Petani Garam KAJIAN TEORITIK

status dan peran masingmasing yang berbeda satu dan lainnya. Antara kelompok yang satu dengan lainnya saling berinteraksi dan berinterrelasi dalam pola-pola tertentu yang mengkonstruksi suatu struktur sosial. Dalam hal ini struktur sosial mengacu pada hubunganhubungan sosial yang secara fondamental memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batasbatas pada tindakan- tindakan yang mungkin dilakukan secara terorganisasi. Sudah barang tentu struktur sosial ini tidak bersifat permanen sepanjang jaman, tetapi bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan- perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini yang menjadi determinan dalam struktur sosial tidak semata-mata ekonomi sebagaimana dikemukakan Marx, tetapi juga ditentukan oleh status dan kekuasaan sebagaimana dikemukakan Weber. Artinya, pola- pola hubungan antar individu, antar kelompok-kelompok sosial ataupun kelas- kelas sosial selain ditentukan oleh faktor ekonomi kepemilikan dan penguasaan sumber ekonomi juga status sosial dan kekuasaan Roth Wittich, 1978: 941-958. Pada masa pra kolonial, produksi garam di Rembang berada di bawah kontrol penguasa lokal atau bupati pesisir dalam hal ini Lasem. Dalam konteks ini dapat dikemukakan, bahwa struktur masyarakat petani garam masih sangat sederhana, yaitu hanya terdapat dua kelompok sosial, penguasa dan kawulo petani garam. Pihak penguasa menggunakan struktur birokrasi untuk mengontrol produksi garam dan menarik sebagian hasil dari produksi garam sebagai pajak dalam bentuk uang maupun natura. Dengan menggunakan konsep tipologi birokrasi Weber, birokrasi dalam konteks itu lebih dapat dimaknai sebagai sistem otoritas yang bersifat tradisional dan karismatik dari pada sistem yang rasional-legal, karena dalam hal ini birokrasi identik dengan kekuasaan pribadi penguasa Collins, 1988. Kondisi dominasi penguasa atas petani garam itu didasarkan pada konsep yang berlaku pada jaman pra kolonial kerajaan, bahwa tanah adalah milik mutlak raja dan petani hanya berhak menggarap dengan konsekuensi menyerahkan sebagian hasilnya pada penguasa melalui jaringan birokrasi yang telah dibangun penguasa Rouffaer, 1931. Secara umum dapat dikemukakan, bahwa hubungan di antara petani garam dan penguasa dalam sistem tradisional itu berlangsung relatif baik saling menguntungkan, saling tergantung dan establis atau meminjam istilah Scott mencerminkan pola patron-client relationship Moertono, 1968. Pola hubungan penguasa-kawulo petani garam itu memang tampak sangat hierarkis dan meskipun secara ekonomi juga terkesan eksploitatif, relatif tidak ada resistensi secara terbuka yang dilakukan petani garam. Hal itu barangkali tidak dilakukannya sistem monopoli oleh penguasa, hanya semacam bagi hasil yang tidak melampaui batas subsistensi petani dan juga adanya sistem sosial dan kultural yang menyebabkan petani garam memiliki kepatuhan dan rasa bekti pada penguasa. Bangunan struktur sosial dalam masyarakat petani garam mengalami perubahan cukup signifikan setelah kedatangan kolonialisme di mana kontrol atas produksi garam diambil alih dan ditempatkan sebagai komoditas ekspor dalam sistem ekspansi global. Paling awal oleh VOC dan sesuai dengan tuntutan sistem ekonomi global efektivitas dan efisiensi, dalam sistem kekuasaan VOC inilah dimunculkan kelompok sosial baru pada masyarakat petani garam, yaitu kelompok pemborong pajak. Dengan demikian struktur masyarakat petani garam mengalami perubahan sejalan dengan ekspansi ekonomi global yang diusung oleh kolonial