Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Globa Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah

(1)

MARJINALISASI PETANI GARAM

DAN EKSPANSI EKONOMI GLOBAL:

KASUS DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

YETY ROCHWULANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan disertasi Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2008

Yety Rochwulaningsih NRP: A 162040011


(3)

ABSTRACT

YETY ROCHWULANINGSIH. Marginalization of Salt Farmer and Global Economic Expansion: A Case in Rembang District, Central Java Province. Under direction of LALA M. KOLOPAKING, TITIK SUMARTI, and A.M. DJULIATI SUROYO

The main objective of this research is to answer the questions on how and why across the history salt always become the intention of certain political economic power that eventually marginalize the salt farmers. In connection with the position of salt as commodity of global trade, the research also analyzes the impacts of global economic development to the process of marginalization of salt farmers. Besides, the research also analyzes Indonesian government policy in responding global economic expansion on salt commodity. In this connection, interesting questions are also answered, namely how and why marginalization of salt farmers occurred structurally? And did the farmers fight back under that circumstance, how and why did they retaliate?

To elaborate the above questions, this research was based on constructivist paradigm that methodologically implied on the use qualitative method. Therefore, in-depth interview, group interview, participant observation, documents and library investigation methods were used alongside the interactive model of analysis. In obtaining data validity with reliable precision, data accuracy was examined using triangulation technique of sources and methods.

The research shows that during the course of history salt have been a strategic commodity with abundant financial benefit, thus it is always plundered by proprietors, entrepreneurs, and salt producing farmers. Ironically, the strategic position of this commodity was potential for marginalization of salt farmers because the entrepreneur and its economic power acquired supports from governments to enclose or raid the farmer’s access to economic resources in salt commodity. In pre-colonial era, although production and distribution of salt were in the hands of local proprietors excluding land, farmers still held authorities on capital, technology, and market access. Marginalization process of farmers became more intensive in colonial era through policies such as application contingentenprocess, rent to pachter system, monopoly and bureaucratization of salt entrepreneurship (Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, Dienst der Zoutregie). Marginalization of salt farmers became more phenomenal after Indonesian independence until now because the government stated liberalization policy on salt commodity.

Meanwhile, salt as export commodity never loose from global economic expansion brought by neo-liberalism regime with free trade paradigm based capitalist ideology. Consequently, political economic pattern in salt sector that was dominated by monopoly and bureaucratization has transferred to privatization then liberalization. In this case, government as decision maker could not avoid the influence and interest force of neo-liberalism regime. It’s clearly seen on policies such as Iodization, SNI and salt import as false policy, which seemly accommodated the interest of farmers and public salt industry but essentially encourage the interest of national and global capitalist economic power.This condition finally contributed to marginalization process of salt farmers.


(4)

In micro platform of salt farmer community, marginalization was constructed in social capitalist formation where capitalist mode of production dominated non-capitalist mode of production. In this case, capitalist mode of production controlled by local platform petty capitalism (employer, trader, and factory) through ownership and possession of salt production power elements. Domination of capitalist mode of production resulted in polarization of land ownership, capital accumulation, hegemonic and monopolistic market, and technology domination, which then generate marginalization of salt farmers. In domination of capitalist mode of production, retaliation movements conducted by salt farmers were identified in two categories, i.e. classic struggle pattern in the form of “out stage contest” to drop salt quality and “camouflaged pilfering” action, and modern struggle pattern through association. Although the salt farmer effort has not showed significant result, it has stimulated class consciousness of labor and disrupted exploitative social structure formation and opened the access to decision maker.

Keywords: Marginalization, social formation, exploitation, mode of production, monopolistic capitalism, globalization, domination, market hegemony, resistance.


(5)

RINGKASAN

YETY ROCHWULANINGSIH. Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, TITIK SUMARTI, dan A.M. DJULIATI SUROYO.

Penelitian tentang Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus Di Kabupaten Rembang ini mengkaji permasalah bagaimana dan mengapa garam merupakan komoditi yang selalu menjadi perebutan kekuatan ekonomi politik tertentu yang pada akhirnya memarjinalkan petani garam. Selain itu garam sebagai komoditi ekspor tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi global dan dalam hal ini bagaimana dan mengapa ekspansi ekonomi global memberi kontribusi signifikan terhadap marjinalisasi petani garam. Dalam kondisi yang demikian bagaimana peran pemerintah sebagai regulator kebijakan dan mengapa ditempuh kebijakan demikian. Secara struktural terjadi marjinalisasi petani garam, bagaimana dan mengapa itu terjadi, dan apakah dalam kondisi yang demikian itu petani melakukan perlawanan, bagaimana dan mengapa perlawanan itu dilakukan.

Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sosiologi sejarah, maka untuk mengkaji permasalahan tersebut, penelitian ini didasarkan pada paradigma konstruktivisme yang berimplikasi metodologis pada penggunaan metode kualitatif dan metode sejarah kritis. Dengan demikian untuk pengumpulan data digunakan metode indepth interview, group interview, dan participant observation, studi arsip, dokumen dan studi pustaka, sedang analisisnya digunakan model analisis interaktif. Dalam upaya memperoleh validitas data yang kebenarannya dapat diyakini, keabsahan data diuji melalui tekniktriangulationsumber dan metode.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada aras makro hampir sepanjang perjalanan sejarah, garam menjadi komoditi strategis yang mendatangkan banyak keuntungan finansial, sehingga selalu diperebutkan oleh penguasa dan pengusaha. Ironisnya, posisi strategis komoditi ini justru menjadi potensi bagi termarjinalkannya petani garam, karena “pertarungan” diantara kedua kekuatan tersebutselalu berujung pada praktek monopoli dan perampasan serta penutupan akses petani terhadap economic resourcespada komoditi garam. Pada masa prakolonial, meskipun produksi dan distribusi garam dalam kontrol penguasa lokal, tapi kecuali lahan (terkandung kewajiban penyerahan sebagian hasil pada penguasa), petani masih memiliki otoritas dalam modal, teknologi dan akses pasar dengan pola hubungan patron-client relationship. Proses marjinalisasi petani semakin intensif pada masa kolonial, melalui kebijakan yang dikeluarkan seperti; penerapan sistem contingenten, sistem sewa borongan pada pachter (Cina), monopoli dan birokratisasi pengusahaan garam (Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, Dienst der Zoutregie). Dengan begitu garam Indonesia menjadi komoditi ekspor yang memberi kontribusi pada keuangan negara, contohnya pada tahun 1902 = 9.456.466, 1913 = 12.633.988, 1922 = 17.221.346, 1931 = 27.172.378 gulden. Setelah Indonesia merdeka hingga masa kontemporer sekarang ini, proses marjinalisasi petani garam lebih fenomenal, karena pemerintah RI melepas monopoli dan proteksi serta lebih cenderung memilih menerapkan kebijakan liberalisasi pada komoditi garam. Dampaknya adalah sektor garam rakyat Indonesia tidak lagi menjadi komoditi ekspor,melainkan impor yang dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan tren semakin meningkat, nilai total garam impor Indonesia pada tahun 2000 adalah US $ 37.844.536 tahun 2004 US $ 45.031.036 dan tahun 2007 US $ 53.115.545.


(6)

Demikian juga pada aras makro dan meso, garam sebagai komoditi ekspor tidak pernah lepas dari pengaruh ekspansi ekonomi global yang diusung oleh rezim neoliberalisme dengan ideologi kapitalisme berlandaskan paradigma pasar bebas. Sebagai dampaknya adalah corak ekonomi politik pada sektor garam yang semula didominasi monopoli dan birokratisasi telah bergeser menjadi privatisasi dan kemudian liberalisasi. Dalam hal ini pemerintah sebagai decision maker tidak dapat menghindar dari pengaruh dan tekanan kepentingan rezim neoliberalisme. Hal itu dapat diketahui dari kebijakan yang diambil antara lain tentang Iodisasi, SNI, dan Impor garam. Kebijakan Iodisasi, memang berkontribusi positif pada perbaikan kesehatan masyarakat (TGR yang semula 30 % turun menjadi 14 %), tapi secara sosial ekonomi kasus di Kabupaten Rembang berdampak pada termarjinalkannya industri garam rakyat (dari 12 perusahaan menjadi 4) dan kehidupan petani (tertutupnya akses pasar dan jatuhnya harga hingga Rp.70,-/kg). Terlebih kebijakan SNI dan Impor Garam, menandai lonceng kematian sektor garam rakyat, karena sebagai justifikasi impor garam, produk garam rakyat belum memenuhi standar untuk proses iodisasi sebagai garam konsumsi apalagi untuk industri besar dan strategis. Dari hal ini produk garam rakyat secara kuantitas dan kualitas dipandang tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional dan oleh karena itu harus impor garam. Dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut merupakan kebijakan semu, sepertinya mengakomodir kepentingan petani dan industri garam rakyat tetapi sejatinya berpihak pada kepentingan kekuatan ekonomi kapitalis aras nasional dan global. Dapat diketahui, bahwa praktek ekonomi pada komoditi garam menunjukkan corak kapitalis monopolistik (dalam monopoli perusahaan tertentu). Kondisi itu sangat kontradiktif dengan pasar bebas yang merupakan ideologi neoliberalisme.

Pada aras mikro ditingkat komunitas petani garam, marjinalisasi terkonstruksi dalam formasi sosial kapitalis dimana terjadi dominasi moda produksi kapitalis atas moda produksi non kapitais. Dalam hal ini moda produksi kapitalis yang dikendalikan oleh kapitalis kecil (petty capitalism) aras lokal (majikan, pelaku pasar dan pabrikan) melalui kepemilikan dan penguasaan elemen-elemen dari kekuatan produksi garam (lahan, modal, teknologi dan pasar), telah mendominasi dan mengeksploitasi moda produksi non kapitalis yang dioperasionalkan oleh petani kecil dan buruh (perombong, pengolok, angkut, mandor). Dominasi moda produksi kapitalis ini menghasilkan polarisasi penguasaan lahan, akumulasi modal, dominasi teknologi dan pasar yang hegemonik dan monopolistik, yang kemudian menciptakan marjinalisasi petani garam. Dalam dominasi moda produksi kapitalis ini, gerakan perlawanan yang dilakukan petani garam dapat diidentifikasi dalam dua kategori, yaitu corak perlawanan klasik berupa perlawanan sehari-hari antara lain dalam bentuk “permainan di luar pentas” untuk menjatuhkan kualitas garam, dan aksi “pencurian yang disamarkan”, corak perlawanan modern melalui pembentukan asosiasi. Meskipun hingga saat ini perlawanan petani garam itu belum menunjukkan hasil signifikan, tetapi telah mampu menyemai benih kesadaran kelompok (collective consciousness) dikalangan buruh dan merongrong bangunan struktur sosial yang eksploitatif serta membuka akses pada pemerintah sebagaidecision maker.

