Perkembangan Pengusahaan Garam 1. Periode Tradisional

Garam sebetulnya merupakan bahan mineral yang secara luas mudah didapatkan karena terdapat di dalam kandungan air laut. Konsentrasi unsur garam dalam air laut sekitar 30 gram garam per liter air laut. Hal ini berarti bahwa sekitar sepertiga air laut merupakan garam. Selain dapat dijumpai di air laut, unsur garam juga dapat dijumpai di muara sungai, bahkan danau di pedalaman, ataupun sumber air asin sebagaimana yang dapat ditemukan di daerah Kuwu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Meskipun persediaan garam di muka bumi ini merupakan mineral yang paling banyak dijumpai, namun pada kenyataannya pada masyarakat yang hidupnya jauh dari laut, akses terhadap garam menjadi kendala tersendiri apalagi ketika alat transportasi dari daerah pedalaman ke pantai belum berkembang dengan baik. Justru karena itulah produksi dan perdagangan garam dapat berkembang dengan baik. Bagi daerah pedalaman, garam merupakan komoditi yang sangat langka dan berharga. Pentingnya garam pada jaman dahulu dapat ditemukan pada masa kuno ketika berbagai masyarakat memberikan persembahan makanan termasuk garam dalam upacara keagamaan di Yunani Kuno, Romawi, Yahudi, dan Kristen. Dalam sejarah Barat, garam merupakan medium perdagangan yang penting dalam kegiatan komersial di kawasan Laut Tengah dan Laut Aegea. Selain itu produksi dan perdagangan garam juga menjadi objek industri dan perdagangan yang dipajaki oleh para penguasa di Asia sejak jaman dulu hingga saat ini. Bahkan di beberapa wilayah pedalaman pada masa tradisional, garam layaknya berfungsi sebagai uang atau alat tukar. Pentingnya komoditi garam tentu saja seirama dengan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya benda ini untuk kesehatan baik manusia maupun hewan periharaan dan makluk hidup lainnya. Pada jaman dahulu ketika pengetahuan orang tentang zat kimia masih kurang, kebanyakan garam masih merupakan garam mentah yang belum dicampur dengan senyawa iodium untuk mencegah penyakit gondok. Barulah setelah ilmu pengetahuan berkembang, ada kebutuhan untuk mencapur garam dengan unsur iodium agar di samping memberikan rasa yang enak kepada makanan juga dapat mendukung kesehatan kepada konsumennya. Sudah barang tentu pencampuran ini tidak dapat dilakukan secara tradisional tetapi membutuhkan proses-proses industri dalam pembuatan garam yang memenuhi strandar kesehatan modern. Meskipun belum ditemukan sumber-sumber tertulis, namun dapat dikemukakan bahwa penggunaan garam untuk konsumsi dan kebutuhan sehari- hari bagi masyarakat sudah merupakan sesuatu yang tidak asing lagi. 30 Di dalam masyarakat Jawa, berbagai tradisi yang berhubungan dengan garam masih cukup banyak dijumpai. Garam merupakan bahan makanan sehari-hari, oleh sebab itu bagi orang yang ingin “berbeda” dalam arti ingin menjadi orang yang sakti maka harus mengurangi kalau perlu tidak makan makanan yang mengandung garam. Orang Jawa menyebut praktik ini sebagai “mutih”. Dengan melakukan “mutih”: ini mereka yakin akan memiliki kekuatan gaib. Masih banyak lagi contoh tradisi masyarakat yang berhubungan dengan garam. Hingga saat ini prasasti tertua di Jawa yang ditemukan menyebut komoditi garam adalah prasasti Biluluk yang berangka tahun 1366. Dengan melihat angka tahun itu maka dapat disimpulkan bahwa prasasti itu muncul pada jaman kejayaan Majapahit. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa hasil tambak garam dapat diambil untuk keperluan keagamaan selama lima hari di dalam setahun tanpa harus membelinya Sri Soejatmi Satari,1983: 496. Prasasti ini memberikan informasi bahwa garam sangat diperlukan baik untuk konsumsi penduduk maupun untuk keperluan upacara keagamaan yang biasanya juga mempersembahkan berbagai jenis makanan yang tentu saja dalam memasaknya menggunakan garam. Selain itu, prasati ini juga memberikan informasi bahwa pada waktu itu garam sudah merupakan komoditi yang diperjualbelikan. Dengan demikian garam sudah dipandang sebagai sumber ekonomi yang penting bagi masyarakat pantai yang pada gilirannya memungkinkan berbagai kekuatan untuk memperebutkan dan menguasainya. Selain Prasasti Biluluk, juga ditemukan Prasasti Karangbogem. Sayang sekali bahwa prasasti ini tidak berangka tahun, namun diperkirakan memiliki periode yang sama dengan Prasasti Biluluk. Prasasti ini bercerita sedikit tentang 30 Ketika orang-orang Belanda datang di kepulauan Indonesia, semua penduduknya sudah mengenal garam kecuali beberapa suku di barat laut Papua dan di Teluk Humbolt, Suku Pumans dan Olo Ot di Borneo, dan penduduk pulau Enggano. Lihat D.G. Stibbe. 1919. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië . Tweede druk Leiden-‘sGravenhage: Martinus Nijhoff. Hlm. 865. batas tambak yang dimiliki oleh seorang patih tambak dari Karangbogem Sri Soejatmi Satari,1983: 496. Informasi penting yang dapat diambil dari prasasti ini adalah bahwa bangsawan pada waktu itu memegang peranan penting sebagai pemilik tambak garam. Hal ini mudah dipahami mengingat bahwa tambak garam merupakan sumber ekonomi yang penting. Jika pada daerah pedalaman, para bangsawan dan pejabat pemerintah menguasai lahan persawahan, maka di daerah pantai, tidak mustahil para bangsawan dan pejabat kerajaan menguasai tambak garam sebagai sumber ekonomi mereka ataupun sebagai tanah lungguh atau gaji dari kerajaan. Sudah barang tentu sistem semacam itu akan membuka kemungkinan bagi monopoli pembukaan ladang garam dan penjualannya. Meskipun demikian juga terdapat kemungkinan bahwa para petani garam diwajibkan memberikan upeti atau pajak dengan jumlah tertentu sebagai imbalan atas tambak garam yang mereka garap atau sewa dari bangsawan. Namun demikian, jika melihat sistem yang ada dalam mayarakat pertanian di pedalaman, maka dapat dianalogikan bahwa para penguasa hanya menuntut jumlah tertentu dari produksi yang dihasilkan oleh para penggarap. Dengan demikian masih ada sedikit kebebasan bagi para penggarap tambak garam untuk melakukan perdagangan garam. Di samping itu terdapat kemungkinan juga bahwa para bangsawan menyewakan tambak-tambak garam kepada orang-orang yang mampu membayar uang sewa baik itu yang berasal dari orang pribumi kaya ataupun orang-orang Cina. Dengan demikian pada masa sebelum datangnya bangsa Belanda, pada dasarnya para pemilik tambak garam adalah para bangsawan. Para penggarap tambak diwajibkan memberikan setoran pajak dalam jumlah tertentu kepada para pemilik. Dapat juga para bangsawan menyewakan tambak tersebut kepada para pemodal. Di luar itu tentu saja ada tenaga buruh yang bekerja di tambak garam dengan memperoleh imbalan tertentu dari penguasa tambak petani penggarap ataupun penyewa.

