Peran agen-agen sosialisasi dalam keberagaman para penyandang tunanetra usia dewasa
TUNANETRA USIA DEWASA
(Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufuin Tangerang Selatan)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada jurusan Sosiologi
Oleh:
SAPTO WIBOWO
NIM: 102032224698
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
(2)
iv
KEBERAGAMAAN PARA PENYANDANG TUNANETRA USIA DEWASA (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan), 16 Juni 2010, vii, 58 hal.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran konkrit mengenai
peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa. Ketunanetraan terbagi dua, yaitu totally blind (tunanetra total) dan low vision (yang masih memiliki penglihatan namun rendah). Penyebab ketunanetraan bisa berupa bawaan dari lahir atau genetic, maupun disebabkan faktor dari luar atau eksogen, seperti kecelakaan, sakit, dan lain sebagainya. Sedangkan agen-agen sosialisasi terdiri dari keluarga, teman bermain, sekolah dan media massa. Agen-agen sosialisasi ini adalah pihak-pihak yang berperan dalam proses pengenalan seseorang terhadap lingkunganya, atau dengan kata lain pihak yang membantu seseorang untuk bermasyarakat.
Objek penelitian ini adalah para informan yang mengalami ketunanetraan saat mereka sudah berusia dewasa. Ini artinya, para informan bukan penyandang tunanetra sejak lahir.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa peran agen-agen sosialisasi dalam memberikan pengetahuan keagamaan cukup besar, terutama peran agen sosialisasi teman bermain serta media massa. Sedangkan yang berperan besar dalam memberikan motivasi dan semangat hidup para penyandang tunanetra usia dewasa adalah pihak keluarga dan teman bermain.
Dengan bertambahnya pengetahuan keagamaan serta semangat hidup yang diperoleh para informan lewat agen-agen sosialisasi membuat mereka lebih semangat dan yakin dalam menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.
(3)
i
TUNANETRA USIA DEWASA
(Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada jurusan Sosiologi
Oleh
SAPTO WIBOWO
NIM: 102032224698
Di bawah bimbingan,
Ahmad Abrori, M.Si
NIP. 19760225 200501 1 005
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(4)
ii
Tunanetra Usia Dewasa (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) pada Program Studi Sosiologi.
Jakarta, 20 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap Anggota, Sekretaris merangkap penguji,
Dr. Hendro Prasetyo, MA Dra. Joharotul Jamilah, M.Si NIP. 19640719 199003 1 001 NIP. 19680816 199703 2 002
Anggota:
Penguji I, Penguji II,
Dra. Hj. Ida Rosyidah, MA Dra. Joharotul Jamilah, M.Si NIP. 19630616 199003 2 002 NIP. 19680816 199703 2 002
Pembimbing,
Ahmad Abrori, M.Si NIP. 19760225 200501 1 005
(5)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skrispi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S 1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 16 Juni 2010
(6)
v
Alhamdulillah, dengan segenap perasaan yang tulus ikhlas, penulis mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan penuh perjuangan dan rintangan. Mengingat waktu yang dibutuhkan sangat berliku untuk menyelesaikan ini, penulis begitu bersyukur akhirnya selesai.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman, yang membuat begitu banyak perubahan, sehingga umat manusia tercerahkan hidupnya. Semoga kita termasuk umatnya di hari akhir kelak, amin.
Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam penyusunan tugas akhir ini penulis dapatkan. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
2. Dra. Joharatul Jamilah, M. Si., (Sekretaris Jurusan Sosiologi). Terima kasih atas segala perhatian, motivasi, dan arahan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan.
3. Bapak Ahmad Abrori, M.Si, sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang dengan penuh sabar dan teliti memberikan masukan, arahan, bimbingan kepada penulis. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan, atas segala perhatian dan waktu yang diluangkan untuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
(7)
vi
5. Bapak dan ibu petugas perpustakaan fakultas, yang memberikan pelayanan sepenuh hati kepada penulis dalam melengkapi berbagai literatur dalam penulisan skripsi ini.
6. Ayahanda penulis, Bapak Ujang Firadi, yang dengan penuh kesabaran memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skrips ini. Kemudian ibunda penulis, ibu Suparmi, yang dengan penuh ketelatenan dan kesabaran mendorong dan memberikan nasihat agar menyelesaikan kuliah penulis yang sempat terbengkalai.
7. Kakak-kakak penulis, keponakan penulis, yang dengan penuh sabar membacakan dan mengetikkan bahan-bahan penulisan skripsi serta memberikan dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
8. Teman-teman penulis di jurusan Sosiologi angkatan 2002: Ina, Yana, Eva, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Aminudin, yang dengan penuh kesabaran menemani penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan segala bantuan yang diberikan.
9. Para informan yang sudi meluangkan waktu untuk penulis wawancarai. Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat, baik kepada penulis maupun khalayak umum yang membutuhkan tambahan wacana mengenai ketunanetraan.
(8)
vii
memberikan bantuan dan semangat kepada penulis. Semoga keberadaan yayasan ini dapat memberikan manfaat kepada para penyandang tunanetra dan memberdayakan mereka, sehingga dapat menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT, amin ya rabbal alamin. Selain itu, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya, amin. Sekali lagi terima kasih.
Jakarta, 1 Juli 2010
(9)
viii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metodologi Penelitian ... 7
E. Sistematika Penelisan ... 10
BAB II KAJIAN TEORI A. Tunanetra ... 11
1. Pengertian Tunanetra ... 11
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketunanetraan . 12 B. Sosialisasi ... 15
1. Pengertian Sosialisasi ... 15
2. Agen-agen Sosialisasi ... 17
3. Pola Sosialisasi ... 23
(10)
ix
1. Pengertian Agama dan Keberagamaan ... 24
2. Dimensi-dimensi Keberagamaan ... 27
BAB III GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN A. Dunia Pendidikan ... 29
B. Perilaku Keberagamaan ... 30
C. Status Sosial Ekonomi ... 31
D. Visi dalam Hidup ... 33
E. Yayasan Raudlatul Makhfufin ... 34
BAB IV AGEN SOSIOALISASI DAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN PENYANDANG TUNANETRA DEWASA A. Agen Sosialisasi dan Pengetahuan Agama Penyandang Tunanetra Dewasa ... 38
B. Praktik Keagamaan Penyandang Tunanetra Dewasa ... 43
C. Harapan Hidup Penyandang Tunanetra Dewasa sebagai Hasil dari Pengetahuan dan Praktik Keagamaan Mereka ... 47
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55
B. Saran-saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(11)
1 A. Latar Belakang Masalah
Manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, mempunyai tanggung jawab yang berat di muka bumi. Karena manusia merupakan khalifah Allah, yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam beserta isinya. Tugas dan tanggung ini sebelumnya sudah pernah diberikan kepada makhluk lainnya, seperti malaikat, jin, dan sebagainya, namun mereka tidak ada yang menyanggupinya. Hanya manusialah yang berani untuk mengambil tanggung jawab ini.
Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut, manusia diberi bekal oleh Allah SWT, berupa akal, emosi, dan seperangkat organ tubuh yang memungkinkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk lain. Dari semua bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia, akallah yang paling membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena dengan akal pikiran manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Selain akal, manusia juga memilik indera yang bisa digunakan untuk merasa, mencium, meraba, mendengar, melihat atau yang lebih dikenal dengan panca indera. Dengan indera inilah manusia menggunakan akalnya untuk menentukan atau memutuskan suatu hal yang sekiranya dianggap baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Sejalan dengan perkembangan zaman, melalui
(12)
akal dan indera juga, manusia menemukan berbagai macam teknologi yang digunakan untuk memudahkan hidup mereka.
Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh manusia adalah, kewajiban mereka terhadap Tuhan, yang telah menciptakan mereka. Dalam bahasa agama Islam disebut ibadah. Ini adalah salah satu bentuk kewajiban manusia dalam mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana jika salah satu indera manusia tersebut berkurang?
Secara psikologis, seseorang yang mengalami perubahan dalam hidupnya, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk materi, maka orang tersebut akan mengalami keguncangan. Perubahan yang penulis maksud di sini lebih bersifat perubahan yang berasal dari baik menjadi tidak baik, atau dari sempurna menjadi tidak sempurna.
Salah satu indera yang jika oleh Allah diambil, yaitu mata, membuat manusia tidak bisa melihat atau dalam kadar tertentu penglihatannya berkurang dan kurang maksimal. Istilah ini lebih sering disebut sebagai tunanetra.
Secara etimologi pengertian tunanetra adalah “tuna” yaitu “rusak”, dan “netra” yaitu “mata”, jadi tunanetra adalah “cacat mata”. Istilah tunanetra menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan pada indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan “buta” adalah melukiskan keadaan di mana mata sebaga indera untuk melihat mengalami kerusakan, baik kerusakannya itu sebagian maupun seluruhnya (kedua-duanya),
(13)
sehingga mata tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (tidak dapat melihat).”1
Pemerintah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penderita cacat adalah “seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan untuk melakukan kegiatan secara layak”.2
Orang-orang yang mengalami ketunanetraan itu berbeda-beda. Mereka yang mengalami ketunanetraan dari lahir, umumnya bisa menerima dan ikhlas kekurangannya tersebut merupakan takdir Allah SWT, yang dibalik semua itu tersimpan hikmah yang terkadang manusia belum bisa menemukannya. Mereka yang menyandang tunanetra sejak lahir (bawaan) ketika beranjak dewasa dan memasuki usia dewasa sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sekitarnya. Namun bagaimana dengan mereka yang mengalami ketunanetraan ketika beranjak atau memasuki usia dewasa? Tentu membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan sekitarnya.
Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, para penyandang tunanetra usia dewasa membutuhkan bantuan orang lain agar dapat bersosialisasi dengan keadaan yang baru tersebut. Untuk itu agen-agen sosialisasi yang terdiri dari keluarga, media, dan teman sepermainan, sistem pendidikan tentu saja memiliki pengaruh dalam proses adaptasi tersebut.