Kata Kunci: Marjinalisasi, formasi sosial, eksploitasi, moda produksi, kapitalisme monopolistik, globalisasi, dominasi, hegemoni pasar, perlawanan petani.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Sajogyo


(9)

MARJINALISASI PETANI GARAM

DAN EKSPANSI EKONOMI GLOBAL:

KASUS DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

YETY ROCHWULANINGSIH

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

Judul Disertasi : Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah

Nama : Yety Rochwulaningsih

NRP : A 162040011

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Prof. Dr. AM. Djuliati Suroyo

Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sosiologi Pedesaan (SPD) Wakil Dekan

Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS. DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. Tuhan Yang Maha Esa karena Rachmat dan KaruniaNya, naskah disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus di Kabupaten Rembang Jawa Tengah ini dilaksanakan sejak bulan Juli-Oktober 2006, Januari-Juni 2007, Juli-Oktober 2007 dan Januari-Maret 2008. Proses penelitian ini berlangsung relatif lama, karena merupakan penelitian sosiologi historis tentang marjinalisasi yang menggunakan paradigma konstruktivis, dan proses produksi garam sangat terikat oleh musim (hanya pada musim kemarau). Oleh karena itu untuk mendapatkan data komprehensif dalam rentang sejarah yang panjang dari perspektif emik diperlukan waktu relatif lama.

Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi pertama-tama penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS, sebagai ketua dan masing-masing sebagai anggota, yaitu Ibu. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS dan Prof. Dr. A.M. Djuliati Suroyo atas bimbingannya sejak penyusunan proposal hingga selesainya penyusunan naskah disertasi ini. Dalam hal ini lebih dari sekedar pembimbing, beliau-beliau adalah pribadi-pribadi yang sangat peduli pada nasib mahasiswa dan selalu terbuka untuk berdiskusi, sehingga memberikan semangat dan kenyamanan suasana akademis bagi penulis, semoga amal kebaikan beliau-beliau diterima sebagai sedekah jari’ah dan mendapat pahala berlimpah dari Allah SWT. Amin. Kepada Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas kritik dan masukan-masukannya yang sangat konstruktif. Pada beliau sungguh penulis sangat berhutang budi. Juga kepada Prof. Dr. Ir. S. Budi Prayitno, MSc Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah, terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.

Terima kasih juga penulis tujukan pada Bapak Prof. Dr. Sajogyo, yang telah “mengantarkan” dan “membukakan pintu” untuk masuk “dunia” Sosiologi Pedesaan dan selalu berkenan memberi kesempatan pada penulis untuk berdiskusi serta kesediaan beliau menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. Pada Ibu dan Bapak dosen di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, Ibu Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS. DEA, Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS, Bapak Dr. Ir. Felix Sitorus, MS, dan Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MS, Bapak Dr. Ir. Juara Lubis, MS, Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr., terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan atas tambahan


(12)

bekal ilmu dan pengembangan tradisi berpikir kritis yang diberikan, sehingga penulis menjadi tertantang dan tetap bersemangat dalam menyelesaikan studi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan pada responden baik di Kabupaten Rembang, yaitu petani, buruh, pedagang, makelar garam di desa; Tasikharjo, Purworejo, Tireman, Pasar Banggi, Gedungmulyo dan Dasun. Juga pemilik pabrik garam rakyat, Bapak H. Ali Muzni, Bapak H. Gufron, Bapak H. Sutopo dan Bapak H. Rasmani, terima kasih dan penghargaan atas kesempatan dan waktu yang diberikan berkali-kali pada penulis untuk berdiskusi dan mendapatkan data aktivitas perusahaan. Terima kasih juga penulis tujukan pada Kepala Desa (Tasikharjo, Purworejo, Tireman, Pasar Banggi, Gedongmulyo dan Dasun), Camat Kaliori, Rembang dan Lasem, Bapak Subut (ketua Asniraya), Bapak Sutopo (ketua Aprogakop), Bapak Sulistiyono (Dinas Perindustrian), Mas Nur Salim (LSM), Bapak Rasiadi (DPRD). Terima kasih dan penghargaan secara khusus juga penulis sampaikan pada Bapak M. Salim (Bupati Rembang) yang selalu terbuka menerima penulis untuk berdiskusi. Responden di luar Rembang, antara lain; Ibu Bety Purbawati dan Bapak Hari Sucahyo dari Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Tengah, Bapak Alberth Yusuf Tobogu dan Bapak Taufik Yasri (Direktur dan Sekretaris Direktorat Impor Departemen Perdagangan RI), Bapak Arthur Tanujaya dan Ibu Lucia (importir garam), penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi karena dengan sangat terbuka dan bersahabat telah memberikan dan membantu data primer dan sekunder yang penulis butuhkan.

Pada Prof. Dr. Sutejo K. Widodo, M.Si dan Drs. Indriyanto, SH, M.Hum kolega di Jurusan Sejarah UNDIP, penulis mengucapkan terimakasih atas budibaiknya telah memberi sumber-sumber arsip masa kolonial yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. Demikian juga pada Mas Rabith Jihan mahasiswa S2 Ilmu Sejarah Pascasarjana UNDIP dan Mas Andi, terima kasih dan penghargaan yang tinggi karena telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data. Penulis sangat berhutang budi pada Dra. Titiek, MT, Dr. Endang Susilowati, MA, Dra. Sri Indrahti, MA, Drs. Dhanang Respati P. M.Hum, Drs. Slamet Subekti, Drs. Haryono Rinaldi, M.Hum di Pusat Studi Asia UNDIP, atas diskusi-diskusinya yang kritis, hangat dan menyenangkan sehingga penulis selalu termotivasi dan bersemangat menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis tujukan pada Dra. Chusnul Hayati, MS, dan Dr. Dewi Yuliati, MA dengan caranya yang unik telah menyadarkan penulis, bahwa tidak ada kata menyerah untuk menegakkan kebenaran. Juga pada segenap dosen di Jurusan Sejarah dan peneliti di Pusat Studi Asia Undip, yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas pengertian dan dukungannya selama penulis menempuh studi S3.


(13)

Penulis juga merasa sangat beruntung dan wajib mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan seperjuangan di program studi Sosiologi Pedesaan IPB dari beberapa angkatan, antara lain; Dr. Zusmelia, Dr. Ir. August Ernest Pattiselano, MSi Ir. Undang Fajar, M.Si, Drs. Hidayat, MSi, Iman K. Nawireja, SP, MSi, Dra. Tyas Retno, MSi, dan Dra. Maihasni, MSi, Drs. Lenggono, MSi, Drs. Hartoyo, MSi, dan lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Mereka telah banyak memberikan suasana akademik yang kritis penuh persahabatan dan sangat menyenangkan selama masa-masa penyelesaian studi S3 ini. Semoga jalinan persahabatan yang begitu tulus itu akan lenggeng, meskipun pada akhirnya harus kembali ke instansi masing-masing.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis tujukan pada Ananda Aminah, SKH, atas segala bantuan, pengertian dan kepedulian yang diberikan pada penulis, sehingga penulis selalu merasa nyaman dan bersemangat selama menempuh pendidikan S3 di IPB. Sungguh penulis merasa sangat berhutang budi atas segala budi baik, pengertian dan kepedulian yang selama ini diberikan, insya Allah semua tidak akan pernah terlupakan, hanya Allah SWT yang akan membalasnya sebagai pahala dari amal kebaikannya. Amin. Kepada ayah bunda yang telah mengukir jiwa raga penulis, bapak S. Mitro Sardjono (almarhum) dan Ibu Suwanti yang telah memberi bekal pendidikan terbaik hingga penulis dapat meraih derajat pendidikan tertinggi, penulis sangat bangga dan bersyukur sertahanya dapat membalas dengan do’a semoga segala kebaikan beliau -beliau diterima sebagai sedekah jari’ah dan senantiasa mendapat pahala berlimpah dari Allah SWT. Amin.Terakhir rasa syukur, penghargaan dan kebanggaan yang luar biasa penulis tujukan pada suami tercinta Ir. Susilo Budiyanto, MSi dan buah hati kami, Mas Yudha dan De’ Fitri, atas segala keiklasan dan pengorbanannya selama ini, tanpa kalian bertiga disertasi ini tidak akan pernah tersusun dan pada kalian bertiga karya ini penulis persembahkan.

Penulis menyadari bahwa sebagai manusia banyak kekurangan dan keterbatasan kemampuan akademik yang dimiliki, sehingga penulis merasa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka dan mengharapkan saran, kritik dan masukan yang dapat menyempurnakan tulisan disertasi ini. Atas kebaikan dan perhatian semua pihak, penulis dengan tulus menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi.

Bogor, September 2008


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Yety Rochwulaningsih dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 5 Juni 1961 dari orang tua Ibu Suwanti dan Bapak S. Mitro Sardjono. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sragen, yaitu SDN Bumiaji II tamat tahun 1972, SMP Muhammadiyah tamat tahun 75 dan SMAN I tamat tahun 1979. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (UNDIP) Tahun 1980 – 1985. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan Pendidikan S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Pascasarjana IPB dengan beasiswa TMPD dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan menamatkannya pada tahun 1994. Kesempatan untuk melanjutkan Pendidikan Program Doktor (S3) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2004 dengan beasiswa BPPS dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai Dosen dan diangkat sebagai PNS pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNDIP sejak tahun 1996 hingga sekarang. Mata kuliah yang pernah diampu adalah Sosiologi, Sejarah Pedesaan dan Agraria, Sejarah Revolusi Indonesia, Sejarah Ketatanegaraan RI dan Sejarah Maritim. Menjadi Peneliti di Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga Penelitian UNDIP pada tahun 2000-2004, dan Pusat Studi Asia UNDIP tahun 2004 hingga sekarang.

Selama mengikuti Pendidikan Program S3, beberapa karya ilmiah telah dipublikasikan, yaitu: “Teori Sosiologi dalam Perspektif Sejarah” diterbitkan dalam jurnal Citra Lekha Vol. VII No. 2 Tahun 2004; “Pergulatan Petani di Pedesaan Jawa dalam Struktur Agraria yang Timpang” diterbitkan dalam jurnal terakreditasi Kajian Sastra Vol. XXIX No. 1 Januari 2005; “Surviving Strategies of Salt Farmer Under the Pressure of Global Economic Expansion: Case on Salt Farmer in Rembang Central Java” dipresentasikan pada Seminar International di Asian Cultures Research Institut of Toyo University. Tokyo 13-14 November 2006; “Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah” diterbitkan dalam jurnal terakreditasi Masyarakat Kebudayaan dan Politik FISIP UNAIR Tahun XX, Nomor 3, Juli 2007. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 Penulis.

Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Ir. Susilo Budiyanto, MSi dan dikarunia dua orang anak, yaitu Fajar Gemilang Purna Yudha (kini 13 tahun) dan Fitri Kinanti Larasati (kini 8 tahun).


