Optimasi Proses Pembuatan Mi Sorgum Kering dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda

(1)

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN MI SORGUM KERING DENGAN

MENGGUNAKAN EKSTRUDER ULIR GANDA

SKRIPSI

IVAN MUSTAKIM

F 24080051

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

iii

OPTIMIZATION OF DRY SORGHUM NOODLES PROCESSING USING TWIN SCREW EXTRUDER

Ivan Mustakim and Subarna

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone 62 85711481791, e-mail: ivan_itp_45@yahoo.com

ABSTRACT

The Objective of this research was to optimize two processing variable i.e. extruder temperature (80, 85, and 90 oC) and screw speed (10, 15, and 20 Hz). The optimum process was chosen using Response Surface Method (RSM) in Design Expert 7.0 software. Optimization using response surface method (RSM) were based on 7 parameters, i.e., cooking loss, elongation, hardness, cohesiveness, gumminess, chewiness, and springiness. Result of this research showed that the optimum processing condition with desirability of 0.551, was resulted from the combination of the extruder temperature 85 oC and screw speed 10 Hz. The verification showed that the sorghum noodles from this optimum condition had cooking loss of 12.87 %, elongation of 234.84 %, hardness of 2094.82 gf, cohesiveness of 0.597, gumminess of -37.25 gf, chewiness of 33.492 gf, and springiness of 0.899.


(3)

iii

Ivan Mustakim. F24080051. Optimasi Proses Pembuatan Mi Sorgum Kering dengan

Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda. Di bawah bimbingan Ir. Subarna, MSi. 2013.

RINGKASAN

Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah dengan diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan berbasis pangan lokal bertujuan mengurangi ketergantungan sumber pangan pada gandum yang masih tinggi. Salah satu komoditas lokal yang potensial dikembangkan menjadi produk pangan alternatif adalah sorgum yang dapat diolah menjadi produk pangan seperti mi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi proses pembuatan mi sorgum dengan menggunakan ekstruder ulir ganda. Penelitian ini terdiri dari tahapan analisis bahan dan optimasi

proses pembuatan mi sorgum kering. Program design expert 7.0 digunakan untuk mengoptimasi

proses pembuatan mi sorgum kering. Rancangan metode yang digunakan adalah respon permukaan

historical data.Variabel proses dalam rancangan ini terdiri dari suhu dan kecepatan ulir. Kisaran suhu yang digunakan adalah 80-90°C, sedangkan kisaran kecepatan ulir adalah 10-20 Hz. Respon-respon yang dianalisa meliputi KPAP, elongasi, kekerasan, daya kohesif, kelengketan, daya kunyah, dan elastisitas.

Berdasarkan hasil analisis historical data, diperoleh persamaan polinomial reduced quadratic

untuk kehilangan padatan akibat pemasakan dan respon elongasi, 2FI untuk respon kekerasan, serta

mean untuk respon daya kohesif, kelengketan, daya kunyah, dan elastisitas. Proses optimum

pembuatan mi sorgum adalah pada suhu 85°C dan kecepatan 10 Hz. Kondisi proses optimal memiliki

nilai desirability sebesar 0.551. Proses tepilih ini diprediksikan memiliki nilai KPAP sebesar 11.93%,

elongasi sebesar 227.52%, kekerasan sebesar 1829.88 gf, daya kohesif sebesar 0.64, kelengketan sebesar -24.22 gf, daya kunyah sebesar 22.36 gf, dan elastisitas sebesar 0.93.

Berdasarkan verifikasi yang dilakukan dapat diketahui bahwa data hasil verifikasi masih sesuai dengan prediksi yang telah dibuat. Hal ini ditunjukkan oleh respon KPAP, elongasi, dan kelengketan

memenuhi 95% confident interval yang telah diprediksikan oleh program design expert 7.0 .

Sedangkan untuk daya kohesif, kekerasan, daya kunyah, dan elastisitas memenuhi 95% prediction

interval yang telah diprediksikan oleh program design expert 7.0. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa produk dari proses terpilih memilki KPAP 12.87 %, elongasi 234.84 %, kekerasan 2094.82 gf, daya kohesif 0.60, kelengketan -37.25 gf, daya kunyah 33.49 gf, serta elastisitas 0.90.

Hasil analisis proksimat mi sorgum kering menunjukkan bahwa mi sorgum kering hasil proses optimum mempunyai kadar air sebesar 11.74 %, kadar abu 2.23 %, kadar protein 5.11 %, dan kadar

karbohidrat (by difference) 80.75 %. Berdasarkan analisis warna metode Hunter dengan menggunakan

chromameter mi sorgum dari hasil optimasi proses pada suhu 85oC dan kecepatan 10 Hz mempunyai


(4)

iv

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN MI SORGUM KERING DENGAN

MENGGUNAKAN EKSTRUDER ULIR GANDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

IVAN MUSTAKIM

F 24080051

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(5)

v

Judul Skripsi : Optimasi Proses Pembuatan Mi Sorgum Kering dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda

Nama : Ivan Mustakim

NIM : F24080051

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Ir. Subarna, MSi) NIP. 19600629.198803.1.001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526.199303.1.004


(6)

iv

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Optimasi Proses

Pembuatan Mi Sorgum Kering dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013

Yang membuat pernyataan

Ivan Mustakim


(7)

v

© Hak cipta milik Ivan Mustakim, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulius dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi ,mikrofilm, dan sebagainya


(8)

vi

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Februari 1991 dari pasangan Munif Ghulamahdi dan Novi Diani. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2002 di SD Negeri Panaragan 1 Bogor. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Bogor hingga tahun 2005 dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2008. Setelah tamat pendidikan menengah atas, pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor). Selama mengikuti perkuliahan penulis mengikuti kepanitiaan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) antara lain sebagai anggota divisi

Humas dan Sponsorship “PLASMA 2010”, sebagai anggota divisi Logistik dan Transportasi “NSPC

2010”, dan sebagai anggota divisi Logistik dan Transportasi ”Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan

(LCTIP) XVIII 2010”. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “ Optimasi

Proses Pembuatan Mi Sorgum Kering dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda” di bawah


(9)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT dan karunia-Nya sehinga skripsi ini

berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Optimasi Proses Pembuatan Mi Sorgum Kering

dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Ganda dilaksanakan di Laboratorium ITP IPB sejak bulan April hingga Oktober 2012.

Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan doa berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Ir. Subarna, MSi sebagai dosen pembimbing utama (pembimbing akademik) yang

telah membimbing dan memberikan arahan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT dan Bapak Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr sebagai

pembimbing proyek yang telah memberikan saran dan bimbingan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku

dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

4. Kedua orang tua saya (Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Ir. Novi Diani) yang selalu

memberi doa, dukungan, dan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.

5. Adik saya, Arif Dzulfikar yang telah membantu menyemangati saya.

6. Partner penelitian Shaffiyah Irmaharianty yang telah banyak memberikan masukan,

bimbingan, dan dukangan kepada penulis selama ini..

7. Sahabat-sahabat saya; Rendy Maulana, Irfan Adiyatma, Randy Oktan Susilo, Ardi, Sofian

Irianto, Bangkit, Putra, Nurul, Yuliyanti, Qamariyah dkk; atas dukungan morilnya.

8. Dosen-dosen ITP yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

9. Bu Rubiyah, Pak Gatot, Mbak Vera, Pak Wahid, Pak Iyas, Bu Antin, Pak Nurwanto, Pak

Rozak, Pak Sobirin, Pak Junaidi, Pak Taufik, Mas Salim, dan teknisi serta laboran Departemen ITP dan SEAFAST atas segala bantuan, kesediaan berbagi ilmu dengan penulis selama penelitian.

10. Seluruh karyawan Unit Pelayanan Terpadu ITP: Mbak Anie, Bu Novi, dll.

11. Seluruh kepingan puzzle ITP 45 atas semangatnya.

12. Seluruh Staff Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

13. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu pangan.

Bogor, Maret 2013


(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Sorgum ... 3

2.1.1 Botani sorgum ... 3

2.1.2 Struktur biji sorgum ... 3

2.2 Ekstrusi ... 6

2.3 Ekstruder ... 6

2.4 Gelatinisasi ... 8

2.4.1 Konsep dan Mekanisme gelatinisasi ... 8

2.4.2 Suhu Gelatinisasi ... 9

2.5 Mi Non Terigu ... 10

2.6 Reologi Mi ... 11

2.7 Metode Respon Permukaan ... 12

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 13

3.1 Alat dan Bahan ... 13

3.2 Metode Penelitian ... 13

3.2.1 Analisis Bahan ... 13

3.2.2 Optimasi Proses ... 14

3.2.2.1 Rancangan Percobaan ... 14

3.2.2.2 Pembuatan Mi Sorgum Kering ... 16

3.2.3 Analisis Fisik ... 17

3.2.4 Analisis Kimia ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Karakteristik Tepung Sorgum ... 21

4.2 Pembuatan Mi Sorgum ... 23

4.3 Sifat Fisik Mi Sorgum ... 24

4.3.1 Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan ... 24

4.3.2 Elongasi ... 26

4.3.3 Kekerasan ... 27

4.3.4 Daya Kohesif ... 28

4.3.5 Kelengketan ... 29

4.3.6 Daya Kunyah ... 29

4.3.7. Elastisitas ... 30


(11)

v

4.5 Verifikasi Proses Hasil Optimasi ... 32

4.6 Komposisi Kimia dan Warna Mi Sorgum ... 33

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 34

Daftar Pustaka ... 35


(12)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan kandungan gizi berbagai jenis serealia ... 5

Tabel 2. Komposisi kimia biji sorgum ... 6

Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ... 9

Tabel 4. Definisi parameter tekstur ... 12

Tabel 5. Rancangan proses pembuatan mi sorgum ... 14

Tabel 6. Spesifikasi probe dan pengaturan pengukuran tekstur mi ... 17

Tabel 7. Parameter reologi yang dapat ditentukan dari kurva analisis profil tekstur... 18