4.2.2. Periode VOC: Garam Sebagai Komoditi Strategis

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang sejarah daerah Rembang, bahwa sebelum tahun 1743, kawasan ini masih dikuasai oleh penguasa tradisional baik berada di bawah kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, maupun berdiri sendiri sebelum ditaklukkan oleh Mataram pada tahun 1616. Hal ini berarti bahwa daerah pertambakan di Rembang juga masih dalam kekuasaan penguasa tradisional. Barulah pada tahun 1743 ketika Paku Buwana menyerahkan daerah antara Semarang dan Surabaya kepada VOC, maka daerah pertambakan Rembang secara otomatis juga berada di bawah kontrol VOC. Pada awalnya, VOC belum menerapkan sistem monopoli terhadap produksi dan perdagangan garam. Sebagai penguasa baru, VOC cenderung masih melanjutkan sistem tradisional yang sudah lama berjalan di dalam masyarakat pribumi. Sebagaimana bangsawan Jawa, VOC juga menuntut penyerahan wajib contingenten garam dari para petani penggarap dengan jumlah yang telah ditentukan. Di samping itu, jika ada yang berminat, VOC juga menyewakan kepada para pengusaha kaya. Namun demikian tentu saja VOC membuat aturan- aturan yang lebih mengikat dan tegas yang harus diikuti oleh penduduk yang berada di bawah kekuasaannya. Aturan itu antara lain bahwa penduduk di daerah- daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaan VOC het rechtstreeksch bestuur van de Compagnie dilarang membuka tambak garam baru membuat industri garam baru kecuali harus mendapatkan ijin dari VOC Stibbe, 1919: 55. Dengan peraturan sebagaimana yang disebutkan di atas, VOC dengan sendirinya mengontrol produksi dan perdagangan garam di daerah-daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaannya, yaitu daerah-daerah yang direbutnya atau daerah-daerah yang diperoleh dari Mataram sebagai imbalan atas jasanya membantu menyelesaikan pertikaian internal di antara kekuatan-kekuatan pribumi yang berebut kekuasaan. Dengan melihat volume perdagangan garam yang dilakukan oleh VOC, maka dapat dikatakan bahwa VOC masih lebih senang untuk menerima penyerahan wajib dari para petani garam sebagaimana yang sering dilakukan oleh para bangsawan tradisional daripada memborongkan kepada para pachter penyewa yang biasanya berasal dari orang Cina. Hal ini terjadi karena VOC sendiri memiliki peluang untuk memperdagangkan garam di berbagai daerah di kepulauan Indonesia bahkan di kawasan lain di luarnya. Pada masa VOC garam yang kebanyakan berasal dari Rembang diperdagangkan di Batavia, dan selanjutnya sebagian juga diperdagangkan di Sumatra Barat yang mendatangkan keuntungan yang sangat bagus Stockdale, 1811: 41. Namun demikian sejalan dengan keterlibatan VOC dalam persoalan-persoalan politik dan militer baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang membutuhkan banyak uang cash maka menjelang akhir kebangkutannya VOC memiliki kecenderungan untuk menyewakan tambak-tambak garam ini kepada pachter agar memperoleh uang kontan. 31 Dengan adanya perkembangan ini para elite pribumi yang memiliki potensi ekonomi telah kehilangan kontrol atas produksi garam di pantai utara Jawa dan akhirnya kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam jatuh ke tangan penguasa kolonial dan pengusaha yang terdiri dari orang-orang Cina Knaap, 1991: 127157. Sistem penyerahan wajib dan penyewaan monopoli garam yang juga diberlakukan oleh VOC di Rembang ini berlangsung hingga kebangkrutannya pada tahun 1799. Bahkan pada periode berikutnya sistem ini tetap berjalan hingga Jawa berada di bawah penjajahan Inggris yang berlangsung dari tahun 1811 hingga 1816. Sesuai dengan sifat pemerintahan Inggris yang lebih dijiwai oleh semangat liberalisme, Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamfort Raffles melihat bahwa monopoli garam yang disewakan kepada para pachter ini sangat merugikan penduduk pribumi dan sebaliknya memberikan keuntungan yang sangat besar kepada para pachter. Hal ini terjadi karena para pachter merasa sudah memborong produksi garam itu kepada VOC sehingga mereka melakukan eksploitasi dan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa banyak campur tangan lagi dari penguasa Belanda. Dalam hubungan inilah maka pada tanggal 15 Oktober 1813 Raffles mengeluarkan peraturan yang menghapuskan baik sistem contingenten maupun sistem penyewaan produksi dan perdagangan garam yang dilakukan oleh para pachter. Sebagai gantinya Raflles akan menempatkan industri garam sebagai perusahaan negara yang dipimpin oleh seorang super intendent. Perusahaan negara ini akan menerapkan sistem free labor vrije arbeid dalam produksi garam. Demikian juga perdagangan dan distribusi garam akan dikelola oleh perusahaan negara tersebut. 31 VOC bahkan juga menyewakan tanah partikelir beserta penduduknya, menjual pajak borongan, menyewakan monopoli opium, dan sebagainya. Lihat Robert Cribb. 2000. Historical Atlas of Indonesia . Honolulu: University of Hawai’I Press. Hlm. 139. Pertama-tama, Raffles menerapkan peraturan ini untuk daerah Jawa dan Madura serta Lampung. Jawa dan Madura yang pada masa VOC dan pemerintah kolonial Belanda diperlakukan sebagai daerah monopoli monopoligebied dibagi menjadi tiga wilayah yang masing-masing dipimpin oleh seorang agen. Jadi tempat-tempat pembuatan garam berada di bawah kontrol agen-agen tersebut sesuai dengan pembagian daerah tugasnya. Namun demikian karena pemerintah interregnum Inggris hanya berlangsung sangat pendek yaitu lima tahun, maka peraturan ini belum berjalan sepenuhnya ketika Ingris sudah harus meninggalkan pulau Jawa. Namun demikian kebijakan Raffles ini telah membuat para pachter garam mengalami kerugian besar Stibbe, 1919: 55.