tersebut. Dalam bangunan struktur sosial yang baru ini, orang Belanda bertindak sebagai penguasa pemilik lahan garam, kelompok pemborong pajak pengolahan garam yang terdiri dari orangorang Cina, para pedagang dan tengkulak, serta para petani garam. Dari hal itu didapat gambaran jelas, bahwa ekspansi ekonomi global telah melahirkan diferensiasi sosial penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan modal yang semakin kompleks di kalangan petani garam. Pola-pola hubungan di antara kelompok-kelompok sosial itu cenderung bersifat asimetris di mana petani garam pada posisi paling rendah dan terbuka peluang untuk dieksploitasi oleh kelompok-kelompok sosial lain di atasnya. Selain itu dengan datangnya intervensi Belanda dalam produksi garam, tampak ekspansi ekonomi global mulai masuk dunia pertanian garam. Garam tidak hanya menjadi komoditas lokal, tetapi sudah menjadi komoditas global khususnya dikawasan Asia Tenggara Knaap, 1991: 127157. Dalam perkembangannya sistem sewa dan borong tersebut dipandang tidak memberikan keuntungan yang signifikan kepada pemerintah kolonial Belanda, namun sebaliknya justru memberikan keuntungan besar kepada para pemborong pajak garam yang terdiri dari orang-orang Cina. Selain itu sistem borong ini juga memberikan kesempatan yang luas bagi pemborong pachter untuk melakukan eksploitasi terhadap petani garam. Oleh sebab itu sistem borong ini pun akhirnya dihapuskan oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1813 dan setelah Belanda berkuasa lagi di Indonesia, maka pada tahun 1816 kebijakan ini juga diikutinya tetapi diganti dengan monopoli. Kebijakan ini tentu saja akan berdampak pada perubahan strukur sosial masyarakat petani garam, tapi tidak signifikan karena keberadaan kelompok pemborong pajak tetap ada, hanya beralih fungsi sebagai pedagang rekanan penguasa. Posisi petani garam juga tidak berubah, mereka terbebaskan dari cengkraman para pemborong pajak, namun kemudian jatuh berada di bawah kantrol ketat dari pemerintah kolonial Belanda melalui sistem politik ekonomi, monopoli. Berakhirnya pemerintah kolonial pada tahun 1945 juga menandai mulai surutnya monopoli garam oleh negara sampai akhirnya benarbenar tanpa monopoli pada tahun 1957 dengan dibubarkannya PN Garam. Namun demikian berakhirnya monopoli oleh negara, justru kekuatan kapitalmodal swasta semakin intensif melakukan ekspansi dalam produksi dan perdagangan garam. Produk garam tetap menjadi komoditas perdagangan, tapi cenderung berkutat di tingkat lokal, regional dan nasional, kurang berkemampuan untuk ikut berkompetisi di tingkat global seperti halnya pada masa kolonial. Dalam konteks bangunan struktur sosial, faktor kapitalmodal ekonomi yang lebih berpengaruh dan menentukan dalam komoditas garam di kabupaten Rembang, faktor ekonomi itu kemudian saling berpengaruh dengan faktor status dan kekuasaan. Ada beberapa kelompok sosial petani garam yang masing-masing mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mengakses sumber-sumber utama dalam produksi garam, sehingga melahirkan ketidak-samaan dalam banyak aspek. Kelompok-kelompok sosial petani garam di Rembang saat ini esensinya juga tidak jauh berbeda dengan masa kolonial hanya dalam istilah yang berbeda dan lebih kompleks, yaitu: 1. Petani buruh, yaitu petani garam yang tidak memiliki lahan, tapi semata-mata hanya menggarap atau menjual jasa tenaga kerja yang bekerja untuk membuat garam krosok pada para petani pemilik lahan. Dari kelompok ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu; a buruh perombong membuat garam yang bekerja untuk membuat garam dan mereka ini biasanya bekerja dalam kelompok-kelompok kecil 3-4 orang dengan sistem bagi hasil, b buruh pengolok membenahi petak-petak lahan dan saluran dengan sistem upah harian, c buruh angkut mengangkut garam dari lahan ke gubuggudang garam dengan sistem borong. Di luar ketiga kategori tersebut terdapat d buruh mandor, orang kepercayaan pemilik lahanmajikan dengan sistem pengupahan mingguan maupun bulanan. 