Tabel 8. Hasil analisis proksimat varietas sorgum numbu ... 21

Tabel 9. Profil gelatinisasi tepung sorgum numbu ... 22

Tabel 10. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi ... 23

Tabel 11. Daya serap air pada tepung jagung dan tepung sorgum ... 24

Tabel 12. Kriteria optimasi proses untuk tiap faktor dan respon ... 31

Tabel 13. Proses optimum terpilih ... 31

Tabel 14. Poin prediksi dari solusi yang terpilih ... 32


(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum ... 4

Gambar 2. Tipe ulir ekstruder ulir ganda ... 8

Gambar 3. Bagian samping ekstruder makanan ... 8

Gambar 4. Analisis profil tekstur ... 11

Gambar 5. Tahapan optimasi proses ... 15

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan mi sorgum kering ... 16

Gambar 7. Grafik hubungan KPAP dengan suhu dan kecepatan ulir ... 25

Gambar 8. Grafik hubungan elongasi dengan suhu dan kecepatan ulir... 26

Gambar 9. Grafik hubungan kekerasan dengan suhu dan kecepatan ulir ... 28

Gambar 10. Grafik hubungan daya kohesif dengan suhu dan kecepatan ulir ... 28

Gambar 11. Grafik hubungan kelengketan dengan suhu dan kecepatan ulir ... 29

Gambar 12. Grafik hubungan daya kunyah dengan suhu dan kecepatan ulir ... 30

Gambar 13. Grafik hubungan elastisitas dengan suhu dan kecepatan ulir ... 30

Gambar 14. Grafik hubungan desirability dengan suhu dan kecepatan ulir ... 32


(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum ... 40

Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgum ... 40

Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum ... 40

Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum ... 40

Lampiran 5. Hasil analisis pati tepung sorgum ... 41

Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum ... 41

Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa ... 41

Lampiran 8. Kurva standar amilosa ... 42

Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa ... 42

Lampiran 10. Kurva RVA tepung sorgum ... 43

Lampiran 11. Daya serap air pada tepung jagung dan tepung sorgum ... 43

Lampiran 12. Rancangan kondisi proses dan nilai respon ... 44

Lampiran 13. Hasil analisis kadar air mi sorgum ... 45

Lampiran 14. Hasil analisis kehilangan padatan akibat pemasakan ... 47

Lampiran 15. Hasil analisis elongasi mi sorgum ... 49

Lampiran 16. Hasil analisis profil tekstur mi sorgum ... 50

Lampiran 17. Grafik elongasi mi sorgum ... 54

Lampiran 18. Grafik TPA mi sorgum ... 55

Lampiran 19. Hasil ANOVA KPAP ... 56

Lampiran 20. Hasil ANOVA elongasi ... 57

Lampiran 21. Hasil ANOVA kekerasan ... 58

Lampiran 22. Hasil ANOVA daya kohesif ... 59

Lampiran 23.Hasil ANOVA kelengketan ... 60

Lampiran 24. Hasil ANOVA daya kunyah ... 61

Lampiran 25. Hasil ANOVA elastisitas ... 62

Lampiran 26. Grafik normal plot of residuals ... 63

Lampiran 27. Hasil verifikasi KPAP mi sorgum ... 66

Lampiran 28. Hasil verifikasi elongasi mi sorgum... 66

Lampiran 29. Hasil verifikasi profil tekstur mi sorgum ... 66

Lampiran 30. Hasil analisis kadar air proses terpilih ... 67

Lampiran 31. Hasil analisis kadar protein proses terpilih ... 67

Lampiran 32. Hasil analisis kadar lemak proses terpilih ... 67

Lampiran 33. Hasil analisis kadar abu proses terpilih ... 68

Lampiran 34. Hasil analisis karbohidrat proses terpilih ... 68

Lampiran 35. Hasil analisis warna proses terpilih ... 68

Lampiran 52. Foto mi sorgum kering ... 69


(15)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketahanan pangan di Indonesia harus dijaga dan diperjuangkan karena hal ini merupakan bagian dari ketahanan nasional yang memiliki peranan yang sangat penting. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah dengan diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan berbasis pangan lokal bertujuan mengurangi ketergantungan sumber pangan pada gandum yang masih tinggi. Salah satu komoditas lokal yang potensial dikembangkan menjadi produk pangan alternatif adalah sorgum.

Sorgum memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat bertahan pada kondisi kering (Suprapto dan Mudjisihono 1987), umur tanam yang pendek (100-110 hari), daya adaptasi terhadap lahan yang tinggi, dan biaya produksi yang rendah (Suarni, 2004). Selain itu, sorgum tahan terhadap hama burung karena mengandung tanin. Sorgum mengandung senyawa-senyawa polifenol yang memilki daya antioksidan sangat besar, lebih besar dari vitamin E dan vitamin C yang selama ini dikenal sebagai antioksidan alami (Awika dan Rooney, 2004). Biji sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri, sedangkan daunnya digunakan untuk pakan ternak.

Mi merupakan jenis makanan yang disukai konsumen Indonesia. Namun konsumsi mi ini dapat menurunkan devisa negara, mengingat mi merupakan produk yang dibuat dari tepung terigu, suatu komoditas impor. Berdasarkan data BPS tahun 2011 impor gandum sebesar 5.486.745 ton dan pada bulan januari hingga oktober tahun 2012 sebesar 5.298.114 ton. Tingginya angka impor gandum menyebabkan pengurangan devisa negara dan ketergantungan terhadap impor gandum yang nantinya dibuat tepung terigu. Oleh sebab itu, perlu adanya pengembangan teknologi mi berbahan baku selain tepung terigu, yaitu dengan memanfaatkan tepung sorgum. Dengan demikian, mi sorgum kering ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk mi berbasis terigu sekaligus meningkatkan ketahanan pangan.

Penelitian tentang mi sorgum telah dilakukan sebelumnya oleh suhendro et al. (2000) dan

Wonojatun (2012). Suhendro et al. (2000) menggunakan tiga sorgum yang berwarna putih yaitu

ATx631*RTx436, ATxARG*RTx436, dan SC283-14 kemudian menggilingnya menjadi tepung dan diproses menjadi mi sorgum 100%. Tepung dan air dicampur dengan cara menambahkan air distilata (90 ml) sedikit demi sedikit ke dalam tepung sorgum (100 gram) yang telah ditambah garam 1%, sambil diaduk dengan spatula karet. Campuran dipanaskan dengan dua metode pemanasan yaitu

hotplate dan microwave oven. Campuran dilewatkan dalam ekstruder pembentuk sebanyak 3 kali. Mi

hasil ekstrusi dikeringkan dengan tiga metode yaitu metode udara kering (23oC, 48 jam), metode satu

tahap (60oC, kelembaban relatif 30%, 3 jam), metode dua tahap (60oC, kelembaban relatif 100%,

selama 2 jam diikuti dengan 60oC, kelembaban relatif 30 %, selama 2 jam). Mi dievaluasi saat kering

dan setelah pemasakan. Metode pemanasan microwave oven menghasilkan mi yang lebih baik

dibandingkan dengan metode hot plate. Pengeringan dengan metode 2 tahap memberikan mi yang

terbaik dengan kehilangan material padatan 10%.

Wonojatun (2012) mengembangkan produk mi sorgum dengan menggunakan ekstruder pasta untuk mendapatkan formulasi produk pasta berbasis 100% sorgum yang disukai konsumen. Formulasi produk terdiri dari komposisi tepung sorgum (sosoh dan non sosoh) dan air dengan perbandingan

60:40; 70:30; dan 80:20 serta pengukusan adonan dengan suhu 80, 90, dan 100 oC. Tepung sorgum


(16)

2

diproses dengan ekstruder pasta sehingga menghasilkan untaian. Formula yang dapat membentuk

untaian adalah formula yang dikukus pada suhu 100oC. Untaian mi kemudian dikukus kembali

menggunakan kondisi proses yang sama dengan pengukusan pertama. Selanjutnya untaian mi sorgum

digoreng dalam deep fat fryer dengan suhu 180oC, dengan lama penggorengan 1 dan 2 menit. Formula

terpilih dari hasil uji organoleptik adalah formula tepung sorgum non-sosoh 60% untuk waktu penggorengan 1 menit dan formula tepung sorgum sosoh 60% untuk waktu penggorengan 2 menit.

Penelitian ini ditujukan untuk optimasi proses pembuatan mi sorgum kering dengan metode ekstrusi menggunakan ekstruder ulir ganda dengan perlakuan suhu dan kecepatan ulir. Dengan dua

ulir yang bekerja, shear akan lebih merata dan lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap partikel bahan akan

diproses dengan lebih konsisten sehingga diperoleh struktur dan tekstur yang lebih homogen. Ekstruder ulir ganda memiliki fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstruder ulir tunggal

(Muchtadi et al. 1987).

1.2 . Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk optimasi proses pembuatan mi sorgum kering dengan menggunakan ekstruder pemasak pencetak ulir ganda.

1.3. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk mi sorgum instan dengan teknologi ekstrusi pemasak-pencetak ulir ganda yang memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen dan dapat diaplikasikan di industri mi secara komersial.


(17)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sorgum

2.1.1. Botani sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili

Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, dan gandum. Sorgum termasuk dalam genus Sorghum,

ordo Cyperales, kelas Liliopsida/Monokotiledon, divisi Magnoliophyta, superdivisi Spermatophyta, subkingdom Tracheobinota, dan kingdom plantae. Sorgum memiliki istilah yang berbeda-beda di tiap

daerah. Sorgum dikenal dengan nama „cantel‟ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, „jagung cantrik‟ di daerah Jawa Barat dan „batara tojeng di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Batang sorgum ada yang banyak mengandung air dengan kadar gula yang cukup banyak, namun ada pula yang berair tetapi tidak manis. Tinggi batang sorgum dapat mencapai lebih dari 2,5 meter (Rismunandar 1989).

