Petani Garam KAJIAN TEORITIK
status dan peran masingmasing yang berbeda satu dan lainnya. Antara kelompok yang satu dengan lainnya saling berinteraksi dan berinterrelasi dalam pola-pola
tertentu yang mengkonstruksi suatu struktur sosial. Dalam hal ini struktur sosial mengacu pada hubunganhubungan sosial yang secara fondamental memberikan
bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batasbatas pada tindakan- tindakan yang mungkin dilakukan secara terorganisasi. Sudah barang tentu
struktur sosial ini tidak bersifat permanen sepanjang jaman, tetapi bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan-
perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini yang menjadi determinan dalam struktur sosial tidak
semata-mata ekonomi sebagaimana dikemukakan Marx, tetapi juga ditentukan oleh status dan kekuasaan sebagaimana dikemukakan Weber. Artinya, pola-
pola hubungan antar individu, antar kelompok-kelompok sosial ataupun kelas- kelas sosial selain ditentukan oleh faktor ekonomi kepemilikan dan
penguasaan sumber ekonomi juga status sosial dan kekuasaan Roth Wittich, 1978: 941-958.
Pada masa pra kolonial, produksi garam di Rembang berada di bawah kontrol penguasa lokal atau bupati pesisir dalam hal ini Lasem. Dalam
konteks ini dapat dikemukakan, bahwa struktur masyarakat petani garam masih sangat sederhana, yaitu hanya terdapat dua kelompok sosial, penguasa
dan kawulo petani garam. Pihak penguasa menggunakan struktur birokrasi untuk mengontrol produksi garam dan menarik sebagian hasil dari produksi
garam sebagai pajak dalam bentuk uang maupun natura. Dengan menggunakan konsep tipologi birokrasi Weber, birokrasi dalam konteks itu
lebih dapat dimaknai sebagai sistem otoritas yang bersifat tradisional dan karismatik dari pada sistem yang rasional-legal, karena dalam hal ini birokrasi
identik dengan kekuasaan pribadi penguasa Collins, 1988. Kondisi dominasi penguasa atas petani garam itu didasarkan pada
konsep yang berlaku pada jaman pra kolonial kerajaan, bahwa tanah adalah milik mutlak raja dan petani hanya berhak menggarap dengan konsekuensi
menyerahkan sebagian hasilnya pada penguasa melalui jaringan birokrasi yang telah dibangun penguasa Rouffaer, 1931. Secara umum dapat
dikemukakan, bahwa hubungan di antara petani garam dan penguasa dalam sistem tradisional itu berlangsung relatif baik saling menguntungkan, saling
tergantung dan establis atau meminjam istilah Scott mencerminkan pola patron-client relationship
Moertono, 1968. Pola hubungan penguasa-kawulo petani garam itu memang tampak sangat hierarkis dan meskipun secara
ekonomi juga terkesan eksploitatif, relatif tidak ada resistensi secara terbuka yang dilakukan petani garam. Hal itu barangkali tidak dilakukannya sistem
monopoli oleh penguasa, hanya semacam bagi hasil yang tidak melampaui batas subsistensi petani dan juga adanya sistem sosial dan kultural yang
menyebabkan petani garam memiliki kepatuhan dan rasa bekti pada penguasa. Bangunan struktur sosial dalam masyarakat petani garam mengalami
perubahan cukup signifikan setelah kedatangan kolonialisme di mana kontrol atas produksi garam diambil alih dan ditempatkan sebagai komoditas ekspor
dalam sistem ekspansi global. Paling awal oleh VOC dan sesuai dengan tuntutan sistem ekonomi global efektivitas dan efisiensi, dalam sistem
kekuasaan VOC inilah dimunculkan kelompok sosial baru pada masyarakat petani garam, yaitu kelompok pemborong pajak. Dengan demikian struktur
masyarakat petani garam mengalami perubahan sejalan dengan ekspansi ekonomi global yang diusung oleh kolonial tersebut.
Dalam bangunan struktur sosial yang baru ini, orang Belanda bertindak sebagai penguasa pemilik lahan garam, kelompok pemborong pajak
pengolahan garam yang terdiri dari orangorang Cina, para pedagang dan tengkulak, serta para petani garam. Dari hal itu didapat gambaran jelas, bahwa
ekspansi ekonomi global telah melahirkan diferensiasi sosial penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan
modal yang semakin kompleks di kalangan petani garam. Pola-pola hubungan di antara kelompok-kelompok sosial itu cenderung bersifat
asimetris di mana petani garam pada posisi paling rendah dan terbuka peluang
untuk dieksploitasi oleh kelompok-kelompok sosial lain di atasnya. Selain itu dengan datangnya intervensi Belanda dalam produksi garam, tampak ekspansi
ekonomi global mulai masuk dunia pertanian garam. Garam tidak hanya
menjadi komoditas lokal, tetapi sudah menjadi komoditas global khususnya dikawasan Asia Tenggara Knaap, 1991: 127157.
