Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional

BAB III KEWENANGAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA WILAYAH DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional

1 Pengertian Arbitrase Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang sering juga disebut dengan pengadilan wasit. Sehingga para „arbiter‟ dalam pengadilan arbitrase berfungsi layaknya seorang „wasit‟. 38 Ada banyak pengertian dan pendapat-pendapat dari suatu arbitrase. Menurut Yahya Harahap, arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut : a. Perbedaan penafsiran disputes mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa : a Kontraversi pendapat controversy, b Kesalahan pengertian misunderstanding, c Ketidaksepakatan disagreement. b. Pelanggaran perjanjian breach of conract termasuk di dalamnya adalah : a Sah atau tidaknya kontrak, 38 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal 12 b Berlaku atau tidaknya kontrak. c. Pengakhiran kontrak d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. 39 Dalam Reglement op de burgerlijk rechtsvordering disingkat BRv atau Rv. Istilah Arbitrage bahasa Belanda yang mengandung pengertian dalam bahasa Inggris “arbitration”, yang dirumuskan sebagai the submission for determination of disputted matter to privat unofficial persons selected in manner provided bu law or agreement. 40 Menurut A. Abdurrachman, arbitrase adalah memeriksa sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan yang diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil sesuatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan atau arbitrator tersebut dapat dipilih dari pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator. 41 Menurut Huala Adolf, arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan yang 39 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal 108 40 Akhmad Ichsan, Kompendium tentang Arbitrase Perdagangan Internasional Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Hal 10 41 A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, Hal 50 bersifat final dan mengikat binding. 42 Menurut Dion Barus, “Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended ti avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”. 43 Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidan perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan yang berada di bidang- bidang berikut antara lain : 1 Perniagaan Perniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang dan jasa atau keduanya, 2 Perbankan Perbankan adalah kegiatan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk 42 Huala Adolf, Op.Cit, Hal 23 43 http:dionbarus.wordpress.com20080303putusan-komersial-arbitrase-asing-di- indonesia diakses pada tanggal 03 Desember 2016 kredit atau bentuk lainnya yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, 3 Keuangan Keuangan adalah mempelajari bagaimana individu, bisnis, dan organisasi meningkatkan, mengalokasi dan menggunakan sumber daya moneter sejalan dengan waktu dan juga menghitung resiko dalam menjalankan proyek mereka, 4 Penanaman modal Penanaman modal adalah sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi, berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa depan, 5 Industri Industri adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama dalam menghasilkan laba, 6 Hak kekayaan intelektual Hak kekayaan intelektual adalah hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur oleh HaKI mencakup hak cipta, hak desain tata letak sirkuit terpadu, hak merek, hak paten, hak rahasia dagang, hak desain industri, dan hak perlindungan varietas tanaman. 44 Sudargo Gautama memberikan pengertian arbitrase internasional secara agak luas. Menurutnya suatu arbitrase akan bersifat internasional jika beberapa hal terpenuhi, yaitu : 1 Apabila para pihak yang membuaat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha places of business mereka di negara-negara yang berbeda. 2 Jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai tempat usaha mereka. 3 Apabila suatu tempat dimana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dengan para pihak harus dilaksanakan atau tempat dimana objek sengketa paling erat hubungannya most closely connected, memang letaknya di luar negara tempat usaha para pihak. 