Tanaman sorgum banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh pada suhu lingkungan 23°-24°C dengan suhu optimum berkisar antara 23°-30°C dengan kelembaban relatif 20-40%. Sorgum dapat tumbuh di tanah yang berpasir hingga tanah yang berat. Rata-rata kemasaman tanah untuk sorgum adalah pH 5.5-6.5. Tanaman sorgum tahan terhadap kekeringan dan pemupukan berat. Karena kedua sifat ini, produksi sorgum memiliki prospek untuk ditingkatkan (Rismunandar 1989; Suprapto dan Mudjisihono 1987).

Tanaman sorgum dibagi dalam dua kelompok, yaitu sorgum yang berumur pendek (musiman) dan sorgum tahunan. Sorgum musiman terdiri atas empat keluarga, yaitu sorgum makanan ternak (sweet sorghum) yang batangnya mengandung gula sehingga dapat digunakan untuk membuat sirup dengan cara memeras batangnya, kemudian hasil perasannya direbus; sorgum penghasil biji-bijian (grain sorghum), batang dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak; sorgum sapu (broom sorghum), banyak ditanam di Amerika Serikat, dapat dimanfaatkan untuk membuat sapu dan

sikat; dan terakhir adalah sorgum rumput (grass sorghum), dikenal sebagai rumput Sudan di Indonesia

memiliki sifat tahan kering. Sorgum tahunan tidak menghasilkan biji, namun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Rismunandar 1989).

Sebagian besar sorgum digunakan di negara penghasilnya dengan tujuan yang berbeda. Di Amerika utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Oseania banyak digunakan sebagai pakan ternak sementara di negara berkembang, seperti Afrika, banyak dikonsumsi oleh manusia. Sorgum dibuat menjadi sejumlah produk makanan tradisional dan sering dicampur dengan terigu, serealia lain atau singkong menjadi bubur, produk nasi, pancakes, tortilla, kue, biskuit dan roti, mi dan pasta, minuman fermentasi tradisional beralkohol dan non alkohol atau bir (dari sorgum malt), minuman

hasil penyulingan (di china) (Evers et al. 2006).

2.1.2. Struktur Biji Sorgum

Secara umum, biji sorgum dapat dikenali dengan bentuknya yang bulat lonjong atau bulat telur, dan terdiri dari tiga bagian utama, yaitu lapisan luar (8%), lembaga (10%), dan endosperma (82%). Lapisan luar biji terdiri dari gabungan perikarp dan testa. Lapisan paling luar adalah perikarp yang

dikelilingi oleh waxy cuticle. Lembaga mengandung scutellum, embryonic axis, plumule, dan akar


(18)

4

(Ramaswamy dan Riahi 2003). Scutellum merupakan jaringan penyimpanan yang kaya lemak, protein,

enzim, dan mineral. Minyak pada lembaga sorgum kaya asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) dan mirip seperti minyak jagung (FAO 1995). Endosperm merupakan bagian biji

terbesar (81-84%) dan terdiri dari bagian corneous endosperm (lapisan luar) dan lapisan endosperma

dalam (floury endosperm). Corneous endosperm keras dan bening seperti kaca, sedangkan floury

endosperm lebih lembut dan agak keruh. Endosperma peripheral terdiri dari sel berbentuk persegi panjang yang mengandung granula pati dan terselubung oleh matriks protein (FAO 1995; Suprapto dan Mudjisihono 1987).

Ukuran biji sorgum kira-kira adalah 4.0 x 2.5 x 3.5 mm, dan berat bijinya berkisar antara 8 mg sampai 50 mg dengan rata-rata 28 mg. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, biji sorgum digolongkan sebagai biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Kulit bijinya ada yang berwarna putih, merah, atau coklat (Suprapto dan Mudjisihono 1987). Biji sorgum di Pulau Jawa umumnya berukuran sedang dan besar. Biji sorgum yang kulitnya berwarna putih umumnya disebut

kafir dan sorgum yang berwarna merah atau coklat termasuk varietas Feteria (Mudjisihono dan

Damardjati 1985).

Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum (FSD 2003)

Biji sorgum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) dimana seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Epikarp adalah bagian terluar yang tersusun atas dua atau tiga lapisan memanjang dan ada yang mengandung pigmen. Mesokarp merupakan lapisan tengah dan cukup tebal, berbentuk poligonal serta mengandung sedikit granula pati. Endokarp tersusun atas sel menyilang dan sel berbentuk tabung yang akan rusak selama proses penggilingan yang menghilangkan kulit luar (Rooney dan Miller 1982).

Pada biji sorgum diantara kulit biji dan endosperm dibatasi oleh lapisan testa dan aleuron. Testa termasuk bagian dari kulit biji dan aleuron termasuk bagian dari endosperm. Perendaman biji cenderung menyebabkan lembaga menggelembung dengan sempurna dan dapat menekan jaringan kulit biji. Perlakuan perendaman biji sangat dipengaruhi oleh tebal lapisan lembaga serta daya ikat biji dalam keadaan basah. Perlakuan perendaman dengan larutan alkali pekat dapat melarutkan dan merusak jaringan sel tersebut. Oleh sebab itu, untuk memperoleh pemisahan kulit biji sorgum yang


(19)

5

baik biasanya dilakukan dengan proses pembasahan atau perendaman biji sebelum penggilingan. Biji dibasahi hingga mencapai kadar air tertentu, dibiarkan beberapa waktu. Pada umumnya pembasahan menaikkan kadar air sampai 19 % dengan jangka waktu 1-24 jam (Suprapto dan Mudjisihono 1987).

Pati pada biji sorgum sebagian besar terdapat pada bagian endosperm. Berdasarkan kandungan

amilosanya, biji sorgum dapat digolongkan menjadi jenis ketan (waxy sorghum) dan jenis beras (non

waxy sorghum). Kadar amilosa jenis beras rata-rata 25%, sedangkan untuk jenis ketan sebesar 2%. Sorgum jenis beras dapat dimakan sebagai nasi atau campuran dengan nasi beras pada perbandingan tertentu, sedangkan sorgum jenis ketan dapat dimanfaatkan sebagai makanan tradisional seperti tape dan wajik. Ukuran granula pati dari endosperm sorgum hampir sama dengan jagung yaitu sekitar 6-24 µ diameternya dengan rata-rata 15 µ untuk sorgum dan 10 µ untuk jagung. Bentuk dari granula pati

dalam sorgum jenis horny (keras) adalah pilidral dan kompak, sedangkan jenis floury (lunak)

bentuknya bulat dan tersebar (Suprapto dan Mudjisihono 1987).

Protein pada biji sorgum sekitar 10% dan sebagian besar adalah prolamin (kafirin) dan glutelin. Seperti serealia lainnya, sorgum kekurangan lisin, treonin, dan triptofan, tetapi sorgum yang tinggi lisin sudah diproduksi. Lembaga dari sorgum (sekitar 15 persen dari bobot sorgum) mengandung lemak sebagai nilai energi dan juga protein sebagai nilai nutrisi yang lebih tinggi. Fitur unik dari sorgum adalah produksi tannin, polimer polifenol yang berada pada lapisan perikarp dan testa dari kulit biji. Tannin menyediakan perlindungan terhadap serangga dan burung, dan melawan cuaca buruk oleh hujan pada saat panen (Wrigley dan Bekes 2004). Kandungan tannin dalam biji sorgum berkisar antara 0.4-3.6% yang sebagian besar berada di lapisan testa. Biji sorgum yang memiliki kadar tannin tinggi dicirikan dengan warnanya yang coklat gelap atau coklat kemerahan (Suprapto dan Mudjisihono 1987).

Protein pada biji sorgum dapat dikategorikan menjadi empat jenis protein berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin (larut alkohol), dan glutelin (larut asam atau basa). Menurut Suarni (2004), meskipun tepung sorgum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein tepung sorgum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk gluten jika dibandingkan dengan tepung terigu. Sifat tepung sorgum yang tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu memungkinkan tepung sorgum dapat digunakan dalam pembuatan produk yang bebas gluten.Kandungan lemak pada biji sorgum utuh sekitar 3.60% dengan konsentrasi tertinggi pada bagian lembaga. Menurut Suprapto dan Mudjisihono (1987), lemak pada biji sorgum tersebut terdiri dari berbagai jenis asam lemak seperti asam palmitat (11-13%), asam oleat (30-45%), dan asam linolenat (33-49%). Lemak dalam biji sorgum sangat berguna bagi hewan dan manusia, tetapi dapat menyebabkan bau yang tidak enak pada produk makanan. Kandungan lemak ini dapat dihilangkan dengan proses ekstraksi menggunakan pelarut. Kandungan nutrisi sorgum dibandingkan beras, jagung, dan gandum dapat dilihat pada Tabel 1. Komposisi kimia dari biji sorgum dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Perbandingan kandungan gizi berbagai jenis serealia (per 100 g edible portion; kadar air

12%)

Sumber Protein

(g) Lemak (g) Serat kasar (g) Karbohidrat (g) Energi (kkal) Kalsium

(g) Fe (g)

Beras Gandum Jagung Sorgum 7.9 11.6 9.2 10.4 2.7 2 4.6 3.1 1 2 2.8 2 76 71 73 70.7 362 348 358 329 33 30 26 25 1.8 3.5 2.7 5.4 Sumber : FAO (1995)


(20)

6

Tabel 2. Komposisi kimia biji sorgum

Bagian biji Komposisi kimia biji sorgum (%)

Pati Protein Lemak Abu Serat

Biji utuh 73.80 12.3 3.60 1.65 2.20

Endosperm 82.50 12.30 0.63 0.37 1.30

Kulit biji 34.60 6.70 4.90 2.02 8.60

Lembaga 9.8 13.4 18.90 10.36 2.60

Sumber: Suprapto dan Mudjisihono (1987)

2.2. Ekstrusi

Ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana bahan tersebut dipaksa mengalir di bawah

pengaruh satu atau lebih kondisi operasi seperti pencampuran (mixing), pemanasan dan pemotongan

(shear), melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bervariasi. Fungsi pengekstruksi meliputi gelatinisasi/pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi,

pembentukan dan penggelembungan atau pengeringan (puffing/drying). Kombinasi satu atau lebih

fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tak terpisahkan dari proses ekstrusi (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).

