menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan abadi serta pelestarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan inter-personal.
16
Menurut Kartono, Pengertian perkawinan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan
berbeda-beda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan dihampir semua kebudayaan cenderung sama perkawinan menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang
calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi dengan upacara dan
ritual-ritual tertentu.
17
Menurut sayuti Thalib perkawinan adalah perjanjian suci membenti keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian
disini memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta penampakannya kepada masyarakat ramai. Sedangkan suci untuk pernyataan segi
keagamaan dari suatu perkawinan.
18
B. SYARAT PERKAWINAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU Perkawinan mendefenisikan, perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami-isteri. Dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
16
http:www.sarjanaku.com201301pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html ,
diakses pada tanggal 16 Januari 2014 pada pukul 12.30 WIB.
17
http:www.sarjanaku.com201301pengertian-perkawinan-makalah-masalah.html ,
pada tanggal 11 Juli 2013, pada pukul 20.45 WIB.
18
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI-Press, Cetakan kelima, Jakarta , 1986, halaman : 47.
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan di indonesia menganut asas monogami terbuka , artinya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitu juga
sebaliknya. Kecuali pengadilan memberikan izin kepada pria tersebut, untuk beristri lebih dari seorang itupun dikehendaki oleh pihak pihak terkait serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan baik menurut syarat alternatif maupun kumulatif.
19
Perkawinan dapat dilakukan apabila memenuhi ketentuan dan syarat- syarat perkawinan yang diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-Undang
No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan memuat mengenai syarat perkawinan yang
bersifat materiil, sedang Pasal 12 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat
perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanyasalah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal duniawalinya apabila kedua orang tuanya
telah meninggal dunia. 3.
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan
19
Budi Susilo, Op.Cit., halaman: 13.
Universitas Sumatera Utara
harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Ini merupakan syarat syarat yang harus dipenuhi oleh para calom mempelai untuk melakukan suatu perkawinan menurut UU nomor 1 tahun 1974
Tetapi ada juga syarat syarat yang diatur menurut kompilasi hukum islam tentang perkawinan yaitu menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a.
Calon Suami; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.
b. Calon Isteri; Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni dan calon
isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. c.
Wali nikah; Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan wali nikah terdiri dari
dua bagian: 1.
Wali nasab: Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
Universitas Sumatera Utara
kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki- laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman,
yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-
laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. 2.
Wali hakim; Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
d. Dua orang saksi
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Ijab dan Kabul Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Di dalam pengertian perkawinan itu juga kita melihat adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, hal ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa Undang-undang Perkawinan kita pada prinsipnya menganut asas monogami, karenanya poligami hanyalah dimungkinkan sepanjang hukum
agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh syarat-syarat ketat, yaitu dengan izin pengadilan.
20
C. AKIBAT PERKAWINAN
Akibat hukum yang ditimbulkan sebuah perkawinan adalah sebagai berikut : 1.
Terkait dengan hak dan kedudukan , suami dan isteri adalah seimbang menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 adalah sebagai berikut:
a. Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
b. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain; c.
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak- anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya; d.
suami isteri wajib memelihara kehormatannya; e.
jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
20
Asmin, Status perkawinan antar agama ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 174
, Dian Rakyat, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman :19.
Universitas Sumatera Utara
2. Terkait dengan kedudukan anak, dimana anak adalah sah bila dilahirkan
dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah menurut pasal 98 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan. c.
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu
.
3. Terkait dengan harta benda dalam perkawinan akan terjadi percampuran harta
yang didapat menjadi harta bersama. Kecuali atas harta bawaan maupun harta perolehan, itupun harus didasarkan pada perjanjian pemisahan harta.
21
Diatur lebih lanjut dalam pasal 83 sampai dengan pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
Dan ada beberapa akibat hukum Dari adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang
dilahirkan dalam perkawinan.
21
Budi susilo , Prosedur gugatan cerai , Pustaka yustisia , Jakarta , 2007, halaman : 11.
Universitas Sumatera Utara
a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri pasal 30-34 Undang- Undang No.1 Tahun 1974
1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan
rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3.
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum 4.
Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. 5.
Suami istri menentukan tempat kediaman mereka. 6.
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya. 8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan pasal 35-37 Undang- Undang No.1 Tahun 1974
1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun. 3.
Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama .
Universitas Sumatera Utara
c. Akibat Perkawinan Terhadap Anak Kedudukan anak pasal 42-44 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Hak dan Kewajiban antara anak dan orang tua pasal 45-49 Undang- Undang No.1 Tahun 1974
1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah
2. Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
3. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
4. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri 5.
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
6. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam
garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya.
d. Kekuasaan orang tua pasal 50-54 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
1. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
bawah kekuasaan orang tua. 2.
Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
3. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
4. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
5. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anak dan anak berkelakuan buruk sekali
6. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya. 7.
Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah: 1.
Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan
hokum di dalam maupun di luar pengadilan. Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari
pengesahannya. Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
1. Anak itu dewasa
2. Anak itu kawin
3. Kekuasaan orang tua dicabut
22
22
http:kuliahade.wordpress.com20100402hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan ,
diakses pada tanggal 12 Juli 2013 pada pukul 15.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
D. PENGERTIAN PERCERAIAN