4 Apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa objek perjanjian mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara. 45 Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional International Law Commission adalah a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted. 44 Abdul Bari Azed, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang, 2006, Hal 3 45 Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1989, Hal 3-4 2 Sejarah Arbitrase Menelusuri dari sejarah, sebenarnya cikal bakal lembaga arbitrase sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, terus berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian menyebar ke Perancis 1250, Scotlandia 1695, Irlandia 1700, Denmark 1795, dan USA 1870. 46 Pada tanggal 24 September 1923 diselenggarakan Protokol Genewa yang bertujuan agar negara-negara bersedia mengakui keabsahan klausula-klausula arbitrase yang dibuat disamping perjanjian utamanya yakni kontrak internasional dan juga untuk memajukan perdagangan internasional. Akan tetapi, di dalam Protokol Genewa 1923 terdapat kelemahan-kelemahan yaitu, tidak mengatur tentang adanya kewajiban mengeksekusi putusan arbitrase yang dibuat di negara lain, meskipun negara yang bersangkutan telah meratifikasi protokol tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 1927 diselenggarakan Konvensi Genewa 1927 yang bersifat pelengkap terhadap Protokol Genewa 1923. Konvensi Genewa ini berlaku bagi negara-negara penandatangan atau yang meratifikasi Protokol Genewa 1923, terhadap putusan-putusan yang telah dibuat yang sesuai tidak menyimpang dengan ruang lingkup protokol, dan putusan arbitrase tersebut harus diakui mengikat dan dapat dilaksanakan di semua negara-negara. Pada tahun 1958, diselenggarakan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award atau yang dikenal dengan nama Konvensi New York 1958. Konvensi ini diselenggarakan karena lemahnya kekuatan 46 Huala Adolf, Op.Cit, Hal 2 eksekutorial putusan arbitrase asing dalam Protokol dan Konvensu Genewa serta tidak berkembangnya perdagangan internasional akibat perang dunia II. Konvensi New York 1958 adalah perjanjian multilateral yang menetapkan bahwa negara- negara peserta konvensi akan mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing sebagai keputusan yang bersifat mengikat dan akan melaksanakan seolah- olah keputusan tersebut merupakan keputusan final dari keputusan pengadilan dalam yurisdiksi mereka. Di dalam konvensi ini terdapat dua hal utama yang diatur, yaitu keabsahan perjanjian arbitrase dan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase. Kemudian konvensi ini diratifikasi di Indonesia melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Pada tahun 1965 dibentuk ICSID The International Centre for the Settlement of Investment Disputes, ICSID didirikan oleh World Bank yang merupakan badan arbitrase internasional di bidang penanaman modal asing. Penyelesaian arbitrase melalui ICSID ini bersifat ekslusif sehingga mengesampingkan adanya kewenangan pengadilan dari setiap berbagai sengketa investasi yang diserahkan pada ICSID. Tidak ada upaya hukum sementara menurut ICSID. Keputusan ICSID ini bersifat mengikat dan tidak ada peninjauan kembali oleh pengadilan atas putusan tersebut. Negara dari peserta konvensi harus mengakui dan melaksanakan keputusan ICSID sebagaimana keputusan yang telah final dari negara tersebut. Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, sehingga dalam menyelesaikan sengketa tentang penanaman modal asing pemerintah Indonesia tunduk pada Konvensu ICSID ini. Saat ini, arbitrase sudah sangat berkembang. Banyak berbagai sengketa diselesaikan melalui arbitrase. Di luar negeri maupun pihak-pihak asing sudah banyak yang lebih memilih mengadakan hubungan perjanjian dengan adanya klausul arbitrase. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa alasan-alasan yaitu, pada umumnya pihak-pihak asing kurang mengenal sistem dan cara hukum dari negara-negara lain, kemudian adanya keragu-raguan dari sikap objektifitas pengadilan setempat dalam memeriksa serta memutus perkara yang di dalamnya terdapat unsur asing, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan dari pengadilan negara berkembang untuk memeriksa dan memutus perkara yang berskala perdagangan internasional hingga alih teknologi, timbulnya dugaan dan kesan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur formal bandan peradilan akan memakan waktu yang sangat lama. 47 Indonesia sudah lama mengenal adanya lembaga arbitrase, bahkan di dalam Reglement op de Burgerlijke Rrechtsvordering BRv, yang berlaku sejak tahun 1849, di dalamnya juga terdapat pasal-pasal mengenai arbitrase. Peraturan ini praktis dan masih berlaku hingga sekarang. Arbitrase sebagai bentuk perwasitan di bidang proses peradilan di luar peradilan umum merupakan sarana yang sangat membantu dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak, khusus dalam hukum privat baik yang bersifat nasional maupun 47 M. Yahya Harahap, Op.Cit, Hal 4 yang bersifat internasional, seperti dalam pelaksanaan perjanjian komersial dan perjanjian investasi penanaman modal. 