Dalam perkembangannya sistem sewa dan borong tersebut dipandang tidak memberikan keuntungan yang signifikan kepada pemerintah kolonial
Belanda, namun sebaliknya justru memberikan keuntungan besar kepada para pemborong pajak garam yang terdiri dari orang-orang Cina. Selain itu sistem
borong ini juga memberikan kesempatan yang luas bagi pemborong pachter untuk melakukan eksploitasi terhadap petani garam. Oleh sebab itu sistem borong
ini pun akhirnya dihapuskan oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1813 dan setelah Belanda berkuasa lagi di Indonesia, maka pada tahun 1816 kebijakan
ini juga diikutinya tetapi diganti dengan monopoli. Kebijakan ini tentu saja akan berdampak pada perubahan strukur sosial masyarakat petani garam, tapi tidak
signifikan karena keberadaan kelompok pemborong pajak tetap ada, hanya beralih fungsi sebagai pedagang rekanan penguasa. Posisi petani garam juga tidak
berubah, mereka terbebaskan dari cengkraman para pemborong pajak, namun kemudian jatuh berada di bawah kantrol ketat dari pemerintah kolonial Belanda
melalui sistem politik ekonomi, monopoli. Berakhirnya pemerintah kolonial pada tahun 1945 juga menandai mulai
surutnya monopoli garam oleh negara sampai akhirnya benarbenar tanpa monopoli pada tahun 1957 dengan dibubarkannya PN Garam. Namun demikian
berakhirnya monopoli oleh negara, justru kekuatan kapitalmodal swasta semakin intensif melakukan ekspansi dalam produksi dan perdagangan garam. Produk
garam tetap menjadi komoditas perdagangan, tapi cenderung berkutat di tingkat lokal, regional dan nasional, kurang berkemampuan untuk ikut berkompetisi di
tingkat global seperti halnya pada masa kolonial. Dalam konteks bangunan struktur sosial, faktor kapitalmodal ekonomi
yang lebih berpengaruh dan menentukan dalam komoditas garam di kabupaten Rembang, faktor ekonomi itu kemudian saling berpengaruh dengan faktor status
dan kekuasaan. Ada beberapa kelompok sosial petani garam yang masing-masing mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mengakses sumber-sumber
utama dalam produksi garam, sehingga melahirkan ketidak-samaan dalam banyak aspek. Kelompok-kelompok sosial petani garam di Rembang saat ini esensinya
juga tidak jauh berbeda dengan masa kolonial hanya dalam istilah yang berbeda dan lebih kompleks, yaitu:
1. Petani buruh, yaitu petani garam yang tidak memiliki lahan, tapi semata-mata hanya menggarap atau menjual jasa tenaga kerja yang bekerja untuk membuat
garam krosok pada para petani pemilik lahan. Dari kelompok ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu; a buruh perombong membuat garam
yang bekerja untuk membuat garam dan mereka ini biasanya bekerja dalam kelompok-kelompok kecil 3-4 orang dengan sistem bagi hasil, b buruh
pengolok membenahi petak-petak lahan dan saluran dengan sistem upah harian, c buruh angkut mengangkut garam dari lahan ke gubuggudang
garam dengan sistem borong. Di luar ketiga kategori tersebut terdapat d buruh mandor, orang kepercayaan pemilik lahanmajikan dengan sistem
pengupahan mingguan maupun bulanan. 2. Petani pemilik, yaitu petani garam pemilik lahan di mana mereka ini yang
memiliki hak milik dan penguasaan atas lahan yang digunakan untuk memproduksi garam krosok. Kelompok ini dapat dibedakan dalam dua
kategori, yaitu; a petani pemilik lahan sempitpetani kecil 1 ha mereka secara mandiri dan hanya dibantu oleh anggota keluarganya mengusahakan
sendiri pembuatan garam, b petani lahan menengah-besar 1 ha mereka hanya mengusaihak milik lahan dan tidak mengusahakan sendiri dalam
pembuatan garamdigarapkan pada buruh garap, tetapi mereka memiliki hak penuh atas penjualan hasil panen-menampung hasil dan menentukan harga.