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian... 9

I.3 Tujuan Penelitian... 12

I.4 Kegunaan Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN TEORITIK ... 14

2.1. Sejarah Pengusahaan Garam ... 14

2.2. Petani Garam ... 18

2.3. Moda Produksi ... 28

2.4. Marjinalisasi ... 32

2.5. Globalisasi Ekonomi ... 35

2.6. Kerangka Pemikiran ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1. Hipotesa Pengarah ... 45

3.2. Paradigma Penelitian ... 47

3.3. Metode Penelitian ... 51

3.3.1. Pengumpulan Data ... 53

3.3.2. Analisis Data... 56

3.3. Pemilihan Daerah Penelitian ... 59

BAB IV LATAR HISTORIS PERKEMBANGAN PENGUSAHAAN GARAM DI KABUPATEN REMBANG ... 62

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 62

4.1.1. Geografis dan Demografis... 62

4.1.2. Dinamika Politik Pemerintahan ... 66

4.1.3. Sosial Ekonomi ... 73

4.2. Perkembangan Pengusahaan Garam ... 79

4.2.1. Periode Tradisional ... 79

4.2.2. Periode VOC: Garam Sebagai Komoditi Strategis... 82

4.2.3. Pemerintah Kolonial Belanda: Monopoli dan Birokratisasi Pengusahaan Garam ... 84

4.2.4. Periode Kemerdekaan: Dari Monopoli ke Liberalisasi ... 89

4.3. Ikhtisar ... 100

BAB V EKSPANSI EKONOMI GLOBAL PADA KOMODITI GARAM ...103

5.1. Perkembangan Globalisasi Ekonomi di Indonesia ... 103

5.2. Kooptasi Komoditi Garam dalam Ekonomi Global ... 116 5.2.1. Integrasi Komoditi Garam dengan Program


(16)

Kesehatan Masyarakat ... 116

5.2.2. Kebijakan Pemerintaha dalam Tata Niaga Garam Rakyat dan Garam Impor ...127

5.2.3. Pertumbuhan Industri Garam Nasional: Dari Garam Konsumsi Merambah Segmen Industri ... 138

5.3. Jaringan Nasional Pemasaran Garam ... 143

5.3.1. Pasar Garam Rakyat Berkutat pada Segmen Konsumsi ...144

5.3.2. Garam Impor dalam Ekspansi Pasar Industri dan Merambah Konsumsi ... 149

5.4. Ikhtisar ... 156

BAB VI MARJINALISASI PETANI GARAM DI KABUPATEN REMBANG DALAM FORMASI SOSIAL KAPITALIS ... 159

6.1. Formasi Sosial Petani Garam: Artikulasi Moda Produksi ... 159

6.1.1. Moda Produksi Non Kapitalis ... 160

6.1.2. Moda Produksi Kapitalis ... 165

6.1.3. Artikulasi Moda Produksi: Suatu Proses Marjinalisasi...170

6.2. Dominasi Jaringan dan Akses Pasar ... 173

6.2.1. Hegemoni Akses dan Ekuitas ... 175

6.2.2. Kekerasan Pasar ...185

6.3. Ancaman Ekologi pada Keberlanjutan Sektor Garam... 189

6.4. Terbentuknya Kekuatan Kapitalis Kecil: Kasus Tiga Pemilik Pabrik Garam Rakyat ... 195

6.4.1. H. M. AM Pemilik Pabrik GM ...196

6.4.2. H. Gfn Pemilik Pabrik Garam AM ...209

6.4.3 H. Rmn Pemilik Pabrik Garam SM ...221

6.5 Ikhtisar ... 234

BAB VII PERLAWANAN PETANI TERHADAP DOMINASI MODA PRODUKSI KAPITALIS ...238 223 7.1. Rendahnya Kualitas Garam: Permainan “di Luar Pentas” ... 241

7.2. Ngoretdi Ladang Garam ...256

7.3. Institusionalisasi Jejaring Sosial ... 268

7.3.1. Asosiasi Petani Garam Rakyat (Asniraya) ... 269

7.3.2. Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beriodium (Aprogakop)...273

7.4. Ikhtisar ... 276

BAB VIII PENUTUP ... 278

8.1. Kesimpulan di Tataran Empirik ... 278

8.2. Kesimpulan di Tataran Teoritik ... 279

8.3. Kesimpulan di Tataran Metodologi... 281

8.4. Saran dan Implikasi Kebijakan ... 282

8.4. Novelty ... 284

DAFTAR PUSTAKA ... 286


(17)

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rincian Jumlah Informan dalam Kategori... 54

2 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007 ... 65

3 Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Tahun 2007... 72

4 Luas Lahan Kabupaten Rembang Menurut Peruntukannya tahun 2007... 77

5 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan pekerjaan/Matapencaharian ... 77

6 Konsumsi Garam Beryodium Tingkat Rumah Tangga dan Rata-rata TGR Menurut Jumlah Kabupaten Tahun 1998 ...124

7 Impor Garam Indonesia dalam Beberapa Tahun ... 135

8 Perusahaan Importir Garam Tahun 2007... 151

9 Jenis Industri yang Menerima Pasokan Garam Impor dari PT. Cheetam Garam Indonesia... 152

10 Impor Garam Iodisasi Tahun 2007 Berdasarkan SK. 20/M-DAG/PER/9/2005 Per 31 Mei 2007...153

11 Pembelian Garam Rakyat Oleh Perusahaan Importir Tahun 2007 ... 154

12 Negara Muat Barang dan Nilai Impor ... 155

13 Jumlah Petani Garam Di 6 Desa Lokasi Penelitian Menurut Luas Penguasaan Lahan... 160

14 Tipologi Cara Produksi Non Kapitalis ... 163

15 Tipologi Cara Produksi Kapitalis...169

16 Tipologi Pelaku Ekonomi Pada Julur Pemasaran Garam di Kabupaten Rembang ... 174

17 Tipologi Kekerasan Struktural Pasar...185

18 Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan Tahun 1996-2006... 190

19 Produksi Garam Kabupaten Rembang Tahun 2000-2007...191

20 Abrasi dan Tingkat kerusakan Hutan Mangrove di Jawa Tengah ... 194

21 Konflik Agraria di Jawa, 1970-2001 ...241


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram Alir Marjinalisasi Petani Garam dalam Formasi

Sosial Kapitalis ... 44

2 Model Analisis Interaktif... 58

3 Alur Pikir Kegiatan Penelitian ... 61

4 Ekspor Indonesia Tahun 1900-1935 ...109

5 Impor Indonesia Tahun 1900-1935 ...110

6 Konsumsi Garam Beriodium Tingkat Rumah Tangga 1995 ... 123

7 Konsumsi Garam Beriodium Tingkat Rumah Tangga 2000 ... 124

8 Nilai Ekspor Garam Indonesia Masa Kolonial Belanda... 128

9 Produksi Garam Rakyat Indonesia pada Setiap Sentra Produksi tahun 2005-2007 ... 133

10 Nilai Impor Garam Tahun 1998-2007... 141

11 Produksi Garam Dunia ... 146

12 Rantai Pasar Garam Rakyat ...148

13 Arus Perdagangan Garam di Indonesia ... 149

14 Rantai Pasar Garam Impor... 155

15 Fluktuasi Harga Garam dan Permainan Pelaku Pasar di Rembang tahun 2007... 178

16 Rantai Pemasaran Garam Di Kabupaten Rembang...183

17 Tata Baru Rantai Pemasaran Garam Di Rembang...184


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Kabupaten Rembang ... 295

2 Karakteristik Responden ... 296

3 Pedoman Wawancara ... 297


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

23 Rincian Jumlah Responden dalam Kategori ... 54

24 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007 ... 65

25 Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Tahun 2007... 72

26 Luas Lahan Kabupaten Rembang Menurut Peruntukannya tahun 2007... 77

27 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan pekerjaan/Matapencaharian ... 77

28 Struktur Pemain Pada Komoditi Garam ... 102

29 Konsumsi Garam Beryodium Tingkat Rumah Tangga dan Rata-rata TGR Menurut Jumlah Kabupaten Tahun 1998... 124

30 Impor Garam Indonesia dalam Beberapa Tahun ... 136

31 Perusahaan Importir Garam Tahun 2007... 151

32 Jenis Industri yang Menerima Pasokan Garam Impor dari PT. Cheetam Garam Indonesia ... 152

33 Impor Garam Iodisasi Tahun 2007 Berdasarkan SK. 20/M-DAG/PER/9/2005 Per 31 Mei 2007... 153

34 Pembelian Garam Rakyat Oleh Perusahaan Importir Tahun 2007 ... 154

35 Negara Muat Barang dan Nilai Impor ... 155

36 Jumlah Petani Garam Di 6 Desa Lokasi Penelitian Menurut Luas Penguasaan Lahan... 160

37 Tipologi Cara Produksi Non Kapitalis ... 163

38 Tipologi Cara Produksi Kapitalis... 169

39 Tipologi Pelaku Ekonomi Pada Julur Pemasaran Garam di Kabupaten Rembang ... 174

40 Tipologi Kekerasan Struktural Pasar... 185

41 Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan Tahun 1996-2006... 190

42 Abrasi dan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove ... 194

43 Konflik Agraria di Jawa, 1970-2001 ... 241

44 Perbedaan Tipologi Perlawanan Petani Garam di Kabupaten Rembang ... 277


(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

19 Diagram Alir Marjinalisasi Petani Garam dalam Formasi

Sosial Kapitalis ... 44 20 Model Analisis Interaktif... 58 21 Alur Pikir Kegiatan Penelitian ... 61 22 Ekspor Indonesia Tahun 1900-1935 ... 109 23 Impor Indonesia Tahun 1900-1935 ... 110 24 Konsumsi Garam Beriodium Tingkat Rumah Tangga 1995 ... 123 25 Konsumsi Garam Beriodium Tingkat Rumah Tangga 2000 ... 124 26 Nilai Ekspor Garam Indonesia Masa Kolonial Belanda... 128 27 Produksi Garam Indonesia pada Setiap Sentra Produksi

tahun 2005-2007... 133 28 Nilai Impor Garam Indonesia pada Pemerintahan RI ... 141 29 Produksi Garam Dunia ... 146 30 Rantai Pasar Garam Rakyat ... 148 31 Arus Perdagangan Garam di Indonesia ... 149 32 Rantai Pasar Garam Impor... 155 33 Fluktuasi Harga Garam dan Permainan Pelaku Pasar di

Rembang tahun 2007... 178 34 Rantai Pemasaran Garam Di Kabupaten Rembang... 183 35 Tata Baru Rantai Pemasaran Garam Di Rembang... 184


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Garam merupakan komoditi strategis sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat, tetapi dewasa ini kehidupan petani garam di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Rembang dihadapkan pada situasi sulit. Banyak petani tidak dapat bertahan dengan pilihan usahanya, bahkan ada yang meninggalkan usahanya dan berpindah menekuni mata pencaharian lain. Problem yang dihadapi petani garam di Rembang bersumber baik dari internal maupun eksternal, dalam lingkup lokal, nasional maupun global. Dalam hal ini yang tampak kepermukaan, antara lain menyangkut harga, mutu yang sangat rendah, sampai membanjirnya garam impor. Untuk garam impor menunjukkan tren terus meningkat, nilai total garam impor pada tahun 2000 adalah US $ 37.844.536 tahun 2004 US $ 45.031.036 dan tahun 2007 US $ 53.115.545 (diolah dari data BPS & Direktorat Impor Deperdag RI).