4.2.3. Pemerintah Kolonial Belanda: Monopoli dan Birokratisasi Pengusahaan Garam

Satu hal yang menarik adalah bahwa meskipun kekuasaan atas pulau Jawa sudah dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1816, namun pemerintah kolonial Belanda tidak mengembalikan hak atas penguasaan tambak garam dan perdagangan garam kepada para pachter yang berkuasa sebelum datangnya kolonial Inggris. Bahkan tampak dengan jelas bahwa pemerintah kolonial Belanda sendiri memanfaatkan kebijakan penghapusan sistem pachter itu sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan pemerintah atas industri dan perdagangan garam di Jawa. Seharusnya jika Belanda mau, ia dapat mengembalikan status quo penguasaan produksi dan distribusi garam sebagaimana keadaan sebelum tahun 1811 ketika Inggris mulai berkuasa di Jawa. Namun hal itu tidak dilakukan karena pemerintah kolonial sendiri membutuhkan uang lebih besar dari sektor pengusahaan garam. Oleh karena itu peraturan yang dibuat oleh Inggris untuk sementara waktu dibiarkan berlangsung terus. Bahkan ada kecenderungan pemerintah kolonial Belanda justru memperkuat posisi negara dalam penguasaan industri dan perdagangan garam mengingat komoditi ini dapat memberikan pemasukan keuangan yang besar kepada pemerintah. Pada tahun 1818 misalnya, kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam di daerah-daerah dikuasakan kepada para residen. Namun demikian upaya ini tidak membuahkan hasil sebab banyak kepentingan pejabat lokal yang menyebabkan pemasukan pemerintah menjadi berkurang. Oleh sebab itu sistem yang telah diletakkan oleh Raffles kembali menjadi acuan dengan menyerahkan pengelolaan produksi dan distribusi garam kepada direksi dan dewan keuangan sebagaimana sebuah perusahaan modern. 32 Namun demikian seiring dengan silih bergantinya sistem eksploitasi kolonial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda peraturan-peraturan monopoli juga mengalami periode trial and error sesuai dengan kebijakan gubernur jenderal yang sedang memerintah. 33 Komisaris Jenderal Du Bus De Gesignes misalnya, pada tahun 1829 kembali berusaha menyewakan pengolahan garam kepada pihak swasta untuk menutup kas keuangan Belanda yang mengalami defisit sebagai akibat dari Perang Diponegoro selama periode tahun 1825-1830 Stibbe, 1919: 55. Barulah pada tanggal 25 Februari 1882 Indische Staatsblad No. 73 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan “Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie” sebagai peraturan yang secara tegas mengatur mengenai monopoli produksi dan distribusi garam di Hidia Belanda. 34 Aturan ini kemudian disempurnakan pada tahun 1921 Staatsblad N0. 454, 1923 Staatsblad No. 20, 1930 Staatsblad No. 119, dan tahun 1931 Staatsblad No. 168 dan 191. Aturan yang paling mendasar dari peraturan-peraturan ini adalah bahwa pembuatan garam, kecuali dengan ijin pemerintah atau milik pemerintah itu sendiri, dilarang di Jawa dan madura, di residensi Pantai Barat Sumatra, Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Palembang, Pantai Timur Sumatra, Bangka dan sekitarnya, Afdeling Borneo Barat, Afdeling Borneo Selatan dan Timur, dan Asistensi Residen Bilitung. Sementara itu produksi garam di Kuwu Grobogan tidak dikenakan aturan ini namun para produsen harus membayar pajak sebesar 50 cent per 32 Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda untuk sementara tetap memandang bahwa sistem pengelolaan sektor garam yang diwariskan Inggris dapat mendatangkan keuntungan signifikan. Lihat L.F. Gent, W.A. Penard, D.A. Rinkes, Gedenkboek voor Nederlandsch-Indië ter Gelegenhein van het Regeering Jubileum van H.M. De Koningin 1898-1923 . Batavia,Weltevreden,Leiden: G. Kolff. Hlm. 408. 33 Tentang sistem trial and error dalam sistem eksploitasi pemerintah kolonial Belanda sebelum tahun 1870 lihat misalnya, H.W. Dick, at. al. 2002. The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-1200 . Leiden: KITLV Press. 34 Staatsblad van Nederlansch-Indie Over-het jaar 1882. Batavia, Landdrukkerij, 1883: Hlm 1-3. pikul. 35 Demikian juga kegiatan impor garam ke wilayah-wilayah yang disebutkan di atas juga dilarang, kecuali jika hal itu dilakukan oleh pemerintah. Aturan yang sama juga berlaku untuk perdagangan garam antar wilayah yang disebutkan itu. Di samping itu hanya pelabuhan-pelabuhan tertentu saja yang dapat digunakan sebagai pintu masuk atau keluar komoditi garam di Jawa misalnya: pelabuhan Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan Cilacap. 36 Dalam peraturan ini, badan pemerintah yang diberi wewenang untuk mengendalikan monopoli garam bukan lagi pejabat daerah residen namun seorang Kepala Dinas Monopoli Garam Hoofd van den Dienst der Zoutregie yang posisinya ditempatkan di bawah Direktur dari Departemen Perusahaan Negara Departement van Gouvernementsbedrijven. Struktur ini berlaku sejak tahun 1915. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa pemerintah mengontrol dan memonopoli dengan ketat produksi dan distribusi serta lalu-lintas garam yang beredar di wilayah yang dikuasainya. Bahkan petugas monopoli garam diberi kuasa untuk menggeledah rumah yang dicurigai menjadi tempat penyimpanan garam illegal dan pelanggaran terhadap semua peraturan itu akan mendapatkan sangsi kurungan danatau didenda. 37 Untuk menjaga agar tidak terjadi manipulasi timbangan maka sejak tahun 1897 juga diupayakan untuk membuat garam briket garam bata. Selain itu juga dibedakan antara garam yang digunakan untuk konsumsi dengan garam yang digunakan untuk bahan industri seperti untuk pengeringan pengawetan ikan. Garam untuk konsumsi berharga sekitar f 0,12 kg, sedangkan harga garam untuk industri adalah f 0,03 kg. 38 Di satu sisi, monopoli negara ini dimaksudkan untuk melindungi penduduk pribumi dari berbagai praktek manipulasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh para pemodal swasta yang selama jaman VOC memperoleh 35 1 pikul = 61,76 kg. Ibid. 36 Di Jawa, pelabuhan-pelabuhan pintu masuk dan keluar komoditi garam adalah: Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, dan Cilacap. Lihat Staatsblad 1905, No. 307. 37 Departement van Binenlandsch Bestuur. 1932. Het Zoutmonopolie: Handleiding ten Dienste van de Inlandsche Bestuursamtenaren . Batavia Centrum: Balai Pustaka. Hlm. 43. 