak bebas yang paling rendah.
3.3.4 Verifikasi kondisi stabilisasi bekatul
Verifikasi dilakukan pada kombinasi perlakuan paling maksimum yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Tahapan percobaan yang dilakukan dalam verifikasi sama dengan metode yang dilakukan ketika dilakukannya penentuan kondisi maksimum. Hasil yang diperoleh berupa kenaikan kadar asam lemak bebas bekatul, dan dibandingkan dengan hasil yang diduga oleh persamaan model dari RSM untuk masing-masing varietas.
3.3.5 Metode analisis
3.3.5.1 Kadar air bekatul (AOAC, 1999)
Penetapan kadar air bekatul dilakukan dengan metode oven. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan berisi sampel tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel dipindahkan ke desikator, didinginkan selama 15 menit dan kemudian ditimbang bobot akhirnya. Pengeringan dan penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan bobot yaitu selisih bobot awal dan bobot akhir.
Kadar air (%) = % (3.1)
3.3.5.2 Kadar lemak kasar bekatul metode soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, dan ditimbang bobotnya. Sampel bekatul sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam kertas saring, ekstraksi dilakukan dengan alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak bersama dengan pelarut heksana. Ekstraksi lemak dilakukan selama 6 jam. Selanjutnya heksana disuling dan labu yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven 105°C hingga semua pelarut menguap. Labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot konstan.
(28)
15
3.3.5.3 Analisis kadar asam lemak bebas (ALB) (AOAC 940.28 dan
Hoffpauir, 1948 yang dimodifikasi)
Pengukuran kadar ALB dan bilangan asam dilakukan pada bekatul yang belum distabilisasi dan pada bekatul hasil stabilisasi. Bekatul sebanyak 10 gram ditimbang ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 150 ml heksana panas sebagai pelarut dan
didiamkan semalam agar minyak keluar dari bahan (Lampiran 3d). Heksana kemudian
dipisahkan dari minyak bekatul menggunakan Soxhlet melalui penyulingan. Sementara itu ditimbang bobot kosong Erlenmeyer, sebanyak 1 ml ekstrak dimasukkan ke dalam Erlenmeyer tersebut. Ekstrak yang masih tercampur dengan heksana tersebut dihembus
dengan gas N2 selama 30 detik agar heksana keluar seluruhnya dan diperoleh minyak
bekatul. Bobot Erlenmeyer berisi minyak kemudian ditimbang.
Minyak bekatul tersebut ditambahkan 30 ml alkohol 95% netral dan 1 ml indikator
fenolftalein. Campuran tersebut dipanaskan pada hotplate yang dilengkapi dengan
magnetic stirrer, kemudian dititrasi dengan NaOH 0.03 N terstandarisasi hingga
diperoleh warna pink tetap selama 10 detik (Lampiran 3e). Dihitung volume titran
yang digunakan. NaOH yang digunakan adalah NaOH pro analisis yang telah distandarisasi dengan KHP (asam potassium phthalate). Analisis ALB untuk masing-masing sampel dilakukan sebanyak 2 ulangan dan duplo.
% ALB = H H (3.3)
Keterangan :
VNaOH = volume titran (NaOH)
NNaOH = normalitas NaOH
M = berat molekul oleat (sesuai jenis lemak dominan sampel)
W = berat contoh minyak (gram)
3.3.5.4 Analisis komposisi asam lemak bekatul (AOAC 991.39 yang
dimodifikasi)
Komposisi asam lemak bekatul dilakukan dengan menggunakan metode GC (Gas
Chromatography). Analisis dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap derivatisasi (transmetilasi) dan tahap analisis dengan GC. Tahap pertama berupa transmetilasi asam
lemak dari sampel agar dihasilkan senyawa volatil metil ester asam lemak (Fatty Acid
Methyl Esther / FAME). Sebanyak 100 mg sampel minyak dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml internal standar (asam lemak margarat/ C17:0) dan 1.5
ml NaOH metanolik 0.5N. Tabung diisi dengan gas N2, ditutup dan divorteks.
Kemudian dipanaskan pada suhu 80-100°C selama 5 menit dan didinginkan.
Ditambahkan 2 ml BF3 (14% b/v) dan gas N2, kemudian dipanaskan kembali selama 30
menit pada suhu 80-100°C. Selanjutnya ditambahkan 1 ml heksana dan vortex, ditambahkan juga 3 ml larutan NaCl jenuh dan kocok. Heksana dipisahkan dan
ditambahkan Na2SO3 anhidrous. Contoh siap diinjeksikan ke dalam GC.
Sebelum dilakukan penyuntikan, gas kromatografi di kondisikan terlebih dahulu.
(29)
16
dengan tekanan gas helium 1 kg/cm2. Detektor dinyalakan dengan tekanan udara dan
tekanan hidrogen masing-masing 0.5 kg/cm2. Suhu diprogram pada 120oC selama 6
menit kemudian dinaikkan secara gradient linier dengan kecepatan kenaikan suhu
3oC/menit sehingga suhu mencapai 230oC dan ditahan selama 20 menit. Contoh
disuntikkan sebanyak 1 μl. Pengkondisian selesai saat base line yang terbentuk lurus,
tanpa terbentuk peak-peak tertentu. Selanjutnya disuntikkan standar eksternal FAME Mix C8-C22 dan contoh yang akan dianalisa.
