Sipnosis Cerita Analisis Moralitas Dalam Teks Novel Saga No Gabai Bachan Karya Yoshichi Shimada

kebaikan. Orang jepang selalu mengukur sesuatu atau berusaha mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan perasaan manusiawi.

2.5 Sipnosis Cerita

Paska pemboman Hiroshima dan Nagasaki perekonomian Jepang hancur, sehingga dampaknya secara langsung juga dirasakan oleh sebagian besar rakyatnya. Mengingat masa yang dialami adalah paska PD II, memang banyak rakyat yang miskin. Hal ini juga dirasakan oleh keluarga Tokunaga, apalagi tak lama setelah Tokunaga lahir ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga meninggal dunia akibat terpapar radiasi bom atom. Karena merasa tak sanggup untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya di Hiroshima maka oleh ibunya, Tokunaga dititipkan pada nenek yang tinggal di kota Saga. Berbeda dengan Hiroshima yang merupakan sebuah kota besar di Jepang, Saga adalah sebuah kota kecil yang jauh dari keramaian. Kehidupan Tokunaga di Hiroshima memang sulit, tetapi kepindahannya ke Saga tidak membuat hidupnya menjadi nyaman, bersama neneknya ia malah harus hidup lebih miskin lagi dibanding ketika ia bersama ibunya di Hiroshima. Kehidupan Tokunaga bersama neneknya memang sangat-sangat sederhana bahkan bisa dikatakan sangat miskin. Secara materi memang Tokunaga menjadi semakin miskin namun sikap hidup, pandangan, dan perilaku neneknya yang bersahaja ternyata membuat hidupnya menjadi kaya akan berbagai pengalaman hidup yang kelak akan membuatnya kaya dan bahagia secara batiniah. Universitas Sumatera Utara Neneknya hanyalah seorang petugas kebersihan di sebuah universitas di Saga. Namun walau hidup miskin bukan berarti Nenek Osano menyerah pada keadaan dan menjadi nenek yang murung. Bersama Tokunaga ia menjalani hidupnya secara optimis, wajahnya selalu berseri karena bagi dia kebahagiaan bukan ditentukan oleh uang, melainkan dari hati. Nenek Osano menerima kenyataan hidup bahwa ia hidup dalam kemiskininan, tapi ia tak mau bersedih dengan keadaannya. Dalam sebuah kesempatan Nenek Osano mengatakan pada Tokunaga bahwa ada dua jenis orang miskin yaitu miskin muram dan miskin ceria. “Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun-temurun miskin.” Untuk menyiasati hidupnya yang serba kekurangan Nenek Osano memanfaatkan semua yang ada di sekitarnya. Ketika berangkat kerja Nenek Osano tanpa malu sengaja mengikatkan sebuah tali di pinggangnya dimana di ujungnya terdapat sebuah magnet yang menyapu tiap jalan yang dilaluinya. Dengan cara itu ia mendapat paku atau sampah logam yang berserakan di jalan untuk dikumpulkan dan dijual kembali, selain itu dengan cara seperti itu juga akan membuat jalanan bersih dan akan terbebas dari paku. Orang-orang akan tenang berjalan tanpa rasa takut akan terkena paku yang berserakan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makanan tiap harinya nenek memanfaatkan sungai yang mengalir di depan rumahnya. Setiap hari Nenek Osano berkunjung ke ‘supermarket gratis’ dan meletakkan galah di sungai dekat Universitas Sumatera Utara rumahnya untuk mencegat barang-barang yang terbuang di sungai, barang-barang yang tersangkut di galah diambilnya bisa berupa makanan, sandal, sayuran, dan lain lain, walaupun bekas tapi masih bisa dipakai. Hal ini juga berguna untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Kemudian setiap hari nenek juga mengumpulkan ranting-ranting yang terseret arus sungai, ranting-ranting itu kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Dengan cara seperti itu nenek membesihkan sungai dari sampah-sampah kotor ranting kayu dan juga sampah sayuran yang akan membusuk dan bertimbun yang akan menyebabkan sungai menjadi kotor, dan jika kayu- kayu tertimbun juga akan menyababkan sungai meluap dan banjir. Jenis sayur dan buah-buahan yang mengalir di sungai tak selalu sama, karenanya alih-alih melihat buku resep untuk mencari ide lauk santapan, Nenek akan menengok ke sungai dan berkata “Hari ini lauknya apa ya?”