48 Di dalam penelusuran mengenai sejarah hukum tentang arbitrase, ada pula yang memberikan pendapat bahwa arbitrase mendapat akarnya dalam hukum- hukum gereja ecclesiastical law. Yang jelas, di dalam sejarah hukum Inggris misalnya, terlihat bahwa arbitrase telah digunakan oleh asosiasi-asosiasi bisnis abad pertengahan di Inggris. Arbitrase juga sudah digunakan di Inggris di dalam melakukan transaksi-transaksi maritim tempo dulu. 49 Undang-Undang yang paling tua di dunia tentang arbitrase adalah Arbitration Act 1967 di Inggris. Undang-Undang tersebut sampai sekarang telah mengalami beberapa amandemen atau perubahan. Di Inggris, dalam sejarah perkembangan arbitrase banyak sekali mengalami pertentangan-pertentangan, bahkan timbul sikap antipati terhadap lembaga arbitrase. Pada abad ke 18, menjadi suatu kebiasaan bagi hakim-hakim untuk memutuskan bahwa arbitrase clause atau contract bertentangan dengan public policy, karena arbitrase dapat mengakibatkan oust the jurisdiction of the courts. Di Perancis, arbitrase diatur di dalam Code de Procedure Civile Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang mulai berlaku sejak tahun 1806, yang kemudian sejalan dengan perkembangan zaman lahir Undang-Undang 48 Akhmad Ichsan, Op.Cit, Hal 1 49 Munir Fuady, Op.Cit, Hal 15 arbitrase pada tahun 1925, yang lebih memberikan tempat kepada sistem peradilan arbitrase ini. 50 Akan tetapi, di dalam praktek dirasakan bahwa kewenangan dan yurisdiksi dari peradilan arbitrase ini masih belum memuaskan. Campur tangan badan peradilan konvensional dianggap masih terlalu kuat terhadap arbitrase. Karena itu, pada tanggal 14 Mei 1980, pemerintah Perancis mengeluarkan Dekrit Decree yang memberikan kewenangan dan yurisdiksi yang lebih mandiri terhadap badan arbitrase, dimana badan peradilan pada prinsipnya tidak dapat mencampuri urusan arbitrase. Badan-badan peradilan konvensional bahkan mempunyai kewajiban untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas arbitrase. Namun, banding terhadap putusan arbitrase ke badan peradilan umum diperkenankan dalam hal-hal tertentu saja. Sedangkan di Amerika, telah ada terdapat Arbitration Act 1925, yang mana asas-asasnya masih berlaku di dalam Undang-Undang federal yang sekarang. Karena hukum di Amerika berasal dari Inggris Raya, maka prinsip- prinsip hukum tentang arbitrase di Amerika juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di Inggris, kecuali dalam beberapa hal yang secara detail ada perkembangan yang berbeda dalam praktek perundang-undangan dan praktek yurisprudensi. 51 Sejarah Arbitrase di Belanda mempunyai keterkaitan dengan sejarah arbitrase di Indonesia. Pada mulanya, hukum arbitrase yang diterapkan di negeri Belanda bersumber dari kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang tidak jauh berbeda dengan hukum arbitrase yang ada di Indonesia yang berdasarkan 50 Ibid 51 Ibid pada Rv. Namun di dalam perkembangannya, ternyata hukum arbitrase yang ada di Indonesia berbeda dengan hukum arbitrase yang ada di Belanda. Hal ini disebabkan oleh dua hal pokok yaitu sebagai berikut : a. Perkembangan praktek arbitrase di negara Belanda yang pesat telah memberi pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan hukum arbitrase yang ada disana, sementara di Indonesia paraktek hukum arbitrasenya relatif tidak berkembang dan penyelesaian sengketa lewat arbitrase itu sendiri tidak populer. b. Dibentuknya peraturan arbitrase yang baru di negara Belanda yang mula berlaku sejak tanggan 1 Desember 1986. Peraturan ini merupakan buku keempat yang baru dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, mula dari pasal 1020 sampai pasal 1076. Sementara itu, peraturan tentang arbitrase yang lama di Belanda termuat di dalam pasal 620 sampai pasal 657 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdatanya, yang mirip-mirip dengan ketentuan di dalam pasal 605 sampai pasal 651 Rv di Indonesia. 