(30)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 POLA PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS BEKATUL
PASCA PENGGILINGAN
Kerusakan hidrolitik pada bekatul mulai terjadi ketika proses penyosohan beras berlangsung, dimana terjadi kontak langsung antara minyak bekatul yang terdapat pada lapisan aleuron dan lembaga dengan enzim lipase yang secara endogenus terdapat di dalam lapisan testa atau selubung biji (Champagne, 2008). Lipase dengan segera menghidrolisis ikatan ester pada
trigliserida yang menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas (Free Fatty Acid) dan gliserol
(Ramezanzadeh et al.,1999). Proses hidrolisis tersebut akan terus berlangsung dan menjadikan
bekatul tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia maupun sebagai bahan baku produksi minyak bekatul. Asam lemak bebas (ALB) akan meningkatkan keasaman, menghasilkan karakteristik fungsional dan organoleptik yang tidak dapat diterima (Barnes dan Gilliard, 1991). Secara umum, kadar ALB bekatul maksimum 10%, jika lebih dari itu, bekatul tidak layak untuk
konsumsi manusia (Tao et al., 1993).
Peningkatan kadar asam lemak bebas diamati pada empat varietas yang berbeda, yaitu IR 64, ciherang, pandan wangi dan sintanur. Pola peningkatan kadar asam lemak bebas pasca
penggilingan dari keempat varietas padi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pola peningkatan kadar ALB empat varietas padi pasca penggilingan
Kecepatan pembentukan asam lemak bebas dari keempat varietas tersebut berbeda, varietas IR 64 mencapai kadar ALB 10% setelah 20 jam penyimpanan pada suhu ruang, ciherang 16 jam, pandan wangi 12 jam, dan sintanur 10 jam. Penyimpanan selama 24 jam menunjukkan kadar ALB terendah pada varietas IR 64 sebesar 11.46% dan kadar ALB tertinggi sebesar 19.03% pada
varietas sintanur (Lampiran 1). Menurut Orthoefer dan Eastman (2004), kandungan asam lemak
bebas akan meningkat sebesar 5-10% per hari dan dapat mencapai 70% dalam sebulan. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa terdapat perbedaan kecepatan pembentukan ALB
0 5 10 15 20
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
AL
B (%
)
Waktu (jam)
Pola peningkatan ALB
(31)
18
pada varietas padi yang berbeda, hasil ini selaras dengan penelitian Tsuzuki (1994) dan Goffman (2003) yang menyatakan perbedaan varietas menyebabkan kerusakan hidrolitik dan aktivitas lipase yang berbeda. Varietas yang memiliki aktivitas lipase tinggi memiliki tingkat kerusakan minyak yang lebih tinggi, namun aktivitas lipase tidak dipengaruhi oleh kadar lemak yang terdapat pada bekatul. Tingkat kerusakan hidrolitik yang lebih rendah dapat pula dihubungkan dengan efek penghambatan oleh kandungan tannin pada bekatul terhadap aktivitas lipase (Goffman, 2003).
Bekatul yang berasal dari padi varietas aromatik dalam penelitian ini pandan wangi dan sintanur memiliki kecepatan kerusakan hidrolitik yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bekatul dari padi varietas non-aromatik, yaitu IR 64 dan ciherang. Penyebab dari perbedaan ini belum diketahui secara pasti, namun diduga karena perbedaan aktivitas lipase terhadap komponen asam lemak tertentu yang dimiliki bekatul dari varietas aromatik. Prabhu (1999) menyatakan lipase dari bekatul merupakan enzim regioselektif yang memotong rantai lemak pada molekul tertentu dan memiliki kecenderungan terhadap substrat dengan berat
molekul rendah. Berdasarkan hasil pada Tabel 6, pandan wangi dan sintanur cenderung
memiliki asam lemak dengan berat molekul rendah yang lebih tinggi daripada IR 64 dan ciherang. Namun belum dapat menunjukkan secara jelas hubungan antara kadar asam lemak dengan berat molekul rendah dan pola pembentukan ALB, diduga terdapat faktor lain yang mempengaruhi pembentukan ALB. Menurut Fox (1991), laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu reaksi, kadar air, jenis substrat, konsentrasi substrat dan pH.
Lemak merupakan salah satu komponen yang paling penting pada bekatul. Kadar lemak bekatul mulai dari yang tertinggi hingga terendah yaitu pandan wangi, sintanur, IR 64, dan ciherang. Kadar lemak tersebut sesuai dengan penelitian Luh (1991) yang menyatakan kadar lemak bekatul sekitar 15-19.7% pada kadar air 14%. Menurut hasil penelitian Goffman (2003), kadar lemak tidak secara signifikan berpengaruh terhadap kerusakan hidrolitik. Hasil yang diperoleh turut mendukung pernyataan Goffman tersebut dimana kadar lemak memiliki hubungan yang lemah dengan kadar asam lemak bebas bekatul. Hal ini diduga terjadi karena enzim lipase hanya menghidrolisis substrat (lipid) yang berbentuk misel, agregat kecil atau partikel emulsi (Macrae, 1983) sehingga jika bentuk lipid tidak sesuai, tidak terjadi proses hidrolisis lipid walaupun kadar lemaknya tinggi.