Di sinilah kemudian agen-agen sosialisasi penulis anggap memiliki peran terhadap keberagamaan para penyandang tunanetra. Agen-agen sosialisasi bisa
1
Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, (Bandung: CV Masa, 1997), Cet. Ke-1, hal. 12
2
Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah 36/1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penderita Cacat, penjelasan Pasal demi Pasal, hal. 1
(14)
jadi akan memberikan pengetahuan dan semangat bagi para penyandang tunanetra usia dewasa tersebut dalam melanjutkan hidupnya, atau bisa juga agen-agen sosialisasi tidak memiliki peran apa-apa dalam memberikan motivasi terhadap penyandang tunanetra dewasa.
Apa yang penulis kemukakan di atas adalah bagaimana peran agen-agen sosialisasi dalam kehidupan beragama tunanetra usia dewasa. Lebih jauh, bagaimana para penyandang tunanetra dewasa tersebut dalam melakukan sosialisasi dengan masyarakat, atau bagaimana mereka berinteraksi dengan agen-agen sosial lainnya? Karena tidak bisa dipungkiri, dalam kehidupan sosial, manusia senantiasa bersinggungan dengan agen-agen sosial tersebut.
Fuller dan Jacobs, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto menjelaskan bahwa terdapat 4 agen sosialisasi utama, yaitu: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan.3 Peran keempat agen sosialisasi tersebut sangat besar terhadap seorang individu, terutama bagi mereka yang memiliki kekurangan fisik dengan tidak berfungsinya salah satu indera yang ada.
Para penyandang tunanetra usia dewasa, sebelumnya telah memiliki memori tentang berbagai hal. Mereka sudah pernah melihat benda-benda dan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Sehingga saat menjadi tunanetra, para penyandang tunanetra usia dewasa tersebut tentu saja mengalami peralihan yang ekstrim, sehingga memerlukan penyesuaian yang tidak sebentar.
Di sinilah para agen sosialisasi memerankan perannya. Keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan memiliki peran yang vital dalam memberikan motivasi maupun semangat hidup bagi para penyandang
3
(15)
tunanetra tersebut. Selain agama, para agen sosialisasi tersebut dapat memberikan motivasi dan semangat hidup bagi para penyandang tunanetra usia dewasa agar bisa terus meneruskan perjalanan hidup mereka sebagaimana mestinya, meskipun indera penghilatan mereka sudah tidak berfungsi lagi.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis terdorong untuk mengadakan penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN AGEN-AGEN SOSIALISASI DALAM KEBERAGAMAAN PARA PENYANDANG TUNANETRA USIA DEWASA (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin, Tangerang Selatan Banten).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar penulisan ini mempunyai arah dan terfokus, maka masalah yang akan dibahas dibatasi pada peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa, dengan rincian pembatasan sebagai berikut:
a. Sosialisasi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut – di bidang ekonomi, keluarga, pendidikan, agama, politik dan sebagainya – harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat. 4 Sedangkan agen-agen sosialisasi terdiri dari keluarga, media massa, kelompok bermain, dan sistem pendidikan. b. Keberagamaan yang dimaksud di sini adalah kehidupan beragama
yang terdiri dari 5 dimensi. Namun penulis hanya memfokuskan
4
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004), hal. 21
(16)
penelitian ini pada dimensi keyakinan, ritual dan pengalaman.
c. Tunanetra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mereka yang menyandang ketunanetraan bukan dari lahir melainkan saat sudah dewasa.
d. Dewasa dalam penelitian adalah mereka yang berusia di atas 17 tahun.
2. Perumusan Masalah
Dari pembahasan di atas penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana peran agen-agen sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada para penyandang tunanetra dewasa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui keyakinan penyandang tunanetra usia dewasa tentang agamanya.
b. Untuk mengetahui ritual keagamaan penyandang tunanetra usia dewasa dalam menjalankan kehidupan beragama.
c. Untuk mengetahui peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan penyandang tunanetra usia dewasa.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keyakinan penyandang tunanetra terhadap agama yang berperan dalam
(17)
bersosialisasi di masyarakat.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai ritual keagamaan penyandang tunanetra dalam menjalani kehidupan beragama.
c. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai harapan penyandang tunanetra dalam menjalani hidup beragama.
d. Sebagai masukan bagi alim ulama dan instansi pemerintah serta juga masyarakat untuk memberikan perhatian terhadap keberadaan penyandang tunanetra sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang kontstruktif terhadap penyandang tunanetra.
D. Metodologi Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan. Alasan penulis mengambil lokasi ini karena seluruh informan yang merupakan penyandang tunanetra usia dewasa aktif di yayasan ini.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan, 1 bulan untuk penelusuran buku-buku dan naskah yang terkait dengan masalah yang dibahas. Lima bulan berikutnya untuk penelitian lapangan, penulis melakukan penelitian lapangan dari bulan Desember 2009 - April 2010.
(18)
3. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research).
4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualititif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk studi kasus yang dapat memberikan nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik tentang fenomena individu.5 Hasil temuan tersebut kemudian penulis analisa dengan menggunakan teori-teori yang sudah dicantumkan sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.
5. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah para penyandang tunanetra usia dewasa yang aktif di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan. Dalam penelitian ini penulis mengambil 4 informan yang penulis wawancarai.
6. Teknik Pengumpulan Data
Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada masyarakat sebagai objek yang diwawancarai, yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.6
Dalam penelitian ini penulis mewawancari 4 informan yang penulis wawancarai. Mereka adalah: informan EM berusia 38 tahun,
5
Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 1998), h. 3
6
Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 3
(19)
informan ARK berusia 25 tahun, dan informan NS berusia 27 tahun. Lalu informan informan AG berusia 37 tahun.
Alasan penulis hanya mewawancarai 4 orang informan adalah karena dari awal rencana 9 informan, ternyata 4 informan lainnya ada yang memiliki kendala seperti meninggal dunia, pindah tempat tinggal, dan dalam perawatan medis. Hal ini membuat proses wawancara tidak bisa dilangsungkan.
7. Metode Analisa Data
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, sehingga menjadi sebuah laporan penelitian, penulis memilih data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan yang diajukan ke responden sebagai informan, dalam hal ini penyandang tunanetra yang mengalami ketunanetraan saat dewasa, akan dianalisa dengan menggunakan metode deskirptif analitis. Data-data yang penulis peroleh dari wawancara, baik wawancara terikat maupun wawancara bebas, penulis deskripsikan dalam bentuk tulisan kemudian penulis analisa dengan menggunakan pengetahuan penulis terhadap teori-teori sosial yang ada.
Data wawancara yang nantinya dilakukan, penulis kategorikan kepada tiga hal, yaitu pengetahuan keagamaan, praktik keagamaan dan harapan hidup. 8. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karangan Hamid Nasuhi et.al. yang diterbitkan oleh CeQDA tahun 2007
(20)
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, maka skripsi ini akan penulis uraikan menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian teori, dalam bab ini diterangkan mengenai Tunanetra, yang terdiri dari pengertian tunanetra, faktor-faktor yang menyebabkan ketunanetraan. Kemudian teori tentang sosialisasi yang terdiri dari pengertian sosialisasi, agen-agen sosialisasi, pola sosialisasi. Kemudian teori keagamaan yang membahas tentang pengertian agama dan keberagamaan, dimensi-dimensi keberagamaan.
Bab III Gambaran Umum Subjek Pesnelitian. Bab ini membahas tentang dunia pendidikan, perilaku keberagamaan, status sosial ekonomi, visi dalam hidup, dan Yayasan Raudlatul Makhfufin.
Bab IV Agen Sosialisasi dan Nilai-Nilai Keagamaan Penyandang Tunanetra Dewasa. Bab ini membahas tentang agen sosialisasi dan pengetahuan agama penyandang tunanetra dewasa, praktik keagamaan penyandang tunanetra dewasa, harapan hidup tunanetra dewasa sebagai hasil dari pengetahuan dan praktik keagamaan mereka.
(21)
11 BAB II KAJIAN TEORI
A. Tunanetra
1. Pengertian Tunanetra
Secara etimologi pengertian tunanetra adalah “tuna” yaitu “rusak”, dan “netra” yaitu “mata”, jadi tunanetra adalah “cacat mata”. Istilah tunanetra menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan pada indra penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan “buta” adalah melukiskan keadaan di mana mata sebaga indra untuk melihat mengalami kerusakan, baik kerusakannya itu sebagian maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (tidak dapat melihat).”1
Pemerintah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penderita cacat adalah “seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan untuk melakukan kegiatan secara layak”.2
Sedangkan yang dimaksud dengan tunanetra dalam penelitian skripsi ini adalah seseorang yang mengalami hambatan atau kecacatan dalam penglihatan baik itu secara total atau buta (blind) maupun lemah penglihatan (low vision), baik tanpa hambatan intelektual maupun disertai dengan hambatan intelektual (multi disable).
1
Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, (Bandung: CV Masa, 1997), Cet. Ke-1, hal. 12
2
Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah 36/1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penderita Cacat, penjelasan Pasal demi Pasal, hal. 1
(22)
Dengan melihat pernyataan pemerintah di atas maka dapat dipastikan orang yang mengalami cacat akan mendapatkan hambatan dan rintangan dalam melakukan berbagai aktivitas dalam hidupnya. Dengan demikian, masa depan penyandang cacat selamanya akan menjadi gelap dan suram, sehingga ia tidak dapat memperbaiki hidup ke taraf yang lebih baik lagi.