52 Perkembangan arbitrase di kawasan Asia dapat terlihat di dalam perkembangan institusionalisasi lembaga arbitrase ini. Dalam hal ini, Cina, Srilanka, dan Filipina dianggap yang terdepan dalam perkembangannya dari segi institusionalisasi. Sedangkan di Indonesia, BANI atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia sudah dibentuk pada tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri KADIN, tetapi perkembangan arbitrase di Indonesia dianggap masih belum bergerak, sementara itu keberadaan arbitrase khusus yang telah dicoba 52 Ibid untuk dibentuk Indonesia dalam rangka penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan bank yang berdasarkan syariat Islam juga belum efektif berjalan. Intitusi penyelesaian sengketa alternatif di Filipina diarahkan terhadap pengembangan institusionalisasi ke tingkat pedesaan, yang dibentuk dengan Dekrit Decree Presiden No. 1508 Tahun 1978. Jalur penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan merupakan suatu hal terpenting. Dalam hal ini, telah dibentuk institusi mediasi penyelesaian sengketa di sekitar 42000an desa di seluruh Filipina. Bahkan begitu pentingnya kedudukan badan-badan mediasi ini sehingga seseorang tidak dapat langsung maju ke pengadila untuk berperkara sebelum menunjukkan adanya sertifikasi dari Sekretaris Panel Mediasi yang menyatakan bahwa proses mediasi sudan dilaksanakan tetapi tidak berhasil. 53 Di Srilanka, melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1958, pemerintah telah memformulasikan terbentuknya suatu badan konsiliasi. Undang-Undang tersebut diamandemir dengan Undang-Undang No. 72 Tahun 1988 yang memformulasikan terbentuknya Badan Mediasi. Dewasa ini telah ada ratusan panel mediasi di Srilanka dengan seluruh mediator sudah berjumlah ribuan. Kedudukan mediasi di Srilanka sangat penting bahkan wajib diikuti sebelum perkara tersebut dibawa ke pengadilan-pengadilan konvensional. Begitu pula di Jepang, tradisi menyelesaikan perkara di luar badan peradilan juga sudah sangat membudaya dalam kehidupan hukum kemasyarakatannya. Di Jepang sudah lama dikenal Konsiliasi Tokugawa Atsukai, Naisai, yang merupakan bentuk konsiliasi tradisionalnya, disamping badan 53 Ibid penyelesaian sengketa dalam arti modern, seperti Konsiliasi informal Jidan, Konsiliasi Chotel, dan Kompromi Wakai. Di Malaysia, penyelesaian sengketa alternatif juga populer. Khususnya di kalangan pebisnis. Sejak tahun 1978, telah ada the Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration KLRCA, yang melaksanakan tugasnya menyelesaikan sengketa menggunakan metode mediasi dan arbitrase, baik untuk sengketa domestik maupun sengketa internasional. Di negara Malaysia juga terdapat Asia- Afrika Legal Consultative Comitte AALCC, yang mempunyi pusat arbitrase di Asia. Sedangkan untuk Afrika dipusatkan di Kairo, dengan menggunakan Uncitral Rules yaitu suatu prosedur arbitrase yang telah diterima oleh PBB sejak tahun 1976. Di Singapura terdapat pusat arbitrase yang mana menangani tentang kasus-kasus yang berbau bisnis. Di samping itu, badan arbitrase internasional yaitu Singapore Internasional Arbitration yang terbentuk pada tahun 1990 juga sangat memegang peranan di kawasan ini dalam menangani sengketa-sengketa bisnis internasional. Jalur penyelesaian sengketa secara alternatif di luar peradilan sesungguhnya sangat mungkin terjadi di masyarakat Indonesia dan sejak dahulu budaya ini telah ada dalam masyarakat Indonesia. Sengketa-sengketa yang masih kuat memegang nilai kultur adat, jarang sekali dibawa ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka lebih suka membawanya ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasaya dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR Alternative Dispute Resolution di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan alasan ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa . Pada zaman Hindia Belanda, badan peradilan yang ada saat itu adalah : a. Untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Residentiegerecht sebagai peradilan sehari-hari dengan hukum acara yang digunakan termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat BRv atau Rv. b. Untuk golongan Bumiputera yang terdiri dari bangsa Indonesia asli dan mereka yang disamakan kedudukannya adalah Landaard sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik, dan lain sebagainya. Dengan hukum acara yang digunakan adalah Herziene Inlandisch Reglement HIR, sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura adalah Rechtsreglement Buitengewesten RBg. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Bumiputera, baik HIR maupun RBg, tidak mengaturtentang arbitrase. Hanya lewat pasal 377 HIR dan pasal 705 RBg, ketentuan-ketentuan dalam RV berlaku juga untuk golongan Bumiputera. Dengan berdasarkan kepada pasal 377 HIR dan pasal 705 RBg tersebut, apaila seseorang Bumiputera hendak tunduk kepada peraturan orang Eropa, maka ketentuan arbitrase yang terdapat pasal 615 sampai dengan pasal 651 Rv juga diberlakukan bagi orang Indonesia. Ketentuan dalam Rv mengenai arbitrase ini meliputi lima bagian yaitu sebagai berikut : a. Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 mengenai Persetujuan Arbitrase dan Pengangkatan Arbiter. b. Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 mengenai Pemeriksaan Perkara di Depan Arbitrase. c. Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 mengenai Putusan Arbitrase. d. Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 mengenai Upaya-Upaya Hukum terhadap Putusan Arbitrase. e. Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 mengenai Berakhirnya Perkara Arbitrase. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan pada pasal II peraturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase masih berlaku untuk orang Indonesia. Pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarsa dari Kamar Dagang dan Industri KADIN, Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI. Bediri sebagai lembaga penyelesaian sengketa bisnis di luar badan peradilan konvensional yang ada di Indonesia dengan anggaran dasar yang baru tahun 1985, yang tugasnya menyelesaikan sengketa ataupun sekedar memberikan pendapat yang mengikat binding advice untuk sengketa yang bersifat nasional maupun internasional. Sejak itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase terus berkembang pesat. Dibentuknya Badan Arbitrase Muamalah Indonesia BAMUI sebagai arbitrase khusus yang dibentuk dalam rangka penyelesaian sengketa khusus di bidang bisnis yang berdasarkan syariat Islam juga turut menyemarakkan perkembangan arbitrase di Indonesia. Sejalan dengan berkembangnya arbitrase di dalam praktek peradilan di Indonesia sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang timbul dari suatu kontrak kebutuhan akan pengaturan mengenai masalah hukum arbitrase ini pun terus mendesak karena dirasa ketentuan yang ada sudah tidak memadai lagi, sehingga pada tanggal 12 Agustus 1999, pemerintah mengesahkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Arbitrase ini, maka ketentuan mengenai arbitrase yang sebelumnya telah diatur di dalam Pasal 516 sampai dengan Pasal 651 Rv dan Pasal 377 HIR serta Pasal 705 RBg, dinyatakan tidak berlaku. Hal ini sebagaimana diungkapkan di dalam pasal 81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Sejarah perkembangan arbitrase didunia ditandai oleh beberapa hal, yaitu : 1 Ditandatanganinya berbagai perjanjian bilateral Tahap awal yaitu dengan adanya kebijaan negara-negara yang menandatangani berbagai perjanjian bilateral yang berisi tentang kesepakatan para pihak untuk menyerahkan sengketa kepada badan arbitrase. Hal ini kemudian dimasukkan ke dalam klausula arbitrase. Perjanjian pertama secara formalnya sudah ada untuk petamakalinya tertuang dalam perjanjian Jay Treaty 1794 AS-Inggris. Membentuksuatu komisi bersama yaitu United Comission satu dari AS, dan satu lagi dari Inggris. Kemudian satu anggota sebagai ketua diangkat oleh dua anggota arbitrator yang sebelumnya dipilih oleh para pihak. Kemudian prosedur beracara melalui arbitrase banyak diikuti masyarakat internasional sepanjang abad 19. Puncaknya yaitu Alabama Claims Arbitration, dalam sengketa ini, arbitrator terdiri dari dua orang anggota yang masing-masing dipilih oleh para pihak. Dua anggota yang terpilih ini memilih satu anggota lainnya sebagai ketua. Anggota yang terpilih pada waktu itu adalah Raja Italia, Presiden Konfederasi Swiss, dan Kaisar Brazil. Tata cara dalam proses persidangan arbitrase di dalam kasus ini memperbolehkan pula diterbitkannya putusan arbitrase, pendapat para arbitrator, baik yang disetujui putusan atau pun yang menentangnya. 2 Lahirnya Permanent Court of Arbitration PCA Ditandai dengan diselenggarakannya Konverensi Perdamaian Den Haag I 1899 dan Konverensi Den Haag II 1907, Konverensi Perdamaian ini terselenggara karena antara lain didorong oleh adanya penggunaan arbitrase yang semakin luas pada abad ke-19. Disamping itu, masyarakat internasional juga menunjukkan keinginannya pada waktu itu untuk menjadikan arbitrase sebagai suatu badan yang permanen. Kedua konverensi ini berupaya mengkodifikasi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ada mengenai arbitrase. Salah satu hasil terpenting dari Konverensi Den Haag adalah didirikannya the Permanent Court of Arbitration PCA yang berkedudukan di gedung Peace Palace, Den Haag Belanda. Kemudian, lahirnya the Permanent Court of International Justice PCIJ atau Mahkamah Permanen Internasional oleh PBB.

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase Internasional