Kadar air bekatul dari keempat varietas berkisar antara 12.36-13.68% (Tabel 5), dengan
kadar air tertinggi pada IR 64 dan terendah pada pandan wangi. Kadar air bekatul yang masih
cukup tinggi menyebabkan kerusakan hidrolitik mudah terjadi. Menurut Randall et al. (1985),
pengeringan kadar air bekatul menjadi 2-3% dapat mencegah terjadinya aktivitas enzim lipase, namun jika kadar airnya kembali meningkat hingga ekuilibrium dengan atmosfer pada 10-13%, seringkali aktivitas lipase kembali aktif. Pemanasan dengan adanya kandungan air pada bahan lebih efektif dalam mendenaturasi enzim sehingga tidak mudah aktif kembali.
Tabel 5. Kadar air dan kadar lemak bekatul dari empat varietas
Varietas Kadar air (%b/b) Kadar lemak (%b/b)
IR 64 13.6827 15.4227
Ciherang 13.4550 15.1872
Pandan wangi 12.3572 18.0439
(32)
19
Berdasarkan data pada Gambar 5 dan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa kadar air dan
kadar asam lemak bebas tidak menunjukkan suatu hubungan yang kuat. Diduga kadar air pada bekatul melebihi kadar air minimum yang dibutuhkan oleh enzim lipase dalam melakukan proses hidrolisis. Fox (1991) menyatakan kadar air minimum yang diperlukan untuk reaksi hidrolisis lipid secara enzimatis sebesar 6%.
Michaelis-Menten mendefinisikan suatu tetapan yang menyatakan hubungan diantara
konsentrasi substrat dengan kecepatan reaksi enzimatik yang dinyatakan dengan nilai KM
(Lehninger, 1982). Nilai KM didefinisikan sebagai tetapan enzim bagi substrat tertentu. Reaksi
dasar dari pembentukan dan penguraian kompleks enzim- substrat, yaitu
k1 k2
E + S ES E + P
k-1
Reaksi tersebut kemudian diturunkan menjadi sebuah persamaan dimana kecepatan
pembentukan ES = k1 ([E] – [ES]) [S] dan kecepatan penguraian ES = k-1 [ES] + k2 [ES]
Pada keadaan seimbang maka diperoleh persamaan : Kecepatan pembentukan = kecepatan penguraian
k1 ([E] – [ES]) [S] = k-1 [ES] + k2 [ES]
k1 [E][S] – k1[ES][S] = (k-1 + k2) [ES]
k1 [E][S] = (k1[S] + k-1 + k2) [ES]
[ES] = , jika Vo = k2 [ES]
Vo =
/
jika Vmaks sebagai k2 [E] dan KM sebagai (k2+k-1)/k1 maka akan diperoleh persamaan
Michaelis-Menten, persamaan kecepatan bagi suatu reaksi enzimatik suatu substrat sebagai berikut :
(4.1)
Nilai KM dalam persamaan tersebut bersifat khas bagi enzim tertentu, dengan substrat spesifik
pada kondisi pH dan suhu tertentu. Nilai KM yang semakin besar, maka semakin rendah
kecepatan reaksi enzim (Vo) tersebut. Nilai KM yang tinggi berarti konsentrasi substrat yang
diperlukan untuk memperoleh setengah kecepatan maksimum katalisisnya relatif tinggi. Bekatul
dari varietas yang berbeda dimungkinkan memiliki nilai KM yang berbeda-beda, sehingga
menentukan kecepatan pembentukan asam lemak bebas.
4.2 ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK BEKATUL
Komposisi asam lemak bekatul dianalisis menggunakan alat gas kromatografi (GC-MS) di
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang (Lampiran 5a, 5b, 5c, 5d). Secara
umum, kandungan asam lemak yang dominan pada bekatul adalah asam palmitat (C16:0), asam oleat (C18:1), dan asam linoleat (C 18:2).
Tabel 6 memperlihatkan komposisi asam lemak bekatul dari keempat varietas. Pada bekatul varietas IR 64 dan ciherang kandungan asam oleat (C18:1) paling dominan, sedangkan pada varietas pandan wangi dan sintanur kandungan tertinggi adalah asam linolenat (C18:2). Selain itu pada bekatul dari pandan wangi dan sintanur yang termasuk varietas aromatik memiliki asam lemak C20:1, yang tidak dimiliki oleh bekatul dari IR 64 dan ciherang. Belum diketahui secara pasti penyebab dari perbedaan tersebut.
