Globalisasi Ekonomi KAJIAN TEORITIK

Di dalam kerangka penelitian yang menggunakan perspektif historis, perlu dibuat perbedaan antara konsep globalisasi sebagai konsep ataupun alat analisis dan globalisasi sebagai sebuah kenyataan empiris yang sekarang ini sedang terjadi. Globalisasi sebagai sebuah alat analisis mengacu kepada kerangka-kerangka analitis untuk mengkaji fenomena tertentu dalam penelitian sejarah. Sebagai sebuah alat analitis, konsep globalisasi juga dapat digunakan untuk melakukan interpretasi terhadap perkembangan sejarah dunia secara luas. Malcolm Waters membedakan dua level dalam pengertian globalisasi. Pada level formal formal level, ia mendefinisikan globalisasi dalam konteks proses sosial sebagai konsep spatio- temporal, yaitu penghapusan kendala-kendala geografis atas semua jenis pengaturan dan pertukaran sosial politik. Pada tingkat isi content level, globalisasi dikaitkan dengan modernitas dan diproyeksikan sebagai sebuah perkembangan linier yang telah terjadi sejak abad ke-15. Proses ini mengandaikan terealisasinya hasil yang ideal mengenai sebuah dunia yang terglobalisasi Waters, 1995. Penelitian historis biasanya lebih tertarik untuk menganalisis dampak globalisasi terhadap kehidupan masyarakat, baik masyarakat secara global maupun masyarakat pada daerah atau kawasan tertentu. Dalam hal ini perlu digambarkan bagaimana kemungkinan globalisasi dapat menimbulkan dampak tertentu terhadap kehidupan masyarakat baik di bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan. Mencermati konsep global pada dasarnya tidak terlepas dari upaya sistemik yang dikonstruksi oleh kekuatan Barat dan mengandung substansi ideologi kapitalisme yang komprehensif, tetapi yang dominan adalah aspek ekonomi. Ideologi kapitalisme ini dikembangkan ke seluruh pelosok dunia dengan memakai senjata modal untuk mengintegrasikan ekonomi bangsa-bangsa dalam kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa kekuatan modal yang terintegrasi itu akan dapat memaksa penerapan format ekonomi swasta ke dalam struktur perekonomian dunia, serta menjadikan ekspor setiap negara ditujukan untuk pasar dunia selain untuk pasar regional Al-Khatib, 2000:16. Dengan demikian dalam hal ini globalisasi dapat dipandang sebagai alat dan media bagi negara-negara kapitalis untuk melanggengkan dominasi mereka atas negara-negara berkembang. Globalisasi dapat dilihat sebagai kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Dalam konstelasi dunia yang terglobalisasi itu, negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan dan mendominasi perekonomian dunia. Sebaliknya, negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing dengan negara-negara kapitalis yang memiliki modal besar. Pada akhirnya, proses globalisasi ini hanya akan memungkinkan negara-negara maju mendominasi dan menguasai perekonomian dunia. Namun demikian ekonom neoliberal memiliki pandangan lain, bahwa globalisasi merupakan media strategis untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Tampaknya pandangan itu berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya masing- masing. 16 Dalam konteks tersebut, terdapat keyakinan bahwa salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama antarnegara dalam proses globalisasi ini adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Memang di satu sisi, kebijakan semacam itu dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal semacam itu akan meningkatkan inefisiensi sebab kemungkinan masyarakat suatu negara dapat menikmati harga barang impor yang mungkin lebih murah dan berkualitas daripada barang produksi dalam negeri yang kualitasnya lebih rendah namun harganya lebih mahal. Oleh sebab itu para ekonom neoliberal tidak setuju adanya proteksi dan larangan dalam perdagangan antarnegara. Mereka menginginkan diterapkannya kebijakan perdagangan dan persaingan bebas sehingga harga barang-barang secara alamiah akan lebih murah dan dapat ditekan. Hal itu akan memprekondisikan meningkatnya permintaan demand. Permintaan terhadap komoditas dagang yang meningkat akan mendorong berkembangnya perdagangan dan produksi barang yang pada gilirannya juga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat. 16 Lihat Ray J. Ruffin. “David Ricardo’s Discovery of Comparative Adavantage’, dalam http:www.uh.edu~rruffinRicardo’s20Discovery.pdf . Dikunjungi tanggal 30 Mei 2008. Dalam hubungan itu perlu ditegaskan bahwa esensi globalisasi ekonomi menyangkut suatu proses dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa globalisasi ekonomi mensyaratkan adanya penghapusan seluruh batasan, hambatan, apalagi larangan terhadap arus modal, barang dan jasa. Dengan demikian ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Di satu pihak, globalisasi ekonomi akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, tetapi di pihak lain globalisasi ekonomi juga membuka peluang yang sangat lebar bagi masuknya produk-produk luar negeri ke dalam pasar dalam negeri. Globalisasi ekonomi tidak hanya dapat mencakup globalisasi dalam distribusi komoditas perdagangan tetapi juga mencakup aspek-aspek perekonomian yang lain, seperti aspek produksi, pembiayaan, tenaga kerja, dan jaringan informasi. Dalam situasi seperti itu menjadi jelas, bahwa siapa yang mampu mencapai efisiensi dalam produksi terbuka peluang untuk terus berkembang, sebaliknya yang inefisien akan gulung tikar. Dengan demikian ekonom neoliberal seperti halnya David Ricardo meyakini bahwa dengan adanya globalisasi ekonomi maka produksi global dapat ditingkatkan. Ia mengungkapkan tentang teori comparative advantages atau keuntungankeunggulan komparatif. Keuntungan dapat dicapai melalui spesialisasi produksi dan perdagangan sehingga efisiensi dapat dioptimalkan. Optimalisasi produksi yang diiringi dengan efisiensi pembiayaan ini akan meningkatkan output dunia sehingga pada gilirannya masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan itu dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan purchasing power daya beli dan saving tabungan masyarakat. Selain itu juga yakin bahwa globalisasi ekonomi akan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara, meluaskan pasar untuk produk dalam negeri, meningkatkan kesempatan untuk dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik, dan peningkatan penyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi. Sebaliknya fenomena di lapangan juga menunjukkan potret buram dampak buruk dari globalisasi ekonomi sebagai baju lain dari kapitalisme dunia terutama bagi negara-negara yang baru berkembang apalagi negara-negara terbelakang. Dalam konteks itu, perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas telah menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tinggi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang infant industry. Dengan demikian, sistem perdagangan bebas sebagai buntut dari globalisasi telah menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Bahkan negara-negara yang baru berkembang dan negara-negara terbelakang semakin tergantung kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional yang lebih efisien dan berkualitas. Akhirnya negara-negara yang sudah maju akan terus menancapkan dominasinya terhadap negara-negara yang baru berkembang dan negara-negara terbelakang sehingga terciptalah ketimpangan yang semakin mendalam sebagaimana yang telah terjadi di Amerika Latin Robinson, 2003: 62. Perkembangan kapitalisme dunia menurut Lombart sangat terkait dengan semangat yang terkadung dalam kapitalisme itu sendiri di mana semangat kepitalisme selain dibentuk atas keinginan untuk mendapatkan emas simbol kekayaan, keinginan berpetualang, dan kesenangan melakukan eksplorasi. Juga karena dilandasi semangat borjuis yang mengedepankan perhitungan dan ekonomi yang rasional. Dalam hal ini rasional mencakup sikap kognitif yang relatif bebas dari emosi, dan lebih menggunakan logika dan mengorganisasi buah pikiran dari pada simbolisme emosional, maka kondisi itu memunculkan sekularisme yang kemudian menjadi bagian yang integral dari kapitalis. Sekularisme lebih mendasarkan pada pola materialistik dan oleh karenanya hanya memusatkan pemikirannya pada aspek materi saja, sehingga cenderung memalingkan muka dari aspek agama O’dea, 1985: 165. Dengan demikian globalisasi ekonomi dalam hal ini dapat dimaknai sebagai proses pengembangan suatu sistem tata kehidupan dunia yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara dan sistem itu dikonstruksi oleh Barat bagi tumbuh kembangnya sistem ekonomi kapitalis. Oleh karena itu globalisasi ini dapat dipahami juga dalam konteks perspektif sistem dunia the world-system perspective atau sering juga disebut sebagai sistem ekonomi- kapitalis dunia the world capitalist-economy. Sistem itu pada dasarnya berupa satu jaringan ekonomi yang utuh, yang terdiri dari berbagai macam struktur produksi, yang terintegrasi dari berbagai wilayah yang tidak sederajat tahap perkembangannya serta terbagi dalam berbagai wilayah politik dan kekuasaan yang berbeda-beda Giddens dan Turner Ed., 1987. Ditengah semakin mengguritanya sistem ekonomi kapitalis yang telah mengglobal itu, ternyata ditengarai bahwa sistem tersebut tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada sebagian besar umat manusia bahkan sebaliknya melalui penetrasi dan eksploitasi justru menyengsarakan seperti tercermin dari banyak negara yang mengalami keterbelakangan baik secara sosial, ekonomi maupun politik Culley, 1977. The world capitalist-economy sejak tahun 1970-an hingga dewasa ini banyak mendapat kritik dari ahli sosiologi ekonomi, karena dipandang tidak mampu mensejahterakan umat manusia secara adil dibanyak negara di dunia bahkan justru menciptakan keterbelakangan dan ketergantungan. Hal itu antara lain tercermin dari tumbuh kembangnya teori-teori ketergantungan yang sebagian besar bersumber dari aliran Marxis, neo Marxis atau lebih populer disebut aliran Marxian. Dalam hal ini yang cukup berpengaruh dalam pengembangan teori ketergantungan masa kini, yaitu Paul Baran, Paul Sweezy dan Andre Gunder Frank. Dalam kaitannya dengan hal itu dapat dikatakan, bahwa teori-teori ketergantungan paling banyak mengadopsi konsep neo-Marxis mengenai sifat- sifat “berkembang” dan “terbelakang” khususnya pada konsep mengenai interdependensi dari ekonomi kapitalime dunia. Juga pada proposisi bahwa kemajuan dan keterbelakangan adalah bagian dari aspek-aspek interdependensi sistem global yang notabene adalah kapitalisme Culley, 1977. Dalam konteks keterbelakangan dan ketergantungan ini dimunculkan konsep tentang “surplus ekonomi” sebagai dasar berkembangnya sistem The world capitalist-economy . Kaum Marxian sangat meyakini, bahwa perkembangan The world capitalist-economy ditumpukan pada adanya proses akumulasi surplus ekonomi yang terbagi secara tidak merata dan cenderung terakumulasi pada pihak pemilik kapitalmodal dan yang mampu memperoleh monopoli jaringan pemasaran, sedangkan pihak lain yang tidak bermodal dan tidak mampu memperoleh monopoli jaringan pemasaran cenderung mengalami proses keterbelaknganmarginalisasi. Bagi Frank, kondisi keterbelakangan merupakan produk historis hubungan negara miskin dengan negara maju. Kontradiksi lainnya adalah polarisasi hubungan satelit-metropolis merupakan sebab langsung keterbelakangan karena hubungan itu menyebabkan terbangunnya mekanisme pengambilan surplus oleh negara pusat dari negara satelit. Kontradiksi terakhir adalah bahwa struktur ekonomi negara maju melalui ekspansi di seluruh waktu dan tempat Culley, 1977. Selain itu dalam kapitalisme kontemporer justru menunjukkan beroperasinya “kapitalisme yang monopolistik” sebagai lawan kompetitif. Konsep tentang kapitalisme yang monopolistik adalah sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari korporasi “perusahaan raksasa” yang mendunia. Korporasi perusahaan raksasa dewasa ini dipandang sebagai mesin untuk memaksimalkan keuntungan dan mengakumulasikan modal minimal Baran dan Sweezy, 1970. Tampaknya perbedaan besar antara kompetitif dan kapitalisme monopoli adalah bahwa korporasi raksasa telah menempuh ruang waktu yang panjang melalui kapitalisme individual dan penghitungan yang lebih rasional, keduanya berkaitan dengan skala yang lebih luas dari bekerjanya korporasi. Kedua kunci ini menciptakan karakteristik sikap dan model-model perilaku budaya tertentu, yang merupakan sesuatu yang penting dari penghindaran sistemik dari resiko dan suatu sikap hidup dan tantangan hidup. Dengan demikian tampak jelas, bahwa kemajuan ekonomi kapitalis dunia didominasi oleh korporasi raksasa yang pada dasarnya monopolistik.

2.6. Kerangka Pemikiran

Fokus penelitian ini adalah marjinalisasi petani garam dan ekspansi ekonomi global, dan untuk itu dalam penelitian ini digunakan kerangka pemikiran Marx tentang formasi sosial kapitalis. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa marjinalisasi merupakan suatu kondisi yang terkonstruksi melalui proses panjang dan kompleks dari beroperasinya beberapa moda produksi yang didominasi oleh moda produksi kapitalis. Konsep moda produksi bermula dari Marx ketika mengidentifikasi unsur utama dari suatu tahap tertentu dari sejarah produksi dengan memperlihatkan bagaimana bentuk dasar ekonominya dan saling hubungan sosialnya. Dalam analisis teoritik Marx, moda produksi kapitalis dapat tumbuh dan berkembang di Eropa seiring dengan revolusi industri dan penemuan- penemuan teknologi yang berimbas pada terjadinya kemajuan yang pesat dalam proses produksi. Dalam konteks ini terbangun berbagai jenis tatanan struktural sebagai produk dari sistem kapitalisme. Melalui sistem kapitalisme itu sejumlah kecil kapitalis pemilik kapitalmodal menguasai proses produksi, produk dan curahan tenaga kerja dari orang-orang yang bekerja untuk mereka. Terkait dengan itu adalah teori Marx tentang nilai tenaga kerja yang mendasarkan hipotesisnya, bahwa tenaga kerja merupakan sumber dari seluruh kekayaan kapitalis atau pemilik modal. Dalam hal ini kapitalis memiliki kecenderungan untuk memberi nilai atau upah atas hasil kerja tenaga kerja kurang dari yang selayaknya mereka terima. Nilai surplus yang mestinya menjadi hak tenaga kerja inilah yang justru dinikmati kapitalis untuk kemudian diinvestasikan kembali oleh kapitalis dan merupakan basis dari seluruh sistem kapitalis Ritzer, 1996; Marx dalam BoudonCherkaoui, 2000: 252-258; Taylor, 1989: 143-149. Dengan demikian pada dasarnya sistem kapitalisme itu tumbuh melalui tingkatan eksploitasi oleh kapitalis terhadap orang-orang yang melakukan produksi secara langsung tenaga kerja yang terus menerus meningkat dan dengan menginvestasikan surplus untuk mengembangkan sistem kapitalisme itu sendiri Sementara itu pada masyarakat kontemporer khususnya di negara-negara berkembang menunjukkan kecenderungan hadirnya lebih dari satu moda produksi yang saling kait-mengkait dan moda produksi kapitalis mendominasi moda produksi non kapitalis. Oleh Taylor 1989 kondisi tersebut tidak terlepas dengan gelombong modernisasi yang dilancarkan negara-negara maju terhadap negara berkembang di dunia ketiga. Dalam hal ini Russel 1989 yang mengembangkan pemikiran Marx tentang moda produksi mengemukakan, bahwa moda produksi mode of production di dalamnya mencakup dua elemen penting yang saling terkait, yaitu kekuatan produksi forces of production dan hubungan produksi relation of production. Pada komunitas petani garam juga tampak fenomena