Pada proses ekstrusi terdapat dua energi input utama pada sistem. Pertama, terdapat energi yang ditransfer dari rotasi ulir dan kedua energi yang ditransfer dari pemanas melalui dinding barrel. Kondisi dalam ekstruder mengubah bahan bubuk kering menjadi fluida dan oleh karena itu, karakteristik seperti friksi permukaan, kekerasan, dan daya kohesif dari partikel menjadi penting. Sistem ekstrusi mampu memproses bahan berviskositas tinggi yang sulit atau tidak mungkin

menggunakan metode konvensional ( Debraszczyk BJ et al 2006).

Dalam proses ekstrusi adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear(σ), dimana

tekanan shear tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi

hubungan linear antara tekanan shear dan kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terjadi seperti

aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaidah non-newtonian (Harper 1981).

Pemasakan dengan ekstrusi mempunyai banyak keuntungan, antara lain parameter fisik (suhu, tekanan) dapat dirubah-rubah, sehingga dengan mesin yang sama dapat memasak dan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda. Keuntungan lainnya adalah memberi bentuk dan tekstur pada hasil produk, kemampuan produksi kontinyu, pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energi, dan luas pabrik, pasteurisasi produk akhir, dan proses dalam keadaan kering (Harper 1981).

2.3. Ekstruder

Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper 1981). Penentuan jenis ekstruder sangat penting untuk proses-proses ekstrusi. Ekstruder dapat diklasifikasikan berdasarkan metode operasinya, sifat fungsional, dan jumlah ulir. Berdasarkan metode operasinya, ekstruder

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pemasak ekstrusi (extrusion cooking) dan ekstruder non pemasak

(cold extruder). Pada pemasak ekstrusi, bahan pangan dipanaskan oleh uap panas yang berada pada jaket yang menyelimuti laras. Pada beberapa jenis elemen pemanas, induksi elektrik digunakan untuk memanaskan barrel secara langsung. Selain itu, panas juga dihasilkan dari friksi yang disebabkan oleh


(21)

7

pada suhu di bawah 100oC. Ekstruder jenis ini memiliki ulir yang bergerak pada kecepatan lambat di

dalam laras yang permukaannya licin atau halus untuk mengekstrusi material dengan sedikit friksi (Fellows 1990). Berdasarkan sifat fungsionalnya, Harper (1981) mengklasifikasikan ekstruder sebagai berikut:

a. Ekstruder pasta

Pada ekstruder pasta, energi input yang terbuang minimal, karena shear rate yang rendah

ketika bahan pangan melewati permukaan barrel yang halus. Ekstruder jenis ini dapat digunakan untuk adonan pastri.

b. High Pressure Forming Extruder

Ekstruder ini memiliki desain ulir yang memiliki kompresi yang tinggi untuk menghasilkan tekanan yang tinggi pada die. Ekstruder ini dilengkapi lubang ulir atau jaket di sekeliling barrel tempat sirkulasi air untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan.

c. Low shear cooking extruder

Ekstruder ini memilki shear yang sedang, kompresi yang tinggi untuk meningkatkan

pengadukan, dan barel yang beralur untuk mencegah slip pada dinding barel. Panas dapat diaplikasikan pada barel atau screw (ulir) untuk memanaskan produk. Ekstruder ini dapat digunakan pada pangan basah.

d. Collet Extruder

Ekstruder ini digunakan untuk mengekstrusi bahan pangan yang relatif kering dengan

memanaskannya secara cepat pada temperatur yang melebihi 175oC sehingga pati dapat

tergelatinisasi dan sebagian menjadi dekstrin. Bahan pangan yang biasa digunakan untuk ekstruder jenis ini adalah grit jagung.

e. High shear cooking extruder

Ekstruder ini dirancang untuk memproduksi berbagai jenis bahan pangan yang telah dilakukan pemasakan awal, pemanasan awal, dan telah digelatinisasi. Pada aplikasinya, bahan pangan diberi pemanasan awal dengan uap panas atau air panas, kemudian diproses lebih lanjut dengan high shear cooking extruder. Produk yang dihasilkan oleh alat ini meliputi pakan hewan piaraan dan makanan ringan.

Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada barel silinder. Ekstruder

ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi: high shear extruder (untuk produk-produk sereal sarapan

pagi dan makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk-produk semi basah), dan low shear

extruder (untuk pasta dan produk-produk daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah daripada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder berulir tunggal (Fellows 2000).

Ekstruder ulir ganda diperkenalkan ke industri makanan pada tahun 1970 dan digunakan secara luas pada produksi makanan. Ekstruder ulir ganda mempunyai aplikasi yang lebih luas pada industri makanan dikarenakan kegunaan dan kontrol proses yang baik, desain fleksibel memberikan pembersihan yang mudah, perubahan produk yang cepat dan kemampuan untuk menangani formulasi

pada variasi yang luas (Debraszczyk BJ et al. 2006).

Ekstruder ulir ganda dapat dibagi menjadi lima yaitu berputar searah saling berkaitan, berputar searah tidak berkaitan, berputar berlawanan saling berkaitan, berputar berlawanan tidak berkaitan, dan

berbentuk kerucut berkaitan (Harper 1981). Pada sistem konfigurasi non-intermeshing, sumbu kedua

ulir tersebut cukup berjauhan sehingga putaran ulir yang satu tidak saling mempengaruhi putaran ulir


(22)

8

tunggal dengan kapasitas yang lebih besar. Pada sistem intermeshing, kedua sumbu ulir tersebut cukup berdekatan sehingga flight dari ulir yang satu dapat masuk ke dalam channel pada ulir yang

lain, sedemikian rupa sehingga saling terkait. Sistem demikian ini memungkinkan self-cleaning dan

self wipping (flight dari satu ulir menyapu dan membersihkan bahan yang berada dalam channel ulir yang lain). Dengan demikian, maka kapasitas pengangkutan ekstruder ulir ganda meningkat. Kapasitas transport yang baik dapat digunakan membawa bahan yang lengket, yang tentunya sulit ditangani dengan ekstruder ulir tunggal (Hariyadi 1996).

Gambar 2. Tipe ulir ekstruder ulir ganda (Anonim 2010).

Pada sebuah ekstruder biasanya terdapat tiga bagian ulir utama yang dapat diatur suhunya

lewat pemanas eksternal. Bagian pertama adalah bagian masukkan (feed section). Bahan mula-mula

masuk ke dalam ulir lewat bagian ini. Fungsi utama bagian masukkan adalah untuk memastikan bahwa bahan yang masuk cukup sehingga ulir tidak dalam keadaan kosong. Bagian kedua adalah

bagian kompresi (compression zone). Pada bagian ini bahan mulai dipanaskan dan ditekan oleh ulir

akibat penurunan jarak antar ulir dengan dinding laras. Karakteristik bahan berubah dari bentuk granula ataupun partikulat menjadi amorf atau adonan plastis. Bagian terakhir adalah bagian

pengendali (metering section), dimana bahan akan mengalami pemotongan dan pemanasan maksimal.

Konversi energi mekanis menjadi besar yang menyebabkan peningkatan suhu yang lebih cepat. Tingkat pemotongan yang tinggi akan meningkatkan pengadukan internal sehingga suhu ekstrudat menjadi lebih seragam (Harper 1981). Bagian-bagian ekstruder dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Bagian samping ekstruder makanan (Harper 1981)

2.4. Gelatinisasi

2.4.1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi

Gelatinisasi adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak

dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Syarat utama terjadinya


(23)

9

tersebut menghasilkan gelatinisasi. Terdapat batas jumlah air dan suhu pemanasan minimum yang harus tercapai. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau

hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu

gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi

(Greenwood dan Munro 1979).

Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada gaya tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air, hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada di dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi (Winarno 2008).

Hasil gelatinisasi adalah pengembangan pati dan pembentukan pasta kental yang buram atau tembus cahaya, tergantung sifat dasar suatu pati. Gelatinisasi biasanya diikuti oleh pembentukan gel, proses dimana granula yang mengembang terganggu dan amilosa dilepaskan ke media pati-air. Pelepasan amilosa dari granula yang tergelatinisasi berkontribusi terhadap karakteristik kental dari pati dan pembentukan gel yang merupakan dispersi koloid dari pati dalam air. Amilosa tersebut akan membentuk jaringan yang struktural untuk memerangkap granula dan menghasilkan pembentukan gel (Niba 2006).

Menurut Harper (1981) mekanisme gelatinisasi yang terjadi adalah granula pati yang tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang). Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix sehingga granula membengkak. Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula. Sehingga sebagian besar granula mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel.

2.4.2. Suhu gelatinisasi

Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat briefringence dan pola

difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi pati sorgum yaitu sekitar 68-76°C. Suhu

gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)

Beras 65-73

Ubi Jalar 82-83

Tapioka 59-70

Jagung 61-72

Gandum 53-64

Sumber: Fennema (1996)

Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, energi yang diperlukan untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media


(24)

10

pemanasan. Menurut Wirakartakusumah (1981), keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya.

2.5. Mi Non Terigu

Pasta dan adonan terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk, dan mengurangi kehilangan selama pemasakan. Mi non terigu memanfaatkan pati untuk membentuk struktur mi. Proses pengolahan mi non terigu berbeda dengan pengolahan mi terigu. Prolamin gandum (gliadin) dan glutenin pada tepung terigu akan membentuk gluten yang menentukan sifat reologi adonan.