(33)
20
Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kandungan asam palmitat dari varietas IR 64 dan ciherang berbeda nyata dengan pandan wangi, sedangkan sintanur tidak berbeda nyata dengan IR 64 dan ciherang maupun pandanwangi pada taraf 0.05 (Lampiran 6). Asam linoleat pandanwangi dan sintanur berbeda nyata dengan IR 64 maupun ciherang, sedangkan kandungan asam linolenat tidak berbeda nyata pada keempat varietas yang diujikan. Berdasarkan hasil yang diperoleh bekatul memiliki kandungan asam lemak yang berbeda pada varietas yang berbeda. Menurut Resurrecction dan Juliano (1975), varietas padi mempengaruhi komposisi asam lemak bekatul.
Tabel 6. Komposisi asam lemak bekatul pada empat varietas
varietas komposisi asam lemak (% dari total)
C14:0 C16:0 C16:1 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 C20:0 C20:1
IR 64 0.70a 21.68a 0.20a 2.18b 40.49c 32.80 1.31 0.64 -
Ciherang 1.16b 22.36a 0.22ab 1.95a 38.01b 34.29 1.32 0.68 -
Pandanwangi 1.06b 28.35b 0.29b 1.84a 32.29a 33.97 1.38 0.50 0.33a
Sintanur 0.90ab 26.49ab 0.25ab 1.85a 33.12a 34.98 1.47 0.59 0.35a
Keterangan : Nilai a, b, c pada taraf 0.05
Data ini memberikan konfirmasi bahwa bekatul kaya akan asam lemak tidak jenuh, kurang lebih 70% dari total lemak yang terkandung pada bekatul. Kandungan asam lemak tidak jenuh tertinggi terdapat pada varietas IR 64 yaitu sebesar 74.80%, dan yang paling rendah adalah pandanwangi sebesar 68.26%. Kandungan asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat dapat memberikan manfaat kesehatan seperti menurunkan kolesterol (Grundy, 1987) sehingga bekatul dan minyak bekatul sangat potensial untuk dikonsumsi sebagai sumber asam lemak tidak jenuh. Minyak bekatul dengan kadar asam lemak tidak jenuh yang tinggi sebaiknya tidak digunakan sebagai minyak goreng, tetapi sebagai minyak makan seperti halnya minyak kedelai yang memiliki kandungan oleat dan linoleat tinggi. Pemanasan yang terjadi selama proses menggoreng akan merusak asam lemak tidak jenuh sehingga tidak lagi mampu memberikan efek kesehatan yang diharapkan ketika dikonsumsi.
Kandungan asam lemak bekatul yang kaya akan asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan kecepatan oksidasi bekatul yang menyebabkan kerusakan. Selain itu PUFA yang berbeda juga akan menghasilkan senyawa volatil yang berbeda saat terjadi oksidasi. Umumnya
asam lemak yang memiliki struktur n-3 seperti asam linolenat akan menghasilkan off flavor yang
lebih lemah dibanding zat volatil yang dihasilkan oleh asam lemak n-6 seperti asam linoleat.
Tabel 7 menyatakan komposisi asam lemak pada minyak bekatul berbagai varietas lain. Berdasarkan tabel tersebut secara umum minyak bekatul kaya akan asam palmitat (C16:0), asam oleat (C18:1), dan asam linoleat (C18:2). Walaupun demikian tetap terdapat perbedaan komposisi pada setiap varietas. Gilirang dan Inpari 7 memiliki kandungan asam linoleat yang lebih tinggi daripada asam oleat seperti pandanwangi dan sintanur, sedangkan inpari 8 dan varietas U.S. sama seperti IR 64 dan ciherang yang lebih tinggi pada kandungan asam oleat.
Komposisi asam lemak bekatul yang berbeda dari empat varietas padi yang diamati serta empat varietas lainnya diduga disebabkan oleh perbedaan genetika pada setiap varietas dan perbedaan kondisi tanam. Taira (1989) membandingkan komposisi asam lemak bekatul varietas indica dan varietas japonica menyatakan bahwa varietas indica memiliki proporsi yang lebih
(34)
21
tinggi dibandingkan varietas japonica pada asam lemak palmitat, stearat, linolenat, dan arakidat sedangkan lebih rendah pada kadar asam oleat, linoleat, dan eicosanoat.
Tabel 7. Komposisi asam lemak dari minyak bekatul berbagai varietas
Jenis asam lemak
Komposisisi asam lemak (%)
Giliranga Inpari 7a Inpari 8a Varietas U.S.b
C 14:0 0.66 0.75 0.89 0.20
C 16:0 24.13 21.86 22.82 15.00
C 16:1 0.26 0.19 0.25 -
C 18:0 1.99 2.13 2.10 1.90
C 18:1 32.24 35.23 41.54 42.50
C 18:2 37.90 36.79 29.99 39.10
C 18:3 1.40 1.36 1.25 1.10
C 20:0 0.71 0.81 0.42 0.50
C 20:1 0.31 0.36 0.16 -
C 22:0 - - - 0.20
a
(Ubaidillah, 2010)
b
(McCaskill dan Zhang, 1999)
4.3 KONDISI MAKSIMUM STABILISASI BEKATUL DENGAN TEKNIK
EKSTRUSI ULIR GANDA TANPA DIE
Stabilisasi bekatul pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ekstruder ulir ganda
tanpa die merk Berto. Pada penelitian ini, parameter yang diamati adalah kecepatan ulir dan
kecepatan umpan.