2. Petani pemilik, yaitu petani garam pemilik lahan di mana mereka ini yang memiliki hak milik dan penguasaan atas lahan yang digunakan untuk memproduksi garam krosok. Kelompok ini dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu; a petani pemilik lahan sempitpetani kecil 1 ha mereka secara mandiri dan hanya dibantu oleh anggota keluarganya mengusahakan sendiri pembuatan garam, b petani lahan menengah-besar 1 ha mereka hanya mengusaihak milik lahan dan tidak mengusahakan sendiri dalam pembuatan garamdigarapkan pada buruh garap, tetapi mereka memiliki hak penuh atas penjualan hasil panen-menampung hasil dan menentukan harga. Namun demikian jika dicermati dari ke dua kelompok sosial itu tampak terdapat kecenderungan terjadinya polarisasi sosial, yaitu; pemiliki lahan kecil- menengah-besarmajikan dan buruh petani penggarapperombong, pengolok, kuli angkut, mandor . Selain itu di luar kedua kelompok sosial itu terdapat pemerintah, yang keberadaannya ikut mempengaruhi formasi struktur sosial petani garam. Diantara kelompokkelompok sosial petani garam itu terjadi hubunganhubungan yang saling terkait dalam konteks kultural, sosial utamanya ekonomi. Hubunganhubungan itu bersifat dinamis sepanjang waktu dan berkembang dalam situasi yang tidak equal. Artinya, terdapat ketidaksamaan akses terhadap sumbersumber produksi garam. Apabila berbicara tentang masyarakat petani garam tidak jauh berbeda dengan petani pada umumnya, yang terbersit dalam pemikiran adalah masyarakat miskin yang kehidupannya subsisten di mana hasil dari kegiatan produktifnya hanya dapat mereka peroleh secara pas-pasan sekedar untuk dapat bertahan hidup Scott, 1984. Potret kehidupan yang subsisten itu tidak salah, sejauh hal itu menunjuk pada kelompok sosial petani garam dalam kategori petani kecil dan buruh penggarapperombong, buruh harianpengolok, kuli angkut. Subsistensi kehidupan petani kecil dan buruh itu tentu terkait dengan struktur sosial yang terbangun di mana kelompok sosial itu ditempatkan pada posisi yang marjinal, karena keterbatasan bahkan ditutupnya akses terhadap sumber-sumber produksi garam dan pasar. Dalam konteks pemikiran Marx tentang masyarakat kapitalis, pada hakekatnya setiap manusia mempunyai potensi alamiah produktif untuk selalu bekerja bersama-sama dengan manusia lain sebagai makluk sosial. Namun demikian melalui perjalanan sejarah proses alamiah itu dihancurkan oleh berbagai jenis tatanan struktural yang diciptakan masyarakat utamanya dalam sistem kapitalisme. Dengan sistem kapitalisme itulah sejumlah kecil kapitalis pemilik kapitalmodal menguasai proses produksi, produk dan curahan tenaga kerja dari orang-orang yang bekerja untuk mereka. Terkait dengan itu adalah teori Marx tentang nilai tenaga kerja yang mendasarkan hipotesisnya, bahwa tenaga kerja adalah merupakan sumber dari seluruh kekayaan kapitalis atau pemilik modal. Dalam hal ini kapitalis memiliki kecenderungan untuk memberi nilai atau upah atas hasil kerja tenaga kerja kurang dari yang selayaknya mereka terima. Nilai surplus yang mestinya menjadi hak tenaga kerja inilah yang justru dinikmati