Gluten berperan dalam membentuk adonan dengan masssa yang elastic-cohessive. Berbeda halnya

dengan tepung jagung dan sorgum yang tidak mengandung gluten seperti gluten gandum perlu digelatinisasi terlebih dahulu. Pati yang tergelatinisasi dapat berfungsi sebagai zat pengikat sehingga

menghasilkan adonan dengan massa yang elastic-cohessive. Gelatinisasi dapat dilakukan secara

terpisah seperti dengan adanya pemanasan awal menggunakan microwave oven dan pengukusan

terlebih dahulu maupun menyatu dalam ekstruder.

Penelitian mi non terigu menggunakan teknik ekstrusi telah banyak dilakukan, seperti

penelitian pembuatan mi jagung (Waniska et al. 1999) dan mi sorgum (Suhendro et al. 2000) .

Pembuatan mi jagung dengan bahan baku jagung ukuran tepung (lolos ayakan 80 mesh) dan maize

meal (lolols ayakan 40 mesh) telah dilakukan oleh Waniska et al. (1999). Proses pembuatan mi jagung diwali dengan pencampuran tepung jagung, garam, natrium metabisulfit, dan air. Campuran tersebut

kemudian diberi pemanasan awal menggunakan oven microwave. Selanjutnya, campuran diekstrusi

menggunakan ekstruder pasta sehingga membentuk mi. Setelah ekstrusi, mi dipotong sepanjang 25-30 cm dan dikeringkan. Mi terbaik diperoleh dari tepung jagung yang diberi perlakuan pemanasan awal

95oC, baik yang diberi sulfit maupun tidak.

Mi jagung yang dihasilkan memiliki cooking loss yang sangat tinggi yaitu di atas 47%.

Kelemahan pada teknik pembuatan mi jagung yang dikembangkan oleh Waniska et al. (1999) yaitu

kesulitan untuk memasukkan adonan ke dalam zona pengumpanan di dalam ekstruder. Kondisi ini terjadi karena adonan sudah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga memiliki sifat panas dan lengket. Kecepatan ulir bersifat konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir pada ekstruder pasta yang memiliki permukaan halus menyebabkan adonan mengalami selip dan tidak terdorong secara maksimal menuju die.

Suhendro et al.(2000) membuat mi dari tepung sorgum dengan teknik yang diambil dari teknik

pembuatan mi jagung yang dilakukan oleh Waniska et al. (1999). Tepung yang dipanaskan

menggunakan microwave oven dan dikeringkan dengan metode 2 tahap menghasilkan mi yang terbaik

dengan kehilangan material padatan 10%. Wonojatun (2012) mengembangkan produk mi sorgum dengan menggunakan ekstruder pasta untuk mendapatkan formulasi produk pasta berbasis 100% sorgum yang disukai konsumen. Formula terpilih dari hasil uji organoleptik adalah formula tepung sorgum non-sosoh 60% untuk waktu penggorengan 1 menit dan formula tepung sorgum sosoh 60% untuk waktu penggorengan 2 menit.

Charutigon et al. (2007) meneliti pembuatan vermicelli dari bahan baku tepung beras dan

menggunakan ekstruder ulir tunggal dengan dua buah die yang berukuran 0.6 mm. Vermicelli dari tepung beras yang diproses pada kecepatan ulir 30 dan 50 rpm (kecepatan aliran sekitar 750 gr/jam) dapat diterima oleh panelis terlatih. Pada kecepatan aliran 400-700 gr/jam, vermicelli tidak dapat


(25)

11

14.2±1.6% menjadi 7.2±1.2 %. Kehilangan berat dari mi selama pemasakan disebabkan pati

tergelatinisasi yang ikatannya lemah pada permukaan mi. Cooking loss bergantung pada derajat

gelatinisasi pati dan kekuatan dari ikatan gel. Diameter mi berkisar dari 0.66 sampai 0.74 mm dan setiap helai mi berwarna putih dengan ukuran yang teratur dan permukaan yang halus.

2.6.

Reologi Mi

Menurut Bourne (1984) reologi adalah ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Pada bahan padat reologi merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair yaitu hubungan antara gaya dengan aliran. Perubahan bentuk (deformasi) suatu benda padat, semi padat, plastis, atau cair dapat terjadi apabila ada gaya yang mengenainya. Gaya yang diberikan berupa gaya tekan, gaya tarik, atau gaya geser. Gaya tekan dapat menyebabkan ukuran benda lebih menyusut, gaya tarik menyebabkan ukuran benda lebih panjang, sedangkan gaya geser menyebabkan benda

bergeser dari posisinya semula dan memiliki bentuk yang berbeda dari bentuk aslinya (Andarwulan et

al. 2011).

Beberapa sifat reologi yang penting pada produk mi diantaranya adalah kekerasan, kekenyalan,

elongasi, dan kekuatan tarik (tensile srength). Reologi mi dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu, NaCl dapat memperkuat adonan dan mengurangi penyerapan air. Namun, di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaan NaCl tidak

lebih dari 2 % (Wu et al. 2006).

Dalam mengevaluasi tekstur produk seringkali dihadapkan untuk membuat korelasi yang baik antara pengukuran tekstur secara subjektif dengan indera manusia dengan pengukuran secara objektif dengan menggunakan instrumen. Salah satu pendekatan untuk mengkorelasikan antara tekstur yang dievaluasi dengan indera manusia dengan pengukuran instrumen adalah membuat simulasi pada saat

proses pengunyahan. Metode pengukuran dengan Texture profile analyzer (TPA) dilakukan dengan

menggunakan probe yang akan melakukan kompresi sebanyak dua kali terhadap sampel yang dianalogikan sebagai gerakan mulut pada saat mengunyah atau menggigit makanan. Analisis menggunakan TPA akan didapatkan nilai beberapa parameter tekstur seperti kekerasan, daya kohesif, elastisitas, kelengketan, dan daya kunyah.


(26)

12

Tabel 4. Definisi parameter tekstur

Parameter tekstur Pengertian

Kekerasan Gaya maksimum yang diperlukan hingga terjadi perubahan bentuk (deformasi)

pada bahan.

Kohesivitas Kekuatan dari ikatan-ikatan yang berada di dalam bahan yang menyusun bentuk

bahan.

Elastisitas Kemampuan suatu bahan untuk kembali kebentuk semula jika diberi gaya, dan

gaya tersebut dilepas kembali.

Kelengketan Gaya yang dibutuhkan untuk menarik lempeng kompresi dari bahan dan

memisahkannya.

Daya Kunyah Tenaga yang dibutuhkan untuk mengunyah pangan padat menjadi bentuk yang

siap untuk ditelan. Sumber: Rosenthal (1999)

2.7.

Metode Respon Permukaan

Metode respon permukaan merupakan pendekatan permodelan empiris yang biasanya menggunakan polinomial sebagai pendekatan lokal untuk hubungan masukan/keluaran sistem. RSM juga merupakan alat untuk memahami hubungan kuantitatif antara beberapa variabel masukan dan satu respon keluaran, yang dapat diperluas menjadi beberapa respon, dengan penekanan pada

pengoptimalan respon (Chen dan Chen 2009). Menurut Box dan Draper (2007), Response Surface

Methodology meringkas sebuah kelompok teknik statistik untuk membangun model empiris dan eksploitasi model. Model ini menghubungkan sebuah respon atau variabel keluaran (output) dengan data masukkan (input) yang mempengaruhinya. Jika suatu daerah dengan respon optimum ditentukan maka dibuat suatu model untuk menghubungkan ke daerah tersebut sehingga analisis dapat dilakukan untuk mencapai daerah optimal tersebut.

Metode respon permukaan terdiri dari kumpulan prosedur matematik dan statistik termasuk rancangan eksperimen, pemilihan model dan penyesuaian, dan optimasi model yang sesuai. Di dalam konteks metode respon permukaan, model-model empiris dibangun menggunakan teknik regresi dengan hasil berupa satu kesatuan percobaan terpilih. Model yang baik mempresentasikan semua percobaan yang mungkin dengan faktor-faktor eksperimentalnya di dalam rentang yang telah ditentukan. Melalui penggunaan teknik optimasi, model optimum dengan pendugaan hasil terbaik dapat ditentukan. Tahap terakhir adalah melakukan verifikasi percobaan berdasarkan kondisi optimal percobaan (Chen dan Chen 2009).

Salah satu program yang digunakan untuk RSM adalah Program Design Expert version 7.

Program ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial,

response surface methods, mixture design techniques, dan combined design. Response surface methods adalah suatu metode rancangan percobaan untuk menemukan proses yang paling optimal

(Anonim 2006). Metode rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah response surface

method historical data. Historical data merupakan salah satu rancangan untuk mendapatkan hasil proses yang paling optimal dengan cara memasukkan hasil trial berupa kombinasi variabel proses dan


(27)

13

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstruder ulir ganda (Berto Industries),

vibrating screen, pin disc mill, alat penyosoh satake grain mill, alat bantu (mixer, sendok pengaduk, baskom). Peralatan lainnya yang digunakan yaitu peralatan untuk analisis fisik berupa Texture Analyzer Stable Micro System TA-XT2i, chromameter, dan mikrometer sekrup. Peralatan untuk analisis kimia antara lain oven, tanur, cawan aluminium, cawan porselen, desikator, neraca analitik, mortar, sudip, gegep, penangas, dan alat-alat gelas untuk analisis.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sorgum numbu BIOTROP, NaCl, dan air . Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat.

3.2.

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri dari tahapan analisis bahan dan optimasi proses pembuatan mi sorgum kering.

3.2.1. Analisis Bahan

Analisis bahan tepung sorgum berupa analisis proksimat, profil gelatinisasi, dan daya serap air.