Masalah ketunanetraan sesungguhnya bukan hanya menjadi masalah bagi si penyandangnya, melainkan masalah bagi seluruh komponen dan masyarakat dan bangsa, karena sesungguhnya penyandang tunanetra merupakan bagian dari kesatuan masyarakat Indonesia. Penyandang tunanetra sesungguhnya mempunyai bakat dan kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan orang normal lainnya. Kemampuan dan bakat penyandang dapat diberdayakan dengan baik, yaitu dengan jalan mengajarkan keterampilan dan memberikan mereka sedikit kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. 2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketunanetraan
Ada beberapa faktor ketunanetraan, di antaranya yaitu: faktor keturunan (bawaan), faktor ketuaan, faktor kecelakaan dan faktor penyakit:
a. Faktor keturunan (bawaan)
“Merupakan sebagai proses dari pertumbuhan dan perkembangan anak sewaktu masih dalam kandungan yang disebabkan oleh ibu hamil yang mengalami gangguan atau karena unsur-unsur penyakit yang bersifat menahun, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungannya.”3
3
(23)
b. Faktor ketuaan
Usia lanjut akan mudah mengalami beberapa penyakit, seperti hipertensi dan katarak. Katarak merupakan penyakit kebutaan yang dialami oleh orang lanjut usia dan sebetulnya katarak dapat disembuhkan dengan jalan operasi, tetapi karena faktor usia maka sebagian orang lanjut usia tidak melakukan operasi dan dianggapnya sebagai rotasi dari perjalanan hidup manusia.
c. Faktor kecelakaan
Kecelakaan akan membuat orang yang mengalaminya menjadi trauma dan akan menyebabkan menjadi cacat. Orang yang pekerjaannya menjadi tukang las akan mudah menderita kerusakan pada matanya, karena pekerjaannya itu selalu berhubungan dengan sinar ultra violet. Atau karena kecelakaan akibat jatuh dan terbentur benda tumpul yang mengakibatkan sel syaraf mata terputus.
d. Faktor penyakit
1) Jenis-jenis penyakit yang dapat menyebabkan ketunanetraan, adalah Glaukoma, adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa peningkatan tekanan bola mata, penggunaan pupil syaraf optik dengan efek lapangan pandangan mata.”4
2) Katarak adalah pengeruhan lensa mata. Katarak ada dua jenis, yaitu katarak lunak dan katarak keras. Katarak lunak terjadi
4
Sidarta Ilyas, Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2000), Cet. Ke-2, Jilid 2, hal. 97
(24)
pada anak-anak, sedangkan katarak keras biasanya terjadi pada orang lanjut usia.5
3) Trakoma adalah penyakit pada permukaan kelopak mata bagian dalam yang terlihat seperti bintik-bintik merah dan terasa sangat gatal, kalau tidak ditangani secara segera akan mengalami kebutaan.6
Terdapat pendapat lain yang menjelaskan tentang penyebab ketunanetraan. Anastasia memjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan ketunanetraan, yaitu faktor endogen dan faktor eksogen.
a. Fakto endogen
Ialah faktor yang sangat erat kaitannya dengan keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan:
1) Perkawinan antar keluarga (perkawinan antar keluarga yang dekat) dan perkawinan antar keluarga tunanetra itu sendiri.
2) Mempunyai orang tua atau nenek moyang yang tunanetra dengan kata lain, pengaruhnya bersifat herediter.
3) Gangguan yang diderita ibu pada saat hamil atau karena unsur-unsur penyakit yang bersifat menahun (misalnya TBC) sehingga merusak pertumbuhan janin. Anak tunanetra yang lahir karena faktor endogen memperlihatkan ciri-ciri bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar (cahaya) kadang-kadang pada bola matanya tertutup selaput putih atau keruh.
5
Sidarta Ilyas, Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, hal. 84
6
(25)
b. Faktor eksogen
Faktor lain misalnya seseorang mengalami penyakit seperti: 1) Exeropphalnea, yakni suatu penyakit karena kekurangan vitamin
A. Penyakit ini terdiri atas stadium buta senja, stadium selaput putih kiri kanan dan selaput bening kelihatan kering dan stadium bening menjadi lunak, keruh, dan hancur.
2) Trachoma, dengan gejala bintil-bintil pada selaput putih dengan perubahan pada selaput bening dan stadium terakhir selaput putih menjadi keras sakit dan luka.
3) Katarak, glukoma dan lain-lain penyakit yang dapat menimbulkan ketunanetraan.
c. Faktor eksogen lain ialah kecelakaan yang langsung dan tidak langsung mengenai bola mata, misalnya kecelakaan karena kemasukan kotoran barang keras, benda tajam, atau barang cairan yang berbahaya.
d. Penyakit kelamin, sipilis/raja singa, diabetes meletus, tekanan darah tinggi, stroke, dan radang kantung air mata.7
B. Sosialisasi
1. Pengertian Sosialisasi
Peter Berger, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto, mencatat adanya perbedaan antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhluk lain yang seluruh perilakuknya dikendalikan oleh naluri
7
Anastasia Widjadjatin dan Imanuel Hititew, Ortopedagogik Tunanetra Pertama, (Jakarta: Depdikbud, 1995), hal. 35
(26)
yang diperoleh sejak awal hidupnya, maka di saat lahir manusia merupakan makhluk tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh sebab itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri.8
Manusia harus memutuskan apa yang harus dimakannya dan kebiasaan yang kemudian ditegakkannya menjadi bagian kebudayaannya. Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain maka dijumpai keanekaragaman kebiasaan di bidang makanan. Ada kelompok yang makanan pokoknya nasi; ada yang sagu; ada yang roti. Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri, maka manusia harus mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan yang berbeda satu dengan yang lain. Keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut – di bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik dan sebagainya – harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi (socialization).
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society” (proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.9
Teori sosialisasi didasarkan pada pandangan teori fungsional yang mengatakan bahwa ada norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati
8
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004), hal. 21
9
(27)
oleh segenap anggota masyarakat. Tentu saja gambaran tentang suatu kebudayaan yang sepenuhnya utuh yang mempunyai norma dan nilai-nilai yang dipatuhi oleh semua anggota masyarakat hanyalah merupakan sebuah model untuk mengawali suatu analisis. Teori sosialisasi tertuju bahwa perilaku sosial, baik yang bersifat menyimpang maupun yang patuh, dikendalikan terutama oleh norma dan nilai-nilai yang dihayati. Penyimpangan disebabkan oleh adanya gangguan (disrupsi) pada proses penghayatan dan pengalaman nilai-nilai tersebut dalam perilaku seseorang.10
George Herbert Mead menguraikan tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat – suatu proses yang dinamakan pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
2. Agen-agen Sosialisasi
Fuller dan Jacobs, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto, mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan.
10
Yusron Razak (ed.), Sosiologi Suatu Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), Cet. Ke-1, hal. 210-211
(28)
a. Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bisa berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup pula nenek, kakek, paman, bibi dan sebagainya.
Pada sistem komun yang dijumpai di Republik Rakyat Tiongkok atau berbagai negara Eropa Timur sebelum runtuhnya Uni Soviet, pada sistem Kibbutz di Israel, atau pada sistem penitipan anak dalam hal kedua orang tua bekerja, sosialisasi terhadap anak di bawah usia lima tahun mungkin dilakukan pula oleh orang lain yang sama sekali bukan kerabat seperti tetangga, babi sitter, pekerja sosial, petugas tempat penitipan anak dan sebagainya. Di kalangan lapisan menengah dan atas dalam masyarakat perkotaan seringkali dijumpai pembantu rumah tangga pun sering memegang peran penting sebagai agen sosialisasi anak, setidak-tidaknya pada tahap-tahap awal.
Gertrude Jaeger, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto, mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting. Sang anak (khususnya pada masyarakat modern Barat) sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindung terhadap
(29)
penyalahgunaan kekuasaan yang sering dilakukan orang tua terhadap mereka seperti penganiyaan (child abuse), perkosaan dan sebagainya.11 b. Teman Bermain
Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain, teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Di sini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya di rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat (seperti antara kakek atau nenek dengan cucu, orang tua dengan anak, paman atau bibi dengan kemenakan, kakak dengan adik, atau pengasuh dengan anak asuh) maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage – mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak mulai belajar nilai-nilai.12
c. Sekolah
Di sini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga atau pun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya.
Robert Dreeben, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto, berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah – di samping membaca, menulis dan berhitung – adalah aturan mengenai kemandirian
11
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 24
12
(30)
(independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifisitas (specificity). Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons – misalnya antara ascription dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness dan specificity.
Menurut Dreeben di sekolah seorang anak harus belajar untuk mandiri. Kalau di rumah seseorang anak dapat mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, maka di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab. Ketergantungan pada orang tua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di sekolah; guru menuntut kemandirian dan tanggung jawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerja sama dalam kelas hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan atau kecurangan.
Aturan kedua yang dipelajari anak melibatkan prestasi. Di rumah peran seorang anak terkait dengan askripsi – peran-peran yang dimilikinya, seperti peran sebagai anak laki-laki atau anak perempuan, sebagai adik atau sebagai kakak merupakan peran yang dibawa sejak lahir. Di sekolah, di pihak lain, peran yang diraih dengan berprestasi merupakan peran yang menonjol. Kedudukan anak di suatu jenjang pendidikan tertentu, atau peringkatnya dalam jenjang prestasi di dalam kelas, misalnya, hanya dapat diraih melalui presatasi. Meskipun orang tua pun berperan dalam mendorong anak untuk berprestasi, namun menurut Dreeben peran sekolah masih lebih besar. Sekolah menuntut siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra
(31)
kurikuler. Seorang siswa didorong untuk giat berusaha mengembangkan kemampuan dan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari kegagalan. Kemampuan yang diperoleh serta keberhasilan maupun kegagalan yang dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa mendatang.
Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme. Aturan mengenai universalisme merupakan lawan aturan mengenai partikularisme. Dalam keluarga seorang anak cenderung mendapat perlakukan khusus dari orang tuanya karena ia adalah anak mereka. Anak orang lain biasanya tidak mendapat perlakuan yang sama. Di sekolah, di pihak lain, setiap anak mendapat perlakuan sama. Perlakuan berbeda hanya dibenarkan bila didasarkan pada kelakukan siswa di sekolah – apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah.
