sangat besar oleh para informan. Mereka umumnya mengakui bahwa peran keluarga, teman sebaya, maupun media massa, terutama media elektronik yang
berbentuk radio, memiliki peran dalam meningkatkan pengetahuan keagamaan mereka.
Secara teoritis bisa dijelaskan bahwa di antara agen sosialisasi yang ada, lembaga pendidikan dan keluargalah yang yang paling berperan dalam
membentuk perilaku keagamaan. Dalam konteks penelitian ini, diskusi dan peran-peran keagamaan itu terwujud dalam kajian al-Qur’an dan shalat
berjamaah yang dilakukan di Yayasan Raudlatul Makhfufin. Di Yayasan ini berlangsung berbagai kajian keagamaan, antara lain: baca tulis al-Qur’an Braille,
tafsir, fikih, sejarah Islam dan tauhid. Selain lembaga pendidikan, agen sosialisasi lain yang mempengaruhi keberagamaan penyandang tunanetra usia dewasa
adalah keluarga, terutama orang tua. Pengaruh orang tua meskipun ada, tapi tidak serta merta diterima sebagai bentuk pemberontakan seorang dewasa yang sedang
mencari jati diri terhadap peran dominan orang tua. Adapun peran media massa masih dianggap sebagai media hiburan, meskipun tidak bisa dipungkiri media
massa menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan.
B. Praktek Keagamaan Penyandang Tunanetra Dewasa
Berkenaan dengan praktik keagamaan para penyandang tunanetra dewasa, dari hasil wawancara penulis dengan para informan dapat dideskripsikan
pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan mengenai praktik keagamaan mereka. Dalam sub bab ini penulis lebih memfokuskan pembahasan
praktik keagamaan setelah para informan mengalami ketunanetraan.
Sebagian besar informan mengaku bahwa setelah mengalami ketunanetraan, mereka mengalami masalah dalam hal penyesuaian diri dengan
lingkungan sekitar. Demikian halnya dengan praktik keagamaan. Salah seorang informan, yaitu informan EM mengaku bahwa setelah dirinya mengalami
ketunanetraan ia jarang ke masjid atau mushalla dibandingkan saat ia masih belum mengalami ketunanetraan. Namun demikian, bukan berarti informan EM
tidak ingin melaksanakan shalat lima waktu di masjid atau mushalla, ia hanya tidak ingin menyusahkan orang lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh
informan EM kepada penulis: “Setelah saya mengalami ketunanetraan total, saya sudah jarang
melaksanakan shalat lima waktu di mushalla maupun di masjid. Paling- paling saya pergi ke masjid pada saat shalat Jum’at. Dalam hati sih
pengen juga setiap shalat lima waktu dilaksanakan di mushalla atau masjid, namun saya tidak ingin menyusahkan orang lain.”
11
Dengan kondisinya tersebut, informan EM mengaku bahwa ia lebih sering
melaksanakan ibadah shalat lima waktu di rumah. Sedangkan mengenai ibadah- ibadah lain, seperti pelaksanaan ibadah shalat sunnah, maupun puasa sunnah dan
membaca al-Qur’an, informan EM mengaku bahwa setelah ia mengalami ketunanetraan, ibadah yang mengharuskan untuk melihat seperti membaca al-
Qur’an menjadi berkurang. Sebagai gantinya, informan EM membaca surat-surat pendek yang ia hafal sewaktu masih belum mengalami ketunanetraan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh informan EM kepada penulis: “Masalah ibadah sehari-hari, khususnya ibadah sunnah, saya merasakan
ada perbedaan setelah saya mengalami tunanetra. Saya sudah mulai melaksanakan shalat sunnah dhuha, puasa senin kamis, dan menghafal
surat-surat pendek yang dulu pernah saya hafal sebelum menjadi tunanetra. Kalau harus membaca al-Qur’an dengan huruf Braille saya
11
Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010
masih merasa kurang.”
12
Adapun informan NS menyatakan bahwa dirinya merasa lebih rajin dalam
menjalankan praktik keagamaan setelah mengalami ketunanetraan. Informan NS mengaku bahwa dirinya memang tidak terlalu sering bertemu dengan ustadz.
Tapi ustadz tersebut memberikannya amalan untuk dipraktikkan, sehingga informan NS merasa lebih dekat dengan Allah, dan ibadahnya semakin
meningkat. Ia mengaku bahwa peningkatan tersebut tidak hanya terasa pada dirinya, tapi juga keluarga maupun orang di sekitarnya. Seperti yang diungkapkan
informan NS kepada penulis: “Setelah mengalami ketunanetraan, dari sisi ibadah saya merasakan ada
peningkatan. Meskipun saya tidak terlalu sering bertemu dengan ustadz, tapi dari ustadz tersebut saya mendapatkan amalan yang dianjurkan untuk
dilaksanakan. Dengan pengamalan tersebut, saya merasa lebih dekat kepada Allah, dan ibadah saya lebih meningkat. Peningkatan ibadah saya
tidak hanya terasa pada diri saya, tapi juga keluarga dan orang yang ada di sekitar saya.”