Kombinasi dari kedua parameter tersebut diperoleh dari program JMP sehingga diperoleh 13 kombinasi perlakuan. Pada parameter X1 (kecepatan ulir), nilai -1 adalah 12 hz, nilai 0 adalah 17 hz, dan nilai +1 adalah 22 hz. Nilai -1 sebesar 12 hz ditentukan berdasarkan batas minimum dari ekstruder yang digunakan untuk berfungsi dengan baik. Nilai 0 dan +1 ditentukan dengan jarak sebesar 5 hz dari nilai -1. Pada parameter X2 (kecepatan umpan), nilai -1 adalah 10 hz, nilai 0 adalah 20 hz dan nilai +1 adalah 30 hz. Nilai -1 sebesar 10 hz juga merupakan batas minimum dari kecepatan umpan ekstruder agar dapat berfungsi dengan baik. Nilai 0 dan +1 ditentukan dengan jarak 10 hz, hal ini ditujukan agar perbedaan kecepatan umpan cukup signifikan.
Bekatul yang digunakan dalam proses stabilisasi adalah bekatul segar yang baru digiling.
Penggilingan dilakukan dengan rice huller sebanyak dua kali hingga sekam terlepas, kemudian
beras pecah kulit disosoh dengan rice polisher. Pada tahap penyosohan, terjadi gesekan pada
bulir beras sehingga diperoleh bekatul. Gesekan-gesekan yang terjadi menyebabkan peningkatan suhu dari beras sosoh dan bekatul yang dihasilkan. Pada tahap ini terjadi kontak langsung antara minyak bekatul dengan enzim lipase. Kondisi suhu yang meningkat tersebut turut mendorong aktivitas lipase dalam menghidrolisis lemak. Tahap penggilingan dan penyosohan beras harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat agar kerusakan bekatul minimum.
(35)
22
Bekatul yang telah dihomogenkan dengan dry mixer, kemudian dimasukkan ke dalam
ekstruder tanpa die. Stabilisasi dilakukan pada berbagai kombinasi kecepatan umpan dan ulir
sehinggga diperoleh 13 sampel bekatul terstabilisasi. Bekatul terstabilisasi tersebut diayak dengan ayakan 40 mesh agar diperoleh ukuran partikel bekatul yang sama serta memisahkan bekatul dari dedak kasar dan sekam. Stabilisasi bekatul pada penelitian ini tidak dilakukan dengan penambahan air, karena kadar air bekatul awal yang sudah cukup tinggi yaitu 12-13%.
Analisis asam lemak bebas awal dilakukan pada 13 sampel bekatul terstabilisasi dari masing-masing varietas dan sampel bekatul tanpa stabilisasi untuk mengamati pengaruh dari stabilisasi. Analisis asam lemak bebas selanjutnya dilakukan setelah penyimpanan bekatul selama 15 hari dalam inkubator suhu 37°C. Suhu ini dipilih karena merupakan suhu optimum
dari lipase bekatul menurut Luh et al.(1991).
Kenaikan asam lemak bebas dari bekatul setelah 15 hari merupakan nilai Y yang digunakan
dalam penentuan kondisi maksimum dengan metode RSM. Tabel 8 menunjukkan persamaan
dan nilai R2 dari model respon permukaan pada keempat varietas.
Tabel 8. Persamaan model dari keempat varietas
Varietas Persamaan model R2
IR 64 Y= 96.587 - 1.157 X1 - 0.437 X2 - 0.064 X12 + 0.271 X2X1 + 0.353 X22 0.58
Ciherang Y= 87.496 – 3.445 X1– 0.923 X2 + 0.176 X1
2
+ 0.849 X2X1 + 1.501 X2 2
0.68 Pandan
wangi
Y= 75.645 – 4.240 X1 – 2.576 X2 + 1.488 X12+ 2.606 X2X1 + 2.640 X22 0.69
Sintanur Y= 73.676 – 2.894 X1 – 1.381 X2 + 1.075 X12+ 0.920 X2X1 + 0.765 X22 0.48
Model respon permukaan pada varietas IR 64 ditunjukkan pada Gambar 6. Pada varietas
IR 64 nilai R2 sebesar 0.58, artinya model hanya menggambarkan 58% dari total perlakuan pada
taraf 0.05, sedangkan 42% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel yang digunakan. Nilai P dari model tersebut sebesar 0.1919 lebih besar dari taraf 0.05, artinya model yang
diperoleh pada IR 64 belum tepat (Lampiran 4a).