kapitalis untuk kemudian diinvestasikan kembali oleh kapitalis dan merupakan basis dari seluruh sistem kapitalis Ritzer, 1996. Juga Marx dalam BoudonCherkaoui, 2000: 252-258. Dengan demikian pada dasarnya sistem kapitalisme itu tumbuh melalui tingkatan eksploitasi oleh kapitalis terhadap orang-orang yang melakukan produksi secara langsung tenaga kerja yang terus menerus meningkat dan dengan menginvestasikan surplus untuk mengembangkan sistem kapitalisme itu sendiri. Oleh karena itu proses marjinalisasi petani garam sehingga selalu dalam kehidupan yang subsisten dapat dipahami sebagai dampak dari jeratan sistem kapitalisme. Kelompok sosial lain di atasnya, yaitu petani besar pemilik lahan luas, pedagang bakul, tengkulak, makelar, pengumpulagen dan produsen formal sepanjang perjalanan sejarah meskipun dengan istilah yang tidak selalu sama, mempunyai kecenderungan mengeksploitasi petani kecil dan buruh dengan menikmati surplus dari apa yang telah mereka lakukan. Demikian juga penguasa sebagai pemegang otoritas politik lebih cenderung berpihak pada pelaku ekonomi di luar petani garam utamanya yang bergerak di jalur pemasaran garam baik pada aras lokal maupun supra lokal. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan adanya kebijakan monopoli dan kemudian liberalisasi komoditas garam. Persoalannya adalah mengapa petani garam dewasa ini pada umumnya kurang menunjukkan adanya resistensi terbuka, frontal dalam suatu gerakan yang terorganisasi terhadap kelompok sosial lain itu pedagang, pengepulagen dan produsen formal sebagai kapitalis lokal, juga kapitalis pada aras supra lokal, global dan penguasa yang memarjinalkan mereka ?. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, terdapat kelompok sosial dominan yang menguasai economic resources di sektor garam dan secara struktural menutup akses dan equitas petani kecil dan buruh terhadap economic resources itu, sehingga tidak memiliki kekuatan sebagai senjata untuk melakukan perlawanan secara terbuka dan frontal. Sebagaimana temuan Scott 1985 di desa “Sedaka” dan “Dataran Muda” Malasyia, bahwa kaum proletar mean of productioness pedesaan karena tidak memiliki sumberdaya, maka salah satu tipikal perlawanan sehari-hari yang biasa mereka lakukan adalah menghindarkan konfrontasi yang masif dan menantang serta cenderung melakukan penghindaran maupun penyamaran yang sama masifnya. Perlawanan itu terkait dengan penetrasi sistem kapitalisme di pedesaan yang menyebabkan terjadinya proletarisasi dan marjinalisasi kaum tani miskin pedesaan. Kedua , petani garam petani kecil dan buruh secara struktural hanya diposisikan sebagai produsen dan cenderung tidak punya akses pada pasar, sehingga tidak dapat ikut menikmati “surplus ekonomi” dari produknya bahkan mengalami keterasingan alienasi atas mean of production sehingga tidak mampu membangun organisasi dan jaringannya, maka sulit terjadi sebuah gerakan sosial petani garam. Dalam pandangan Marx, revolusi sosial dapat terjadi jika muncul dan berkembang kesadaran kelas class consciousness yang terbangun dari sebuah ideologi dan kemudian memicu terjadinya kontradiksi diantara kelas dominan yang menguasai economic resources dan kelas proletar yang dieksploitasi. Dengan kesadaran kelas itu kaum proletar dapat dibangun jaringan dan diorganisasi serta dimobilisasi untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan maupun revolusi sosial Marx dalam BoudonCherkaoui, 2000: 252-258. Ketiga, secara politik petani garam seperti halnya petani di pedesaan Jawa pada umumnya pernah menjalani proses politik yang