38 Stibbe, Encyclopedie. Hlm. 866. Lihat juga Ch. O. Van Der Plas, ‘Zoutinkooppijzen’, dalam: Koloniaal Tidschrijft No. 1, 1920. keuntungan yang sangat besar dengan cara merugikan para konsumen tetapi di pihak lain kebijakan ini juga menjadi suatu penghalang bagi kaum pribumi yang ingin mngembangkan bisnis di bidang pengusahaan dan perdagangan garam. Memang penduduk pribumi diijinkan untuk membuka usaha pembuatan garam namun harus mendapatkan ijin yang ketat dari pemerintah. Lagi pula para pembuat garam sudah diberi kuota produksi yang dapat mereka capai sehingga pendapatan mereka menjadi sangat terbatas. Selain itu pemerintah sudah menetapkan harga jual dan beli di berbagai wilayah di Hindia Belanda sehingga kebijakan ini kurang menarik dari segi bisnis dari pihak nonpemerintah. Setiap produksi garam tidak boleh dijual bebas di pasaran, tetapi harus dijual ke gudang- gudang pemerintah yang dikepalai oleh seorang pakhuismeester. Para pemodal Cina memang masih dapat membuka usaha pembuatan garam atas ijin pemerintah, namun tetap saja mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana sebelum tahun 1870-an. Dengan cara demikian pemerintah kolonial Belanda mengambil bagian terbesar dari pendapatan dari sektor industri dan perdagangan garam di Hindia Belanda. Pada tahun 1936 saja misalnya, pendapatan pemerintah kolonial Belanda dari monopoli garam mencapai f 3.084.500,-. 39 Hal itu belum termasuk monopoli garam di Bagan Si Api Api yang diperlakukan secara istimewa. Pada tahun 1905 misalnya, pemerintah kolonial Belanda mendapatkan pemasukan sekitar f 325.000 dari industri garam dan industri lain yang terkait Butcher, t.th.: 100. Meskipun tangan pemerintah begitu kuat mencengkeram industri dan perdagangan garam, namun apa yang disebut sebagai bevolkingszout garam rakyat juga tetap eksis. Pada tahun 1938, produksi garam rakyat yang dijual di gudang garam Semarang mencapai 2.882.000 kg senilai f 158.800. Produksi ini melibatkan 6 sentra pengusahaan garam di Jawa Tengah, yaitu Rembang, Pati, Jepara, Demak, Semarang, dan Brebes dengan tenaga kerja berjumlah 1.563 orang. 40 Hal itu barangkali berkaitan dengan kenyataan bahwa pengusahaan garam sudah merupakan bagian dari tradisi ekonomi masyarakat kawasan pantai termasuk daerah kabupaten Rembang. Dalam hal ini ternyata rakyat tidak hanya 39 Indisch Verslag 1937 . s-Gravenhage: Landsdrukkerij, 1938: Hlm. 133. 40 Indisch Verslag 1939 . s-Gravenhage: Landsdrukkerij, 1938: Hlm. 298. menjadi buruh tetapi juga ada yang menjadi pengusaha meskipun dalam skala usaha kecil. Memang data yang membedakan antara garam pemerintah dan garam rakyat cukup jelas karena dalam laporan kolonial dibuat kategori untuk kedua jenis garam itu, tetapi data yang membedakan antara produk garam yang diusahakan oleh masyarakat pribumi dengan pengusaha keturunan Cina sulit untuk didapatkan. Namun demikian berdasarkan data wawancara dengan warga masyarakat yang sudah tua dapat disimpulkan bahwa peranan pemodal swasta dalam pengusahaan garam rakyat sangat dominan. 41 Jadi tampaknya kebijakan politik ekonomi pemerintah kolonial Belanda lebih berorientasi pada kepentingan penguasa dan pemodal dengan mengorbankan kepentingan produsen lokal penduduk pribumi. 42 Kondisi yang demikian itu dalam perkembangannya di beberapa daerah sentra garam seperti Madura mendorong timbulnya resistensi petani garam dalam bentuk protes terbuka yang sangat marak pada perempat pertama abad XX De Jonge, 1993: 165184. Di Kabupaten Rembang meskipun termasuk salah satu sentra produsen garam, tampaknya resistensi petani garam secara terbuka terhadap kebijakan kolonial itu tidak meluas. Namun demikian kebijakan itu telah ikut mendorong terjadinya proses marjinalisasi petani garam di mana posisi mereka tergeser 41 Smn 98 tahun, Wawancara tanggal 21 April 2007. Ia mengaku menjadi buruh tiga jaman di Rembang, karena bekerja menjadi buruh yang membuat garam sejak jaman Belanda, Jepang dan Indonesia merdeka. Sepanjang jaman itu ia lebih banyak bekerja pada dauke orang Cina di Lasem Rembang, meskipun ia juga mengetahui bahwa pada waktu itu ada dauke penduduk pribumi tapi jumlahnya hanya sedikit 1-2 orang. Berdasar ingatannya, sejak jaman Belanda yang menguasai lahan-lahan garam itu para dauke, sedangkan kebanyakan petani hanya menjadi buruh yang bekerja membuat garam pada musim kemarau sepanjang hari dari pagi hingga sore dengan upah sangat minim, dapat untuk makan sekeluarga sudah bagus. 42 Sebagai contoh pada tahun 1917 pemerintah kolonial Belanda menempuh kebijakan Membeli ladang-ladang garam penduduk pribumi yang dalam kasus Madura dimaknai oleh penduduk sebagai perampasan hak milik penduduk pribumi Kuntowijoyo, 1988. Kemudian keluarnya kebijakan monopoli dan pengaturan hak milik atas ladang-ladang garam penduduk pribumi Departemen Van Binnenlansch Bestuur, 1932. Dengan adanya monopoli maupun dominasi penguasa dan pengusaha atas produksi garam, menjadikan produksi garam dalam penetrasi sistem kapitalisme. Dalam perspektif materialisme historis, kondisi yang demikian itu melahirkan formasi sosial yang didominasi oleh sebuah artikulasi dari dua cara berproduksi mode of production, yaitu cara kapitalis dan non kapitalis di mana cara produksi kapitalis telah menjadi dominan atas yang lain. Cara produksi kapitalis mempunyai ciri padat modal dan merupakan tipe kelas berstruktur majikan-buruh pada hubungan produksinya Russel, 1989. Hal itu antara lain tampak dari berkembangnya pengusahaan garam oleh pemerintah melalui perusahaan yang telah ditunjuk dan direkomendasikan mendapatkan hak sewa di satu sisi dan terjadinya penurunan status sosial petani garam pada sisi yang lain di mana mereka cenderung hanya menjadi tenaga penggarap dan upahan dalam proses produksi garam. cenderung hanya sebagai penggarap dan buruh. Para petani yang dalam prakteknya sebagai produsen langsung justru tidak memiliki posisi tawar baik dalam mekanisme produksi, pemasaran dan distrubusi. Jadi petani garam tidak memiliki otoritas dan kebebasan dalam melakukan pekerjaannnya, melainkan semata-mata hanya berproduksi dan sekedar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih jauh pekerjaan membuat garam tidak memberi kontribusi bagi pengembangan diri petani garam, misalnya dalam proses capital formation, tetapi lebih cenderung membuat mereka terasing dengan alat produksi dan produknya. 43

4.2.4. Periode Kemerdekaan: Dari Monopoli ke Liberalisasi

