8
2.4 STABILISASI BEKATUL
Masalah yang sering dihadapi dalam pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan adalah sulitnya mendapatkan bekatul secara kontinu mengingat saat panen padi yang musiman. Teknik
pengawetan yang tepat diperlukan agar bekatul dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami penurunan mutu berupa ketengikan yang signifikan dan diharapkan dapat
mengatasi masalah kontinuitas penyediaan bekatul. Proses hidrolisis enzimatis berlangsung segera setelah proses penggilingan sehingga perlu
segera dilakukan stabilisasi untuk mencegah hidrolisis lebih lanjut. Tujuan stabilisasi adalah membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim lipase yang terdapat pada bekatul untuk
mencegah terurainya komponen minyak menjadi asam lemak bebas Hargrove, 1994. Menurut Barber dan Barber 1980, untuk memproses bekatul menjadi produk yang bersifat
food grade dengan mutu simpan yang baik dan memiliki nilai industri yang tinggi, seluruh
komponen penyebab kerusakan harus dihilangkan atau dihambat. Berkaitan dengan hal tersebut, inaktivasi enzim penyebab kerusakan haruslah lengkap dan tidak dapat balik. Pada saat
bersamaan, komponen-komponen berharga di dalam bekatul harus dipertahankan. Prinsip stabilisasi bekatul dilakukan dengan menginaktivasi lipase yang berperan dalam
reaksi hidrolisis lemak. Menurut Orthoefer 2001, metode yang telah digunakan untuk stabilisasi bekatul diantaranya pemanasan basah atau kering untuk mendenaturasi enzim lipase,
penyimpanan suhu rendah, modifikasi pH, dan penambahan bahan kimia tertentu. Stabilisasi bekatul dengan pemanasan kering pada suhu tinggi seperti penyangraian atau pengeringan
dengan fluid bed dryer membutuhkan waktu lama sekitar 20-30 menit. Pemanasan yang lama dan tidak merata dapat menyebabkan tingginya paparan mikroba, bekatul dan minyak bekatul
yang berwarna gelap serta lipase dimungkinkan kembali aktif. Pemanasan kering dengan mempertahankan kelembaban bahan memberikan hasil yang lebih baik daripada pemanasan
kering pada suhu tinggi. Salah satu proses pengolahan yang mempergunakan panas adalah proses ekstrusi. Ekstrusi
merupakan proses pengolahan yang mempergunakan suhu tinggi dan waktu yang singkat. Stabilisasi bekatul dengan metode ekstrusi telah dilakukan oleh Randall et al. 1985 dengan
menggunakan ekstruder ulir ganda Brady pada suhu 130°C dan dipertahankan selama 3 menit pada suhu 97-99°C sebelum didinginkan. Bekatul yang dihasilkan tidak menunjukkan
peningkatan signifikan pada nilai asam lemak bebas selama 30-60 hari. Stabilisasi bekatul dengan teknik ekstrusi dilaporkan membutuhkan biaya lebih murah, efektif, dan menghasilkan
produk yang berkualitas tinggi. Di Jepang, penelitian proses pengawetan bekatul dengan ekstruder berulir ganda double
screw extruder . Ekstrusi dilakukan dengan alat ekstruder Clextral BC-45. Kadar air bekatul
dinaikkan menjadi 16.6 dan suhu ekstrusi 150°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kestabilan bekatul selama penyimpan 24 hari tidak mengalami perubahan yang berarti
dibandingkan dengan bekatul mentah. Kelemahan penggunaan panas pada proses stabilisasi bekatul, dapat mengakibatkan
peningkatan reaksi oksidasi enzimatis. Penggunaan panas menyebabkan penyebaran minyak, penghancuran antioksidan alami di dalam bekatul, dan meningkatkan luas permukaan minyak
yang kontak dengan oksigen Champagne, 1994. Metode stabilisasi lainnya adalah penyimpanan pada suhu rendah. Suhu rendah dapat
menurunkan kecepatan hidrolisis lemak oleh lipase, namun ketika terjadi peningkatan suhu maka aktivitas lipase akan kembali terjadi. Selain itu pendinginan membutuhkan biaya besar dan
terbatas untuk aplikasi komersial Orthoefer, 2001. Metode modifikasi pH hingga 4.0 dengan
2
menamba Modifika
pangan. metode in
stabilisas 21 Ram
2.5 EKSTR