Di kabupaten Rembang jumlah petani garam pemilik lahan pada tahun 1990 sebanyak 984 orang, tahun 2000 menurun menjadi 792 orang dan pada tahun 2005 menjadi 718 orang. Peningkatan terjadi pada jumlah petani penggarap/buruh garap, pada tahun 2000 terdapat sebanyak 3.986 orang, pada tahun 2005 menjadi 4.793 orang dan pada tahun 2007 meningkat lagi menjadi 6.514 orang. Adapun jumlah perusahaan garam rakyat di kabupaten Rembang juga cenderung menurun, pada tahun 1990 terdapat 12 perusahaan, pada tahun 2000 berkurang menjadi 6 perusahaan dan tahun 2005 berkurang lagi tinggal 4 perusahaan (Rembang Dalam Angka 1990, 2000, 2005, dan Asniraya, 2007). Padahal luas lahan garam relatif tidak berubah, yaitu 1.189,449 hektar (ha) pada tahun 1990 (Jawa Tengah Dalam Angka, 1991), 1.184,965 ha pada tahun 2000 dan 1.184,965 ha pada tahun 2005 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rembang, 2005). Fenomena itu pada satu sisi menunjukkan bahwa posisi dan status sosial ekonomi petani garam semakin termarjinalkan (petani


(24)

pemilik menjadi buruh) dan pada sisi yang lain juga dapat dimaknai telah terjadi polarisasi dalam penguasaan lahan garam dan dominasi moda produksi kapitalis.1

Dalam proses produksi garam, lahan merupakan alat produksi yang sangat penting bagi petani garam karena diatas lahan itulah kegiatan produksi mereka lakukan. Oleh karena itu struktur penguasaan lahan garam akan menentukan accessibity petani garam pada surplus atas produksinya. Artinya, petani garam lahan sempit dan yang tidak menguasai lahan garam, aksesnya rendah bahkan tidak memiliki akses pada surplus dari produksinya dan sebaliknya petani yang menguasai lahan luas memiliki akses untuk dapat menikmati surplus dari produksi garam.2 Dalam hal ini struktur penguasaan lahan juga berpengaruh pada moda produksi yang berkembang, yaitu moda produksi kapitalis pada petani lahan luas dan moda produksi non kapitalis/usaha keluarga (household farm) pada petani kecil dan petani penggarap.3Dari hal ini secara sosial ekonomi petani garam yang

1Polarisasi dalam penguasaan lahan dan dominasi moda produksi kapitalis memberi kontribusi

signifikan bagi marjinalisasi petani garam kasuistik juga tercermin dari penjelasan responden, H. Sln 68 tahun pada tanggal 21 April 2006. Semula saya pengusaha kontraktor, tetapi kemudian sejak tahun 1980-an juga tertarik pada usaha garam dan untuk itu saya membeli lahan garam, sekarang lahan garam yang saya miliki seluas 6 ha. Semua lahan itu saya beli sendiri dari para pemilik lahan sempit (<0,5 ha) yang menghadapi kesulitan ekonomi dan saya tertarik membeli lahan garam karena harga relatif murah dengan hasil yang cukup menguntungkan. Para petani yang lahannya telah saya beli tetap membuat garam, hanya statusnya yang berubah menjadi buruh garap dengan sistem bagi hasil “maro”. Selain itu buruh garap juga berasal dari pedalaman, petani sawah lahan sempit < 0,5 ha yang tidak dapat mengerjakan sawahnya pada musim kemarau. Pengusahaan garam menjadi kurang menguntungkan-harga jatuh setelah adanya garam impor baik yang berasal dari India, Vietnam maupun Australia dan dalam menghadapi situasi itu saya semakin selektif menentukan buruh garap, yaitu harus yang benar-benar mampu berproduksi secara maksimal (baru-baru ini saya mengganti 4 buruh garap yang tidak dapat berproduksi secara maksimal dengan standar 1 petak lahan seluas sekitar 0,5 ha dikerjakan 2 orang dalam 1 hari dapat menghasilkan garam 1 ton). Sementara itu pemikiran Marx tentang moda produksi kapitalis dalam Morrison (1995) lebih didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi dan dalam hal ini kapitalis sebagai pemilik alat produksi dan buruh proletar memiliki kepentingan yang bertentangan. Dari hal ini terjadi proses pemiskinan kaum buruh oleh kaum kapitalis melalui aliran dan akumulasi surplus yang pada hakekatnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap kaum buruh dalam proses produksi. Pemikiran Marx itu dikembangkan Russel (1989), bahwa moda produksi kapitalis mempunyai ciri padat modal dan merupakan tipe kelas berstruktur majikan-buruh pada hubungan produksinya.

2Konsep surplus mengandung pengertian sebagai nilai atau upah atas hasil kerja yang dilakukan

tenaga kerja dalam proses produksi yang semestinya menjadi hak dari tenaga kerja sepadan dengan curahan tenaganya, lebih lanjut dapat dilihat pada Morrison. 1995. Marx, Durkheim, Weber. Formations Of Modern Social Thought. London-Thousand Oaks-New Delhi : Sage Publications.

3Moda produksi non kapitalis dalam proses produksi garam di kabupaten Rembang secara empiris

dicirikan oleh adanya hubungan produksi egaliter karena merupakanhousehold farmdengan dasar hanya untuk dapat survival, tidak terekspresi adanya perhitungan untung-rugi (cost-benefit calculation). Hal ini jelas sangat berbeda dengan moda produksi kapitalis yang dicirikan oleh hubungan produksi komersial yang berorientasi pada keuntungan (profit). Selain itu kedua moda


(25)

menguasai lahan terlebih lahan luas secara sosial ekonomi relatif lebih maju/kaya dibandingkan dengan petani lahan sempit apalagi petani penggarap/buruh pada umumnya lebih terbelakang/miskin.4 Dengan demikian polarisasi penguasaan lahan garam oleh kapitalis secara signifikan ikut memberi kontribusi bagi marjinalisasi petani garam terutama petani kecil dan petani penggarap/buruh. Hal ini mengingat petani garam di kabupaten Rembang sebagian besar merupakan petani penggarap baik dari pemilik lahan sempit (< 0,5 ha) maupun buruh garap. Namun demikian diantara petani garam pemilik lahan justru terdapat kecenderungan pemilik lahan > 1 ha merupakan mayoritas dan mereka ini sekaligus juga bergerak di jalur pemasaran garam sebagai penyetok, tengkulak/bakul, makelar dan pabrikan (pabrik garam rakyat).5

Masyarakat di Kabupaten Rembang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang cukup menarik, maka pada musim panen banyak pelaku di luar petani garam (seperti guru, pegawai pemerintah maupun pegawai swasta) “bermain” baik sebagai “penyetok”, tengkulak/bakul maupun makelar. Demikian juga dengan pemodal baik pada aras lokal maupun supra lokal, biasa “memainkan” komoditas garam di mana mereka itu semuanya bergerak di julur pemasaran garam.6 Bermainnya pelaku dari berbagai aras pada jalur pemasaran garam ini, di satu sisi dapat menjadi indikator bahwa garam merupakan komoditas

produksi tersebut dalam banyak kasus memiliki keterkaitan integratif yang bersifat asimetris, yaitu moda produksi kapitalis mendominasi moda produksi non kapitalis dan surplus dari beroperasinya moda produksi non kapitalis diserap ke dalam moda produksi kapitalis melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan sistem bagi hasil yang dikembangkan. Bandingkan dengan temuan Kahn pada masyarakat di Minangkabau dan temuan Sitorus pada industri tenun dalam masyarakat Batak Toba dalam Sitorus. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba(Disertasi), bahwa moda produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh moda produksi subsisten di mana komoditas yang dihasilkan dijual ke pasar dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya.

4Sebagai indikatornya tercermin dari beberapa hal antara lain; pola kerja/usaha, pendapatan/hasil

yang diperoleh, relasi sosial yang dikembangkan, kondisi perumahan, jenis dan pola konsumsi makanan, pendidikan.

5Data jumlah petani garam dan luas lahan petani garam di 6 desa yang menjadi lokasi penelitian

dapat dilihat pada tabel 14.

6Disarikan dari hasil wawancara dengan beberapa responden pada tanggal 2 Maret 2006; E. Stn

(guru), Sln. (pegawai pemerintah), Aw. Q. (pegawai bank), Jn. (pabrikan), Rmt. (Tengkulak). Selain itu dominasi kekuatan ekonomi kapitalis atas produksi garam juga ditunjukkan melalui penguasaan mereka terhadap gudang-gudang garam yang merupakan titik pengumpul (collecting point), yaitu tempat pengumpulan garam di tepi/pinggir jalan raya yang dapat dijangkau truk dan sejenisnya, semuanya milik kaum pemodal/kapitalis yang menguasai jalur pemasaran garam, bukan milik petani kecil dan penggarap.


(26)

yang dapat memberi keuntungan signifikan, tetapi pada sisi lain menjadikan petani garam terutama petani petani kecil dan petani penggarap/buruh semakin tidak memiliki akses ke pasar. Dengan demikian dalam konteks ini tampak bahwa kelompok-kelompok di luar komunitas petani garam yang bertindak sebagai pelaku ekonomi di jalur pemasaran garam, ikut memarjinalkan petani sebagai produsen garam karena tertutupnya akses mereka pada pasar.

Bahkan pada tahun 2003 pemerintah daerah (Pemda) kabupaten Rembang juga pernah berencana “masuk” pada jalur pemasaran garam melalui pembangunan gudang-gudang garam. Akan tetapi rencana itu mendapat resistensi dalam bentuk demonstrasi massa yang mengatas-namakan petani garam dengan mengajukan protes agar rencana tersebut dibatalkan. Bagi Pemda Rembang rencana itu selain bermotif bisnis sebenarnya lebih dimaksudkan untuk mengendalikankan harga garam yang sering jatuh pada musim panen. Oleh karena itu aksi demo penolakan terhadap rencana Pemda itu pada dasarnya dilakukan petani besar dan kekuatan ekonomi lainnya yang berada pada julur pemasaran, bukan petani kecil dan petani penggarap.7

Memang tata niaga garam yang dikendalikan pemerintah RI hingga dewasa ini secara dominan terkondisi berpihak pada pemodal (kapitalis) pada aras supra lokal dan dalam kooptasi kekuatan ekonomi global dari pada di aras lokal petani. Paling aktual antara lain tercermin dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti UU No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization), Keputusan Presiden RI No. 69 tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994, tentang Pengadaan garam Beriodium, Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 tentang Pengesahan Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produksi industri (termasuk garam), Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beriodium serta Perizinan, Surat Keputusan

7Berdasarkan penjelasan dari beberapa responden (Hr, Swn, Mrj dan Slt) yang terlibat dalam aksi

demo dapat disimpulkan bahwa yang menggerakkan dan yang memfasilitasi aksi demo tersebut adalah para pedagang kalaupun petani tetapi petani besar yang dalam prakteknya juga bertindak sebagai pedagang. Demikian juga aksi-aksi demo terhadap kebijakan pemerintah lainnya seperti kebijakan impor garam, tidak terlepas dari peran kelompok tersebut.