Spesifisitas merupakan aturan keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan (diffusenees). Di sekolah kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakukan mereka dibatasi secara spesifik. Kekeliruan yang dilakukan seorang siswa dalam mata ajaran matematika, misalnya, sama sekali tidak mempengaruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya dalam mata ajaran bahasa Indonesia. Ia dapat memperoleh pujian dalam jam pelajaran berikutnya. Dalam keluarga, di pihak lain, kegiatan anak serta penilaian terhadapnya tidak dibatasi sespesifik itu. Seorang anak yang dihukum oleh orang tuanya karena melakukan kesalahan di suatu bidang tertentu (seperti misalnya memecahkan piring di kala makan, pergi tanpa
(32)
izin, berkelahi di jalan atau pulang terlambat) mungkin mengalami bahwa hukuman yang diterimanya itu diberlakukan pula di bidang-bidang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan pelanggaran yang telah dilakukannya.
d. Media Massa
Media massa yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet) diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku khayalaknya. Peningkatan teknologi yang memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak ke arah perilaku prososial maupun antisosial. Penayangan secara berkesinambungan dari laporan-laporan mengenai perang seperti perang Teluk, perang di Somalia atau di kawasan Balkan atau penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjolkan kekerasan dianggap sebagai satu faktor yang memicu perilaku agresif pada anak-anak yang melihatnya.
Kesadaran akan arti penting media massa bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media massa. Di banyak negara, televisi digunakan untuk menayangkan siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan
(33)
dan sikap khalayaknya. Dalam masyarakat Indonesia, TVRI serta stasiun televisi swasta pun secara teratur menayangkan acara-acara pendidikan.
Menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun 1966 televisi tidak memberikan pesan tunggal yang sederhana melainkan menyajikan berbagai pesan yang rancu dan saling bertentangan, dan bahwa pesan televisi membawa banyak dampak positif seperti merangsang interaksi, eksperimen dan pertumbuhan mental serta sosial anak.13
3. Pola Sosialisasi
Beberapa tahun yang lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh beberapa kasus hukuman fisik yang dilakukan orang tua terhadap anak mereka yang dinilai tidak menaati perintah sehingga mengakibatkan kematian anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrem satu pola sosialisasi yang oleh Jaeger dinamakan sosialisasi represif (repressive socialization). Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Menurut Jaeger sosialisasi represif pun mempunyai ciri lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua; penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah; nonverbal dan berisi perintah; penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua; dan peran keluarga sebagai significant other.
Pola kedua yang disebutkan Jaeger ialah sosialisasi partisipatoris (participatory socialization). Sosialisasi partisipatoris menurut Jaeger
13
(34)
merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik; hukuman dan imbalan bersifat simbolik; anak diberi kebebasan; penekanan diletakkan pada interaksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan keluarga menjadi generalized other.14
C. Keagamaan
1. Pengertian Agama dan Keberagamaan
Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya.15
Secara mendasar dan umum agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam ghaib -khususnya dengan Tuhannya- mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya.16 Sedangkan secara lebih khusus dengan memperhatikan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.
14
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 31
15
Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet. Ke-16, h. 34
16
Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT Rajawali Press, 1988), h. v
(35)
Sebagai suatu sistem keyakinan maka agama berbeda dengan sistem keyakinan dan isme-isme lainnya karena landasan keyakinan agama adalah konsep suci (sacred) dan ghaib (supranatural) yang dibedakan dari yang duniawi (profane) dan hukum-hukum alamiah (natural). Selain itu hal lain yang membedakan agama dengan isme-isme lainnya adalah karena ajaran-ajaran agama selalu bersumber pada wahyu Tuhan atau wangsit-dalam agama-agama lokal dan primitif- yang diturunkan kepada nabi sebagai pesuruh-Nya. Adapun ciri yang mencolok dari agama yang berbeda dengan isme-isme adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhannya.
Dalam kamus sosiologi pengertian agama (religion) mencakup tiga aspek yakni : pertama menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat speritual. Kedua, merupakan perangkat kepercayaan dan praktek-praktek speritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. Ketiga, ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.17
Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa agama merupakan seperangkat peraturan atau undang-undang yang dapat mengikat manusia untuk dijadikan pedoman dalam hidupnya. Agama dianut oleh manusia untuk mengatur perikehidupannya di dunia ini agar menjadi teratur dan selaras sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama sehingga tidak terjadi kekacauan. Dalam disiplin perbandingan agama, suatu aliran kepercayaan bisa disebut sebagai agama apabila di dalamnya ditemukan lima aspek, kelima aspek tersebut adalah sebagai berikut :
1) Adanya ajaran-ajaran kepercayaan (aqidah)
17
(36)
2) Adanya sistem pemujaan atau penyembahan (ibadah atau ritual)
3) Adanya aturan-aturan dalam melaksanakan hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia (Syariat).
4) Adanya Nabi yang membawa risalah/
5) Adanya kitab suci yang dijadikan sumber hukum.
Agama dan keberagamaan adalah dua istilah yang dapat difahami secara terpisah meskipun kedua mempunyai makna yang sangat erat. Mengenai definisi agama telah dijelaskan di atas sedangkan keberagamaan berarti pembicaran mengenai pengalaman atau fenomena yang manyangkut hubungan antar agama dengan penganutnya atau suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang (penganut utama) yang mendorong untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.
Kata keberagamaan berasal dari kata “beragama”. Kata beragama dalam Kamus Bahasa Indonesia yaitu antara lain :
1) Menganut (memeluk) agama
2) Beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama), misalnya dia berasal dari keluarga yang taat beragama.
Menurut Djamaluddin mendefinisikan keberagamaan sebagai “manifestasi” seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek kehidupan.18
18
Muhammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta: UGM Press, 1995) , h. 44
(37)
2. Dimensi-dimensi Keberagamaan
Menurut R Stark dan C.Y Glock dilihat dari sudut dimensi sosiologi agama terdapat lima dimensi utama dalam memahami masyarakat agama, yaitu :
a. Dimensi keyakinan merupakan dimensi yang berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan taat walaupun demikian isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi sering kali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. Dalam setiap agama mesti terdapat sistem kepercayaan yang harus dipertahankan dimana penganutnya diharapkan mentaatinya.19
b. Dimensi praktek agama menurutnya, dimensi ini mencakup perilaku pemujaan-pemujaan serta ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan sebuah komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting yaitu : pertama, ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan. Kedua, ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat
19
(38)
tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.
c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu walaupun tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan tercapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak dengan perantara supranatural.
d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa seseorang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi agama yang dianutnya. Glock melihat bahwa dimensi ini tidak selalu sejalan dengan prakteknya. Seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.
e. Dimensi konsekuensi, konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari tidak sepenuhnya jelas sebatas konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan semata-mata berasal dari agama.
(39)
29 BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Dunia Pendidikan
Para penyandang tunanetra usia dewasa, umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Dari lima orang yang penulis jadikan subjek penelitian, 3 orang diantaranya adalah luluan perguruan tinggi, 1 orang tidak lulus perguruan tinggi, dan 1 orang lagi tidak lulus SLTA.
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan dengan melakukan wawancara terhadap para informan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar informan adalah berpendidikan perguruan tinggi, meskipun satu orang di antaranya (ARK) tidak menyelesaikan pendidikannya. Sedangkan satu informan lainnya (AS) karena keadaan ekonomi, hanya sampai pada tingkat pendidikan menengah atas, meskipun tidak sampai lulus.
Tingkat pendidikan informan yang terbilang tinggi, menurut pengamatan penulis, hal ini dikarenakan para informan adalah mereka yang mengalami ketunanetraan pada saat mereka berusia dewasa. Tingkat pendidikan yang dicapai oleh para informan, umumnya ditempuh saat mereka masih dalam kondisi bisa melihat, belum mengalami ketunanetraan.
Selain karena faktor tersebut, penulis juga menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi para informan terbilang cukup, sehingga mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain karena faktor kondisi ekonomi yang cukup, faktor tingginya tingkat pendidikan informan adalah karena mereka mengalami ketunanetraan saat beranjak dewasa. Informan yang tidak melanjutkan
(40)
ke perguruan tinggi (AS), dikarenakan keterbatasan ekonomi keluarganya. Berikut ini adalah tabel tingkat pendidikan para penyandang tunetra usia dewasa, di mana data yang penulis peroleh berasal dari hasil wawancara.
Tabel 1
Tingkat pendidikan para informan No Inisial
Informan
Usia Status Pendidikan Terakhir Usia saat Mengalami
Tunanetra 1 2 3 4 NS ARK EM AS 27 25 40 37 Belum menikah Belum menikah Menikah Belum menikah S 1 S 1 (Tidak Lulus)
S 1
SLTA (Tidak lulus)
23 21 35 31
B. Perilaku Keberagamaan
Mengenai keberagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa yang menjadi subjek penelitian dalam skripsi ini, para informan umumnya mengaku bahwa saat belum menyandang tunanetra, mereka masih awam dalam hal agama. Ini artinya, bahwa para informan mengaku sebelum menyandang tunanetra, pemahaman agama mereka kurang mendalam. Begitu juga dengan ritual ibadah sehari-hari, terkadang dari 5 waktu shalat wajib ada yang tidak mereka kerjakan karena kesibukan saat itu.1
Saat menyandang tunanetra, para informan mengaku bahwa mereka lebih banyak punya waktu untuk beribadah, sehingga dari segi frekuensi mereka mengalami peningkatan. Di samping hal ini disebabkan oleh maraknya syiar Islam melalui tayangan audio visual, juga disebabkan banyaknya kegiatan keagamaan
1
(41)
dalam bentuk pengajian, peringatan hari besar, Maulid dan sebagainya yang bisa diikuti oleh kalangan tunanetra. Banyaknya syiar dan kegiatan keagamaan itu sangat mungkin karena mayoritas penduduk Tangerang Selatan adalah muslim.