Analisis proksimat

Analisis proksimat berupa analisis kadar air metode oven (SNI 01-2891-1992), analisis kadar abu (SNI 1992), analisis kadar protein (AOAC 960.52), analisis kadar lemak (SNI 01-2891-1992), analisis kadar karbohidrat (Nielsen 2010), analisis kadar pati (sakarosa) metode Luff Schoorl

dengan modifikasi (Sudarmadji et al. 1997), dan analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono

et al. 1989).

Analisis Profil Gelatinisasi

Analisis dilakukan menggunakan rapid visco analyzer. Tepung sorgum yang telah diketahui

kadar air basis basahnya dilarutkan dengan sejumlah air untuk mendapatkan 11.8 % suspensi pati pada basis kering (w/w) yang diinginkan. Suspensi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat RVA untuk selanjutnya akan mengalami proses pemanasan dan pendinginan secara bertahap. Pemanasan

akan dilakukan hingga mencapai suhu 95oC dengan kecepatan 5.6oC/menit, kemudian ditahan pada

suhu tersebut selama lima menit. Selanjutnya, dilakukan tahap pendinginan hingga suhunya turun

sampai 50oC dengan kecepatan 6.4oC/menit. Suhu tersebut juga akan dipertahankan selama dua menit.

Profil gelatinisasi pati dapat diamati dari kurva yang terbentuk selama proses analisis yang meliputi suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi, waktu granula pecah, suhu granula pecah, viskositas setelah

holding pada suhu 95oC, viskositas breakdown, viskositas setelah holding pada suhu 50oC, serta


(28)

14

Analisis Daya Serap Air Metode Sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969 dalam Ganjyal 2006)

Tepung ditimbang sebanyak 1 g (basis basah) (P1) kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan ditambahkan air destilasi sebanyak 5 ml. Larutan pati didispersi sepenuhnya selama 30

detik menggunakan vortex mixer hingga merata. Larutan ini kemudian disentrifugasi selama 15 menit

pada 3000 rpm. Tabung kemudian dimiringkan dengan posisi 45o selama 10 menit. Supernatan yang

terbentuk dituang. Selanjutnya berat tabung ditimbang dan berat yang diperoleh digunakan sebagai nilai P2 yang akan digunakan dalam perhitungan persen daya serap air.

Daya serap air (%) =

x 100%

3.2.2. Optimasi Proses 3.2.2.1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah respon permukaan historical data. Historical

data merupakan salah satu rancangan untuk mendapatkan hasil proses yang optimal dengan cara

memasukkan hasil trial berupa kombinasi variabel proses dan respon ke dalam program design expert

7.0 yang kemudian akan dianalisa lebih lanjut. Variabel proses dalam penelitian ini terdiri dari suhu

dan kecepatan ulir. Kisaran suhu yang digunakan adalah 80-90°C sedangkan kisaran kecepatan ulir adalah 10-20 Hz. Penentuan kisaran tersebut berdasarkan penelitian pada beras analog yang menggunakan suhu 85°C dan kecepatan 15 Hz. Kemudian suhu dan kecepatan tersebut menjadi titik tengah pada penelitian ini. Sehingga ditetapkan suhu minimal 80°C dan suhu maksimal 90°C, kecepatan ulir minimal 10 Hz dan kecepatan ulir maksimal 20 Hz. Setelah variabel dan kisaran tiap variabel ditentukan maka dihasilkan kombinasi-kombinasi kondisi proses. Proses yang dilakukan terdiri dari 18 proses kombinasi suhu dan kecepatan.

Tabel 5. Rancangan proses pembuatan mi sorgum

Formula Suhu

(°C)

Kecepatan (Hz)

1 80 10A

2 80 10B

3 80 15A

4 80 15B

5 80 20A

6 80 20B

7 85 10A

8 85 10B

9 85 15A

10 85 15B

11 85 20A

12 85 20B

13 90 10A

14 90 10B

15 90 15A

16 90 15B

17 90 20A


(29)

15

Parameter atau respon yang diukur terdiri dari cooking loss, elongasi, kekerasan, daya kohesif,

kelengketan, daya kunyah, dan elastisitas. Analisis respon menggunakan piranti lunak design expert

7.0 memberikan suatu model polinomial yang mewakili respon tiap parameter. Model polinomial

terdiri dari model rata-rata, linear, kuadratik, dan kubik. Model tersebut ditampilkan dalam bentuk plot kontur atau tiga dimensi. Model yang dipilih adalah model yang memenuhi kriteria sebagai berikut (Anonim 2006) yaitu: (1) Memiliki model yang signifikan yang ditandai dengan nilai p-value Prob>F kurang dari 0.05. Jika nilai Prob>F diantara 0.05 dan 1, maka nilainya signifikan yang

marjinal, (2) Memiliki Lack of Fityang “tidak signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value Prob>F

lebih dari 0.05, (3) Memiliki Pred R-Squared atau R2 prediksi yang “reasonable agreement” atau

persetujuan yang beralasan dengan nilai Adj R-Squared dengan selisihnya kurang dari 0.2, (4)

memiliki nilai adequate precision lebih dari 4, yang menunjukkan presisi yang baik.

Model dari masing-masing respon yang diperoleh selanjutnya dioptimasi. Proses optimasi

dipilih dengan desirability tertinggi berdasarkan penetapan target dan tingkat kepentingan yang

diharapkan. Target dari respon KPAP, kekerasan, dan kelengketan adalah minimum. Target untuk

elongasi, daya kohesif, daya kunyah, dan elastisitas adalah in range. Tingkat kepentingan mempunyai

rentang nilai dari 1-5. Semakin besar nilainya semakin diutamakan untuk dioptimasi. Tahap selanjutnya adalah verifikasi, untuk membuktikan kesesuaian nilai respon aktual dengan nilai respon prediksi. Kesesuaian ditunjukkan oleh nilai respon aktual hasil verifikasi yang berada dalam selang kepercayaan atau selang prediksi.

Gambar 5. Tahapan optimasi proses Penentuan variabel dan range variabel

Rancangan kondisi proses

Pengukuran respon

Analisis respon

Optimasi respon

Kondisi proses optimal


(30)

16

3.2.2.2. Pembuatan Mi Sorgum Kering

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan mi sorgum kering Biji sorgum numbu

Penjemuran 1 jam sampai kadar air ±35%

Penyosohan (25”)

Perendaman biji (2 jam)

Pengeringan tepung menggunakan sinar matahari

( 2 jam)

Penggilingan dengan pin disc mill

Pengayakan 100 mesh

Tepung sorgum 100 %

Pembuatan mi basah (variabel suhu & kec ekstruder)

Air 55% NaCl 2%

Pengeringan mi dengan kipas angin semalam

Mi sorgum kering


(31)

17

3.2.3. Analisis Fisik

Analisis fisik yang dilakukan terdiri dari (1) analisis cooking loss (2) analisis elongasi dan

profil tekstur dengan Texture Analyzer (3) Analisis warna dengan chromamometer.

Analisis cooking loss

Penentuan cooking loss dilakukan dengan merebus 5 gram mi dalam 150 mL air. Setelah

mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali

selama 5 menit. Mi kemudian dikeringkan pada suhu 100oC sampai beratnya tetap, lalu ditimbang

kembali. Cooking loss dihitung dengan rumus berikut :

Cooking loss = x 100 %

Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i

Sampel dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s.

Persen elongasi dihitung dengan rumus :

Persen elongasi =

x 100%

Analisis profil tekstur

Profil tekstur mi sorgum diukur menggunakan instrument Texture Analyzer Stable Micro System TA-XT2i dengan probe berbentuk silinder. Sampel ditekan oleh probe sejauh 75 % dari ukuran asal dengan kecepatan 1 mm/s, kemudian berhenti dengan jeda waktu 5 s, probe melakukan penekanan kedua sejauh 75 % ukuran asal dengan kecepatan 1 mm/s. Gaya yang dibutuhkan untuk kompresi diukur. Berdasarkan kurva didapatkan nilai yang berupa kekerasan, daya kohesif, elastisitas, daya kunyah, dan kelengketan. Spesifikasi probe dan pengaturan lainnya dapat dilihat pada tabel 6. Sedangkan cara penentuan parameter reologi dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 6. Spesifikasi probe dan pengaturan pengukuran tekstur mi.

Spesifikasi Keterangan

Type TA-XT2i

Mode Measure force in compression

Pre-test-speed 2.0 mm/s

Test Speed 1.0 mm/s

Post-test Speed 2.0 mm/s

Distance 75.0%

Probe 35 mm cylinder probe (P/35)

Force 100 g


(32)

18

Tabel 7. Parameter reologi yang dapat ditentukan dari kurva analisis profil tekstur

Parameter reologi Cara menentukan

Kekerasan (hardness)

Ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan / kompresi pertama.

Elastisitas (springiness) Ditentukan dari jarak deformasi produk pada tekanan kedua sampai

tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak deformasi produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L1) atau L2/L1.

Daya Kohesif (cohesiveness)

Diihitung dari luasan di bawah kurva pada tekanan kedua (A2) dibagi dengan luasan di bawah kurva pada tekanan pertama (A1) atau A2/A1 Kelengketan

(gumminess/stickiness)

Dihitung dari peak force negatif pada kompresi pertama. Daya kunyah

(chewiness)

Dihitung dari hasil perkalian nilai kelengketan dengan elastisitas, atau L2/L1*kelengketan.

