Perkembangan dan penelitian menuju arah pengembangan produk menjadi suatu poin penting di era MEA seperti saat ini. Demikian pula dengan industri farmasi,
bidang farmasi di Indonesia merupakan salah satu sektor industri potensial dalam negeri yang juga harus terus mempersiapkan diri. Dengan bebasnya persaingan di
era MEA, maka persaingan dalam industri farmasi dalam negeri tidak hanya akan bersaing dengan industri yang ada di dalam negeri saja melainkan juga dengan
industri farmasi dari negara anggota ASEAN lainnya. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa di kawasan ASEAN, pemerintah
berperan penting dalam memaksimalkan sumber daya untuk pelayanan kesehatan dan menjamin penggunaan sumber daya tersebut secara efektif.
B. Kewajiban Produsen Farmasi Atas Kehalalan Produk Ditinjau Dari
Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Adanya Undang-Undang mengenai Jaminan Produk Halal terhadap produk seperti makanan dan minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia
biologi dan produk rekayasa genetik, membuat para produsen harus melewati proses pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk baik terhadap bahan-bahan
yang terkandung dalam produk maupun peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan produk tersebut yang dilakukan oleh Auditor Halal. Pemeriksaan
terhadap produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi
126
126
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,Pasal 31 ayat 2.
. Selama dalam proses pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, maka pelaku usaha wajib
memberikan informasi kepada Auditor Halal.
Universitas Sumatera Utara
Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri RI No. 1799MENKESPerXII2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai
dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar registrasi dan tidak menimbulkan resiko yang
membahayakan penggunaannya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
Salah satu jenis produk farmasi adalah obat. Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi
127
. Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu :
128
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas dipasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan
etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep
127
Anonim,www.Landasanteori.com201510Pengertian Produk Farmasi,diakses pada tanggal 25 Maret 2016.
128
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas, Jakarta, 2006, hal.7.
Universitas Sumatera Utara
dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru
dengan garis tepi berwarna hitam. 3.
Obat Keras dan Psikotropika Obat Keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek
dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Obat Psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
4. Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
menimbulkan ketergantungan. Dengan munculnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang memuat
ketentuan Sertifikasi dan Pelabelan Halal adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh Pelaku Usaha dan tidak lagi menjadi hal yang bersifat sukarela termasuk juga
dalam produk farmasi maka hal tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha baik sebelum dan sesudah mendapatkan
sertifikasi halal. Setelah pelaku usaha mendapatkan sertifikasi halal terkait produk
Universitas Sumatera Utara
yang diproduksi, maka selanjutnya pelaku usaha memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang tidak dapat
dikesampingkan karena apabila tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi dan pelaku usaha harus bertanggung jawab.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memberikan beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan terkait dengan jaminan
produk halal. Salah satu kewajiban pelaku usaha tersebut adalah ketika melakukan permohonan sertifikasi halal. Dalam proses pengajuan permohonan tersebut pelaku
usaha wajib :
129
1. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur ;
2. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal ;
3. Memiliki Penyedia Halal ;
4. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.
Setelah mendapatkan sertifikasi halal, pelaku usaha dikenakan kewajiban yang harus dipenuhi yaitu wajib mencantumkan Label Halal pada :
130
1. Kemasan Produk ;
2. Bagian tertentu dari produk ; danatau
3. Tempat tertentu pada produk.
129
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 24.
130
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 38.
Universitas Sumatera Utara
Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
131
Selain kewajiban untuk mencantumkan label halal, pelaku usaha yang telah mendapat sertifikasi halal juga diwajibkan untuk :
132
1. Menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikasi Halal ;
2. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal ;
3. MemperbaruiSertifikasi Halal jika masa berlaku Sertifikasi Halal berakhir ;
4. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepadan BPJPH.
Pengaturan mengenai kewajiban bagi pelaku usaha tidak hanya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal,
karena dalam Undang-Undang mengenai Jaminan Produk Halal tidak terlalu banyak mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, untuk melengkapi kewajiban-
kewajiban para pelaku usaha diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berikut kewajiban yang tertuang dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
133
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang danatau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan ;
131
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 39.
132
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pasal 25.
133
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7.
Universitas Sumatera Utara
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif ; 4.
Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa
yang berlaku ; 5.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji danatau mecoba barang danatau jasa tertentu serta member jaminan danatau garansi atas
barang yang dibuat danatau diperdagangkan ; 6.
Member kompensasi, ganti rugi, danatau penggantian apabila barangatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan
perjanjian. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
danatau jasa.
134
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan
dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancangdiproduksi
sampai pada tahap purna penjualan.
135
Pengaturan mengenai kewajiban terhadap pelaku usaha baik yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal maupun yang diatur di dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidaklah merupakan suatu aturan yang
134
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen Jakarta : Rajawali Pres, 2010, hlm.51.
135
Ibid,hlm. 54.
Universitas Sumatera Utara
saling berbenturan. Pengaturan mengenai kewajiban pelaku usaha yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen merupakan gambaran secara luas
mengenai beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan pengaturan mengenai kwajiban pelaku usaha yang terdapat dalam Undang-Undang
Jaminan Produk Halal merupakan suatu bentuk aturan yang secara khusus mengenai pengaturan produk halal.
C. Tanggung Jawab Produsen Farmasi Atas Kehalalan Produk Yang