Berdasarkan komposisi penduduk menurut agama, pemeluk agama Islam yaitu sebanyak 90,98%. Penduduk selebihnya memeluk agama Protestan (4,07%), Kristen (3,14%), Budha (1,21%) dan Hindu (0,60%). Komposisi penduduk berdasarkan agama ini diolah dari Kompilasi Data untuk Penyusunan RT/RW Kota Tangerang Selatan. Karena ada ketidakcocokan antara jumlah total penduduk yang ada dalam Kabupaten Tangerang Dalam Angka Tahun 2007/2008 yang digunakan sebagai acuan, angka yang digunakan adalah angka persentase dan bukan angka absolut dengan asumsi bias tersebar ke dalam semua kelompok data.
Sarana peribadatan yang tersedia untuk para pemeluk agama adalah mesjid sebanyak 436 buah, langgar/mushola 1.268 buah, gereja 42 buah, vihara/kuil 7 buah. Pondok pesantren berjumlah 24 buah dengan 66 orang kiai dan 295 orang ustadz serta 4.405 orang santri.2
C. Status Sosial Ekonomi
Kategori status sosial ekonomi dalam penelitian ini mengikuti penjelasan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang klasifikasi masyarakat miskin yang mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT).3
2
Data penulis peroleh dari http://tangerangselatankota.go.id/compilation_sosial.php, diakses pada tanggal 28 Maret 2010
3 Rumah tangga penerima BLT ditentukan berdasarkan 14 variabel dan diklasifikasikan ke dalam 3 kategori yaitu Sangat Miskin, Miskin dan Mendekati Miskin. Tingkat kesejahteraan keluarga terbagi ke dalam 5 kategori yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Sejahtera Tahap I, Sejahtera Tahap II, Tahap III dan Tahap III Plus. Data diambil dari dari
(42)
Berdasarkan tingkat kesejahteraan, jumlah keluarga dengan tingkat kesejahteraan Pra Sejahtera adalah sebesar 8.789 Keluarga atau 3,65% dari total 24.700 keluarga, sedangkan tingkat kesejahteraan KS I adalah sebesar 39.319 Keluarga atau 16,34%. Sisanya, yaitu sebanyak 192.592 Keluarga atau 80,01% adalah Keluarga Sejahtera Tahap II, Tahap III dan Tahap III Plus.
Berdasarkan validasi data Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2008, jumlah rumah tangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kota Tangerang Selatan adalah sebanyak 19.104 RT. Jumlah penerima paling banyak di Pamulang yaitu sebanyak 5.963 rumah tangga, sedangkan paling sedikit di Ciputat Timur yaitu sebanyak 1.685 rumah tangga. Dapat terjadi perbedaan angka antara masyarakat miskin dalam BLT dengan masyarakat miskin berdasarkan tingkat kesejahteraan BKKBN karena terdapat perbedaan kriteria dan kategori dalam penentuan kelompok masyarakat miskin.
Berkenaan dengan status sosial para informan, dari hasil wawancara yang penulis lakukan, status sosial mereka dapat penulis gambarkan dalam tabel berikut ini.
http://tangerangselatankota.go.id/compilation_sosial.php, diakses pada tanggal 28 Maret 2010. pengertian dari masing-masing tingkatan ekonomi suatu keluarga tersebut: (a) Keluarga pra-sejahtera, adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan), (b) Keluarga sejahtera 1, adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal tapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan : ibadah, protein, pakaian, ruang interaksi keluarga, keadaan sehat, penghasilan,baca tulis dan KB. (c) Keluarga sejahtera 2, adalah keluarga-keluarga yang telah memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologisnya,tetapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan pengembangannya: (peningkatan agama, nabung, interaksi, kegiatan di masyarakat dan mampu memperoleh informasi. (d) Keluarga sejahtera 3, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya, kebutuhan sosial psikologisnya dan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal kepada masyarakat secara teratur materil dan keuangan serta berperan aktif seperti jadi pengurus. (e) Keluarga sejahtera 3 plus, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, dasar, sosial psiklogis, pengembangannya dan beri sumbangan secara berkelanjutan.
(43)
Tabel 2
Status sosial ekonomi para informan
No Inisial Informan Tingkat Ekonomi
1 2 3 4 5
NS BJ ARK
EM AS
Keluarga Sejahtara II Keluarga Sejahtara II Keluarga Sejahtara III
Keluarga Sejahtara II Keluarga Sejahtera I
Dari penjelasan BPS tentang klasifikasi masyarakat miskin yang layak mendapatkan BLT, maka para informan dalam penelitian ini masuk dalam kategori bukan masyarakat miskin. Indikatornya adalah bahwa para informan tersebut tidak termasuk orang yang mendapatkan BLT.
D. Visi dalam Hidup
Para informan yang merupakan penyandang tunanetra usia dewasa, memiliki harapan untuk tetap dapat melanjutkan hidup mereka, tanpa harus menyesali apa yang menimpa diri mereka. Dari hasil wawancara dengan para informan, penulis mendapatkan penjelasan bahwa sebagian besar informan memang merasa tidak memiliki masa depan lagi saat mereka divonis menyandang tunanetra total. Peralihan dari kondisi di mana mereka bisa melihat ke kondisi tidak dapat melihat sama sekali, membutuhkan waktu penyesuaian yang tidak sebentar. Walaupun di awal mereka pesimis, tetapi seiring dengan waktu akhirnya mereka memiliki optimisme untuk tetap semangat hidup.
(44)
Untuk menjaga semangat hidup mereka lalu menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan. Berbagai keterampilan yang diperlukan untuk tetap menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, mereka tempuh dengan cara aktif di yayasan yang memiliki perhatian terhadap para penyandang tunanetra. Salah satu yayasan di mana para informan aktif di dalamnya adalah yayasan Mitra Netra, yang berada di Lebak Bulus. Di yayasan ini, para informan memperoleh berbagai pelatihan untuk tetap bisa bekerja. Bahkan yayasan ini memberikan beasiswa bagi para penyandang tunanetra untuk tetap melanjutkan pendidikan mereka.
Di antara informan yang melanjutkan pendidikannya adalah informan NS yang memutuskan untuk menempuh pendidikan tersebut di UMJ dengan masuk fakultas agama Islam jurusan Tarbiyah, angkatan 2008 meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Hal ini dilakukan oleh informan NS untuk menambah bekal yang nantinya diharapkan dapat menunjang kehidupannya.
Selain informan NS yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya, informan ARK juga ikut aktif di yayasan Mitra Netra setelah mengalami ketunanetraan total untuk menambah keterampilan hidupnya. Informan ARK semasa masih bisa melihat, adalah mahasiswa di ITI (Institut Teknologi Indonesia) Serpong semester 7. Setelah mengalami ketunanetraan total, informan ARK berhenti dari kuliahnya, kemudian aktif di yayasan Mitra Netra.
E. Yayasan Radlatul Makhfufin
Yayasan Radlatul Makhfufin adalah sebuah lembaga sosial keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan keagamaan tunanetra. Yayasan ini beralamatkan di Jalan Raya Puspiptek Gang Rais Kampung Jati Desa Buaran RT
(45)
05 RW 02 Kecamatan Serpong Tangerang Selatan. Ide awal pendirian Yayasan ini dari Halim Sholeh seorang tunanetra yang berprofesi sebagai guru agama di sekolah luar biasa. Halim Sholeh yang menuntut ilmu di madrasah luar biasa milik Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam di Yogyakarta, mendapat pesan dari gurunya agar mengajarkan Islam kepada tunanetra di mana saja mereka berada.
Dari pesan gurunya itu serta keprihatinan terhadap nasib sesama tunanetra, Sholeh kemudian mengajak teman-temannya untuk membentuk sebuah lembaga yang dapat memberikan pendidikan keagamaan bagi tunanetra. Ajakan itu mendapat sambutan dari Joni Watimena yang menjadi sahabatnya. Sambutan juga datang dari para tunanetra lainnya. Para tunanetra ini pun kemudian mendirikan majlis taklim tunanetra. Anggota majlis taklim ini terus bertambah. Pada tanggal 26 November 1983 lembaga yang mereka cita-citakan berdiri dengan nama Yayasan Radlatul Makhfufin.4
Dana awal pendirian yayasan ini hanya dengan uang sebesar Rp. 25.000,- yang berasal dari sumbangan majlis taklim Khairun Nisa di Bekasi. Untuk membiayai jalannya yayasan mereka mencari simpati dari masyarakat untuk membantu usaha mereka.
Pada awal pendiriannya, Radlatul Makhfufin mengalami dua kali perpecahan yaitu perpecahan internal pengurus dan perpecahan dengan donatur utama mereka. Perpecahan pertama berakibat dengan mundurnya sebagian dari pendiri dan pengurus Yayasan, dan perpecahan yang kedua mendatangkan kesulitan pendanaan bagi Yayasan. Untuk mempertahankan eksistensi yayasan
4
Ade Ismail, “Kiprah Yayasan Raudlatul Makhfufin dalam Mensyiarkan Islam di Kalangan Tunanetra di Jakarta 1983-2005, Skripsi, (Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, 2009), h. 85
(46)
para pengurus meningkatkan upaya mereka dalam menggalang simpati masyarakat.