Analisis Warna (Hutching 1999)

Analisis warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR-310. Sebelum dilakukan pengukuran nilai L, a, dan b perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan pelat standar warna putih (L = 97.51; a = 5 35; b = -3.37). Pengukuran dilakukan dengan tiga kali ulangan untuk masing-masing sampel. Sampel diletakkan pada gelas kecil, kemudian tombol start ditekan dan akan diperoleh nilai L,a, dan b dari sampel. Hasil pengukuran dikonversi ke dalam sistem Hunter dengan L menyatakan parameter kecerahan dari hitam (0) sampai putih (100). Notasi a menyatakan warna

kromatik merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a

(negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik biru-kuning

dengan nilai + (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai -b (negatif) dari 0 sampai –80

untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan kecerahan warna. Semakin tinggi kecerahan warna,

semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung o Hue yang menunjukkan kisaran

warna sampel. Nilai oHue dapat dihitung dengan persamaan: oHue = tan-1

3.2.4. Analisis Kimia

Analisis kadar air metode oven (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Setelah itu, cawan didinginkan dalam desikator. Cawan kering yang

telah didinginkan ditimbang (W2 g) kemudian sebanyak 1-2 gram sampel (W g) dimasukkan ke dalam

cawan tersebut. Cawan yang berisi sampel dikeringkan kembali di dalam oven pada suhu 105oC

selama 3 jam. Setelah itu, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1 g) hingga diperoleh

bobot konstan.

Kadar air (% BB) = x 100

Kadar air (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Cawan porselin kosong dan


(33)

19

dalam desikator. Cawan kering yang telah didinginkan ditimbang (W2 g) kemudian sebanyak 2-3

gram (W g) sampel dimasukkan ke dalam cawan. Sampel diarangkan di atas nyala pembakar

kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu maksimum 550oC hingga pengabuan

sempurna. Setelah itu, cawan sampel didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (W1 g).

Kadar abu (% BB) = x 100

Kadar abu (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Protein (AOAC 960.52)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Pada tahap penghancuran 100-250

mg sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan 1 gram K2SO4, 40 mg HgO, 2 ml

H2SO4, dan 2-3 butir batu didih. Larutan didihkan selama 1 jam sampai cairan jernih dan didinginkan.

Pada tahap destilasi, isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dengan ditambahkan 8-10 ml larutan

60% NaOH dan 5% Na2S2O3. Sebanyak 5 ml larutan H3BO3 dan 2-3 tetes metilen merah-metilen biru

dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan diletakkan di bawah kondensor. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Pada tahap titrasi, destilat diencerkan hingga 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N terstandarisasi sampai perubahan warna menjadi abu-abu.

%N =

x 100

Kadar protein (% BB) = % N x faktor konversi

Kadar protein (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet yang terdiri dari tahap hidrolisis sampel dan tahap analisis kadar lemak. Pada tahap hidrolisis sampel, sampel sebanyak 1-2

gram (W0 g) ditimbang dalam gelas piala kemudian ditambahkan 30 ml HCl 25% dan 20 ml air.

Setelah itu, gelas piala ditutup dan dididihkan selama 15 menit di ruang asam kemudian larutan disaring dalam keadaan panas hingga tidak asam lagi. Kertas saring berikut isinya dikeringkan pada

suhu 105oC. Untuk tahap analisis kadar lemak, labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC

selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2 g). Kertas saring hasil

hidrolisis sampel dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring dan disumbat dengan kapas. Setelah itu, selongsong dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Pelarut heksana dimasukkan sebanyak 150 ml. Ekstraksi dilakukan sekitar 6 jam kemudian heksan disuling

dan ekstrak lemak dikeringkan pada suhu 105oC, diidinginkan pada desikator dan ditimbang ( W 1 g).

Kadar lemak (% BB) =

x 100

Kadar lemak (% BK) =

x 100

Analisis Kadar Karbohidrat (Nielsen 2010)

Kadar karbohidrat total by difference dapat diperoleh dari hasil pengurangan angka 100


(34)

20

Analisis Kadar Pati (Sakarosa) Metode Luff Schoorl dengan modifikasi (Sudarmadji et al. 1997)

Sampel sebanyak 0.1 gram ditambahkan dengan 5 mL HCl 25% dan 25 mL air destilata.

Larutan kemudian dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 100oC selama 2.5 jam. Lalu, larutan

dinetralkan dengan NaOH 50% hingga pH larutan 7, kemudian ditera sampai 100 mL dan disaring menggunakan kertas saring.

Sebanyak 5 mL larutan sampel ditambahkan dengan 5 mL larutan Luff b Schoorl. Selain sampel, dibuat juga blanko dengan menggunakan aquades untuk menggantikan sampel. Kemudian,

didihkan larutan di atas hotplate selama 10 menit sampai terbentuk endapan merah bata. Setelah

selesai, cepat-cepat dinginkan larutan, lalu tambahkan 3 mL KI 20% dan 5 mL H2SO4 26.5% dengan

hati-hati. Selanjutnya, titrasi menggunakan Na-thiosulfat 0.1 N dengan menggunakan indikator pati 2-3 tetes yang ditambahkan saat titrasi hampir berakhir.

Kadar pati =

Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al. 1989) Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 mg amilosa murni ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu tambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, larutan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 mL dan ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera. Larutan lalu dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 mL ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 mL serta 2 mL larutan iod. Larutan kemudian ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera, selanjutnya didiamkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Setelah itu, dibentuk kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y).

Analisis Contoh

Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Tabung reaksi kemudian dipanaskan selama 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, pasta pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan ditepatkan hingga tanda tera dengan air destilata. Sampel lalu dipipet sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, selanjutnya ditambahkan dengan 1 mL asam asetat 1 N, 2 mL larutan iod, dan air destilata hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

Kadar amilosa ( % ) = C x V x FP x 100 W

Keterangan :

C = konsentrasi amilosa sampel dari kurva standar (mg/mL)

V = volume akhir contoh (mL)

FP = Faktor pengenceran

W = berat contoh (mg)


(35)

21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Karakteristik Tepung Sorgum

Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari varietas numbu BIOTROP. Biji sorgum utuh yang diperoleh disosoh terlebih dahulu selama 25 detik untuk menghilangkan bagian kulit dan perikarpnya. Lama penyosohan ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Yanuwar (2009) dengan lama penyosohan 20 detik. Kandungan tannin pada biji sorgum menurun setelah penyosohan. Begitu pula dengan protein yang ikut terbawa karena bagian endosperm yang dekat dengan aleuron juga ikut terkikis (Suarni 2004). Setelah disosoh biji sorgum berwarna putih kekuningan dan bersih dari kulit ari yang berwarna putih kecoklatan.

Setelah menjadi biji sorgum bebas kulit, sorgum direndam dengan menggunakan air selama 2 jam. Proses ini bertujuan untuk memperlunak endosperma sehingga mudah digiling dengan

menggunakan pin disc mill (Merdiyanti 2008). Kemudian, biji sorgum dijemur selama kurang lebih

satu jam hingga kadar airnya sekitar 35% atau sorgum masih dalam keadaan setengah kering. Jika

kadar air terlalu tinggi, maka biji akan menempel pada pindisc mill saat ditepungkan sehingga dapat

menimbulkan kemacetan pada alat. Sebaliknya, jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit digiling menjadi tepung (Merdiyanti 2008). Selanjutnya biji sorgum

digiling dengan pin disc mill. Tepung sorgum hasil penggilingan dikeringkan menggunakan sinar

matahari selama 2 jam. Langkah terakhir adalah pengayakan menggunakan vibrating screen dengan

ukuran ayakan 100 mesh. Setelah diayak, tepung sorgum dikemas menggunakan plastik dan disimpan dalam refrigerator. Kemudian, tepung sorgum dianalisis proksimat dan profil gelatinisasi. Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil analisis proksimat varietas sorgum numbu Varietas Sorgum Air (% BB) Protein (% BK) Lemak (% BK) Abu (% BK) Karbohidrat (% BK) Pati (% BK) Amilosa (% BK)

Numbu 13.52±0.09 8.50±0.27 2.42±0.11 0.84±0.06 88.23 82.18±0.00 22.46±1.23

Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat mempengaruhi kualitas bahan pangan itu sendiri. Peningkatan jumlah air dapat mempengaruhi laju kerusakan bahan pangan oleh proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Berdasarkan hasil analisis proksimat, dapat dilihat kadar air tepung sorgum numbu yang dihasilkan adalah 13.52% bb. Menurut Suprapto dan Mudjisihono (1987), bagian lembaga biji sorgum selain mengandung lemak juga mengandung protein sebanyak 13.4%. Proses penepungan sorgum telah menurunkan kadar protein biji sorgum. Hal ini disebabkan adanya pemisahan lembaga sehingga mempengaruhi kandungan protein tepung sorgum yang dihasilkan. Kadar protein pada tepung sorgum adalah 8.50% bk. Nilai ini berada pada kisaran kandungan protein yang terdapat pada tepung sorgum hasil produksi balai besar penelitian dan pengembangan pasca panen pertanian, yaitu 7-9 %.

Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak pada tepung sorgum adalah 2.42% bk. Kandungan lemak yang rendah pada tepung sorgum disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat sorgum diproses menjadi tepung. Kadar abu menggambarkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Abu merupakan residu yang tertinggal setelah bahan pangan dibakar hingga bebas karbon. Semakin besar kadar abu, semakin tinggi pula mineral yang terkandung di dalamnya.


(36)

22

Analisis kadar abu pada penelitian ini dilakukan melalui pengabuan kering di dalam tanur pengabuan. Nilai kadar abu pada tepung sorgum numbu adalah 0.84% bk. Berdasarkan analisis, kadar karbohidrat pada tepung sorgum numbu adalah 88.23% bk. Kandungan karbohidrat tepung sorgum ini tergolong tinggi. Oleh karena itu, potensial dikembangkan sebagai sumber energi melalui pemanfaatannya dalam bentuk mi sorgum.

Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai cadangan energi dan secara luas tersebar di berbagai macam tanaman. Pati beserta komponennya, yaitu amilosa dan amilopektin merupakan bagian karbohidrat. Pati tergolong karbohidrat polisakarida yang tersusun lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Kadar pati dari tepung sorgum numbu adalah 82.18% bk.

Menurut Guo et al. (2003) pada umumnya mi di Asia dibuat dari tepung dengan kandungan amilosa

1-29%, namun kandungan amilosa optimum yang memberikan kualitas mi terbaik adalah 21-24%. Berdasarkan hal tersebut, kadar amilosa pada tepung sorgum numbu masih cukup baik untuk diolah menjadi produk mi ekstrusi dengan kandungan amilosa sebesar 22.46 %.