Namun demikian jika dicermati dari ke dua kelompok sosial itu tampak terdapat kecenderungan terjadinya polarisasi sosial, yaitu; pemiliki lahan kecil-
menengah-besarmajikan dan buruh petani penggarapperombong, pengolok, kuli angkut, mandor
. Selain itu di luar kedua kelompok sosial itu terdapat pemerintah, yang keberadaannya ikut mempengaruhi formasi struktur sosial
petani garam. Diantara kelompokkelompok sosial petani garam itu terjadi hubunganhubungan yang saling terkait dalam konteks kultural, sosial utamanya
ekonomi. Hubunganhubungan itu bersifat dinamis sepanjang waktu dan berkembang dalam situasi yang tidak equal. Artinya, terdapat ketidaksamaan
akses terhadap sumbersumber produksi garam.
Apabila berbicara tentang masyarakat petani garam tidak jauh berbeda dengan petani pada umumnya, yang terbersit dalam pemikiran adalah masyarakat
miskin yang kehidupannya subsisten di mana hasil dari kegiatan produktifnya hanya dapat mereka peroleh secara pas-pasan sekedar untuk dapat bertahan hidup
Scott, 1984. Potret kehidupan yang subsisten itu tidak salah, sejauh hal itu menunjuk pada kelompok sosial petani garam dalam kategori petani kecil dan
buruh penggarapperombong, buruh harianpengolok, kuli angkut. Subsistensi kehidupan petani kecil dan buruh itu tentu terkait dengan struktur sosial yang
terbangun di mana kelompok sosial itu ditempatkan pada posisi yang marjinal, karena keterbatasan bahkan ditutupnya akses terhadap sumber-sumber produksi
garam dan pasar. Dalam konteks pemikiran Marx tentang masyarakat kapitalis, pada
hakekatnya setiap manusia mempunyai potensi alamiah produktif untuk selalu bekerja bersama-sama dengan manusia lain sebagai makluk sosial. Namun
demikian melalui perjalanan sejarah proses alamiah itu dihancurkan oleh berbagai jenis tatanan struktural yang diciptakan masyarakat utamanya dalam sistem
kapitalisme. Dengan sistem kapitalisme itulah sejumlah kecil kapitalis pemilik kapitalmodal menguasai proses produksi, produk dan curahan tenaga kerja dari
orang-orang yang bekerja untuk mereka. Terkait dengan itu adalah teori Marx tentang nilai tenaga kerja yang mendasarkan hipotesisnya, bahwa tenaga kerja
adalah merupakan sumber dari seluruh kekayaan kapitalis atau pemilik modal. Dalam hal ini kapitalis memiliki kecenderungan untuk memberi nilai atau upah
atas hasil kerja tenaga kerja kurang dari yang selayaknya mereka terima. Nilai surplus yang mestinya menjadi hak tenaga kerja inilah yang justru dinikmati
kapitalis untuk kemudian diinvestasikan kembali oleh kapitalis dan merupakan basis dari seluruh sistem kapitalis Ritzer, 1996. Juga Marx dalam
BoudonCherkaoui, 2000: 252-258. Dengan demikian pada dasarnya sistem kapitalisme itu tumbuh melalui tingkatan eksploitasi oleh kapitalis terhadap
orang-orang yang melakukan produksi secara langsung tenaga kerja yang terus menerus meningkat dan dengan menginvestasikan surplus untuk mengembangkan
sistem kapitalisme itu sendiri.
Oleh karena itu proses marjinalisasi petani garam sehingga selalu dalam kehidupan yang subsisten dapat dipahami sebagai dampak dari jeratan sistem
kapitalisme. Kelompok sosial lain di atasnya, yaitu petani besar pemilik lahan luas, pedagang bakul, tengkulak, makelar, pengumpulagen dan produsen
formal sepanjang perjalanan sejarah meskipun dengan istilah yang tidak selalu sama, mempunyai kecenderungan mengeksploitasi petani kecil dan buruh dengan
menikmati surplus dari apa yang telah mereka lakukan. Demikian juga penguasa sebagai pemegang otoritas politik lebih cenderung berpihak pada pelaku ekonomi
di luar petani garam utamanya yang bergerak di jalur pemasaran garam baik pada aras lokal maupun supra lokal. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan adanya
kebijakan monopoli dan kemudian liberalisasi komoditas garam. Persoalannya adalah mengapa petani garam dewasa ini pada umumnya kurang menunjukkan
adanya resistensi terbuka, frontal dalam suatu gerakan yang terorganisasi terhadap kelompok sosial lain itu pedagang, pengepulagen dan produsen formal sebagai
kapitalis lokal, juga kapitalis pada aras supra lokal, global dan penguasa yang memarjinalkan mereka ?.
Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, terdapat kelompok sosial dominan yang menguasai economic resources di sektor garam
dan secara struktural menutup akses dan equitas petani kecil dan buruh terhadap economic resources
itu, sehingga tidak memiliki kekuatan sebagai senjata untuk melakukan perlawanan secara terbuka dan frontal. Sebagaimana temuan Scott
1985 di desa “Sedaka” dan “Dataran Muda” Malasyia, bahwa kaum proletar mean of productioness pedesaan karena tidak memiliki sumberdaya, maka salah
satu tipikal perlawanan sehari-hari yang biasa mereka lakukan adalah menghindarkan konfrontasi yang masif dan menantang serta cenderung
melakukan penghindaran maupun penyamaran yang sama masifnya. Perlawanan itu terkait dengan penetrasi sistem kapitalisme di pedesaan yang menyebabkan
terjadinya proletarisasi dan marjinalisasi kaum tani miskin pedesaan. Kedua
, petani garam petani kecil dan buruh secara struktural hanya diposisikan sebagai produsen dan cenderung tidak punya akses pada pasar,
sehingga tidak dapat ikut menikmati “surplus ekonomi” dari produknya bahkan mengalami keterasingan alienasi atas mean of production sehingga tidak mampu
membangun organisasi dan jaringannya, maka sulit terjadi sebuah gerakan sosial petani garam. Dalam pandangan Marx, revolusi sosial dapat terjadi jika muncul
dan berkembang kesadaran kelas class consciousness yang terbangun dari sebuah ideologi dan kemudian memicu terjadinya kontradiksi diantara kelas
dominan yang menguasai economic resources dan kelas proletar yang dieksploitasi. Dengan kesadaran kelas itu kaum proletar dapat dibangun jaringan
dan diorganisasi serta dimobilisasi untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan maupun revolusi sosial Marx dalam BoudonCherkaoui, 2000: 252-258.
Ketiga, secara politik petani garam seperti halnya petani di pedesaan Jawa
pada umumnya pernah menjalani proses politik yang traumatik di mana selama pemerintahan orde baru telah berhasil melakukan proses deideologisasi dan
depolitisasi terhadap kaum tani, sehingga kaum tani menjadi suatu massa yang
apolitis. Oleh karena ideologi sebagai “framework of conciouness” sudah dijauhkan dari kehidupan kaum tani, maka dengan sendirinya meskipun terjadi
banyak perampasan terhadap hak-hak kaum tani bahkan eksploitasi mereka relatif diam dan tidak berani menunjukkan perlawanan secara terbuka. Jadi proses
deideologisasi dan depolitisasi terhadap kaum tani telah mengurangi ketajaman
kesadaran mereka akan eksploitasi yang menimpanya dan dalam kondisi seperti ini sulit terjadi timbulnya sebuah perlawanan yang terbuka dan frontal. Dalam
pandangan Scott 1983 revolusi petani akan meletus apabila tindakan kaum tuan tanah dalam mengeksploitasi petani telah melampaui batas subsistensi petani.
Namun demikian terdapat juga berbagai respon yang umum dilakukan petani miskin pedesaan pada saat menghadapi masa-masa sulit krisis sebagai
strategi adaptasi. Dalam hal ini Scott 1984: 39-40 mengidentifikasi dalam tiga bentuk.
Pertama , mengurangi konsumsi secara kuantitas dan kualitas
mengetatkan ikat pinggang. Kedua, melakukan alternatif subsistensi, yaitu swadaya yang mencakup berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai buruh lepas dan
aneka kerja sampingan lainnya. Ketiga, memanfaatkan jaringan dan ikatan sosial yang dimilikinya keluarga, tetangga, patron, dll.. Tampaknya temuan Scott itu
tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan petani garam di Madura ketika menghadapi situasi kritis di mana mereka memiliki beberapa strategi sebagai
mekanisme survival.
Di Madura petani garam dalam menghadapi masa krisis, pada tahap awal menempuh cara dengan mengandalkan kekuatan dalam diri keluarga yaitu
mencari pekerjaan sampingan dilakukan kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya dan memperketat konsumsi. Bila strategi mandiri itu tidak
berhasil, maka strategi berikutnya adalah ketergantungan pada kelompok yang lebih besar: mengadakan transaksi hutang piutang dengan kerabat,
majikan,tetangga atau pada rentenir. Cara terakhir adalah menggadaikan barang atau bahkan menjual barang-barang yang dimilikinya Suyanto, 1996: 40-48.