(27)

Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI No. 360/MPP/Kep/5/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Ketentuan Impor Garam.

Kebijakan pemerintah dalam tata niaga garam tersebut merupakan manifestasi dari paradigma pembangunan yang sedang dianut, yaitu modernisasi atau pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga untuk mengejar target-target pertumbuhan ekonomi, semua sektor dan lini termasuk produksi garam digerakkan dalam bingkai tersebut dengan model sentralistik yang bersifat top down dan sarat dengan kepentingan kekuatan ekonomi global. Dalam hal ini penguasa sebagai mesin birokrasi menjadi pengawal setia dari setiap kebijakan pemerintah, sehingga terbangun jaringan antara penguasa supra lokal dengan penguasa lokal. Kondisi ini yang secara makro antara lain yang menyebabkan deferensiasi, stratifikasi, polarisasi, kemiskinan struktural dan institusional dalam kehidupan masyarakat pedesaan (Sajogyo, 1973; Hayami &Kikuchi, 1987; Collier, 1974 dan Husken, 1988).

Sebagaimana tercermin dari kebijakan impor garam, meskipun secara formal dimaksudkan untuk kepentingan industri, tetapi dalam prakteknya telah merambah pada konsumsi rumah tangga. Bahkan meluasnya peredaran garam impor di pasaran tampak semakin menekan posisi garam lokal. Kondisi itu menjadi keprihatinan berbagai pihak dan oleh karenanya Asosiasi Petani Garam Rakyat Jawa Tengah (Asiniraya) pernah mendesak pemerintah dan gubernur Jawa Tengah, untuk menghentikan impor garam terutama yang masuk wilayah Jawa Tengah karena telah terbukti merusak tatanan pasar, sehingga petani garam pada posisi yang sangat lemah. Di Jawa Tengah terdapat 20.746 petani garam yang terdiri atas petani penggarap dan pemilik dengan luas areal 5.255 ha yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan seper-empatnya terdapat di Rembang (http://www.indomedia.com/bernas/2006/29/UTAMA/29bis.htm, dikunjungi 25 Februari 2006).

Fakta empiris menunjukkan bahwa semakin meluasnya peredaran garam impor yang sepenuhnya dikendalikan oleh para pemburu profit pada aras supra lokal, bagi petani garam yang bergerak di jalur pemasaran dan pabrikan menjadikan posisi usaha mereka semakin tertekan, tergeser dan terpinggirkan bahkan mematikan usaha mereka. Misalnya beberapa petani yang memiliki


(28)

perusahaan garam terpaksa tutup dan tidak lagi mampu berproduksi. Adapun yang masih dapat bertahan harus mengalihkan wilayah pemasaran, sebagaimana yang dialami oleh PT. A. M. semula produk mereka dapat “menguasai” pasar di kawasan “pusat” DKI Jakarta dan sekitarnya kemudian bergeser ke “peri-feri” di kota-kota kecil dalam wilayah Jawa Tengah dan sebagian kecil Jawa Timur. Kemudian PT. G. M. yang semula juga merambah pasar DKI Jakarta terpaksa tersingkir dan hanya memasok agen yang mendirikan pabrik dalam skala kecil dan lebih sederhana di pinggiran wilayah pusat tersebut. Di kota-kota besar untuk kebutuhan konsumsi dan dunia industri pasar garam telah dikuasai dan didominasi garam impor, sedangkan garam lokal termarjinalkan dan sulit menembus dunia industri.

Kalangan pabrikan garam rakyat di Rembang mengakui, bahwa garam impor sangat kompetitif karena kualitasnya sangat bagus (kandungan natrium khlorida/NaCl > 92 persen (%), warna lebih putih dan bersih) dan sudah termasuk dalam kategori garam K1 (garam yang kualitasnya telah memenuhi Standar Nasional Indonesia/SNI garam bahan baku untuk industri garam beriodium), sehingga apabila diproses menjadi garam briket atau garam beriodium tinggal diproses pengemasan dan pelabelan. Oleh karena itu meskipun harga lebih tinggi dari garam lokal, tetapi biaya prosessingnya sangat efisien dan murah, maka total cost produksinya menjadi lebih murah dibandingkan dengan garam lokal.8 Adapun garam rakyat rata-rata Na Cl < 92 %, warna putih tidak mengkilat dengan butir-butir kristal tidak begitu keras (garam muda).

Kondisi yang menimpa kalangan pabrik garam di Rembang tersebut berdampak langsung pada petani terlebih lagi pada petani kecil, karena seringkali dikondisikan seakan stok melimpah persaingan sangat tajam, sehingga harga garam yang mereka hasilkan seakan terjun bebas tidak ada yang mengendalikan.

8Menurut penjelasan responden Jn. (manejer produksi dan pemasaran PT. A. M.) pada tanggal 2

Maret 2006 bahwa tahapan prosessing garam impor lebih sederhana, sehingga total costnya lebih rendah dari garam lokal. Misalkan pada tahun 2005 harga garam krosok impor Rp. 450,-/kg dan harga garam krosok lokal Rp. 250,-/kg, total cost untuk menjadi garam briket dan garam beryodium justru lebih rendah yang berasal dari garam krosok impor. Tahapan prosessing garam impor bisa langsung iodisasi, pengemasan dan pelabelan, sedangkan garam krosok lokal harus diawali dari pemecahan, pemisahan, pencucian, penirisan, pengeringan, penyaringan, baru iodisasi, pengemasan dan pelabelan di mana semua tahapan itu memerlukan tenaga kerja dan sarana pendukung seperti alat pemecah (crusher), ayakan tempat pencucian yang sesuai standar, mesin penggiling (rotary mill), oven dan tenaga listrik.


(29)

Dengan kondisi seperti itu petani terpaksa menjual garam produk mereka dengan harga di bawah jauh dari biaya produksi karena secara ekonomi tidak mampu untuk menyimpan dahulu (nyetok) hasil produksi dan juga dipermainkan oleh makelar ataupun pedagang. Bagi penggarap/buruh lebih tragis lagi, karena harga jual garam produknya lebih ditentukan oleh majikan sebagai pemilik lahan dan pada umumnya diberi harga di bawah harga pasar yang sudah dipermainkan oleh makelar ataupun pedagang.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa ekonomi petani garam saat ini mendapatkan ancaman serius dari ekspansi ekonomi global. Dalam arti, para petani garam yang sebetulnya memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan ekspansi global ke berbagai negara lain. Namun, pada masa kini tidak mampu melakukan hal itu. Sebagaimana pada zaman pra kolonial penguasa di pantai utara Jawa Tengah termasuk Rembang pernah menjadikan garam sebagai komoditas ekspor ke beberapa negara dalam kawasan Asia Tenggara, tetapi kondisi berubah pada masa kolonial di mana penguasa di Jawa kehilangan kontrol atas produksi garam, sehingga kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam pada akhirnya jatuh ke tangan penguasa kolonial dan pengusaha yang terdiri dari orang-orang Cina (Knaap, 1991: 127157). Bahkan pada zaman kolonial, garam berkembang sebagai salah satu komoditas ekspor penting yang didominasi oleh penguasa dan pengusaha/pemodal. Hal itu antara lain ditandai oleh adanya kebijakan politik ekonomi garam yang tampak lebih berorientasi pada kepentingan penguasa dan pemodal dengan mengorbankan kepentingan produsen lokal penduduk pribumi.9

9Sebagai contoh pada tahun 1917 pemerintah kolonial Belanda menempuh kebijakanMembeli

ladang-ladang garam penduduk pribumi yang dalam kasus Madura dimaknai oleh penduduk sebagai perampasan hak milik penduduk pribumi (Kuntowijoyo, 1988). Kemudian keluarnya kebijakan monopoli dan pengaturan hak milik atas ladang-ladang garam penduduk pribumi (Departemen Van Binnenlansch Bestuur, 1932). Dengan adanya monopoli maupun dominasi penguasa dan pengusaha atas produksi garam, menjadikan produksi garam dalam penetrasi sistem kapitalisme. Dalam perspektif materialisme historis, kondisi yang demikian itu melahirkan formasi sosial yang didominasi oleh sebuah artikulasi dari dua cara berproduksi (mode of production), yaitu cara kapitalis dan non kapitalis di mana cara produksi kapitalis telah menjadi dominan atas yang lain. Hal itu antara lain tampak dari berkembangnya pengusahaan garam oleh pemerintah melalui perusahaan yang telah ditunjuk dan direkomendasikan (mendapatkan hak sewa) di satu sisi dan terjadinya penurunan status sosial petani garam pada sisi yang lain di mana mereka cenderung hanya menjadi tenaga penggarap dan upahan dalam proses produksi garam. Bandingkan dengan introduksi sistem ekonomi kapitalis pada tanaman tebu di Pasuruan Jawa Timur di mana petani (pemilik lahan) dapat mengambil manfaat/keuntungan dari sistem itu melalui usaha produktif skala kecil, lebih lanjut lihal Elson. 1984.Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry. Impact


(30)

Kondisi yang demikian itu dalam perkembangannya dibeberapa daerah sentra garam seperti Madura mendorong timbulnya resistensi petani garam dalam bentuk protes terbuka yang sangat marak pada perempat pertama abad XX (de Jonge, 1993: 165184).

Di Kabupaten Rembang meskipun termasuk salah satu sentra produsen garam di Pulau Jawa, tampaknya resistensi petani garam secara terbuka terhadap kebijakan kolonial itu tidak meluas. Namun demikian kebijakan itu telah ikut mendorong terjadinya proses marjinalisasi petani garam di mana posisi mereka tergeser cenderung hanya sebagai penggarap dan buruh. Para petani yang dalam prakteknya sebagai produsen langsung justru tidak memiliki posisi tawar baik dalam mekanisme produksi, pemasaran dan distrubusi. Jadi petani garam tidak memiliki otoritas dan kebebasan dalam melakukan pekerjaannnya, melainkan semata-mata hanya berproduksi dan sekedar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih jauh pekerjaan membuat garam tidak memberi kontribusi bagi pengembangan diri petani garam, tetapi lebih cenderung membuat mereka terasing dengan alat produksi dan produknya.10

Setelah kemerdekaan keadaanya tidak banyak berubah, garam secara formal dalam monopoli pemerintah, tetapi dalam prakteknya perdagangan garam masih dalam dominasi pegusaha/pedagang Cina. Para pedagang ini memiliki kecenderungan mempermainkan harga, sehingga pada tingkat petani harga garam sangat fluktuatif. Sebagai contoh pada suatu saat harga garam dapat mencapai 75 sampai 80 sen/kg, tetapi pada waktu lain yang tidak berselang lama dapat berubah menjadi 2 sampai 8 sen/kg (Widodo, 2005). Terlebih dengan dicabutnya peraturan tentang monopoli garam oleh pemerintah RI pada tahun 1957 yang berdampak pada pembubaran PN Garam, maka kondisi petani garam semakin dalam tekanan kuat dari pemodal. Meskipun setelah pembubaran PN Garam pemerintah membentuk koperasi dan kemudian Perseroan Terbatas (PT) yang diberi hak

and Change in an East Java Residency, 1830-1940. Singapore & New York: Oxford University Press.