Selain dilakukan analisis proksimat, tepung sorgum numbu juga dilakukan analisis profil gelatinisasi. Alat yang digunakan untuk mengetahui profil gelatinisasi pati adalah Rapid Visco Analyzer. RVA memiliki prinsip pengukuran yang sama dengan Brabender Amilograph, hanya waktu pengukurannya lebih singkat. Granula pati bila disuspensikan dalam air dan dipanaskan akan mengalami proses gelatinisasi, yaitu dapat mengental selama proses pemanasan dan membentuk gel setelah didinginkan. Hal ini disebabkan granula pati dapat menyerap air ketika dipanaskan dan mengalami proses pengembangan yang menyebabkan viskositasnya meningkat. Fungsi dari analisis gelatinisasi pati adalah untuk mengetahui proses gelatinisasi pati ketika suspensi pati dipanaskan dan didinginkan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan. Hasil analisis profil gelatinisasi varietas tepung sorgum numbu dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Profil gelatinisasi tepung sorgum numbu

Parameter Nilai

Waktu gelatinisasi (menit) 5.30

Suhu gelatinisasi (oC) 77.53

Waktu granula pecah (menit) 8.24

Viskositas maksimum (cP) 3167.50

Suhu granula pecah (oC) 94.00

Viskositas setelah holding pada suhu 95oC (cP) 1743.50

Viskositas breakdown (cP) 1424.00

Viskositas setelah holding pada suhu 50oC (cP) 4101.00

Viskositas setback (cP) 2357.50

Waktu gelatinisasi menunjukkan saat granula pati mulai mengembang karena adanya penyerapan air sehingga viskositas suspensi pati mulai naik. Waktu gelatinisasi tepung sorgum numbu

yaitu 5.30 menit. Selain waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi juga merupakan karakteristik yang dapat

diamati saat kurva RVA mulai naik. Suhu gelatinisasi merupakan suhu ketika mulai terditeksi terjadinya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pengembangan granula pati. Suhu gelatinisasi bahan dapat menentukan suhu yang paling baik digunakan selama proses ekstrusi karena pada proses

ekstrusi diharapkan terjadi gelatinisasi pati. Suhu gelatinisasi tepung sorgum numbu yaitu 77.53oC.

Viskositas maksimum merupakan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas sebelum

mengalami breakdown. Viskositas maksimum pada tepung sorgum numbu adalah 3167.50 cP. Suhu


(1)

65

Lampiran 26. Grafik normal plot of residuals (lanjutan)

Grafik normal plot of residuals elastisitas

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa titik-titik berada dekat sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon elastisitas menyebar normal. Data-data respon yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon tersebut.

Design-Expert® Software elastisitas

Color points by value of elastisitas:

0.981

0.874

Internally Studentized R es iduals

N

or

m

al

%

P

ro

ba

bi

lit

y

Norm al Plot of Res iduals

-2.13 -1.09 -0.05 0.99 2.03

1 5 10 20 30 50 70 80 90 95 99


(2)

66

Lampiran 27. Hasil verifikasi KPAP mi sorgum

Suhu Kecepatan W cawan kosong (g) W mi awal (g) W mi+cawan kering (g) W mi kering (g) Kadar Air mi (%BB) KPAP (%)

Rata-rata SD

85 10 1 2,4294 2,0273 4,0086 1,5792 11,67 11,81 12,87 1,49

2 2,1083 2,0705 3,6826 1,5743 11,67 13,92

Lampiran 28. Hasil verifikasi elongasi mi sorgum

Suhu Kecepatan Force (gf) Waktu (s) Elongasi (%) Rata-rata SD

85 10 1 17,9 16,6 249,00 234,84 20,03

2 17,10 14,712 220,68

Lampiran 29. Hasil verifikasi profil tesktur mi sorgum

Lampiran 29. Hasil verifikasi profil tekstur mi sorgum (lanjutan)

No. Suhu Kecepatan Elastisitas Rata-rata Daya

Kohesif

Rata-rata Kelengketan Rata-rata Daya Kunyah Rata-rata

1 85 10 1 0,902 0,899 0,596 0,597 -37,200 -37,250 33,569 33,492

2 0,896 0,599 -37,300 33,415

No. Suhu Kecepatan L2 L1 A2 A1 Kekerasan Rata-rata SD

1 85 10 1 1,313 1,455 590,755 991,603 2092,486 2094,821 3,30


(3)

67

Lampiran 30. Hasil analisis kadar air proses terpilih

Mi W sampel

awal (g) W cawan kosong (g) W cawan+sampel kering (g) Kadar Air (% BB)

Rata-rata SD

Kadar Air (% BK)

Rata-rata SD

Sorgum twin A 1 2,0346 5,1019 6,8974 11,75 11,77 0,03 13,32 13,34 0,03

2 2,0800 4,7958 6,6306 11,79 13,36

Sorgum twin B 1 2,0693 4,3601 6,1871 11,71 11,72 0,01 13,26 13,27 0,01

2 2,0592 4,2406 6,0585 11,72 13,28

Lampiran 31. Hasil analisis kadar protein proses terpilih

Mi W sampel (g) V HCl (mL) V blanko (mL)

Kadar Protein (%

BB)

Rata-rata SD

Kadar Protein (%

BK)

Rata-rata SD

Sorgum twin A 1 0,1220 3,55

0,10

5,17

5,15 0,03 5,86 5,84 0,03

2 0,1141 3,30 5,13 5,81

Sorgum twin B 1 0,1204 3,45 5,09 5,07 0,04 5,77 5,74 0,04

2 0,1108 3,15 5,04 5,71

Lampiran 32. Hasil analisis kadar lemak proses terpilih

Mi W sampel

awal (g) W labu lemak (g) W labu+sampel kering (g) Kadar Lemak (% BB)

Rata-rata SD

Kadar Lemak (%

BK)

Rata-rata SD

Sorgum twin A 1 2,0184 102,6944 102,6985 0,20 0,21 0,01 0,23 0,24 0,02

2 2,0211 106,2066 106,2110 0,22 0,25

Sorgum twin B 1 2,1456 107,0172 107,0748 0,14 0,15 0,01 0,16 0,17 0,02


(4)

68

Lampiran 33. Hasil analisis kadar abu proses terpilih

Mi W sampel awal

(g)

W cawan kosong (g)

W cawan+sampel kering (g)

Kadar Abu (% BB)

Rata-rata SD

Kadar Abu (% BK)

Rata-rata SD

Sorgum twin A

1 2,0453 16,3340 16,3798 2,24

2,25 0,01 2,54 2,55 0,01

2 2,0734 17,5712 17,6179 2,25 2,55

Sorgum Twin B

1 2,0237 22,2805 22,3251 2,20

2,21 0,01 2,50 2,51 0,01

2 2,0463 20,4556 20,5410 2,22 2,51

Lampiran 34. Hasil analisis karbohidrat proses terpilih

Mi Karbohidrat (% BB) Karbohidrat (% BK)

Sorgum Twin A 80,63 91,39

Sorgum Twin B 80,86 91,59

Lampiran 35. Hasil analisis warna proses terpilih

Suhu

(°C) Kecepatan ulir (rpm) L A B Hue Warna

85 10

1 60,34 1,27 10,33 82,99 Kuning kemerahan

2 61,81 1,36 10,34 82,51 Kuning kemerahan

3 61,37 1,41 10,51 82,36 Kuning kemerahan


(5)

69

Lampiran 36. Foto mi sorgum kering

Keterangan:(a) suhu 80oC kecepatan 10 Hz A, (b) suhu 80oC kecepatan 10 Hz B, (c) suhu 80oC

kecepatan 15 Hz A, (d) suhu 80oCkecepatan 15 Hz B, (e) suhu 80 oC kecepatan 20 Hz A,

(f) suhu 80 oC kecepatan 20 Hz B, (g) suhu 85 oC kecepatan 10 Hz A, (h) suhu 85 oC

kecepatan 10 Hz B, (i) suhu 85 oC kecepatan 15 Hz A, (j) suhu 85 oC kecepatan 15 Hz B,

(k) suhu 85 oC kecepatan 20 Hz A, (l) suhu 85 oC kecepatan 20 Hz B, (m) suhu 90 oC

kecepatan 10 Hz A, (n) suhu 90 oC kecepatan 10 Hz B, (o) suhu 90 oC kecepatan 15 Hz A,

(p) suhu 90 oC kecepatan 15 Hz B, (q) suhu 90 oC kecepatan 20 Hz A, (r) suhu 90 oC

kecepatan 20 Hz B

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

k

l

m

n

o


(6)

70

Lampiran 37. Foto mi sorgum setelah direhidrasi

Keterangan:(a) suhu 80oC kecepatan 10 Hz A, (b) suhu 80oC kecepatan 10 Hz B, (c) suhu 80oC

kecepatan 15 Hz A, (d) suhu 80oCkecepatan 15 Hz B, (e) suhu 80 oC kecepatan 20 Hz A,

(f) suhu 80 oC kecepatan 20 Hz B, (g) suhu 85 oC kecepatan 10 Hz A, (h) suhu 85 oC

kecepatan 10 Hz B, (i) suhu 85 oC kecepatan 15 Hz A, (j) suhu 85 oC kecepatan 15 Hz B,

(k) suhu 85 oC kecepatan 20 Hz A, (l) suhu 85 oC kecepatan 20 Hz B, (m) suhu 90 oC

kecepatan 10 Hz A, (n) suhu 90 oC kecepatan 10 Hz B, (o) suhu 90 oC kecepatan 15 Hz A,

(p) suhu 90 oC kecepatan 15 Hz B, (q) suhu 90 oC kecepatan 20 Hz A, (r) suhu 90 oC

kecepatan 20 Hz B

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

k

l

m

n

o