-4 -2 0 2 4 6 8
-1.0 -0.5
0.0 0.5
1.0
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0
%
K
e
n
a
ik
a
n
X1
X2
IR 64
-4 -2 0 2 4 6 8
(36)
23
Nilai R2 untuk varietas ciherang sebesar 0.68, artinya model menggambarkan 68% dari total
perlakuan pada taraf 0.05. Lampiran 2a menunjukkan model respon varietas ciherang. Nilai P
dari model adalah 0.011 < taraf 0.05, sehingga model cocok untuk menggambarkan kondisi
perlakuan (Lampiran 4b).
Lampiran 2b menunjukkan model respon permukaan varietas pandanwangi dengan nilai R2 sebesar 0.69, artinya model menggambarkan 69% dari total perlakuan. Nilai P sebesar 0.0875 >
nilai F 0.05, sehingga model yang diperoleh belum tepat (Lampiran 4c).
Nilai R2 pada model respon permukaan varietas sintanur (Lampiran 2c) sebesar 0.48,
artinya model tersebut hanya menggambarkan 48% dari total perlakuan. Nilai P sebesar 0.0043
< nilai F 0.05 yang berarti model yang dihasilkan cukup tepat (Lampiran 4d).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari setiap varietas, maka kombinasi X1 dan X2 yang
menghasilkan kenaikan asam lemak bebas paling rendah berada pada nilai 12 hz dan 10 hz. Walaupun demikian hasil analisis statistika terhadap faktor kecepatan ulir dan kecepatan umpan menunjukkan bahwa faktor kecepatan ulir tidak secara signifikan mempengaruhi stabilisasi
bekatul pada taraf 5% (nilai P X2 lebih besar dari 0.05). Pengaruh faktor kecepatan umpan yang
tidak signifikan menunjukkan bahwa dalam proses stabilisasi bekatul yang dilakukan hanya kecepatan ulir ekstruder yang memiliki pengaruh terhadap nilai Y.
Kecepatan ulir yang lebih tinggi akan menghasilkan panas lebih tinggi, namun akan
menurunkan resident time bekatul di dalam laras ekstruder jika kecepatan umpan konstan
sehingga waktu pemanasan bekatul menurun. Kecepatan umpan yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penumpukan bahan di dalam laras, sehingga pemanasan kurang merata.
Pada umumnya resident time pada ekstruder adalah 30 detik. Waktu pemanasan yang kurang
dapat menyebabkan inaktivasi lipase kurang sempurna dan reversibel.
Kecepatan ulir (12 hz) dan kecepatan umpan (10 hz) yang digunakan merupakan batas minimum dari ekstruder agar tidak mengalami kerusakan, oleh karena itu untuk meningkatkan waktu pemanasan bekatul dapat dilakukan proses ekstrusi bekatul lebih dari satu kali. Peningkatan suhu ekstrusi tidak disarankan karena suhu yang digunakan sudah tinggi, jika ditingkatkan berpotensi merusak komponen nutrisi bekatul. Selain itu suhu yang terlalu tinggi
juga dapat menyebabkan terjadinya case hardening, sehingga hanya bagian luar bekatul yang
mengalami pemanasan sedangkan bagian dalamnya kurang memperoleh panas.
Bekatul hasil stabilisasi yang disimpan selama 15 hari pada suhu 37°C menunjukkan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas, walaupun demikian jika dibandingkan dengan bekatul tanpa stabilisasi yang disimpan dalam kondisi yang sama, terdapat penurunan yang signifikan
pada bekatul terstabilisasi (Tabel 9). Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan stabilisasi
dengan teknik ekstrusi ulir ganda dapat menghambat kerusakan hidrolitik pada bekatul.
Tabel 9. Kenaikan kadar ALB bekatul pada kondisi tanpa dan dengan stabilisasi
Varietas kenaikan kadar ALB (%)
tanpa stabilisasi stabilisasi1
IR 64 36.73 0.43
ciherang 51.48 1.42
pandanwangi 53.94 4.73
sintanur 54.28 13.55
1
(37)
24
4.4 VERIFIKASI KONDISI STABILISASI BEKATUL
Verifikasi kondisi stabilisasi bekatul dilakukan dengan proses ekstrusi pada suhu bagian
awal ulir 130 oC, suhu bagian tengah 180 oC, suhu bagian akhir 230°C, kecepatan ulir 12 hz dan
kecepatan umpan 10 hz dengan tiga ulangan. Tujuan verifikasi adalah untuk mengetahui model prediksi dengan kenyataan di lapangan. Berdasarkan perhitungan dari model varietas IR 64, diperoleh prediksi kadar kenaikan ALB sebesar 1.259%. Hasil verifikasi pada IR 64 menghasilkan kenaikan kadar ALB sebesar 3,825%. Perbedaan antara nilai prediksi dengan kenyataan sebesar 203.81%, hasil ini jauh diatas batas penerimaan. Murad (2005) menyatakan bahwa perbedaan prediksi dengan verifikasi dibawah 10% model yang didapat dari percobaan yang dilakukan masih bisa diterima.