10 Dalam konsep Marx hal yang demikian itu merupakan manifestasi dari beroperasinya sistem

ekonomi kapitalis di mana pekerjaan yang dilakukan para buruh tidak merealisasikan hakekat mereka yang dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan, melainkan justru cenderung menciptakan keterasingan (alienasi). Lihat Magnis Suseno, 2001. Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Hlm.95-109


(31)

sebagai penyalur dan penimbun garam untuk menggantikan peran pedagang Cina, tetapi juga tidak berhasil membantu petani terutama dalam menstabilkan harga garam.

Dengan demikian persoalan yang dihadapi petani garam di Rembang sangat kompleks. Selain sistem produksi petani garam lokal belum menunjukkan kemampuan berkompetisi dalam sistem ekonomi global yang semakin terbuka, belum mampu menembus jaringan organisasi dan birokrasi perdagangan global yang bercirikan kapitalistik, kompetensi, dan profesional (McIntosh, 1998). Artinya, petani garam tidak mampu secara langsung menembus pasar baik di tingkat lokal maupun global bahkan cenderung dalam “permainan” dan “tekanan” ekspansi sistem ekonomi kapitalis baik pada aras lokal maupun global. Selain itu juga cenderung menghadapi tekanan struktural internal pada komunitasnya yang menciptakan dominasi dan eksploitasi.

1.2. Rumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian

Petani garam di Kabupaten Rembang tampak tidak hanya menghadapi persoalan dalam dimensi kultural seperti keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi semata, tetapi juga menyangkut dimensi struktural seperti struktur; sosial masyarakat petani garam itu sendiri, tata niaga garam, dan ekonomi global. Dalam struktur ekonomi global tampaknya terbangun suatu mekanisme pemasaran dan distribusi perdagangan garam di tingkat internasional yang menyebabkan garam Indonesia tidak lagi menjadi komoditas global, tetapi hanya menjadi komoditas lokal. Sementara itu hingga saat ini secara jelas dan tegas tidak ada tata niaga garam nasional, jadi untuk komoditi garam rakyat cenderung berlangsung pasar bebas, sehingga produk garam yang dihasilkan petani sangat mudah untuk “dipermainkan” pasar. Demikian juga struktur sosialnya terkonstruksi dari interaksi sosial dengan landasan kepentingan yang kontradiktif bahkan eksploitatif diantara pihak yang tidak equal dalam penguasaan sumberdaya ekonomi.

Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa petani garam yang menguasai sumberdaya ekonomi terutama adalah petani lahan menengah-luas yang mengusai > 1 ha dan umumnya dalam memproduksi garam menyerahkan pada buruh


(32)

perombong dengan sistem bagi hasil maro. Dari sini proses polarisasi sosial terbangun dimana pada komunitas petani garam terdapat dua kelompok sosial yang berhadapan, yaitu pemilik lahan sebagai majikan dan buruh yang secara langsung mengerjakan proses produksi (perombong, pengolok dan mandor). Sistem bagi hasilmaro dalam prakteknya terjadi manipulasi dan eksploitasi pada buruh oleh majikan, karena hasil kerja buruh cenderung diperhitungkan dibawah yang semestinya, juga dikenakan beban-beban tambahan seperti untuk penggunaan diesel, gudang, pengganti pembayaran PBB, dan lain-lain serta dirampas haknya dalam mengakses pasar.

Bertitik tolak dari hal-hal itulah maka yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa garam sepanjang perjalanan sejarah merupakan komoditi yang selalu menjadi perebutan pemilik modal dari berbagai aras yang pada akhirnya memarjinalkan petani garam. Selain itu garam sebagai komoditi ekspor tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi global dan dalam hal ini bagaimana dan mengapa ekspansi ekonomi global memberi kontribusi signifikan bagi marjinalisasi petani garam. Dalam kondisi yang demikian bagaimana peran pemerintah sebagai regulator kebijakan dan mengapa ditempuh kebijakan demikian. Secara struktural terjadi marjinalisasi petani garam, bagaimana dan mengapa itu terjadi, dan apakah dalam kondisi yang demikian itu petani melakukan perlawanan, bagaimana dan mengapa perlawanan itu dilakukan ?. Pertanyaan utama ini dapat dibuat pertanyaan yang lebih detail sebagai berikut :

a. Pertanyaan tentang sejarah pengusahaan garam:

Bagaimana garam diusahakan sebagai komoditi yang dapat memberi keuntungan finansial (aspek sejarah), sejak jaman prakolonial, kolonial hingga Indonesia kontemporer ?.

Bagaimana kondisi petani dalam konteks pengusahaan tersebut, apakah terjadi perubahan-perubahan, dalam bentuk yang bagaimana dan mengapa itu terjadi ?.

b. Pertanyaan tentang ekspansi ekonomi global yang telah mendorong terjadinya marjinalisasi petani garam (lebih pada aspek sejarah)


(33)

Proses ekspansi global yang mendorong marjinalisasi petani garam ditentukan peran banyak pihak baik negara/pemerintah, pemodal dan pelaku lain. Dari hal ini dapat dirumuskan pertanyaan penelitian :

Mengapa terjadi ekspansi ekonomi global komoditas garam dan bagaimana negara/pemerintah, pemodal dan pelaku lain berperan dalam menghadapi penetrasi ekonomi global terhadap ekonomi lokal yang mempengaruhi kedudukan petani garam ?.

Bagaimana dan mengapa berbagai peran tersebut mengalami perubahan dari waktu ke waktu ?.

c. Pertanyaan tentang marjinalisasi petani garam dalam kaitannya dengan persoal an struktural:

Bagaimana struktur sosial masyarakat tineliti telah menempatkan petani garam pada posisi marjinal ?. Adakah struktur penguasaan lahan yang timpang dan eksploitatif, bagaimana konstruksi relasi sosial yang terbangun dalam kondisi tersebut dan mengapa demikian ?.

Pengaturan tata niaga garam oleh pemerintah cenderung tidak berpihak pada petani garam. Bagaimana dan mengapa hal ini bisa terjadi ?

Bagaimana moda produksi kapitalis dapat mendominasi moda produksi non kapitalis, sehingga berkontribusi bagi marjinalisasi petani garam dan mengapa demikian ?.

d. Pertanyaan tentang perlawanan petani dalam menghadapi tekanan struktural:

Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan yang ditempuh petani dalam menghadapi tekanan struktural dan mengapa terbentuk corak perlawanan yang cenderung beragam dari masing-masing kelompok sosial dalam komunitas petani garam?.

Apakah berbagai bentuk perlawanan tersebut merupakan respon terhadap kondisi struktural yang dihadapi petani atau ada kekuatan “supra-desa” yang bermain dan mengapa demikian ?.


(34)

1. 3. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang Marjinalisasi Petani Garam dan Ekspansi Ekonomi Global: Kasus Di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa tujuan, yaitu:

a. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengusahaan garam dalam dimensi sejarah sejak jaman prakolonial, kolonial hingga Indonesia kontemporer. Selama rentang waktu tersebut terdapat pelaku ekonomi dan kekuatan dominan dalam pengusahaan garam yang berpengaruh terhadap kondisi kehidupan petani.

b. Untuk mengetahui bagaimana dan mengapa ekspansi ekonomi global memberi kontribusi dalam proses marjinalisasi petani garam. Dalam konteks ini juga untuk mengetahui bagaimana dan mengapa kebijakan politik ekonomi pemerintah pada komoditas garam dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan kondisi petani garam

c. Untuk mengenalpasti, bahwa marjinalisasi petani garam adalah persoalan struktural. Terdapat kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang “bermain” dalam komoditi garam, sehingga menciptakan dominasi moda produksi kapitalis dan pada akhirnya mengonstruksi marjinalisasi.

d. Mengidentifikasi bentuk-bentuk perlawanan petani garam dalam menghadapi dominasi moda produksi kapitalis dan pengaruhnya terhadap formasi sosial petani garam.

e. Secara metodologi, mengonstruksi teori marjinalisasi petani garam yang kontekstual, maka tidak melakukan verifikasi teori maupun hipotesa.

1.4. Kegunaan Penelitian

Dengan membedah kasus marjinalisasi petani garam dan ekspansi ekonomi global, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna secara langsung untuk memecahkan persoalan struktural yang dihadapi petani garam. Struktur sosial yang selama ini tertutup yang diwarnai dominasi dan eksploitasi oleh kelompok yang menguasai sumberdaya ekonomi terhadap kelompok marjinal, dapat lebih terbuka dan akomodatif terhadap kepentingan kaum marjinal sehingga setiap kelompok sosial dapat meraih haknya secara proporsional. Selain itu dari


(35)

hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan industri kecil yang padat karya dan kepentingan kaum marjinal. Dengan begitu dapat ikut memecahkan persoalan pengangguran dan kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Bagi pihak manapun yang berkehendak melakukan intervensi program pada komunitas petani garam, penelitian ini juga dapat bermanfaat menjadi acuan penting untuk dapat mengetahui peta permasalahan dan potensi yang mungkin dikembangkan.


(36)

BAB II

KAJIAN TEORITIK

Pada bab ini akan dilakukan kajian teoritik tentang marjinalisasi petani garam dan ekspansi ekonomi global baik secara konseptual yang berkaitan dengan teori dan konsep serta fakta empirik yang terkait dengan permasalahan tersebut. Dengan demikian kajian ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman teoritik lebih baik, sehingga membantu dalam merumuskan hipotesis pengarah, proses pengumpulan data dan analisis.

2.1. Sejarah Pengusahaan Garam

Pentingnya garam dalam kehidupan manusia tidak dapat disangkal lagi. Garam merupakan produk vital yang memenuhi hajat hidup orang banyakdi mana garam tidak hanya dibutuhkan oleh kesehatan manusia, tetapi untuk kepentingan industri dalam kategori industri ringan, berat dan strategis seperti; penyamaan kulit, pengasinan, pabrik es, kilang BBM, farmasi, kimia, tekstil, baja dan sebagainya. Dengan demikian komoditas garam sangat penting bagi semua masyarakat namun perhatian para peneliti terhadap masyarakat yang memproduksi komoditas ini (petani garam) masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan misalnya, masyarakat petani padi, tebu, kopi, teh, kakao. Demikian juga dalam khasanah kajian petani di Jawa, petani garam hampir tidak pernah disinggung.