Dalam perannya sebagai lembaga sosial keagamaan, Raudlatul Makhfufin mengadakan program-program yang bertujuan meningkatkan kualitas pemahaman keagamaan bagi tunanetra. Secara umum program-program Yayasan Raudlatul Makhfufin terfokus pada tiga hal yaitu pendidikan, pelatihan, dan pengadaan sarana belajar keagamaan. Dari program-program tersebut antara lain: P4B yaitu pemberantasan buta huruf latin, pemberantasan buta huruf Arab Braille, pemberantasan buta al-Qur’an dan pemberantasan ilmu-ilmu agama. Dalam melaksanakan itu tunanetra belajar membaca tulisan Braille latin dan Arab, membaca al-Qur’an dan materi-materi keagamaan. Pesantaren tunanetra, yaitu pesantren bagi para tunanetra. Pencetakan al-Qur’an dan buku-buku ke-Islaman dalam huruf Braile. Dari program-program tersebut ada yang terlaksana seperti pencetakan al-Qur’an Braille dan P4B, dan pesantren, ada yang tersendat-sendat seperti pelatihan Qari’ dan Qari’ah tunanetra dan pelatihan dakwah dan ada pula yang gagal seperti pembentukan madrasah bagi tunanetra.5
Kendala yang dihadapi oleh Yayasan Radlatul Makhfufin dalam menjalankan misinya adalah karena kurangnya dana serta kurangnya sumber daya manusia yang ahli dalam masalah yang sering dihadapi oleh yayasan. Namun demikian, kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh yayasan tidak serta merta membuat pengurus yayasan untuk menyerah dalam mengembangkan yayasan dari segi pendanaan.
5
Ade Ismail, “Kiprah Yayasan Raudlatul Makhfufin dalam Mensyiarkan Islam di Kalangan Tunanetra di Jakarta 1983-2005, h. 86
(47)
Susunan pengurus Yayasan Raudlatul Makhfufin Dewan Pendiri : Halim Sholeh
: Joni Watimena
Dewan Pembina : dr. Okiniwati Hattaradjasa
Ketua : Nur Kholiq, SQ
Sekretaris : Zainal Abidin Bendahara Umum : Ngatijo
Bendahara I : Ilma Hasanah, S.Ag Kesejahteraan Umat : Abbas Sukardi, BA
Abdul Wahab
Pendidikan dan Dakwah : Ahmad Muzakir
Muhyi Khairuddin, SQ
(48)
38 BAB IV
AGEN SOSIOALISASI DAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN PENYANDANG TUNANETRA DEWASA
A. Agen Sosialisasi dan Pengetahuan Agama Penyandang Tunanetra Dewasa
Dalam bab sebelumnya telah penulis jelaskan mengenai agen-agen sosialisasi yang terdiri dari keluarga, teman sebaya, dunia pendidikan dan media massa. Dalam bab ini, penulis berusaha untuk menggali lebih dalam bagaimana pengetahuan keagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, penulis mendapatkan bahwa peran keluarga dalam memberikan pengetahuan keagamaan kepada para penyandang tunanetra usia dewasa dirasakan oleh sebagian para informan hanya saat mereka masih usia anak-anak. Setelah usia itu, para informan mengaku bahwa mereka kurang mendapat pengetahuan keagamaan dari keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh informan EM berikut:
“Kalau saya pribadi, merasa bahwa pengetahuan keagamaan yang saya dapat dari orang tua itu, itu hanya saat saya masih kecil. Sedangkan saat saya mengalami tunanetra, kedua orang tua saya sudah meninggal. Hal ini membuat pengetahuan keagamaan yang saya dapat lebih banyak berasal dari media massa”1
Hal senada juga diungkapkan oleh informan AS. Menurutnya, pengetahuan keagamaan yang ia peroleh lebih banyak berasal dari media massa, terutama media elektronik yang diwakili radio. Sedangkan dari keluarga, menurut informan AS tidak banyak memberikan pengetahuan keagamaan. Meskipun
1
(49)
informan AS masih dekat dengan keluarga, tapi masalah pengetahuan keagamaan ia jarang mendapatkannya dari keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan AS:
“Kalau saya pribadi merasakan bahwa pengetahuan keagamaan lebih banyak saya peroleh dari radio. Dulu waktu sebelum menjadi tunanetra saya memang sempat mengaji, biasalah orang Betawi tempatnya di musholla. Tapi setelah beranjak dewasa, dan saya mengalami ketunanetraan, saya lebih banyak mendengarkan ceraman-ceramah keagamaan dari para ustadz maupun mubaligh yang berasal dari radio.”2 Saat penulis menanyakan lebih jauh sumber pengetahuan keagamaan yang diperoleh informan AS, ia menjawab bahwa sesekali ia mendengarkan ceramah yang berasal dari televisi. Ia mencontohkan bahwa ia sering mendengarkan ceramah tentang kajian tafsir yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab di Metro TV saat bulan puasa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan AS:
“Kalau ditanya selain radio, dari mana saya mendapatkan pengetahuan keagamaan, saya bisa mengatakan bahwa hal tersebut saya dapatkan dari televisi. Kan waktu bulan puasa di Metro TV ada ceramah tentang kajian tafsir. Kalau nggak salah disampaikan oleh M. Quraish Shihab. Menurut saya itu acara yang bagus sekali.”3
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh informan ARK. Ia mengaku bahwa ia banyak mendapat pengetahuan keagamaan dari keluarga, terutama orang tua. Menurut pernyataan yang disampaikan oleh informan ARK, ia sering memperoleh pengetahuan keagamaan tersebut dari orang tua karena pada saat kuliah ia tinggal dengan orang tua. Setelah mengelami ketunanetraan pun informan ARK mengaku masih mendapatkan pengetahuan keagamaan dari orang tua. Sebagaimana yang disampaikan kepada penulis:
“Waktu kuliah kebetulan saya tidak indekos, saya tinggal dengan orang tua. Hal ini membawa pengaruh yang baik buat saya, karena tinggal
2
Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010
3
(50)
dengan orang tua, saya banyak berbicara mengenai pengetahuan keagamaan dengan mereka. Mungkin berbeda kalau seandainya saya tidak tinggal dengan orang tua, tapi indekos di sekitar kampus.”4
Senada dengan apa yang disampaikan oleh informan ARK, informan NS pun mengaku bahwa pengetahuan agama banyak ia peroleh dari keluarga. Menurut pengakuannya, keluarga informan NS berasal dari keluarga yang Islami, bahkan kakek informan NS adalah ketua NU (Nahdlatul Ulama) tingkat Kecamatan, yang sering memberinya nasihat untuk tidak melupakan shalat. Seperti yang diungkapkan oleh informan NS:
“Pengetahuan keagamaan banyak saya peroleh dari keluarga. Maklum saja, keluarga saya termasuk keluarga islamis, bahkan kakek saya adalah ketua NU tingkat kecamatan, yang sering menasehati saya untuk tidak melupakan shalat.”5
Saat penulis menanyakan lebih jauh tentang peran teman sebaya informan NS dalam memberikan pengetahuan keagamaan maupun nasihat-nasihat keagamaan, informan NS mengaku bahwa dirinya memang lebih cocok untuk mendengarkannya dari teman sebaya dibandingkan dengan nasihat yang berasal dari keluarga. Hal ini menurut informan NS dikarenakan terlalu seringnya anggota keluarga memberikan nasihat maupun pengetahuan keagamaan. Seperti yang diungkapkan informan NS kepada penulis:
“Kalau ditanya tentang mana yang lebih cocok dalam memberikan nasihat maupun pengetahuan keagamaan, saya merasa teman sebayalah yang lebih cocok. Kan tau sendiri, kita terlalu sering mendengarkan nasihat dan pengetahuan keagamaan pihak keluarga. Jadi kalau ada teman sebaya yang memberikan nasihat atau pengetahuan tersebut, perasaan lebih cepat diserap aja.”6
Namun demikian, berdasarkan pengakuan informan NS, tetap saja
4
Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayaan Mitra Netra Lebak Bulus, tanggal 28 Desember 2009
5
Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 15 April 2010
6
(51)
keluarga memiliki peran dalam memberikan nasihat keagamaan maupun pengetahuan keagamaan kepada dirinya.
Adapun frekuensi keikutsertaan para informan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di majlis-majlis taklim, mereka mengaku bahwa keinginan mereka untuk hadir dalam pengajian tersebut terkendala dengan kondisi fisik mereka yang belum stabil. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan ARK, yang mengaku bahwa tumor otak yang dideritanya sering kali membuat kondisi tubuhnya labil, sehingga ia mengurungkan niatya untuk mengikuti pengajian di majlis taklim. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan ARK kepada penulis:
“Sebenarnya, saya ingin mengikuti pengajian yang diadakan di majlis-majlis taklim. Tapi berhubung kondisi badan saya yang belum stabil, saya tidak bisa melakukannya. Kalau lagi badan ngedrop, saya kehilangan keseimbangan, sehingga untuk jalan pun sempoyongan. Kalau udah begitu, paling saya tiduran aja.”7
Kemudian penulis menanyakan tentang bagaimana keberadaan komunitas tunanetra dalam menambah pengetahuan keagamaan para informan. Dari hasil wawancara, penulis memperoleh informasi, bahwa komunitas tunanetra yang berbentuk yayasan banyak memberikan peningkatan pemahaman keagamaan bagi para informan. Beberapa informan menyatakan bahwa keberadaan komunitas tersebut sangat membantu mereka dalam menambah pengetahuan keagamaan. Seperti yang diutarakan oleh informan AS, informan EM, dan informan ARK yang mengaku bahwa keberadaan yayasan Raudlatul Mahfufin sangat membantu dalam peningkatan pemahaman keagamaan mereka.