traumatik di mana selama pemerintahan orde baru telah berhasil melakukan proses deideologisasi dan depolitisasi terhadap kaum tani, sehingga kaum tani menjadi suatu massa yang apolitis. Oleh karena ideologi sebagai “framework of conciouness” sudah dijauhkan dari kehidupan kaum tani, maka dengan sendirinya meskipun terjadi banyak perampasan terhadap hak-hak kaum tani bahkan eksploitasi mereka relatif diam dan tidak berani menunjukkan perlawanan secara terbuka. Jadi proses deideologisasi dan depolitisasi terhadap kaum tani telah mengurangi ketajaman kesadaran mereka akan eksploitasi yang menimpanya dan dalam kondisi seperti ini sulit terjadi timbulnya sebuah perlawanan yang terbuka dan frontal. Dalam pandangan Scott 1983 revolusi petani akan meletus apabila tindakan kaum tuan tanah dalam mengeksploitasi petani telah melampaui batas subsistensi petani. Namun demikian terdapat juga berbagai respon yang umum dilakukan petani miskin pedesaan pada saat menghadapi masa-masa sulit krisis sebagai strategi adaptasi. Dalam hal ini Scott 1984: 39-40 mengidentifikasi dalam tiga bentuk. Pertama , mengurangi konsumsi secara kuantitas dan kualitas mengetatkan ikat pinggang. Kedua, melakukan alternatif subsistensi, yaitu swadaya yang mencakup berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai buruh lepas dan aneka kerja sampingan lainnya. Ketiga, memanfaatkan jaringan dan ikatan sosial yang dimilikinya keluarga, tetangga, patron, dll.. Tampaknya temuan Scott itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan petani garam di Madura ketika menghadapi situasi kritis di mana mereka memiliki beberapa strategi sebagai mekanisme survival. Di Madura petani garam dalam menghadapi masa krisis, pada tahap awal menempuh cara dengan mengandalkan kekuatan dalam diri keluarga yaitu mencari pekerjaan sampingan dilakukan kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya dan memperketat konsumsi. Bila strategi mandiri itu tidak berhasil, maka strategi berikutnya adalah ketergantungan pada kelompok yang lebih besar: mengadakan transaksi hutang piutang dengan kerabat, majikan,tetangga atau pada rentenir. Cara terakhir adalah menggadaikan barang atau bahkan menjual barang-barang yang dimilikinya Suyanto, 1996: 40-48. Sementara itu bagi kelompok pengumpulagenpedagang, masa krisis merupakan momentum yang tepat menebar “bantuan” pada petani sebagai patron, meskipun sebenarnya merupakan “jeratan” agar garam yang akan dihasilkan dijual kepada mereka dengan harga yang dapat “dipermainkan”. Hal itu dapat dipahami dari pemikiran Weber tentang tindakan ekonomi yang bermakna subyektif. Menurut Weber tindakan ekonomi tidak semata-mata dapat dipahami dari dimensi ekonomi, tetapi ada hal-hal esensial yang bersifat non ekonomi dan utamanya sangat terkait dengan hubungan-hubungan sosial Roth Wittich, 1978: 63-71. Pemikiran itu mengilhami Granovetter yang mengembangkan konsep oversosialization dari Wrong 1961 dan embeddedness Polanyi di mana tindakan ekonomi manusia terkait dan dalam keterlekatanembeddedness kehidupan sosialnya. Oleh karena itu tindakan ekonomi sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang terbangun diantara pelaku ekonomi Granovetter, M. 1985; Swedberg, R., 2003. Berpijak pada hal yang demikian, maka tindakan ekonomi dari petani garam maupun pelaku ekonomi lainya dalam komoditas garam tidak semata-mata dapat dipahami dari dimensi ekonomi melainkan juga harus diletakkan dalam konteks kehidupan sosialnya. Petani kecil sebagai produsen garam eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan tengkulak, makelar dan penyetok yang menguasai jalur pemasaran garam pada level bawah. Demikian juga buruh perombong, pengolok, angkut dan mandor yang terlibat secara langsung dalam proses produksi garam, sangat terkait dengan pemilik lahan luas sebagai majikan mereka. Dalam hal ini aktivitas produktif yang berlangsung dipengaruhi dan ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang terbangun diantara mereka. Sejalan dengan hal ini, menurut Granovetter, berkembangnya dunia usaha sangat tergantung dari sifat hubungan personal dan jaringan hubungan antara dan dalam perusahaan. Dengan demikian yang menjadi keteraturan order dan ketidakteraturan disorder, trust, dan malfeasance lebih disebabkan oleh struktur hubungan sosial antara pelaku ekonomi dalam dunia usahaindustri. Hal ini karena selain dipengaruhi oleh tata nilai masyarakat, juga ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam aktivitas. Dengan kata lain dalam konteks dunia usahaindustri, hubungan sosial menjadi media strategis untuk membangun trust dan meminimalkan risk risiko Granovetter, 1985: 481-510. Sementara itu bagi pedagang, agen dan pabrikan masa krisis juga menjadi momentum yang tepat untuk melempar stok garam yang dimilikinya, karena merupakan kesempatan untuk dapat memaksimalkan keuntungannya. Diantara kelompok pedagang, makelar secara sosial ekonomi merupakan pihak yang paling diuntungkan, karena memiliki posisi sebagai pedagang perantara diantara petani dengan agen dan pabrikan. Posisi ini sangat strategis sebagaimana dikemukakan Burt 1992, bahwa apabila dua kekuatan bertemu misalnya antara penjual dan pembeli, maka yang paling diuntungkan adalah yang berada di tengah yaitu pedagang perantara karena dapat memperoleh marginpembagian keuntungan paling besar. Hal ini tidak terlepas dari posisinya yang di tengah yang memungkinkannya untuk dapat “bermain” di dua posisi, penjual dan pembeli, karena ia memahami kondisi budaya dari keduanya yang berbeda dengan budayanya sendiri Perkembangannya akan lain jika struktur sosial petani garam dibongkar dan diberi “ruang” yang cukup proporsional dan adil pada semua kelompok sosial yang ada. Kemudian sesuai potensi yang dimiliki masing-masing kelompok dilakukan pengembangan secara partisipatif berbasis komuitas lokal petani garam di mana semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan mereka, berani mengambil resiko, berani bersaing, menumbuh-kembangkan semangat untuk bersaing dan menemukan hal-hal baru inovasi melalui partisipasi mereka. Juga didukung regulasi pemerintah yang kondusif bagi upaya pengembangan melalui penataan struktur penguasaan lahan, infrastruktur, tata niaga dan standarisasi harga. Dalam hal ini mereka dikembangkan tidak sekedar sebagai petani yang membuat garam peasant, tetapi sebagai petani yang mengusahakan garam peasant-farmer. Apabila petani garam memiliki potensi untuk berkembang sebagai peasant-farmer, maka terbuka peluang bagi petani garam untuk dapat keluar dari problematik krusial yang dihadapi dan sekaligus keluar dari kehidupan yang subsisten Friedmann, 1992. Hal ini terkait dengan kerangka pemikiran, bahwa apabila petani garam memiliki potensi untuk tampil sebagai peasant-farmer inheren dalam self image itu adalah kesadaraan mengembangkan kompetensi, akan terdapat peluang untuk dapat menembus pasar dalam sistem ekonomi kapitalis dan itu berarti peluang untuk dapat ikut menikmati surplus dari produknya menjadi terbuka. Kondisi tersebut akan berproses pada terjadinya perubahan struktural dalam kehidupan petani garam.