Seperti diketahui bahwa mulai tahun 1970an terdapat perhatian yang luar biasa terhadap pulau Jawa oleh para peneliti sosial ekonomi. Hal ini berhubungan dengan perkembangan sosial ekonomi yang dialami oleh pulau Jawa. Banyak ahli yang mencoba untuk mencari latar belakang historis perkembangan yang dialami Jawa terutama yang berasal dari abad XIX. Terdapat keyakinan umum bahwa perkembangan yang dialami oleh Jawa modern saat ini terutama berasal dari abad XIX ketika pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem eksploitasi ekonomi modern di pulau ini. Ada beberapa tema yang berkembang dalam membahas perkembangan ekonomi pulau Jawa, antara lain tanam paksa, liberalisasi ekonomi yang menyertai gelombang investasi modal swasta asing, perubahan ekonomi dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk Jawa yang sangat luar biasa.


(37)

Perdebatan-perdebatan itu berkisar pada persoalan bagaimana kerusakan yang ditimbulkan oleh tanaman yang dipaksakan dalam rangka komoditas perdagangan? Bagaimana dampak liberalisasi ekonomi terhadap kehidupan petani? Bagaimana hubungan simbiosis antara tanaman tebu sebagai tanaman komersial dan tanaman padi sebagai tanamansubsistensi? Seberapa modern Jawa pada abad XIX dan awal abad XX dibandingkan dengan negara-negara lain pada waktu itu seperti India, Jepang, Korea, dan sebagainya (Lindblad, 1993: 1-36).

Dalam kaitannya dengan hal itu dapat dikemukakan, bahwa masyarakat petani garam tidak mendapatkan perhatian yang memadai jika dibandingkan dengan masyarakat yang memproduksi berbagai jenis tanaman komoditas lainnya. Hal ini antara lain dapat diketahui belum maraknya hasil-hasil penelitian yang dilakukan ahli sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, maupun sejarah. Memang ada sebuah rintisan penelitian sosiologi tentang petani garam oleh Suyanto yang menganalisis problema pemasaran dan mekanismesurvivalpetani garam di pulau Madura. Menurutnya pasar bersifat oligopsoni karena jumlah petani sebagai penjual lebih banyak dibandingkan pedagang sebagai pembeli, sehingga pedagang dapat seenaknya dalam menentukan harga. Adapun mekanisme survival yang ditempuh sejalan dengan pemikiran Scott (1981) terdapat tiga cara, yaitu tindakan mandiri dalam lingkup keluarga, mengandalkan sistem penunjang keluarga, menggadaikan atau menjual harta miliknya (Suyanto, 1996: 25-48). Dengan demikian dalam penelitian ini tidak disinggung sama sekali persoalan struktural yang dihadapi petani garam, juga beroperasinya sistem kapitalisme pada komoditas garam yang memberi kontribusi signifikan terhadap marjinalisasi petani garam.

Selain itu terdapat beberapa pioner studi historis mengenai masyarakat petani garam di Indonesia. Dalam penelitiannya mengenai perdagangan garam di pantai utara Jawa dan beberapa tempat lain di Asia Tenggara, Knaap menganalisis bagaimana para alite di Jawa pada akhirnya kehilangan kontrol atas produksi garam di pantai utara Jawa selama abad XVII dan XVIII. Kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam pada akhirnya jatuh ke tangan VOC dan orang-orang Cina (Knaap, 1991: 127157).


(38)

Dari penelitian Knaap tersebut dapat dikemukakan, bahwa tampaknya VOC merupakan persekutuan/organisasi dagang pertama dari orang-orang Eropa (Belanda) yang wilayah operasionalnya multi nasional. Sebagai sebuah organisasi dagang multi nasional, VOC memiliki jaringan organisasi dan birokrasi demikian luas ditandai dengan pendirian kantor cabang diberbagai tempat di dunia. Kantor-kantor cabang VOC tersebar diberbagai tempat penting dan strategis di Asia dan Afrika, antara lain di Tanjung Harapan (Afrika Selatan), Calcuta (India), Jepang, Macao (Cina), Malaka (Malasyia) dan Batavia (Indonesia) (Gaastra, 1981). Dengan masuknya garam sebagai salah satu komoditas perdagangan VOC, menunjukkan bahwa garam pada abad XVII-XVIII telah masuk dalam jaringan organisasi dan birokrasi usaha dagang yang terajut dalam sistem ekonomi global. Periode itu menandai produksi garam terkooptasi dalam sistem ekonomi global yang kapitalistik dan barangkali dari hal inilah mulai berlangsungnya proses marginalisasi petani garam yang hidup dalam sistem ekonomi subsisten.

Sementara itu Hub de Jonge mencoba untuk mengkaitkan antara monopoli garam yang ditegakkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan munculnya berbagai perlawanan masyarakat petani garam di Madura. Ia mengungkapkan bahwa selama periode VOC, garam merupakan monopoli Belanda untuk selanjutnya disewakan kepada pemborong pajak. Pada tahun 1813, pemerintah kolonial Inggris menerapkan monopoli garam di Jawa dan Madura, mengadakan pengaturan hak milik atas ladang-ladang garam. Produksi garam berada dibawah pengawasan negara dan selanjutnya diikuti dengan intervensi negara dalam proses produksi garam itu sendiri (de Jonge, 1993: 165184). Pada tahun 1917 pemerintah kolonial Belanda menempuh kebijakan Membeli ladang- ladang garam penduduk pribumi”. Pada pertengahan ke dua abad XIX, mulai ada protes meskipun secara tersembunyi terhadap campur tangan yang mendalam terhadap petani garam terutama di Madura di mana garam diproduksi secara besar- besaran. Pada abad XX protes semakin terbuka ketika berbagai organisasi nasionalis meluaskan pengaruhnya di antara petani garam. Dalam hal ini pengaruh Syarikat Islam sangat besar terhadap petani garam di Madura dalam mengorganisasi protes (de Jonge, 1993: 165184).


(1)

sebagai bentuk akomodasi terhadap keinginan importir garam yang berburu profit disektor garam. Oleh karena itu muncul protes-protes terhadap impor garam konsumsi.83

Para petani garam rakyat protes, mengapa pemerintah harus mengimpor garam sedangkan garam yang mereka hasilkan melimpah dan harganya anjlok. Di dalam peraturan itu dijelaskan bahwa impor garam hanya dapat dilakukan oleh perusahaan Importir Terdaftar (IT) Garam atas persetujuan pemerintah dengan syarat-syarat tertentu (pasal 1).84 Jenis garam yang dapat diimpor adalah garam yang dapat dijadikan sebagai bahan baku/penolong proses produksi bagi keperluan sendiri dan tidak dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan, kecuali garam sebagai bahan baku/penolong proses produksi industri iodisasi dan industri lain yang tidak mampu mengimpor sendiri dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan oleh industri garam iodisasi yang telah mendapat penunjukan IT Garam.

Meskipun begitu, jika dicermati melalui peraturan tersebut sebenarnya pemerintah juga berusaha untuk memberikan proteksi terhadap para petani garam. Dalam pasal 3 diatur bahwa impor garam dilarang dalam masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya garam rakyat, selama panen raya garam rakyat dan 2 (dua) bulan setelah panen raya garam rakyat. Dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan diberi wewenang untuk menentukan masa panen raya garam rakyat itu. Larangan impor garam juga berlaku apabila harga garam K1, K2 dan atau K3 dalam bentuk curai di titik pengumpul (collecting point) di atas truk masing-masing berada di bawah harga Rp. 145.000 (seratus empat puluh lima ribu rupiah) per ton, Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) per ton dan Rp. 70.000 (tujuh puluh ribu rupiah) per ton.

83‘Datangi DPR, “Petani Garam Jateng Mengeluh”,Suara Merdeka(27 januari 2005).

84 Persyaratan itu antara lain mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Industri

Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan melampirkan: SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan), TDP (Tanda daftar Perusahaan), NPWP, API (Angka Pengenal Importir), Rekomendasi dari Direktor Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Surat Pernyataan Perolehan Garam dari Petani Garam yang dibuat oleh IT Garam dan disahkan oleh Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi industri dan perdagangan dan Asosiasi/Kelompok Tani Garam setempat yang menyatakan tentang perolehan bahan baku garam sebesar 50%, dan PIB (Pemberitahuan Impor Garam) bagi permohon IT Garam untuk keperluan iodisasi yang menunjukkan pengalaman di bidang impor garam selama tiga tahun terakhir.


(2)

Ada beberapa hal yang kemudian menjadi persoalan dalam tata niaga perdagangan garam ini. Betapapun baiknya peraturan di atas kertas, seringkali kemampuan pemerintah untuk mengontrol praktek di lapangan banyak menghadapi kendala. Meskipun pemerintah sudah berusaha memproteksi garam rakyat pada waktu panen raya, namun kenyataannya masih banyak protes mengenai membanjirnya garam impor yang menyebabkan harga garam rakyat hancur.85 Bahkan berdasar temuan lapang, di tingkat petani pada umumnya tidak mengetahui adanya proteksi dari pemerintah tersebut. Kenyataan yang mereka jalani, sejak PN. Garam bubar tidak pernah lagi ada ketetapan formal dari pemerintah yang mengatur tentang produksi dan distribusi/ pemasaran garam (petani tidak pernah mengetahui adanya penetapan harga dasar garam dari pemerintah).86 Dengan demikian tata niaga perdagangan garam masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Hal ini tampaknya antara lain bersumber dari posisi pemerintah yang serba dalam tekanan antara kepentingan vested interest importir garam dan kewajiban pemerintah untuk melindungi petani garam kecil yang semuanya itu sebetulnya banyak bersumber dari kekurangmampuan pemerintah dalam mengembangkan industri garam yang dapat memenuhi standar kesehatan masyarakat dan sebagai bahan dasar industri.

5.2.3. Pertumbuhan Industri Garam Nasional: Dari Garam Konsumsi Merambah Segmen Industri

Sesungguhnya sejak lama garam tidak hanya digunakan untuk konsumsi manusia saja, tetapi juga digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Sekitar 4000 tahun yang lalu, masyarakat Mesir telah memanfaatkan garam untuk mengawetkan makanan dan bahkan untuk mengawetkan mayat makluk hidup baik manusia maupun binatang yang terkenal dengan nama mumi. Secara tradisi, garam juga sudah digunakan untuk menjadi salah satu ramuan untuk kepentingan

85 Lihat misalnya “Kalah Bersaing, Garam Lokal Tak Laku Dijual”, dalam: http://www.pikiran-rakyat.com/bisnis2.php?id=8592(Dikunjungi tanggal 27 Juni 2008).

86 Semua responden petani di lokasi penelitian tidak ada yang mengetahui, bahwa pemerintah

dalam kebijakan impor garam juga membuat ketentuan harga garam rakyat yang diperuntukkan bagi kalangan importir. Demikian juga semua pengusaha pabrik garam rakyat di kabupaten Rembang mengaku tidak mengetahui adanya ketentuan harga garam rakyat yang dibuat pemerinatah tersebut, tapi mereka mengetahui adanya standarisasi kualitas dalam kategori K.1, K-2, dan K-3.


(3)

pengobatan serta untuk upacara-upacara yang berkaitan dengan keagamaan dan hal-hal yang bersifatsupra-natural.87

Sementara itu masyarakat Cina di daratan Tiongkok telah mengenal teknik-teknik pembuatan garam yang hingga saat ini menjadi dasar teknologi pembuatan garam sebelum milenium ke-3. Sekitar tahun 2.700 Sebelum Masehi, orang Cina telah menerbitkan buku yang berjudul Peng-Tzao-Kan-Mu yang merupakan sebuah kitab tertua yang berisi uraian tentang farmakologi. Sebagian besar uraian di dalam kitab ini adalah mengenai adanya 40 jenis garam termasuk teknik-teknik pembuatan garam yang baik.88

Dalam perkembangan selanjutnya kebutuhan terhadap garam non-konsumsi semakin berkembang sejalan dengan berbagai penemuan ilmu dan teknologi yang mensyaratkan garam sebagai salah satu medianya. Dalam era industrialisasi ini, permintaan terhadap garam untuk kepentingan industri juga meningkat dengan tajam. Ternyata garam dengan segala variannya merupakan bahan kimia yang dibutuhkan sebagai bahan dasar banyak industri. Secara garis besar, industri dari air laut ini menghasilkan tiga jenis produk yaitu garam (NaCl atau natrium clorida), gipsum, dan salt bittern. Natrium klorida dapat diolah menjadi beberapa, antara lain: soda api (NaOH) yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pabrik kertas, tekstil, sabun, karet, prosesing industri kulit, dll. Senyawa natrium klorida juga dapat menurunkan produk yang berupa senyawa klor (Cl2) yang dapat menghasilkan senyawa chlorida, hipochlorida disinfectant bleaching. Selain itu Chlorida juga bisa menurunkan HCl yang menjadi bahan baku untuk seng klorida, amonium klorida, dan sebagainya. Natrium klorida juga dapat digunakan untuk pembuatan hidrogen peroksida. Demikian juga natrium klorida dapat menurunkan produk NaMetal yang sangat berguna untuk prosesing industri logam. Garam konsumsi merupakan salah satu produk turunan dari natrium klorida. Garam konsumsi ini terutama digunakan untuk food indutries karena dapat menghasilkan beberapa produk antara lain garam beriodium, garam meja, garam perikanan, dan garam aneka pangan seperti mie instan dan lain-lain.

87

Salt Institute, ‘History of Salt’, dalam:http://www.saltinstitute.org/38.html(dikunjungi tanggal 24 Juli 2008).

88

Salt Institute, ‘History of Salt’, dalam:http://www.saltinstitute.org/38.html(dikunjungi tanggal 24 Juli 2008).


(4)

Selain itu, natrium klorida juga soda kue atau NaBicarbonat yang merupakan bahan penting industri roti dan kue.89

Industri air laut juga menghasilkan gypsum. Senyawa ini dapat diolah menjadi cement retarder yang berguna untuk industri semen. Gypsum juga menjadi bahan baku untuk membuat gypsum board yang merupakan bahan bangunan yang cukup mahal. Sebagian dari hasil pengolahan gypsum ini juga menjadi bahan untuk pembuatan patung. Demikian juga, industri pengolahan air laut akan menghasilkan salt bittern. Senyawa ini dapat menurunkan beberapa produk yang dibutuhkan industri, yaitu senyawa-senyawa magnesium yang dapat digunakan untuk industri kosmetika, pharmaceutical, isolator panas, dan lain-lain. Salt bittern juga dapat menghasilkan senyawa-senyawa kalium yang sangat berguna untuk industri pupuk kalium, iodine carrier, food additives, dan fine chemical. Akhirnya salt bittern juga menghasilkan Na Br yang sangat berguna dalam photografi dan medicine organic chemical.90

Dengan adanya perkembangan industri global, maka berbagai industri yang bergerak di bidang kimia menyerap lebih dari 55 persen produksi garam dunia terutama untuk industri manufaktur chlorine yang menghasilkan polyvinyl chloride (PVC) yaitu plastik yang terbuat dari chlorine, dan caustic soda (sodium hydroxide) yang menghasilkan paper-pulping chemical.91 Selain itu dalam perkembangannya praktek impor garam juga mencakup garam konsumsi yang secara langsung didistribusikan ke pasar ataupun sebagai bahan campuran untuk memproses lebih lanjut garam rakyat menjadi garam konsumsi.92 Dengan

89 AT. (GM. PT. CGI), Wawancara tanggal 14 Februari 2008. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa

pada dasarnya untuk komoditi garam industri pangsa pasar masih terbuka luas. Menurut perhitungan dan pengalamannya selama membuka cabang perusahaan di Indonesia (PT. CGI murni 100 % PMA dari Australia), kebutuhan garam industri secara kuantitas volumenya lebih besar dibandingkan garam konsumsi dan untuk memasok industri diperlukan kontinuitas dan stabilitas dalam kuality dan kuantity. Oleh karena garam rakyat Indonesia secara kualitas belum memenuhi standar dan secara kuantitas juga belum dapat mencukupi untuk industri, maka untuk memasok kebutuhan industri di Indonesia bahkan beberapa negara Asia Tenggara perusahaannya mendatangkan garam dari Australia.

90 Direktorat Industri Pangan Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Departemen

Perindustrian,Sosialisasi Klaster IKM Garam Rakyat/Konsumsi.Semarang, hlm. 3-4.

91 Dennis S. Kostick, “Salt”, dalam: http://minerals.er.usgs.gov/minerals/pubs/commodity /salt/580497.pdf(Dikunjungi tanggal 15 Juli 2008).

92 Jika mencermati SK Mentri Pedag & Perindust No. 360/MPP/Kep/5/2004 dan kemudian

perkembangan yang terjadi di lapangan, memang sangat terbuka untuk terjadinya praktek-praktek seperti itu. Hal yang demikian itu sering mendapat perlawanan dari produsen garam rakyat, karena


(5)

demikian tidak mengherankan jika dari waktu ke waktu volume impor garam terus meningkat dan bahkan realitas di lapangan eksistensinya mendominasi dunia pergaraman nasional di Indonesia. Bagaimana tren impor garam di Indonesia yang terpantau secara formal dalam beberapa tahun dapat dilihat pada gambar 10.

Nilai Impor Garam Indonesia Pada Pemerintahan RI

0 10.000.000 20.000.000 30.000.000 40.000.000 50.000.000 60.000.000

1998 2001 2004 2007

Tahun

N

il

a

i

d

a

la

m

U

S

$

Sumber: Diolah dari Data BPS dan Direktorat Impor Deperdag RI. Gambar 10. Tren Nilai Impor Garam Tahun 1998-2007

Oleh karena garam industri menuntut kualitas yang sangat rigid maka produksi garam rakyat tidak mampu memenuhi standar kualitas industri.93Dengan demikian kebutuhan garam industri ini harus diimpor karena teknologi garam rakyat tidak mampu memproduksi garam industri yang berkualitas dengan standar yang ketat. Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 360/MPP/Kep/5/2004 ditentukan bahwa garam yang dapat diimpor oleh IT (Importir Terdaftar) Garam94 adalah garam yang digunakan untuk bahan

baku industri, yaitu: “sebagai bahan baku/penolong proses produksi bagi

keperluan sendiri tidak dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan, kecuali

praktek impor garam benar-benar sangat dirasakan menjadi ancaman serius bagi sektor garam rakyat.

93AT. Wawancara tanggal 14 Februari 2008. Sebagai contoh ditegaskan, bahwa industri instant nooddle (mie instan) yang memproduksi sekitar 15 milyar bungkus per tahun misalnya, sangat membutuhkan garam beriodium yang betul-betul berkualitas istimewa yang memiliki purity

sekitar 98%. Jika menggunakan garam lokal yang masih banyak mengandung magnesium dan unsur kotoran lain yang menyebabkan produk mie tidak tahan lama akan rusak.

94 IT garam adalah perusahaan pemilik Angka Pengenal Impor (API) yang disetujui untuk

mengimpor garam yang akan digunakan untuk kebutuhan industri dan atau untuk kebutuhan konsumsi masyarakat. Lihat Pasal 1 KEPMEN No. 360/MPP/Kep/5/2004.


(6)

garam sebagai bahan baku/penolong proses produksi industri iodisasi dan industri lain yang tidak mampu mengimpor sendiri dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan oleh industri garam iodisasi yang telah mendapat penunjukkan

IT Garam”.95Garam industri yang diimpor dapat mencakup:

1. Garam tambang tidak diproses baik yang berupa padatan atau larutan air, yang antara lain mencakup garam yang mengandung natrium klorida paling sedikit 94,7% dihitung dari basis kering dalam kemasan dengan berat bersih 50 kg atau lebih.

2. Jenis garam yang mengandung natrium klorida paling sedikit 96%, yang berupa garam murni.

Oleh karena tidak semua pengusaha industri garam mampu melakukan impor sendiri terhadap bahan baku yang dibutuhkan, maka perusahaan industri itu (baik industri iodisasi maupun jenis industri lainnya) dapat membeli dari industri iodisasi yang memiliki hak sebagai importir. Dalam hal ini, industri yang tidak memiliki hak impor itu tidak boleh memperjualbelikan atau memindahtangankan garam yang diperolehnya dari importir garam industri tersebut kepada siapapun. Selain itu garam impor juga dapat mencakup garam yang digunakan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat atau yang disebut garam meja yang dapat diperjualbelikan atau dapat dipindahtangankan.96

Menurut peraturan, perusahaan yang ingin mendapat penunjukan dari pemerintah sebagai IT Garam wajib memenuhi perolehan garam 50% garam yang berasal dari petani garam/produsen garam bahan baku lokal. Hal ini merupakan bentuk proteksi pemerintah terhadap garam rakyat. Pelibatan 50% garam rakyat dalam proses garam industri ini diawasi relatif ketat oleh pemerintah dan bahkan juga asosiasi-asosiasi petani garam, sehingga membuat para pengusaha garam industri sangat hati-hati.97 Dapat juga garam dalam negeri itu diperoleh dari hasil kerjasama dengan petani garam lokal. Namun demikian, kekecualian diberlakukan

95 Lihat Pasal 2 KEPMEN No. 360/MPP/Kep/5/2004. 96Lihat Pasal 2 KEPMEN No. 360/MPP/Kep/5/2004.

97Lc. (Direktur PT. Grd), Wawancara tanggal 20 Februari 2008. Sebagai importir garam ia selalu

mentaati ketentuan penyertaan pembelian garam rakyat sebesar 50 % yang dibeli di beberapa daerah sentra garam antara lain Jawa Timur, Madura dan Gresik, dan pernah juga Jawa Tengah dan Jawa Barat (Cirebon). Dalam hal ini data tertulis lengkap secara periodik disampaikan sebagai laporan pada Departemen Perindustrian & Departemen Perdagangan RI.