Setelah Belanda mengalami kekalahan dalam menahan serangan tentara Jepang, maka wilayah IndonesiaHindia Belanda berada di bawah kekuasaan penjajah Jepang. Bahkan pada waktu itu kawasan Rembang dijadikan sebagai salah satu pintu masuk untuk menundukkan Jawa bagian tengah. Pada waktu itu Jepang mendaratkan pasukannya di Kragan yaitu daerah Rembang timur. Dari situ mereka bergerak cepat menguasai kota Rembang dan daerah pantai di sekitarnya. Sebagian pasukan bergerak ke selatan untuk merebut sumber minyak di daerah Cepu yang pada waktu itu merupakan bagian dari Wilayah Keresidenan Rembang. Setelah berhasil menundukkan Belanda, pemerintah pendudukan Jepang segera melakukan konsolidasi dan melaksanakan agenda-agenda untuk mengontrol semua sektor kehidupan rakyat. Dalam hubungan itu sektor perekonomian rakyat juga tidak luput dari kontrol pemerintah pendudukan Jepang. Bahkan mereka lebih keras jika dibandingkan dengan pemerintah kolonial Belanda. Mobilitas tenaga kerja dan sumber makanan diatur oleh pemerintah dalam kerangka Perang Dunia II. Dalam hubungan itu pemerintah pendudukan Jepang juga masih memberlakukan monopoli garam sebagaimana yang diterapkan oleh Belanda, bahkan pelaksanaannya lebih ketat lagi. Jika pada masa kolonial Belanda, hukuman paling berat dalam pelanggaran monopoli garam adalah penjara dan 43 Dalam konsep Marx hal yang demikian itu merupakan manifestasi dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalis di mana pekerjaan yang dilakukan para buruh tidak merealisasikan hakekat mereka yang dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan, melainkan justru mengasingkan mereka. Lihat Magnis Suseno, 2001. Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme . Jakarta: Gramedia. Hlm.95-109 denda, maka pada masa pendudukan Jepang ini hukuman mati dengan mudah akan dijatuhkan untuk pelanggaran yang sebetulnya tidak berat. Hal ini terjadi karena pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan hukum perang di daerah- daerah yang dikuasai. Untuk petani dan buruh pembuat garam di kabupaten Rembang masa pendudukan Jepang tidak hanya dirasakan berat secara fisik tapi juga penuh penderitaan dan tekanan. Mereka ini oleh tentara pendudukan diwajibkan untuk membuat garam dan hasilnya sebagian besar harus disetor pada pemerintah tanpa diberi imbalan apapun. 44 Selain itu pemerintah pendudukan Jepang juga menggalakkan budidaya ikan mujair untuk perikanan air tawar. 45 Perubahan-perubahan besar di bidang pengusahaan garam terjadi setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Perubahan itu tidak hanya menyangkut status Indonesia yang menjadi negara merdeka, tetapi juga konsekuensi yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagai negara merdeka. Setelah memasuki periode kemerdekaan Indonesia harus berhadapan dengan kekuatan Belanda yang ingin kembali menegakkan pemerintahan kolonial di Indonesia. Dengan adanya kenyataan seperti itu maka meletuslah perang kemerdekaan antara Indonesia dan Belanda. Perang kemerdekaan ini juga membawa dampak tertentu terhadap dunia pengusahaan garam di kabupaten Rembang. Oleh karena situasi yang perang yang berkecamuk, maka para produksi dan distribusi garam menjadi sangat terganggu. Banyak energi dicurahkan oleh segenap elemen masyarakat untuk peperangan dan situasi yang tidak aman. Dengan demikian tambak-tambak garam menjadi agak terbengkalai. Sementara itu pengiriman garam konsumsi dari Madura mengalami kesulitan karena blokade yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap wilayah-wilayah Republik 44 Smn 98 tahun, Wawancara tanggal 21 April 2007. Pada jaman Jepang sebagai buruh yang membuat garam hidupnya sangat menderita. Ia oleh daukenya dengan sering tidak dibayar tapi kadang diberi makan tetap disuruh membuat garam karena diwajibkan pemerintah, jika tidak mau dianggap berani melawan pemerintah dan katanya bisa ditembak mati oleh tentara Jepang. Diakui pernah terpikir untuk melarikan diri, tapi takut tertangkap, ya akhirnya pasrah saja menjalani nasib apalagi hampir semua orang mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. 45 Micro Film koleksi KITLV Leiden, Roharsih. 1961. “Perkembangan Koperasi dan Hubungannya dengan PP 1059 Khususnya dalam Bidang Penggaraman rakyat: Suatu Keadaan di Daerah-daerah Rembang, Pati, dan Demak” Skripsi Sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Indonesia . Hlm. 6. Indonesia. Padahal penduduk di daerah yang berada di bawah Republik juga harus mengkonsumsi garam setiap hari dan garam cenderung menjadi alat barter dengan bahan makanan. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, maka setelah Agresi Militer I pada bulan Juli 1947 pembuatan garam mulai digiatkan lagi atas dukungan dari pemerintah Republik Indonesia. Pada waktu itu Rembang merupakan daerah RI dan berada di luar Garis van Mook. 46 Penduduk di daerah pantai Rembang kemudian kembali meningkatkan produksi garam baik untuk kepentingan sendiri maupun dijual ke daerah lain. Namun demikian setelah perjanjian Renville pada bulan Januari 1948, area perdagangan garam menjadi terbatas karena perdagangan antara daerah Republik dan daerah yang berada di dalam Garis Van Mook dilarang. Namun demikian kesulitan besar muncul kembali ketika pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Belanda II dan secara formal menguasai seluruh wilayah Republik Indonesia yang diakuinya pada Perjanjian Renville. Tentara Republik Indonesia melakukan perlawanan secara gerilya di daerah-daerah pedalaman. Dalam situasi perang itu pembuatan dan distribusi garam juga menghadapi penurunan drastis. Tambak-tambak garam yang sudah mulai diperbaiki kembali menjadi tidak terurus dengan baik, karena petani dan buruh yang biasa membuat garam merasa tidak terjamin keamanan dan keselamatannya. 47 Baru setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, keadaan menjadi lebih aman dan pengusahaan garam mulai aktif kembali membangun puing-puing tambak garam yang pernah mengalami masa kejayaan. Dari kacamata pengusahaan garam di Rembang, revolusi kemerdekaan sebetulnya telah betul-betul meruntuhkan sendi-sendi tatanan pengusahaan garam. Selama perang kemerdekaan, aturan-aturan yang yang telah ditegakkan oleh 46 Garis Van Mook merupakan garis atau batas artfisial yang diklaim Belanda sebagai batas wilayah Indonesia yang dikuasainya setelah Agresi Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Pada waktu itu Rembang termasuk dalam daerah Republik Indonesia. Klaim teritorial Belanda ini kemudian disetujui dalam Perundingan Renville pada bulan Januari 1948. 47 Smn 98 tahun, Wawancara tanggal 21 April 2007. Hal yang demikian sangat ditakutkan oleh orang yang membuat garam, karena ladang-ladang garam di daerah Rembang itu semuanya berada tidak jauh dari jalan raya. pemerintah kolonial selama ratusan tahun mengalami kehancuran. Peran negara yang sangat besar dalam mengendalikan tata niaga garam selama periode kolonial menjadi hancur. Negara RI tidak mampu lagi mengurus garam selama perang kemerdekaan. Meskipun telah dibentuk P.N. Garam pada awal kemerdekaan untuk mewarisi pekerjaan dan aset Zoutregie yang ditinggalkan Belanda, tapi tampaknya itu hanya saja, tidak pekerjaannya karena pelaku yang bergerak di sektor garam tidak mengenal kehadiran PN. Garam pada waktu itu. 48 Dengan demikian tampaknya pada waktu itu terjadi suasana chaos dalam pengusahaan garam. Kontrak-kontrak sewa yang ditandatangani oleh pejabat pengawas garam di Rembang tidak berlaku lagi. Para pengusaha Cina barangkali tidak memiliki keberanian untuk menentang arus revolusi seandainya ada penduduk yang membuat garam di tambak-tambak yang secara hukum kolonial masih berada di bawah penguasaan mereka. Tambak-tambak garam yang terbengkalai memberikan kesempatan kepada siapa saja yang masih mau memproduksi garam. Dengan demikian masa singkat selama revolusi kemerdekaan 1945-1949 sebetulnya telah menciptakan situasi pengusahaan garam lebih “merakyat” dan relatif bebas dari jeratan monopoli baik yang dilakukan oleh negara maupun oleh para pemilik modal besar. 