2.3. Moda Produksi

Moda produksi mode of production sebagaimana dikemukakan oleh Russel 1989 dan Morrison 1995 mengacu pada cara melakukan proses produksi dan termasuk di dalamnya hubungan-hubungan sosial yang terbangun diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi itu. Moda produksi dapat dipahami secara lebih baik dengan menggabungkan antara kekuatan produksi forces of production dan saling hubungan produksi relation of production. Kekuatan produksi diletakkan pada makna instrumen, peralatan equipment, lahan land dan lain-lain yang meletakkan aktivitas kerja bagi tujuan berproduksi sebagai nafkah penghidupan livelihood. Dalam hal ini kekuatan produksi hanya mempunyai kapasitas untuk diletakkan pada aktivitas kerja jika dimasukkan dalam saling hubungan produksi, karena saling hubungan produksi selalu tentang bagaimana kekuatan produksi digunakan dalam rangka untuk berproduksi Morrison, 1995. Tipologi moda produksi memang cukup beragam, tetapi pada dasarnya bersumber dari pemikiran Marx, karena pada awalnya istilah moda produksi digunakan Marx untuk mengidentifikasi unsur utama dari suatu tahap tertentu dari sejarah produksi dengan memperlihatkan bagaimana bentuk dasar ekonominya dan saling hubungan sosialnya. Di dalam bukunya, The German Ideology, Marx dan Engels mendeskripsikan perubahan-perubahan utama kondisi-kondisi material dan cara-cara produksi di satu pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma- norma pemilikan di lain pihak. Dalam hal ini ditampilkan beberapa corak moda produksi dari komunal purba ancient, feodal sampai ke kapitalisme modern dan komunisme. Cara produksi dalam corak komunal purba ditandai oleh kepemilikan hak milik secara kolektif dan pembagian kerja sangat kecil dengan ketergantungan yang tinggi pada alam dan alat-alat yang digunakan masih sangat sederhana. Pada masa ini, hubungan yang terbangun antar individu bersifat egaliter dan komunal karena ketergantungan antar individu sangat besar. Adapun cara produksi feodal telah menunjukkan corak yang sangat berbeda, yaitu ditandai dengan munculnya eksploitasi tuan tanah pada pekerja dan berkembangnya bidang pemerintahan dan perdagangan. Sistem feodal ini pada akhirnya memberikan jalan bagi cara-cara produksi borjuis dengan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya. Dalam hal ini terjadi perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideologi individualisme dan berkurangnya hubungan yang manusiawi menjadi hubungan- hubungan pemilikan yang bercorak eksploitasif dan hirarkhis, majikan-buruh. Corak produksi kapitalis seiring dengan revolusi industri dan penemuan- penemuan teknologi, terjadi kemajuan yang pesat dalam proses produksi. Kaum buruh memiliki hubungan dengan majikankapitalis semata-mata sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya untuk menghasilkan produk-produk yang akan dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Cara produksi yang seperti ini pada akhirnya banyak mencerabut nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan eksploitasi terhadap tenaga kerja buruh sampai mereka mengalami keterasingan alienasi. 11 Russel 1989 tampaknya juga masih dalam tradisi pemikiran Marx di mana ia membuat tipologi moda produksi antara lain dalam kategori komunal transisi dan kapitalis. Moda produksi komunal bersifat egaliter yang ditandai oleh adanya kesetaraan kekuasaan dalam komunitas semua berperan sebagai tenaga 11 Lihat Social Relation and the Production of Ideas Karl Marx Frederick Engels dalam Boudon, Raymond Cherkaoui, Mohamed ed.. 2000. Central Currents In Social Theory. The Roots of Sociological Theory 1700-1920 . Vol. III. London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publication. Hlm. 67-78. Juga Taylor, John G. 1989. From Modernization To Modes Of Production. A Critique of the Sociologies of Development and Underdevelopment . London: The Macmillan Press Ltd. Hlm 105-138. Moda produksi yang di dalamnya terkandung unsur kekuatan produksi dan saling hubungan produksi pada hakekatnya menjadi determinan untuk memahami eksistensi, perkembangan dan dinamika sistem ekonomi kapitalis beserta dampak yang ditimbulkannya.