Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, mempunyai tanggung jawab yang berat di muka bumi. Karena manusia merupakan khalifah Allah, yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam beserta isinya. Tugas dan tanggung ini sebelumnya sudah pernah diberikan kepada makhluk lainnya, seperti malaikat, jin, dan sebagainya, namun mereka tidak ada yang menyanggupinya. Hanya manusialah yang berani untuk mengambil tanggung jawab ini. Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut, manusia diberi bekal oleh Allah SWT, berupa akal, emosi, dan seperangkat organ tubuh yang memungkinkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh makhluk lain. Dari semua bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia, akallah yang paling membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena dengan akal pikiran manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Selain akal, manusia juga memilik indera yang bisa digunakan untuk merasa, mencium, meraba, mendengar, melihat atau yang lebih dikenal dengan panca indera. Dengan indera inilah manusia menggunakan akalnya untuk menentukan atau memutuskan suatu hal yang sekiranya dianggap baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Sejalan dengan perkembangan zaman, melalui akal dan indera juga, manusia menemukan berbagai macam teknologi yang digunakan untuk memudahkan hidup mereka. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh manusia adalah, kewajiban mereka terhadap Tuhan, yang telah menciptakan mereka. Dalam bahasa agama Islam disebut ibadah. Ini adalah salah satu bentuk kewajiban manusia dalam mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana jika salah satu indera manusia tersebut berkurang? Secara psikologis, seseorang yang mengalami perubahan dalam hidupnya, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk materi, maka orang tersebut akan mengalami keguncangan. Perubahan yang penulis maksud di sini lebih bersifat perubahan yang berasal dari baik menjadi tidak baik, atau dari sempurna menjadi tidak sempurna. Salah satu indera yang jika oleh Allah diambil, yaitu mata, membuat manusia tidak bisa melihat atau dalam kadar tertentu penglihatannya berkurang dan kurang maksimal. Istilah ini lebih sering disebut sebagai tunanetra. Secara etimologi pengertian tunanetra adalah “tuna” yaitu “rusak”, dan “netra” yaitu “mata”, jadi tunanetra adalah “cacat mata”. Istilah tunanetra menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan pada indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan “buta” adalah melukiskan keadaan di mana mata sebaga indera untuk melihat mengalami kerusakan, baik kerusakannya itu sebagian maupun seluruhnya kedua-duanya, sehingga mata tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya tidak dapat melihat.” 1 Pemerintah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penderita cacat adalah “seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan untuk melakukan kegiatan secara layak”. 2 Orang-orang yang mengalami ketunanetraan itu berbeda-beda. Mereka yang mengalami ketunanetraan dari lahir, umumnya bisa menerima dan ikhlas kekurangannya tersebut merupakan takdir Allah SWT, yang dibalik semua itu tersimpan hikmah yang terkadang manusia belum bisa menemukannya. Mereka yang menyandang tunanetra sejak lahir bawaan ketika beranjak dewasa dan memasuki usia dewasa sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan sekitarnya. Namun bagaimana dengan mereka yang mengalami ketunanetraan ketika beranjak atau memasuki usia dewasa? Tentu membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan sekitarnya. Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, para penyandang tunanetra usia dewasa membutuhkan bantuan orang lain agar dapat bersosialisasi dengan keadaan yang baru tersebut. Untuk itu agen-agen sosialisasi yang terdiri dari keluarga, media, dan teman sepermainan, sistem pendidikan tentu saja memiliki pengaruh dalam proses adaptasi tersebut. Di sinilah kemudian agen-agen sosialisasi penulis anggap memiliki peran terhadap keberagamaan para penyandang tunanetra. Agen-agen sosialisasi bisa 1 Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, Bandung: CV Masa, 1997, Cet. Ke-1, hal. 12 2 Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah 361980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial bagi Penderita Cacat, penjelasan Pasal demi Pasal, hal. 1 jadi akan memberikan pengetahuan dan semangat bagi para penyandang tunanetra usia dewasa tersebut dalam melanjutkan hidupnya, atau bisa juga agen- agen sosialisasi tidak memiliki peran apa-apa dalam memberikan motivasi terhadap penyandang tunanetra dewasa. Apa yang penulis kemukakan di atas adalah bagaimana peran agen-agen sosialisasi dalam kehidupan beragama tunanetra usia dewasa. Lebih jauh, bagaimana para penyandang tunanetra dewasa tersebut dalam melakukan sosialisasi dengan masyarakat, atau bagaimana mereka berinteraksi dengan agen- agen sosial lainnya? Karena tidak bisa dipungkiri, dalam kehidupan sosial, manusia senantiasa bersinggungan dengan agen-agen sosial tersebut. Fuller dan Jacobs, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto menjelaskan bahwa terdapat 4 agen sosialisasi utama, yaitu: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan. 3 Peran keempat agen sosialisasi tersebut sangat besar terhadap seorang individu, terutama bagi mereka yang memiliki kekurangan fisik dengan tidak berfungsinya salah satu indera yang ada. Para penyandang tunanetra usia dewasa, sebelumnya telah memiliki memori tentang berbagai hal. Mereka sudah pernah melihat benda-benda dan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Sehingga saat menjadi tunanetra, para penyandang tunanetra usia dewasa tersebut tentu saja mengalami peralihan yang ekstrim, sehingga memerlukan penyesuaian yang tidak sebentar. Di sinilah para agen sosialisasi memerankan perannya. Keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan memiliki peran yang vital dalam memberikan motivasi maupun semangat hidup bagi para penyandang 3 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004 tunanetra tersebut. Selain agama, para agen sosialisasi tersebut dapat memberikan motivasi dan semangat hidup bagi para penyandang tunanetra usia dewasa agar bisa terus meneruskan perjalanan hidup mereka sebagaimana mestinya, meskipun indera penghilatan mereka sudah tidak berfungsi lagi. Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis terdorong untuk mengadakan penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN AGEN- AGEN SOSIALISASI DALAM KEBERAGAMAAN PARA PENYANDANG TUNANETRA USIA DEWASA Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin, Tangerang Selatan Banten.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah