Ikhtisar LATAR HISTORIS PERKEMBANGAN PENGUSAHAAN

Pada periode prakolonial ketika kawasan pantai Rembang masih berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional seperti kerajaan Mataram Islam dan Majapahit, pengusahaan garam sudah berkembang. Komoditi garam bukan hanya menjadi barang yang dikonsumsi sendiri oleh para pembuatnya tetapi juga menjadi komoditi yang diperdagangkan baik di kalangan masyarakat Jawa sendiri maupun dengan masyarakat di seberang laut, karena pada waktu itu Majapahit sudah merupakan kerajaan yang mengembangkan perdagangan laut di Nusantara. Selain itu komoditi garam juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan kelompok elite untuk kepentingan-kepentingan lain, misalnya upacara-upacara keagamaan. Namun demikian bagi petani garam, nilai strategis komoditas ini cenderung lebih menjadi “bencana” daripada “berkah”, karena nilai strategis itu justru mengundang para bangsawan dan penguasa melakukan kontrol yang ketat atas produksi dan perdagangan garam, apalagi dalam sistem pemerintahan tradisional berlaku konsep, bahwa tanah menjadi hak milik mutlak rajapenguasa. Oleh karena itu dalam konteks pengusahaan garam masa tradisional, petani garam menempati posisi marjinal terutama dari segi lahan, tidak memiliki hak dan hanya menjadi penggarap yang harus menyerahkan sebagian hasil produknya itu pada penguasa. Perubahan penguasaan garam di kawasan pantai Rembang dari kerajaan Mataram ke VOC pada tahun 17453 membuat posisi petani garam menjadi bertambah sulit. Oleh karena keterbatasan jumlah sumber daya manusia, VOC tidak menggarap sendiri lahan-lahan garam yang ada di kawasan pantai Rembang. VOC tidak langsung berhubungan dengan petani garam, tetapi melalui pejabat pribumi, yaitu bupati. VOC meminta penyerahan wajib yang berupa garam dengan jumlah tertentu dan selanjutnya bupati dan perangkat birokrasinya yang mengatur sistem ini. Selain itu VOC juga mengembangkan sistem sewa. Siapa yang mampu membayar mahal kepada VOC akan berhak untuk mengusahakan dan mengelola lahan-lahan garam tersebut. Pada umumnya orang Cina-lah yang memanfaatkan kesempatan ini sebagai penyewa atau pachter. Sementara itu posisi petani penggarap justru semakin tereksploitasi dan marjinal, tidak hanya dari segi penguasaan lahan, tetapi juga modal dan akses pasar. Hal ini terjadi karena petani cenderung hanya menjadi tenaga kerja dari pengusahaan garam yang dikendalikan secara langsung oleh para pemodal. Sejak masa kolonialisme Inggris 1811-1816 sistem penyerahan wajib dan sistem sewa dihapuskan dan menempatkan industri garam di bawah penguasaan perusahaan negara. Setelah kekuasaan atas koloni Indonesia dikembalikan kepada Belanda tahun 1816, kebijakan penguasaan negara atas sektor pergaraman dilanjutkan. Bahkan pada tahun 1882 pemerintah kolonial melakukan monopoli terhadap sektor pergaraman baik dari segi lahan, produksi, maupun distribusi. Dengan demikian posisi petani masih tetap marjinal dan berada dalam belenggu sistem monopoli dan birokrasi pemerintah kolonial. Setelah periode kemerdekaan, pemerintah RI ternyata tidak mampu lagi menegakkan sistem monopoli garam yang telah diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selama satu dekade setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945, sistem monopoli negara digerogoti oleh praktek permainan para pelaku pasar yang akhirnya justru membuat harga garam tidak stabil dan merugikan banyak pihak. Selain itu pada periode tersebut arus pemikiran ekonomi politik liberal juga mendominasi kehidupan kenegaraan RI. Oleh karena itu dengan kedua alasan itu, pemerintah RI kemudian menghapuskan sistem monopoli garam pada tahun 1956. Hal itu merupakan tonggak mulainya proses liberalisasi bisnis garam hingga saat ini. Namun demikian proses liberalisasi sektor pergaraman ini lebih banyak memberikan peluang kepada para pemodal untuk melakukan penguasaan atas bisnis garam tersebut. Dengan demikian meskipun telah terjadi perubahan sistem pengusahaan garam, tetapi posisi petani garam masih tetap marjinal dan bahkan semakin marjinal baik segi penguasaan lahan, modal, teknologi maupun akses pasar dalam suasana ekspansi ekonomi kapitalistik dari dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ini dapat dikemukakan, bahwa perkembangan pengusahaan garam sejak jaman pra kolonial hingga Indonesia kontemporer menunjukkan dinamika dan perubahan-perubahan penting terutama pada tingkat struktur pelaku atau ”pemain” pada komoditi garam sebagaimana tampak pada matrik tabel 6 berikut. Tabel 6. Struktur ”Pemain” Pada Komoditi Garam Periode Pemain Pola Hubungan Posisi Petani Pra Kolonial - Penguasa Raja Bangsawan - Petani Patron-Client Produsen dg penyerahan wajib sebagian dr produknya VOC - VOCPenguasa Pribumi - Pemborong PajakPachter - Petani Manipulasi Patron-Client Produsen dlm kontrol dan pengelolaan pachter Kolonial - Pemerintah KolonialDinas Pergaraman - Perusahaan Industri Garam - Pedagang - Petani - Buruh Industrial Monopolistik oleh Pemerintah Produsen Buruh dlm kontrol dan pengelolaan pemerintah Indonesia Kontemporer - Pemerintah Perindustrian Perdagangan - Pengusaha - Pabrikan - Pedagang - Petani Kecil, Menengah-Besar - Buruh Perombong, Pengolok, Pengangkutan dan Mandor Kapitalis Monopolistik Produsen Buruh dlm kekuasaan dan dominasi kekuatan kapitalis

BAB V EKSPANSI EKONOMI GLOBAL PADA KOMODITI GARAM

5.1. Perkembangan Globalisasi Ekonomi di Indonesia

Dalam pandangan umum, globalisasi merupakan fenomena abad ke-20 dan milenium ke-3 ini. Hal itu dihubungkan dengan perkembangan yang pesat perdagangan internasional berserta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi. Padahal sesungguhnya interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri secara historis, benih-benih globalisasi telah berkembang sejak sebelum abad Masehi ketika perdagangan lintas benua antara Romawi dan Cina melalui jalan darat jalan sutera berkembang dengan pesat. 52 Pada permulaan abad Masehi, perdagangan lintas benua ini mengalami kehancuran karena ketidak-amanan di sepanjang rute dagang sebagai akibat dari konflik dan peperangan antar etnik. Setelah itu, jalur perdagangan internasional berpindah melalui laut sehingga terkenal dengan sebutan jalan sutera lewat laut maritime silk road. Perdagangan laut ini sangat berkembang terutama antara India dan Cina yang melibatkan banyak bangsa yang berada di antara jalur laut antara Timur Tengah dan Cina. Dalam konteks inilah orang-orang Nusantara bangsa Indonesia mulai terlibat dalam perdagangan internasional yang jangkauannya mencakup kawasan dari Eropa Romawi hingga Jepang dan Korea. 52 Sebelum penemuan Selat Malaka pada abad ke-5 Masehi, perdagangan antara Barat dan Timur melalui rute laut rute rempah-rempah para pedagang dari Mesir, Romawi, Arab, India harus singgah dulu di Kedah karena arah angin dari Samudera Hindia sebelum mencapai Guangzhou di Cina. Kapal-kapal datang di Kedah antara bulan Juni - November dan kembali antara bulan Desember hingga Mei. Pelabuhan Kedah memiliki posisi yang penting sebagai penyedia jasa akomodasi, buruh, gajah, dan sebagainya untuk pengangkutan darat menuju ke Teluk Thailand melalui Tanah Genting Kra. Kapal-kapal yang datang dari Cina belabuh di pantai timur Semenanjung Malaya khususnya di Kelantan dan Pattani. Kedah dan Funan saat ini bernama Oc- eo merupakan pelabuhan penting pada periode Pre-Straits of Malacca, hingga abad ke-6 Masehi, ketika rute baru lewat laut ditemukan yaitu melalui Selat Malaka. Lihat Sulistiyono. 2006. “Southeast Asian Maritime Silkroad and Trade Activities: Patterns of Trade around the Strait of Malacca before the Coming of Europeans”, makalah dipresentasikan pada International Symposium on ‘The 14 th Century Asian Overseas Trades and the Excavated Cultural Heritage of the Shinan Underwater Site Mok-Po: Korea National Maritime Museum, 17-19 November 2006. Juga Frank. 1998. Re Orient: Global Economy in the Asian Age. Barkeley: University of California Press. Kepulauan Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat strategis yaitu terletak dalam jalur perdagangan internasional lewat laut antara dua negara adidaya pada waktu itu, yaitu India dan Cina. Orang-orang Indonesia pada waktu itu dapat memanfaatkan potensi ini untuk melibatkan diri secara aktif dalam perdagangan internasional. Hal itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kepulauan Indonesia juga mampu menghasilkan berbagai komoditi yang sangat diminati dalam perdagangan internasional, seperti lada, cengkih, pala, kayu cendana, beras, kain, dan lain-lain. Berbagai bangsa dan kelompok etnik terlibat dalam perdagangan internasional itu, seperti Arab, India, Iran, Turki, Cina, Champa, Jawa, Melayu, Ambon, Ternate, Bugis, Makassar, Banjar, dan sebagainya. Pada masa itu India dan Cina merupakan dua negara adidaya yang mampu mendorong perkembangan perdagangan global. Kedua negara itu menjalin hubungan perdagangan yang erat yang pada gilirannya juga melibatkan negara- negara di sekitarnya termasuk kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara. Rempah-rempah lada, cengkeh, pala dari Maluku, Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan Semenanjung Melayu, merupakan komoditi yang sangat diminati banyak pihak para pedagang asing. Kayu cendana dari Nusa Tenggara dan kapur barus dari Sumatra serta kemenyan yang banyak didapat di hutan-hutan di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi sangat diminati para pedagang dari India dan Cina untuk kepentingan upacara-upacara keagamaan. Sebaliknya, komoditi dagang dari negeri Cina juga diminati oleh masyarakat Nusantara seperti porselin dan kain sutera. Sementara itu para pedagang dari India memperdagangkan kain mori yang juga berkualitas bagus. Dengan demikian telah ada spesialisasi dalam produksi sehingga mendorong proses perdagangan yang cukup ramai di jalur maritim antara India dan Cina Curtin.,1976: 109-127; Soeroto, 1961 : 11. Muncul dan berkembangnya kerajaan Sriwijaya di Sumatra sebagai kerajaan maritim berkaitan erat dengan perdagangan internasional antara India dan Cina dan perdagangan regional di antara daerah-daerah di Nusantara, antara daerah di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara dan antara daerah di Nusantara dengan Cina. Dengan kemampuan untuk mengelola aktivitas perdagangan yang berlalu-lalang di kawasan Nusantara bagian barat, pada puncak perkembangannya