Informan AS menyatakan bahwa dengan berkumpul di Raudlatul
7 Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayasan Mitra Netra Lebak
(52)
Mahfufin, ia banyak mendapatkan pengetahuan yang berkenaan dengan baca tulis al-Qur’an braille, dan pemahaman keagamaan lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh informan AS:
“Sejak saya aktif di pengajian yang diadakan di Raudlatul Mahfufin, saya mendapat banyak pengetahuan keagamaan di sana. Salah satunya adalah baca tulis al-Qur’an braille. Selain juga saya banyak belajar tentang pemahaman keagamaan yang lain seperti fiki, tafsir, dan lain sebagainya.”8
Senada dengan informan AS, informan EM juga mengaku bahwa dengan berada di komunitas tunanetra, yaitu di Yayasan Raudlatul Mahfufin, di mana awal-awal informan EM mengalami ketunanetraan, ia tinggal di asrama dan mendapatkan banyak pengetahuan keagamaan di sana. Seperti yang diungkapkan oleh informan EM kepada penulis:
“Dulu awal-awal saya mengalami ketunanetraan, saya tinggal di asrama Yayasan Raudlatul Mahfufin. Di sana saya diajarkan pengetahuan keagamaan yang berlangsung pada malam hari. Dari situ saya merasa pengetahuan keagamaan saya semakin meningkat.”9
Selain di Yayasan Raudlatul Makhfufin, informan EM juga aktif di yayasan Khazanah Kebajikan. Di yayasan ini, informan EM sering mengikuti pelaksanaan shalat sunnah malam dan kajian al-Qur’an. Seperti yang diungkapkan informan EM kepada penulis, “Selain itu saya juga aktif di Yayasan Khazanah Kebajikan. Di yayasan ini, saya sering ikut shalat malam berjamaah, dan kajian al-Qur’an.”10
Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan kepada penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa peran agen-agen sosialisasi dalam memberikan nasihat keagamaan maupun pengetahuan keagamaan dirasakan
8
Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010.
9
Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan, tanggal 14 April 2010
10
(53)
sangat besar oleh para informan. Mereka umumnya mengakui bahwa peran keluarga, teman sebaya, maupun media massa, terutama media elektronik yang berbentuk radio, memiliki peran dalam meningkatkan pengetahuan keagamaan mereka.
Secara teoritis bisa dijelaskan bahwa di antara agen sosialisasi yang ada, lembaga pendidikan dan keluargalah yang yang paling berperan dalam membentuk perilaku keagamaan. Dalam konteks penelitian ini, diskusi dan peran-peran keagamaan itu terwujud dalam kajian al-Qur’an dan shalat berjamaah yang dilakukan di Yayasan Raudlatul Makhfufin. Di Yayasan ini berlangsung berbagai kajian keagamaan, antara lain: baca tulis al-Qur’an Braille, tafsir, fikih, sejarah Islam dan tauhid. Selain lembaga pendidikan, agen sosialisasi lain yang mempengaruhi keberagamaan penyandang tunanetra usia dewasa adalah keluarga, terutama orang tua. Pengaruh orang tua meskipun ada, tapi tidak serta merta diterima sebagai bentuk pemberontakan seorang dewasa yang sedang mencari jati diri terhadap peran dominan orang tua. Adapun peran media massa masih dianggap sebagai media hiburan, meskipun tidak bisa dipungkiri media massa menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan.
B. Praktek Keagamaan Penyandang Tunanetra Dewasa
Berkenaan dengan praktik keagamaan para penyandang tunanetra dewasa, dari hasil wawancara penulis dengan para informan dapat dideskripsikan pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan mengenai praktik keagamaan mereka. Dalam sub bab ini penulis lebih memfokuskan pembahasan praktik keagamaan setelah para informan mengalami ketunanetraan.
(54)
Sebagian besar informan mengaku bahwa setelah mengalami ketunanetraan, mereka mengalami masalah dalam hal penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Demikian halnya dengan praktik keagamaan. Salah seorang informan, yaitu informan EM mengaku bahwa setelah dirinya mengalami ketunanetraan ia jarang ke masjid atau mushalla dibandingkan saat ia masih belum mengalami ketunanetraan. Namun demikian, bukan berarti informan EM tidak ingin melaksanakan shalat lima waktu di masjid atau mushalla, ia hanya tidak ingin menyusahkan orang lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan EM kepada penulis:
“Setelah saya mengalami ketunanetraan total, saya sudah jarang melaksanakan shalat lima waktu di mushalla maupun di masjid. Paling-paling saya pergi ke masjid pada saat shalat Jum’at. Dalam hati sih pengen juga setiap shalat lima waktu dilaksanakan di mushalla atau masjid, namun saya tidak ingin menyusahkan orang lain.”11
Dengan kondisinya tersebut, informan EM mengaku bahwa ia lebih sering melaksanakan ibadah shalat lima waktu di rumah. Sedangkan mengenai ibadah-ibadah lain, seperti pelaksanaan ibadah-ibadah shalat sunnah, maupun puasa sunnah dan membaca al-Qur’an, informan EM mengaku bahwa setelah ia mengalami ketunanetraan, ibadah yang mengharuskan untuk melihat seperti membaca al-Qur’an menjadi berkurang. Sebagai gantinya, informan EM membaca surat-surat pendek yang ia hafal sewaktu masih belum mengalami ketunanetraan. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan EM kepada penulis:
“Masalah ibadah sehari-hari, khususnya ibadah sunnah, saya merasakan ada perbedaan setelah saya mengalami tunanetra. Saya sudah mulai melaksanakan shalat sunnah dhuha, puasa senin kamis, dan menghafal surat-surat pendek yang dulu pernah saya hafal sebelum menjadi tunanetra. Kalau harus membaca al-Qur’an dengan huruf Braille saya
11
(55)
masih merasa kurang.”12
Adapun informan NS menyatakan bahwa dirinya merasa lebih rajin dalam menjalankan praktik keagamaan setelah mengalami ketunanetraan. Informan NS mengaku bahwa dirinya memang tidak terlalu sering bertemu dengan ustadz. Tapi ustadz tersebut memberikannya amalan untuk dipraktikkan, sehingga informan NS merasa lebih dekat dengan Allah, dan ibadahnya semakin meningkat. Ia mengaku bahwa peningkatan tersebut tidak hanya terasa pada dirinya, tapi juga keluarga maupun orang di sekitarnya. Seperti yang diungkapkan informan NS kepada penulis:
“Setelah mengalami ketunanetraan, dari sisi ibadah saya merasakan ada peningkatan. Meskipun saya tidak terlalu sering bertemu dengan ustadz, tapi dari ustadz tersebut saya mendapatkan amalan yang dianjurkan untuk dilaksanakan. Dengan pengamalan tersebut, saya merasa lebih dekat kepada Allah, dan ibadah saya lebih meningkat. Peningkatan ibadah saya tidak hanya terasa pada diri saya, tapi juga keluarga dan orang yang ada di sekitar saya.”13
Saat penulis menanyakan lebih jauh bentuk peningkatan ibadah yang dialami oleh informan NS, ia mengaku, jika waktu masih awas dirinya melaksanakan shalat lima waktu kadang-kadang dan suka menunda-nunda, setelah mengalami ketunanetraan ia tidak lagi melakukan hal tersebut. Bahkan ia berharap dapat melaksanakan shalat lima waktu lebih awal lagi. Bahkan informan NS mengaku kalau dirinya sudah mulai melakukan shalat sunnah seperti shalat tahajjud, kemudian berpuasa sunnah berupa Puasa Senin Kamis. Ia merasa bahwa semakin banyak ia beribadah, ia merasa lebih tenang. Ketunanetraan yang ia alami yang menurut sebagian orang adalah musibah atau cobaan, ia merasakan hal tersebut sebagai nikmat dan rizki baginya. Sehingga apa yang ia rasakan itu
12
Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010
13
(56)
menjadi motivasi bagi orang lain. Seperti yang diungkapkannya:
“Alhamdulillah saya merasakan peningkatan dalam praktik keagamaan saya. Kalau dulu saya suka bolong-bolong dan menunda-nunda dalam melaksanakan shalat lima waktu, sekarang sudah tidak lagi. Bahkan saya ingin melaksanakannya lebih awal, sehingga pahalanya lebih banyak. Selain itu juga saya mulai melakanakan shalat sunnah sepreti shalat tahajjud, dan melaksanakan puasa sunnah seperti puasa senin kamis. Saya merasa semakin banyak saya beribadah, saya lebih tenang. Kalau orang bilang bahwa ketunanetraan saya ini adalah musiban dan ujian, justru saya merasakan ini adalah nikmat dan rizki dari Allah SWT. Dengan begitu, semoga saja apa yang terjadi dengan diri saya menjadi motivasi bagi orang lain.”14
Hal yang hampir sama disampaikan oleh informan AS. Ia mengaku bahwa dirinya mengalami peningkatan dalam praktik keagamaan, seperti melaksanakan shalat sunnah sebelum tidur, melaksanakan shalat dhuha, namun ia mengaku masih berat untuk melaksanakan puasa sunnah. Sedangkan shalat lima waktu informan AS mengaku tidak pernah melewatkannya. Sedangkan pelaksanaan shalat malam, informan AS mengaku masih berat, karena masih suka bergadang. Seperti yang diungkapkan informan AS kepada penulis:
“Alhamdulillah, yang saya rasakan ada peningkatan dalam menjalankan ibadah. Seperti saya sudah mulai terbiasa untuk melaksanakan shalat sunnah sebelum tidur, shalat dhuha juga. Tapi kalau untuk melaksanakan puasa sunnah, saya masih merasa berat, karena belum kuat menahan lapar dan rokok. Kalau shalat lima waktu sih, alhamdulillah tidak pernah kelewatan. Cuma untuk shalat malam, saya masih merasa berat, karena sampai saat ini saya masih suka begadang.”15
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap para informan, dapat diambil kesimpulan bahwa hampir seluruh informan mengaku mereka mengalami peningkatan dalam hal praktik keagamaan. Peningkatan tersebut meliputi peningkatan dalam melaksanakan ibadah wajib seperti shalat lima waktu, yang sebelumnya sering bolong-bolong atau menunda-nunda, setelah para informan
14
Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 17 April 2010
15
(57)
mengalami ketunanetraan, mereka mengaku bahwa hal tersebut tidak terjadi lagi. Selain itu para informan juga mengalami peningkatan dalam ibadah sunnah, seperti pelaksanaan shalat-shalat sunnah, dan puasa-puasa sunnah.