. Kemudian barulah ia menentukan menu. Namun demikian kadang sungai itu tak mengalirkan apapun selain ranting-ranting, jika demikian Nenek Osano tetap optimis dan mengatakan bahwa “Hari ini supermarket libur”. Nenek Osano mendidik cucunya pun juga dengan sederhana. Meskipun sederhana yang penting bisa. Tokunaga terpaksa tak bisa ikut olahraga kendo dan judo karena harus mengeluarkan biaya untuk perangkat olahraganya. Akhirnya ia ikut lari dan nyeker, benar-benar gratis dan tanpa biaya apapun, tapi berkat itu Tokunaga jadi juara marathon di sekolahnya. Dan meraih beasiswa untuk meneruskan studi SMAnya dari guru olahraganya. Dari neneknya, Tokunaga pun belajar “memungut uang” untuk memenuhi keperluan sekolahnya. Dengan cara, Universitas Sumatera Utara dia dan juga teman-temannya menggantungkan magnet yang terikat oleh tali ke pinggangnya yang kemudian dibawa menyusuri jalan. Demikianlah kehidupan Nenek Osano, walau hidup miskin tapi dia tidak pernah membiarkan dirinya dikalahkan keadaan melainkan selalu tampak bahagia. Bagi Nenek Osano kehidupan yang dialaminya adalah anugerah yang harus dijalaninya dan tanpa ragu ia berkata bahwa “Hidup itu selalu menarik. Daripada hanya pasrah, selalu coba cari jalan” Walau hidup miskin Nenek Osano juga selalu berusaha berbuat kebaikan tanpa harus digembar-gemborkan atau diketahui oleh si penerima kebaikan karena baginya “ Kebaikan sejati dan tulus adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan. Pernah suatu ketika Tokunaga tanpa sengaja terjatuh dari sepeda dan matanya kemudian mengalami cedera. Karena berpikaran kecelakaan ini tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari Tokunagapun tidak memeriksakan matanya. Semakin hari mata Tokunaga semakin sakit sehingga di hari ketiga Tokunaga memutuskan untuk krumah sakit sepulang sekolah yang pada saat itu tidak membawa uang sepeserpun. Setelah pemeriksaannya selesai Tokunaga diberi obat-obatan oleh suster. Karena tidak punya uamg Tokunaga akhirnya bilang pada suster penjaga bahwa dirinya datang dari jauh tanpa membawa uang sepeserpun. Susterpun terkejut dan kemudian melaporkan hal ini kepada dokter. Tokunaga merasa takut kalau-kalau ia akan dimarahi, tetapi ketika dokter keluar dokter malah memberi Tokunaga uang untuk ongkos pulang. Universitas Sumatera Utara Setibanya Tokunaga di rumah menceritakan segala kejadian yang dialaminya sewaktu di rumah sakit. Nenek tampak marah dan kemudian mengambil dompetnya dan segera menuju rumah sakit untuk melunasi uang pengobatan cucunya. Nenek juga gemar membantu orang lain. Ketika datang sepupu nenek yang untuk meminjam uang, tanpa ragu nenek akan mengeluarkan uang lima ribu yen sambil berkata”kapan saja, tidak apa-apa”. Nenek juga selalu menyumbang jika ada acara keagamaan. Hal-hal seperti inilah yang dilihat dan dialami oleh Tokunaga selama ia tinggal bersama neneknya. Bagi Tokunaga ini adalah kesempatan berharga dimana dia bisa memiliki pengalaman yang luar biasa untuk menjalani hari-hari bersama neneknya yang sangat menyenangkan walau kemiskinan membelit hidup mereka.

2.6 Setting Cerita