49 Ternyata kemerdekaan politik tidak serta-merta diikuti oleh kemakmuran ekonomi. Bahkan sebaliknya harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan sangat besar. Perang kemerdekaan yang berlangsung selama lima tahun yang diikuti dengan taktik bumi hangus yang dilakukan oleh TNI untuk menghancurkan aset-aset penting agar tidak dapat dimanfaatkan oleh tentara Belanda menyebabkan infrastruktur sosial dan ekonomi hancur. Di daerah Rembang, pabrik kapal besar yang ada di Lasem juga hancur dan tidak dapat bangkit lagi, demikian juga kondisi pengusahaan garam juga terbengkelai, cenderung tidak terurus. Sementara itu berbagai aset ekonomi penting yang menghasilkan devisa negara, berdasarkan perjanjian Meja Bundar, masih dimiliki 48 Smn 98 tahun, Wawancara tanggal 21 April 2007. Juga Skd 87 tahun, Wawancara tanggal 26 April 2006. Ketika awal kemerdekaan Indonesia dan beberapa tahun kemudian situasinya perang, jadi cenderung tidak ada aturan dan mereka belum mengetahui kalau ada PN. Garam,. Menurut ingatan mereka, PN. Garam di kabupaten Rembang baru ada pada tahun 1950-an hingga 1960-an. 49 Ibid. oleh orang-orang Belanda ataupun para pengusaha asing lainnya. Secara praktis pemerintah RI belum memiliki landasan devisa yang berarti yang dapat digunakan untuk melakukan recovery terhadap perekonomian yang hancur setelah perang. Dalam situasi perekonomian yang sangat sulit seperti ini, posisi tawar-menawar dari rakyat kecil semakin rendah. Sebaliknya orang yang kaya akan lebih mudah mengembangkan kekayaan mereka di atas kemiskinan sebagian besar masyarakat. 50 Dalam hubungan itulah, tahun-tahun sesudah perang kemerdekaan segera diikuti dengan kecenderungan di mana tambak-tambak garam kembali dikuasai oleh para pemilik modal yang kebanyakan adalah keturunan Cina. Oleh karena desakan kebutuhan ekonomi keluarga, banyak pemilik dan penggarap tambak garam yang dijual ataupun disewakan kepada para pemiliki modal. Para pemiliki modal sebagian besar terdiri dari keturunan Cina. 51 Tampaknya mereka mampu membeli atau menyewa lagi tambak-tambak garam di Rembang karena mereka masih memiliki aset yang sudah mereka kumpulkan selama masa kolonial Belanda. Sistem yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda telah memungkinkan mereka untuk melakukan capital formation yang akhirnya dapat digunakan untuk meneruskan bisnis setelah Indonesia merdeka. Sementara itu masyarakat pribumi yang kebanyakan sudah miskin sejak masa kolonial Belanda, tidak mampu berbuat banyak untuk membangun sebuah usaha besar. Para pejabat pribumi yang sebetulnya memiliki modal karena pendapatan mereka yang cukup besar pada masa kolonial Belanda, namun pada kenyataannya tidak mampu berdiri sebagai kelas pengusaha yang berarti, karena mentalitas mereka lebih cenderung sebagai birokrat. Dalam hubungan itulah memasuki tahun 1950-an meskipun pengusahaan garam secara formal masih berada dalam monopoli pemerintah, tetapi dalam prakteknya pemerintah telah kehilangan kontrol terhadap produksi dan distribusi 50 Smn 98 tahun, Wawancara tanggal 21 April 2007. Juga Skd 87 tahun, Wawancara tanggal 26 April 2006. Setelah perang berakhir yang mengusai lahan-lahan garam ya para dauke dan petani yang dari dahulu mengusai lahan itu atau keturanan dan kerabatnya, tapi ada juga dauke- dauke baru yang memiliki koneksi dengan pemerintah. Untuk orang kecil pada umumnya tidak berani, meskipun ada juga 1-2 orang yang berani nekat biasanya yang memiliki hubungan dengan penguasa desa. 51 Ibid . serta perdagangan garam yang semakin hari semakin didominasi oleh pegusahapedagang Cina. Pengawasan yang kurang efektif dan kedudukannya yang monopolistik mendorong para pedagang ini memiliki kecenderungan mempermainkan harga, sehingga pada tingkat petani harga garam sangat fluktuatif. Sebagai contoh pada suatu saat pada akhir tahun 1950-an harga garam di daerah Rembang dan sekitarnya dapat mencapai 75 sampai 80 senkg, tetapi pada waktu lain yang tidak berselang lama dapat berubah menjadi 2 sampai 8 senkg Rohansih,1961: 12. Sebagai salah satu leading sector, kondisi pengusahaan garam semacam ini jelas akan mempengaruhi industri lain seperti industri pengawetan ikan, serta berpengaruh terhadap daya beli masyarakat yang pada waktu itu masih mengahadapi bahaya defisiensi iodium yang mengakibatkan mewabahnya penyakit gondok. Menjadi suatu yang ironi bahwa PN Garam yang memiliki wewenang untuk mengatur tata niaga garam, justru tampak tidak mampu melakukan kontrol terhadap mekanisme industri dan perdagangan garam pada waktu itu. Lebih ironis lagi kemudian ketika ketidakmapuan PN Garam itu tidak diatasi dengan cara memperbaiki sistem dan mekanisme yang selama itu dimiliki oleh PN Garam tetapi diatasi dengan cara penghapusan monopoli garam pada tahun 1956 Sanders, 1968: 3. Barangkali PN Garam merupakan perusahaan negara yang menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan yang paling awal dalam sejarah perusahaan-perusahaan negara di Indonesia. Kebijakan ini mungkin berkaitan dengan arus perkembangan politik Indonesia yang cenderung ke arah yang bersifat liberalistik, sehingga praktek ekonomi yang secara formal berbau monopolistik menjadi sasaran untuk dilikuidasi. Selain itu barangkali ada permainan di balik pencabutan monopoli garam ini yang tentu saja berkaitan dengan para pebisnis garam swasta yang akan memainkan peranan penting dalam tata niaga garam yang bersifat liberalistik pada periode berikutnya. Situasi baru yang sangat liberalistik menyebabkan posisi petani garam di Rembang semakin berada dalam tekanan kuat dari pemodal. Dalam hubungan itu PN Garam sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu sejalan dengan pelaksanaan SOB Staat van oorlog en Beleid atau keadaan darurat militer dan implementasi sistem pembagian daerah militer pada tahun 1959 memungkinkan kelompok militer menjadi sangat penting dalam berbagai sektor kehidupam masyarakat termasuk dalam sektor pengusahaan garam. Pada waktu itu Jawa Tengah berada di bawah Penguasa