Hasil prediksi kenaikan kadar ALB dari varietas ciherang sebesar 5.61%, dan kenaikan kadar ALB pada kondisi lapang sebesar 4.09%. Perbedaan antara keduanya sebesar 37.16%, hasilnya masih jauh si atas batas penerimaan. Pada pandan wangi, prediksi berdasarkan persamaan model sebesar 10.80%, sedangkan pada verifikasi di lapang sebesar 8.49%. Terdapat perbedaan 27.21% antara keduanya. Untuk varietas sintanur, hasil prediksi dari model sebesar 19.29% dan hasil verifikasi sebesar 9.00%. Terjadi perbedaan sebesar 114.33%. Perbedaan yang besar antara hasil verifikasi pada lapang dan hasil prediksi menunjukkan bahwa persamaan model yang diperoleh belum dapat menggambarkan kenaikan kadar ALB di lapangan.
Peningkatan kadar asam lemak bebas masih terjadi pada bekatul yang telah distabilisasi, walaupun kenaikan yang terjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan bekatul tanpa stabilisasi dengan kondisi penyimpanan yang sama. Kondisi ini menjelaskan bahwa lipase pada bekatul belum seluruhnya berdenaturasi. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu pemanasan bekatul di dalam laras yang terlalu singkat namun terjadi keterbatasan pada alat ekstruder yang digunakan dan kurang meratanya distribusi panas pada bekatul. Kandungan air yang masih tinggi juga dapat menyebabkan proses hidrolisis lemak oleh lipase tetap berlangsung.
Stabilisasi dengan teknik ekstrusi ulir ganda dapat diaplikasikan pada industri, karena ekstruder dapat disambungkan dengan mesin penggiling gabah sehingga kerusakan awal bekatul sebelum stabilisasi dapat minimum dan kerusakan lebih lanjut dapat dicegah. Bekatul hasil stabilisasi sebaiknya disimpan pada kondisi yang kering, dan suhu penyimpanan rendah agar tidak terjadi kenaikan kadar air yang dapat mendorong hidrolisis, serta suhu penyimpanan rendah menghambat aktivitas lipase yang tidak terdenaturasi dengan sempurna.
(38)
25
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Kecepatan pembentukan asam lemak bebas dari keempat varietas yang digunakan berbeda, varietas IR 64 mencapai kadar ALB 10% setelah 20 jam penyimpanan pada suhu ruang, ciherang 16 jam, pandan wangi 12 jam, dan sintanur 10 jam. Perbedaan varietas padi menghasilkan perbedaan aktivitas lipase bekatul.
Komposisi asam lemak bekatul yang utama adalah asam palmitat, asam oleat,dan asam linoleat. Perbedaan varietas padi dan kondisi tanam pada menyebabkan perbedaan komposisi asam lemak.
Kondisi maksimum untuk inaktivasi lipase pada bekatul dengan teknik ekstrusi ulir ganda
tanpa die berada pada kecepatan ulir 12 hz. Kecepatan umpan tidak secara signifikan
mempengaruhi kenaikan kadar ALB. Proses ekstrusi dapat menghambat proses hidrolisis lipid secara enzimatis dengan baik.
5.2 SARAN
Pada penelitian selanjutnya dapat dipelajari kinetika enzim lipase bekatul dalam pembentukan asam lemak bebas serta mengetahui penyebab perbedaan kecepatan pembetukan asam lemak bebas antara varietas padi aromatik dan non aromatik.
(39)
26
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method Of the Association of
Official Chemist. AOAC Inc., Virginia.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Method Of the Association of
Official Chemist. AOAC Inc., Virginia.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Lahan Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di
Indonesia. BPS, Jakarta.
Aizono Y, Funatsu M, Fujiki Y, dan Watanabe M. 1976. Purification and characterization of rice bran lipase II. Agric Biol Chem 40 : 317 - 324.
Anonima. 2010. Hydrolysis of Triacylglycerols. http://brookscole.com/chemistry_d/templates/
student_resources/0030244269_campbell/hottopics/hibernation.html. [20 Nov 2010].
Anonimb. 2010. Twin Screw Extruder with Conical Non-Parallel Converging Screws.
http://www.freepatentsonline.com/6609819.html. [20 Nov 2010].
Ardiansyah, Shirakawa H, Koseki T, Ohinata K, Hazhizume K, dan Komai M. 2006. Rice bran fraction improve blood pressure, lipid profile, and glucose metabolism in stroke-prone spontaneously hypertensive rats. J Agric Food Chem 54 : 1914 - 1920.
Babcock D. 1987. Rice bran as a source of dietary fiber. Cereal Foods World 32 : 538 - 539.
Barber S dan Benedito de Barber C. 1980. Rice bran : chemistry and technology.In: Luh BS (ed).
Rice Production and Utilization. AVI Publishing Company, Inc., Connecticut. Barnes P dan Galliard T. Rancidity in cereal products. 1991. Lipid Technol 3 : 23 - 28.
Champagne ET, Wood DF, Juliano BO, dan Bechtel DB. 2008. The rice grain and its gross
composition. In: Champagne ET (ed). Rice Chemistry and Technology third edition.
American Association of Cereal Chemistry, Inc., Minnesota, pp 77-100.