Secara teoritis, fenomena praktek keagamaan kalangan tunanetra dewasa ini bisa dijelaskan dalam dimensi keyakinan dan praktek keagamaan sebagaimana kategorisasi yang dibuat oleh Stark dan Glock. Menurut keduanya, orang beragama akan berpegang teguh pada teologi yang diyakini oleh mereka dan berusaha menunjukkan komitmen pada keyakinan teologi mereka melalui praktek-praktek ritual. Dalam konteks penelitia ini ditemukan bahwa kalangan tunanetra dewasa tetap berpegang teguh pada keyakinan ke-Islaman mereka. Hal ini mereka tunjukkan dengan komitmen mereka untuk melaksanakan shalat dan puasa. Meski variasi praktek keagamaan mereka beragam, dalam arti ada yang mengerjakan ibadah wajib dan ada juga yang mampu melaksanakan ibadah sunnah, tapi sesungguhnya semua itu ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang beragama dan menjaga hubungan dengan Sang Maha Pencipta di tengah-tengah kondisi mereka yang mengalami keterbatasan dalam melihat secara fisik.
C. Harapan Hidup Penyandang Tunanetra Dewasa sebagai Hasil dari Pengetahuan dan Praktik Keagamaan Mereka
Peralihan dari satu kondisi ke kondisi yang lain membutuhkan penyesuaian yang tidak sebentar. Demikian juga yang dialami oleh para informan dalam penelitian yaitu mereka yang mengalami ketunanetraan di usia dewasa. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan, umumnya para informan saat pertama kali mengalami ketunanetraan total, mereka mengaku butuh waktu untuk
(1)
Banyakperubahan. Saya akui banyak. Awalnya dulu pernah saat smp sma tidak shalat sering juga. Kuliah juga, awalnya belum bisa 5 waktu apalagi subuhnya. Lebih banyak bolongnya. Sekarang alhamdulillah bisa 5 waktu.
Selain 5 waktu, ada ibadah tambahan ga?
Tidak terlalu banyak. Paling kadang-kadang, karena berat juga. Kalau bangun malam, ada rasa mulai ga nyaman.
Setelah tunanetra, keinginan hadir di majlis taklim atau ceramah keagamaan gimana?
Awalnya biasa-biasa saja. Waktu itu saya berpikir hanya bisa baca al-qur’an, tidak berpikir ikut pengajian.
Dari teman-teman, ada pengaruhnya ga?
Waktu itu awal-awal, saya tidak banyak interaksi dengan teman-teman saya. Karena pas saya pindah di cibinong, mereka pernah maen juga. Kalau masalah keagamaan, tidak begitu banyak. Lebih sering ngobrol-ngobrol biasa.
Saya mengalir saja. Kadang-kadang saya merasa ada Allah, pada saat saya perlu kayaknya ada. Kayaknya lebih disayangi aja gitu. Misalnya berapa klai saya sudah mendekati total, saya belum pake tongkat. Kalau jalan, mau belok, gimana caranya. Kadang-kadang ada tukang somay, itu seakan-akan pertolongan dari Allah. Hal-hal kecil lah, tapi saya merasa ada sesuatu.
Yang membuat anda semangat hidup, ada tujuan atau apa?
Ya itu tadi, mengalir saja, anggap enteng aja. Dari mulai belum total, saya juga sudah begitu. Waktu SD saya mikir saya ga berpikir bisa ke SMP, begitu seterusnya. Waktu kuliah juga demikian, apa bisa lulus. Saya jalaninya, ternyata bisa juga. Makanya saja biarkan mengalir saja.
Bahkan sampai sekrang berumah tangga pun saya anggap biasa saja.
(2)
Kalau saya berdoa, biar mata saya bisa ngelihat lagi. Tapi lama-lama saya nggak minta itu lagi, tapi yang terbaik saja buat saya. Dulu tiap habis shalat selalu minta bisa lihat lagi.
Saat bergaul dengan tunanetra yang banyak beribadah gimana?
Itu jelas. Dulu saya sering ibadah sendiri. Pas lagi ramadhan, aura ibadahnya lebih gede. Saya bilang 3 tahun di sana itu sendiri, pas punya temen seneng banget. Bisa ngobrol, bisa membicarakan sesuatu dan segala macam.
(3)
AGUS SUHARYONO
TANGERANG 2 OKTOBER 1972 Nama desanya
Kelurahanlarangan indah, kecamatan larangan, kota tangerang Awal masuk sekolah?
SD 1979 usia 7 tahun, dulu SD 1 larangan lulus 1985. Trus SMP 245 Jakarta daerah kembangan, lulus 1988. Masuk SMA, kelas satu langsung sakit.
Anda berapa bersaudara?
9, putri 5 putra 5 anak yang ke-6.
Penyebab ketunanetraan, kalau bisa diulang?
Pertama, menurut dokter syaraf. Tidak bisa dipertahankan, lalu saya ke alternatif, gagal-gagal juga. Karena saya kurang kontinu berobatnya.
Tunanetra total sekitar 2008.
Ketika berproses, menjadi low vision ada perasaan gimana?
Saya tidak terlalu cemas, karena bisa jalan. Cemas plas ngeblank, bingung karena ga bisa apa-apa.
Saat mengalami total, bagaimana peran keluarga dalam membangkitkan semangat hidup?
Santai saja, karena saya mandiri. Ke mitra saja sendiri. Mulai penurunan yang tahu Cuma saya. Keluarga tidak ada yang saya kasih tahu.
Apa-apa saya mandiri, tidak terlalu bergantung pad aorang tua. Ibu juga sudah tidak ada.
Keluarga tahunya dari dulu hanya penurunan, plas ngeblank baru aja. Saat tunanetra total gimana?
(4)
Bingung, mau keluar aja takut.
Itu kan untuk mengenal lingkungan. Kalau mikir masa depan, ada yang dipikirkan?
Saya yakin sama tuhan, pasti kuat. Allah pasti sudah menyiapkan segala kebutuhan sesuai dengan kemampuan dia. Kalau bergaul, saya kurang. Karena dulu saya kan bergaul dengan orang awas.
Sikap keluarga biasa saja, saya bingung beraktivitas saja. Say apaling ngobrol dengan adik-adik, teman-teman.
Kalau dari pihak tetangga, teman ada yangmemerikanmotivasi?
Tetangga pun tidak tahu kalau saya total. Mereka tahu pas saya ke mitra pake tongkat. Mereka tahunya saya tidak bisa baca huruf kecil.
Saat mereka tahu anda total, ada yagn memberikan nasehat ga?
Paling mereka hanya negur saja, seperti mau ke mana? Jangan jauh-jauh. Kalau ngaji itu kan kecil aja.
SD kelas 6 shalat sudah nggak pernah putus, walaupun tidak tepat waktu. Kalau agama mendapatkan pengetahuan dari waktu kecil?
Betawi pinggiran, ngaji ga pernah Kalau pas tunanetra?
Dari radio.
Kalau di tv, suka dengerin g?
Kurang, paling kalau puasa ada tafsir al-misbah M. Quraish Shihab.
Ketika awal tunanetraan total, saat dengar ceramah di radio atau tv ada yang membangkitkan semangat hidup?
(5)
Jelas donk. Sebelumnya kita kan tahu, Tuhan pasti menciptakan kebutuhannya. Ada ayat yang mengatakan kita diuji dengan ketakutan, kekurangan pangan, dan lain sebagainya. Sama saja kok, paling ribet jalannya.
Ada ceramah yang berkesan g di radio?
Kalau allah diuji dengan mata, janjinya surge. Ada saya pernah denger, alqur’an juga. Yang penting sabar aja, kalau baru-baru memang sering protes.
Kalau pengen sesuatu suntuk, dulu langsung bila keluar. Kalau ada majils taklim, mauled, isra mi’raj, pernah ikut?
Belum, baru focus di mitra aja ke mahfufin. Kalau bergabugn dengan orang lain belum pede
Keinginan sih ada, belum pd aja. Kita merasa ngerepotin orang, tidak semua orang bisa menerima. Kalau sama tunanetra bisa saling membantu.
Saat low vision, suka pengajian?
Saya aktif di ikatan remaja, mauled, tujuh belasan, saya dulu wakil ikatan remaja di sini.
Berubah dari awas ke low vision, terus ke total, dari dimensi ibadah ada pengaruh?
Ketika total, 2002-2003, lebih banyak di rumah ibadah. Low vision masih bandel. Sekarang yang ada manfaatnya aja, kaya pengajian di mitra. Duitnya juga saying kalau Cuma maen doing.
Peningkatan ibadah gimana?
Sebelum tidur shalat, dhaha selalu berjalan, kalau puasa belum, g kuat nahan lapar sama rokok.
Kalau shalat 5 waktu ada perubahan?
Tidak pernah ninggalin, paling kalau jalan-jalan lupa. Alhamdulillah tidak pernah lewat. Kalau shalat malam agak berat, karena suka bedagang.
(6)
Apa yang diharapkan dari Allah?
Mau pegangan sama siapa lagi? Kalau tidak sama Allah sama siapa lagi. Kalau dating ke mitra dan mahbubin, banyak dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Berpegang tegu kepada Allah, adalah bagaimana kita menjadi kuat.
Setelah ikut pengajian, ada pengaruh dalam semangat hidup?
Jelas, kita tidak sendiri. Tuhan pasti menciptakan teman. Ibadah juga demikian, peningkatan lebih mendalam.
Kalau sekarang suka shalat sunnah?
Kalah rawatib, itu masih agak berat. Kalau puasa tidak, karena tidak tergesa-gesa. Banyak orang yang panik, bagaimana masa depan. Padahal bisa lihat dan tidak lihat juga bingung.
Kalau shalat lebih sering di mana?
Di rumah. Mushalla deket, tapi setelah buta total lebih sering di masjid. Kalah Jum’at pasti di masjid. Kalau 5 waktu di rumah terus, kurang terbiasa di mushalla. Kalau dulu maghrib pasti ke mushalla, sekarang agak males. Adaptasi masih kurang pede.
Selain shalat, ibadah apa lagi yang sering dilakukan setelah tunanetra? Lebih cenderung tasawuf, mendekatkan diri.