Perang daerah Teritoriun IV Diponegoro. Pada tahun 1959 itu juga penguasa militer Jawa Tengah itu mengeluarkan peraturan No. Per.PPD00771959, yang antara lain berisi bahwa rakyat diperkenankan untuk membuat garam dengan catatan harus minta ijin terlebih dahulu kepada pemerintah kabupaten. Pada setiap musim pembuatan garam, petani garam harus membayar pajak sebesar Rp 50,- hektar tambak garam. Peraturan ini juga menetapkan bahwa letak tambak tidak boleh lebiha dari 3 km dari pantai Rohansih, 1961: 10. Peraturan yang dibuat oleh penguasa militer tersebut tampaknya hampir sama dengan yang pernah dibuat oleh Dinas Zoutregie pada masa kolonial Belanda. Hanya bedanya ada peraturan mengenai letak tambak yang tidak boleh melebihi 3 km. Hal ini barangkali berkaitan dengan kenyataan bahwa secara ekonomi masyarakat dalam situasi sulit, sehingga dalam membuat garam cenderung ekspansi pada lahan di luar yang biasanya dikhawatirkan merambah area pertanian. Apalagi area pertanian yang bersebelahan dengan lahan garam, juga hanya untuk budidaya pada musim hujan, sehingga musim kemarau musim membuat garam bero. Oleh karena itu kemungkinan merambah area pertanian sangat terbuka dan itu jika dibiarkan dalam jangka panjang justru akan merusak area pertanian dan bisa berakibat pada terganggunya ketersediaan bahan pangan penduduk. Sementara itu dalam situasi yang liberalistik, kedudukan pengusaha kecil di bidang budidaya garam ini sangat rentan. Seharusnya harapan terakhir untuk melindungi mereka adalah negara karena memang negaralah yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kehidupan warga negaranya. Ketika negara tidak lagi mampu melakukan hal itu maka nasib mereka akan mudah dipermainkan oleh pasar yang dikendalikan oleh satu atau beberapa gelintir pemilik modal besar. Pada akhir tahun 1950-an sudah terjadi kondisi di mana pemerintah telah kehilangan kontrol atas tata niaga garam, sementara itu pasar garam telah dikuasai oleh para pemodal besar yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Cina. Oleh karena tidak ada tangan yang mampu menyentuh maka mereka bebas mempermainkan harga garam sehingga sangat merugikan petani garam. Dalam kondisi seperti itulah gagasan untuk menghidupkan koperasi muncul kembali. Pada tanggal 15 hingga 17 Februari 1961 diselenggarakan Musyawarah koperasi Garam rakyat se Jawa Tengah di Salatiga. Salah satu hasil musyawarah itu adalah terbentuknya PKGR , yaitu Persatuan Koperasi Garam Rakyat Rohansih, 1961: 12. Tampaknya pemerintah provinsi dan Penguasa Perang di Jawa Tengah sangat menyetujui gerakan kebangkitan koperasi garam ini. Mereka menyetujui bahwa PKGR ini diberi wewenang yang luas untuk melakukan pengusahaan garam. Koperasi ini diberi wewenang untuk menimbun dan menyalurkan garam kepada masyarakat. Sementara itu harga garam di tingkat grosir dan di tingkat pengecer ditetapkan oleh Penguasa Perang Daerah Jawa Tengah Peperda. Pada tahun 1960 Peperda mengeluarkan peraturan No. KPTS-PPD0035360 yang menetapkan bahwa harga grosir di daerah Rembang untuk kualitas I per kilogram adalah Rp 0,99,-; kualitas II: Rp 0,93,-; kualitas III: Rp 0,88,-. Sementara itu penjualan garam pada tingkat eceran ditetapkan: kualitas I: Rp 1,17,-; kualitas II: Rp 1,11,-; kualitas III: Rp 1,05,-. Sementara itu koperasi akan membeli garam rakyat dengan harga kualitas I: Rp 0,3; kualitas II: Rp 0,25; kualitas III: Rp 0,20,- Rohansih, 1961: 17. Jadi tampaknya PKGR mengambil nilai tengah dari fluktuasi harga yang dipermainkan oleh tengkulak sebelum berdirinya koperasi yaitu antara Rp 0,2 hingga Rp 0,80,- per kilogram. Pertanyaannya adalah apakah mekanisme itu dapat berjalan sebagaimana mestinya?. Sudah barang tentu merupakan sesuatu yang alamiah jika seseorang yang merasa dirugikan akan melakukan perlawanan. Terdapat kemungkinan besar bahwa para pemodal besar di sektor pengusahaan garam yang merasa dirugikan dengan adanya gerakan koperasi ini melakukan upaya tertentu untuk menggagalkan atau setidak-tidaknya membuat sistem yang baru dibangun itu tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Memang belum ditemukan bukti yang kuat mengenai upaya-upaya penggagalan gerakan koperasi itu, namun demikian jika dilihat dari kenyataan masih kuatnya cengkeraman pemodal besar dalam mempermainkan harga garam pada waktu itu menunjukkan bahwa mereka masih memiliki cara-cara terobosan untuk menggembosi gerakan koperasi tersebut. Kenyataan bahwa organisasi tentara membutuhkan banyak uang untuk mensejahterakan pasukannya menjadi peluang yang besar bagi para pengusaha garam untuk main mata dan berkolusi dengan tentara agar, bagaimanapun caranya, mereka masih mendapatkan keuntungan yang besar. Bukan merupakan rahasia lagi jika ada kecenderungan hubungan yang simbiosis mutualistik antara pengusaha Cina dengan tentara pada waktu itu. Sebagai contoh kasus hubungan Suharto sewaktu menjadi Pangdam Jawa Tengah yang berkolusi dengan menjadi backing Liem Swie Liong dalam penyelundupan gula dan oleh pimpinan Angkatan Darat Jendral Ahmad Yani, Suharto ditempeleng atas kasus itu Arsip Kodam IV Diponegoro. Dengan demikian sejarah panjang pengusahaan garam di Rembang sejak jaman prakolonial hingga neokolonialisme masih tetap menempatkan petani garam dalam posisi yang lemah baik dari segi permodalan capital, jaringan networking, maupun kualitas sumberdaya manusia human resources quality. Tata niaga garam yang dikendalikan pemerintah RI hingga dewasa ini cenderung berpihak pada pemodal kapitalis dari pada petani penggarap. Hal itu antara lain tercermin dari berbagai peraturan yang pernah dikeluarkan seperti UU No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia Agreement Establishing The World Trade Organization, Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994, tentang Pengadaan garam Beriodium, Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29MSK21995 tentang Pengesahan Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produksi industri termasuk garam, Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 77MSK51995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beriodium serta Perizinan, Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI No. 360MPPKep52004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Ketentuan Impor Garam. Dengan UU No.7 tahun 1994 berarti Indonesia tidak saja menyetujui tetapi sekaligus menjadi terikat dengan berbagai aturan main dalam perdagangan internasional yang bercorak liberalistik sebagai penyokong utama pasar bebas. Salah satu implikasinya adalah pada sektor garam, Indonesia tidak mungkin membendung arus masuknya garam dari negara-negara lain dengan alasan apapun. Demikian juga dengan Kepres No. 69 tahun 1994, meskipun tujuan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat melalui intervensi program sosialisasi dan konsumsi garam beriodium. Akan tetapi proses pengadaan garam beriodium dengan standar kualitas tertentu dan dukungan teknologi modern yang padat modal serta zat iodium impor, menjadikan garam rakyat semakin terpuruk dan menciptakan ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing. Tidak berbeda dengan kebijakan tentang Pengesahan Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap garam konsumsi, justru menandai lonceng kematian bagi produsen garam rakyat. Semua itu terjadi, antara lain karena kebijakan perintahan tersebut tidak serta merta diikuti oleh regulasi kebijakan yang signifikan bagi peningkatan kualitas garam rakyat. Untuk kebijakan impor garam sebagaimana yang telah disinggung, meskipun dimaksudkan untuk kepentingan industri, tetapi dalam prakteknya telah merambah pada konsumsi rumah tangga. Membajirnya garam impor di pasaran tampak semakin menekan posisi garam rakyat. Oleh karena itu banyak protes yang dilakukan berbagai pihak terhadap kebijakan itu. Di Jawa Tengah protes selain dalam bentuk demonstrasi yang meng-atas-namakan petani, juga dilakukan oleh Asosiasi Petani Garam Rakyat Jawa Tengah Asiniraya yang secara resmi mendesak pemerintah dan gubernur Jawa Tengah, untuk menghentikan impor garam terutama yang masuk wilayah Jawa Tengah karena telah terbukti merusak tatanan pasar, sehingga petani garam berada pada posisi yang sangat lemah http:www.indomedia.combernas200629UTAMA29bis.htm , dikunjungi 25 Februari 2006. Di kabupaten Rembang juga terdapat kecenderungan pengusahaan garam dalam dominasi kekuatan ekonomi kapitalis baik yang berasal dari aras lokal maupun supra lokal. Kondisi itu memberi kontribusi bagi semakin termarjinalkannya posisi petani garam khususnya petani kecil dan buruh tani. Jumlah petani garam pemilik lahan pada tahun 1990 sebanyak 984 orang, tahun 2000 menurun menjadi 792 orang dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang. Peningkatan terjadi pada jumlah petani penggarapburuh garap di mana pada tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang, pada tahun 2005 menjadi 4.793 orang dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 6.514 orang. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di kabupaten Rembang juga cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 4 perusahaan Rembang Dalam Angka 1990, 2000, 2005, dan Asniraya, 2007. Padahal luas lahan garam relatif tidak berubah, yaitu 1.189,449 ha pada tahun 1990 Jawa Tengah Dalam Angka, 1991 , 1.184,965 ha pada tahun 2000 dan 1.184,965 ha pada tahun 2005 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang, 2005. Dengan demikian dari hal-hal tersebut jelas menjadi bukti nyata, bahwa kebijakan pemerintah pada sektor pengusahaan garam telah ikut andil mencipta kan suatu keadaan yang kontradiktif, yaitu disatu sisi ekonomi rakyat di sektor garam semakin terpuruk dan menuju kehancuran, tapi disisi yang lain secara sistemik kekuatan ekonomi kapitalis telah berproses begitu dominan dan menguasai sektor tersebut. Oleh karena itu secara faktual dapat dikemukan, bahwa sejarah panjang pengusahaan garam di Rembang sejak jaman prakolonial hingga neokolonialisme dewasa ini masih tetap menempatkan petani garam dalam posisi yang lemah baik dari segi permodalan capital, jaringan networking, maupun kualitas sumberdaya manusia human resources quality.

4.3. Ikhtisar

Kondisi geografis dan ekologis kawasan pantai Kabupaten Rembang yang sangat potensial bagi budidaya garam telah memprekondisikan wilayah ini memiliki sejarah yang panjang dalam pengusahaan garam. Pengusahaan garam telah mewarnai baik sejarah politik, ekonomi dan sosial budaya kawasan pantai Rembang. Oleh karena merupakan barang konsumsi pokok manusia, maka garam sangat dibutuhkan dan menjadi komoditi strategis. Kenyataan seperti ini telah menempatkan komoditi garam, yang meskipun harganya murah, memiliki nilai ekonomi yang sangat menguntungkan. Oleh karena itu berbagai kekuatan baik ekonomi maupun politik berusaha untuk menguasai pengusahaan garam ini karena nilai kekuatan komoditi garam bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja tetapi juga dapat digunakan untuk kepentingan kontrol politik. Kontrol politik dan dominasi ekonomi ini yang mewarnai perjalanan sejarah pergaraman di kawasan pantai Rembang. Pada periode prakolonial ketika kawasan pantai Rembang masih berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional seperti kerajaan Mataram Islam dan Majapahit, pengusahaan garam sudah berkembang. Komoditi garam bukan hanya menjadi barang yang dikonsumsi sendiri oleh para pembuatnya tetapi juga menjadi komoditi yang diperdagangkan baik di kalangan masyarakat Jawa sendiri maupun dengan masyarakat di seberang laut, karena pada waktu itu Majapahit sudah merupakan kerajaan yang mengembangkan perdagangan laut di Nusantara. Selain itu komoditi garam juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan kelompok elite untuk kepentingan-kepentingan lain, misalnya upacara-upacara keagamaan. Namun demikian bagi petani garam, nilai strategis komoditas ini cenderung lebih menjadi “bencana” daripada “berkah”, karena nilai strategis itu justru mengundang para bangsawan dan penguasa melakukan kontrol yang ketat atas produksi dan perdagangan garam, apalagi dalam sistem pemerintahan tradisional berlaku konsep, bahwa tanah menjadi hak milik mutlak rajapenguasa. Oleh karena itu dalam konteks pengusahaan garam masa tradisional, petani garam menempati posisi marjinal terutama dari segi lahan, tidak memiliki hak dan hanya menjadi penggarap yang harus menyerahkan sebagian hasil produknya itu pada penguasa. Perubahan penguasaan garam di kawasan pantai Rembang dari kerajaan Mataram ke VOC pada tahun 17453 membuat posisi petani garam menjadi bertambah sulit. Oleh karena keterbatasan jumlah sumber daya manusia, VOC tidak menggarap sendiri lahan-lahan garam yang ada di kawasan pantai Rembang. VOC tidak langsung berhubungan dengan petani garam, tetapi melalui pejabat pribumi, yaitu bupati. VOC meminta penyerahan wajib yang berupa garam dengan jumlah tertentu dan selanjutnya bupati dan perangkat birokrasinya yang mengatur sistem ini. Selain itu VOC juga mengembangkan sistem sewa. Siapa yang mampu membayar mahal kepada VOC akan berhak untuk mengusahakan dan mengelola lahan-lahan garam tersebut. Pada umumnya orang Cina-lah yang memanfaatkan kesempatan ini sebagai penyewa atau pachter. Sementara itu posisi petani penggarap justru semakin tereksploitasi dan marjinal, tidak hanya dari segi penguasaan lahan, tetapi juga modal dan akses pasar. Hal ini terjadi karena petani