Champagne ET. 1994. Brown rice stabilization. In: Marshall WE dan Wadsworth JI (eds). Rice
Science and Technology. Marcel Dekker, Inc., New York.
Charley H. 1982. Food Science. John Willey and Sons, New York.
Damayanthi E, Tjing LT, dan Arbianto L. 2007. Rice Bran. Penebar Swadaya, Jakarta.
Fox PF. 1991. Food Enzymology. Elsevier Applied Science, New York.
Godber JS dan Juliano BO. 2004. Rice lipid. In: Champagne ET (ed). Rice Chemistry and
Technology. American Association of Cereal Chemist, Minnesota.
Goffman FD dan Bergman C. 2003. Hydrolytic degradation of triacylglycerols and changes in fatty acid composition in rice bran during storage. Cereal Chem 80(4) : 459 – 461.
Goffman FD dan Bergman C. 2003. Relationship between hydrolytic rancidity, oil concentation, and esterase activity in rice bran. Cereal Chem 80(6) : 689 – 692.
Gordon MH. 1990. The mechanism of antioxidant action in vitro. In: Hudson BJF (ed). Food
Antioxidant. Elsevier applied science, London.
Grist DH. 1965. Rice 3th ed. Lowe and Boydine Ltd., London.
Grundy SM. 1987. Monounsaturated fatty acids, plasma cholesterol, and coronary heart disease. Am J Clin Nutr 45 : 1168 – 1175.
(1)
44
Post Hoc Testsvarietas
Homogeneous Subsets
.143a 3 .048 8.051 .036
30.576 1 30.576 5160.540 .000
.143 3 .048 8.051 .036
.024 4 .006
30.743 8
.167 7
Source
Corrected Model Intercept varietas Error Total
Corrected Total
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .858 (Adjusted R Squared = .751) a.
kadar
Duncana,b
2 1.8450
2 1.8500
2 1.9500
2 2.1750
.250 1.000
varietas pandanwangi sintanur ciherang IR 64 Sig.
N 1 2
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .006. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.
Alpha = .05. b.
(2)
45
Post Hoc Testsvarietas
Homogeneous Subsets
92.423a 3 30.808 40.710 .002
10354.325 1 10354.325 13682.396 .000
92.423 3 30.808 40.710 .002
3.027 4 .757
10449.775 8
95.450 7
Source
Corrected Model Intercept varietas Error Total
Corrected Total
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .968 (Adjusted R Squared = .945) a.
kadar
Duncana,b
2 32.2900 2 33.1200
2 38.0100
2 40.4850
.394 1.000 1.000
varietas pandanwangi sintanur ciherang IR 64 Sig.
N 1 2 3
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .757. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.
Alpha = .05. b.
(3)
46
Post Hoc Testsvarietas
Homogeneous Subsets
4.947a 3 1.649 1.864 .276
9253.441 1 9253.441 10460.298 .000
4.947 3 1.649 1.864 .276
3.539 4 .885
9261.926 8
8.485 7
Source
Corrected Model Intercept varietas Error Total
Corrected Total
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .583 (Adjusted R Squared = .270) a.
kadar
Duncana,b
2 32.8050 2 33.9650 2 34.2900 2 34.9800 .087 varietas
IR 64 pandanwangi ciherang sintanur Sig.
N 1
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .885. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.
Alpha = .05. b.
(4)
47
Post Hoc Testsvarietas
Homogeneous Subsets
.032a 3 .011 2.097 .243
14.906 1 14.906 2894.330 .000
.032 3 .011 2.097 .243
.021 4 .005
14.959 8
.053 7
Source
Corrected Model Intercept varietas Error Total
Corrected Total
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .611 (Adjusted R Squared = .320) a.
kadar
Duncana,b
2 1.3050
2 1.3150
2 1.3750
2 1.4650
.095 varietas
IR 64 ciherang pandanwangi sintanur Sig.
N 1
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .005. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.
Alpha = .05. b.
(5)
48
Post Hoc Testsvarietas
Homogeneous Subsets
.039a 3 .013 2.836 .170
2.928 1 2.928 647.116 .000
.039 3 .013 2.836 .170
.018 4 .005
2.985 8
.057 7
Source
Corrected Model Intercept varietas Error Total
Corrected Total
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .680 (Adjusted R Squared = .440) a.
kadar
Duncana,b
2 .5000
2 .5900
2 .6450
2 .6850
.055 varietas
pandanwangi sintanur IR 64 ciherang Sig.
N 1
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .005. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.
Alpha = .05. b.
(6)
49
Post Hoc Testsvarietas
Homogeneous Subsets
.228a 3 .076 22.947 .006
.228 1 .228 68.774 .001
.228 3 .076 22.947 .006
.013 4 .003
.469 8
.241 7
Source
Corrected Model Intercept varietas Error Total
Corrected Total
of Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .945 (Adjusted R Squared = .904) a.
kadar
Duncana,b
2 .0000
2 .0000
2 .3300
2 .3450
1.000 .807
varietas IR64 ciherang pandanwangi sintanur Sig.
N 1 2
Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .003. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. a.
Alpha = .05. b.