13
Saat penulis menanyakan lebih jauh bentuk peningkatan ibadah yang
dialami oleh informan NS, ia mengaku, jika waktu masih awas dirinya melaksanakan shalat lima waktu kadang-kadang dan suka menunda-nunda,
setelah mengalami ketunanetraan ia tidak lagi melakukan hal tersebut. Bahkan ia berharap dapat melaksanakan shalat lima waktu lebih awal lagi. Bahkan informan
NS mengaku kalau dirinya sudah mulai melakukan shalat sunnah seperti shalat tahajjud, kemudian berpuasa sunnah berupa Puasa Senin Kamis. Ia merasa bahwa
semakin banyak ia beribadah, ia merasa lebih tenang. Ketunanetraan yang ia alami yang menurut sebagian orang adalah musibah atau cobaan, ia merasakan
hal tersebut sebagai nikmat dan rizki baginya. Sehingga apa yang ia rasakan itu
12
Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010
13
Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 17 April 2010
menjadi motivasi bagi orang lain. Seperti yang diungkapkannya: “Alhamdulillah saya merasakan peningkatan dalam praktik keagamaan
saya. Kalau dulu saya suka bolong-bolong dan menunda-nunda dalam melaksanakan shalat lima waktu, sekarang sudah tidak lagi. Bahkan saya
ingin melaksanakannya lebih awal, sehingga pahalanya lebih banyak. Selain itu juga saya mulai melakanakan shalat sunnah sepreti shalat
tahajjud, dan melaksanakan puasa sunnah seperti puasa senin kamis. Saya merasa semakin banyak saya beribadah, saya lebih tenang. Kalau orang
bilang bahwa ketunanetraan saya ini adalah musiban dan ujian, justru saya merasakan ini adalah nikmat dan rizki dari Allah SWT. Dengan begitu,
semoga saja apa yang terjadi dengan diri saya menjadi motivasi bagi orang lain.”
14
Hal yang hampir sama disampaikan oleh informan AS. Ia mengaku bahwa
dirinya mengalami peningkatan dalam praktik keagamaan, seperti melaksanakan shalat sunnah sebelum tidur, melaksanakan shalat dhuha, namun ia mengaku
masih berat untuk melaksanakan puasa sunnah. Sedangkan shalat lima waktu informan AS mengaku tidak pernah melewatkannya. Sedangkan pelaksanaan
shalat malam, informan AS mengaku masih berat, karena masih suka bergadang. Seperti yang diungkapkan informan AS kepada penulis:
“Alhamdulillah, yang saya rasakan ada peningkatan dalam menjalankan ibadah. Seperti saya sudah mulai terbiasa untuk melaksanakan shalat
sunnah sebelum tidur, shalat dhuha juga. Tapi kalau untuk melaksanakan puasa sunnah, saya masih merasa berat, karena belum kuat menahan lapar
dan rokok. Kalau shalat lima waktu sih, alhamdulillah tidak pernah kelewatan. Cuma untuk shalat malam, saya masih merasa berat, karena
sampai saat ini saya masih suka begadang.”
15
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap para informan, dapat
diambil kesimpulan bahwa hampir seluruh informan mengaku mereka mengalami peningkatan dalam hal praktik keagamaan. Peningkatan tersebut meliputi
peningkatan dalam melaksanakan ibadah wajib seperti shalat lima waktu, yang sebelumnya sering bolong-bolong atau menunda-nunda, setelah para informan
14
Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 17 April 2010
15
Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010
mengalami ketunanetraan, mereka mengaku bahwa hal tersebut tidak terjadi lagi. Selain itu para informan juga mengalami peningkatan dalam ibadah sunnah,
seperti pelaksanaan shalat-shalat sunnah, dan puasa-puasa sunnah. Secara teoritis, fenomena praktek keagamaan kalangan tunanetra dewasa
ini bisa dijelaskan dalam dimensi keyakinan dan praktek keagamaan sebagaimana kategorisasi yang dibuat oleh Stark dan Glock. Menurut keduanya, orang
beragama akan berpegang teguh pada teologi yang diyakini oleh mereka dan berusaha menunjukkan komitmen pada keyakinan teologi mereka melalui
praktek-praktek ritual. Dalam konteks penelitia ini ditemukan bahwa kalangan tunanetra dewasa tetap berpegang teguh pada keyakinan ke-Islaman mereka. Hal
ini mereka tunjukkan dengan komitmen mereka untuk melaksanakan shalat dan puasa. Meski variasi praktek keagamaan mereka beragam, dalam arti ada yang
mengerjakan ibadah wajib dan ada juga yang mampu melaksanakan ibadah sunnah, tapi sesungguhnya semua itu ingin menunjukkan bahwa mereka adalah
orang beragama dan menjaga hubungan dengan Sang Maha Pencipta di tengah- tengah kondisi mereka yang mengalami keterbatasan dalam melihat secara fisik.
C. Harapan Hidup Penyandang Tunanetra Dewasa sebagai Hasil dari