Sementara itu bagi kelompok pengumpulagenpedagang, masa krisis merupakan momentum yang tepat menebar “bantuan” pada petani sebagai patron, meskipun
sebenarnya merupakan “jeratan” agar garam yang akan dihasilkan dijual kepada mereka dengan harga yang dapat “dipermainkan”.
Hal itu dapat dipahami dari pemikiran Weber tentang tindakan ekonomi yang bermakna subyektif. Menurut Weber tindakan ekonomi tidak semata-mata
dapat dipahami dari dimensi ekonomi, tetapi ada hal-hal esensial yang bersifat non ekonomi dan utamanya sangat terkait dengan hubungan-hubungan sosial
Roth Wittich, 1978: 63-71. Pemikiran itu mengilhami Granovetter yang mengembangkan konsep oversosialization dari Wrong 1961 dan embeddedness
Polanyi di
mana tindakan
ekonomi manusia
terkait dan
dalam keterlekatanembeddedness kehidupan sosialnya. Oleh karena itu tindakan
ekonomi sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang terbangun diantara pelaku ekonomi Granovetter, M. 1985; Swedberg, R., 2003.
Berpijak pada hal yang demikian, maka tindakan ekonomi dari petani garam maupun pelaku ekonomi lainya dalam komoditas garam tidak semata-mata
dapat dipahami dari dimensi ekonomi melainkan juga harus diletakkan dalam konteks kehidupan sosialnya. Petani kecil sebagai produsen garam eksistensinya
tidak dapat dipisahkan dengan tengkulak, makelar dan penyetok yang menguasai jalur pemasaran garam pada level bawah. Demikian juga buruh perombong,
pengolok, angkut dan mandor yang terlibat secara langsung dalam proses produksi garam, sangat terkait dengan pemilik lahan luas sebagai majikan mereka.
Dalam hal ini aktivitas produktif yang berlangsung dipengaruhi dan ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang terbangun diantara mereka.
Sejalan dengan
hal ini, menurut Granovetter, berkembangnya dunia usaha sangat tergantung dari sifat hubungan personal dan jaringan hubungan antara dan dalam perusahaan. Dengan
demikian yang menjadi keteraturan order dan ketidakteraturan disorder, trust, dan malfeasance
lebih disebabkan oleh struktur hubungan sosial antara pelaku ekonomi dalam dunia usahaindustri. Hal ini karena selain dipengaruhi oleh tata nilai masyarakat,
juga ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam aktivitas. Dengan kata lain dalam konteks dunia usahaindustri, hubungan sosial menjadi media strategis
untuk membangun trust dan meminimalkan risk risiko Granovetter, 1985: 481-510.
Sementara itu bagi pedagang, agen dan pabrikan masa krisis juga menjadi momentum yang tepat untuk melempar stok garam yang dimilikinya, karena
merupakan kesempatan untuk dapat memaksimalkan keuntungannya. Diantara kelompok pedagang, makelar secara sosial ekonomi merupakan pihak yang paling
diuntungkan, karena memiliki posisi sebagai pedagang perantara diantara petani dengan agen dan pabrikan. Posisi ini sangat strategis sebagaimana dikemukakan
Burt 1992, bahwa apabila dua kekuatan bertemu misalnya antara penjual dan pembeli, maka yang paling diuntungkan adalah yang berada di tengah yaitu
pedagang perantara karena dapat memperoleh marginpembagian keuntungan paling besar. Hal ini tidak terlepas dari posisinya yang di tengah yang
memungkinkannya untuk dapat “bermain” di dua posisi, penjual dan pembeli, karena ia memahami kondisi budaya dari keduanya yang berbeda dengan
budayanya sendiri Perkembangannya akan lain jika struktur sosial petani garam dibongkar
dan diberi “ruang” yang cukup proporsional dan adil pada semua kelompok sosial yang ada. Kemudian sesuai potensi yang dimiliki masing-masing kelompok
dilakukan pengembangan secara partisipatif berbasis komuitas lokal petani garam di mana semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan mereka, berani
mengambil resiko, berani bersaing, menumbuh-kembangkan semangat untuk bersaing dan menemukan hal-hal baru inovasi melalui partisipasi mereka. Juga
didukung regulasi pemerintah yang kondusif bagi upaya pengembangan melalui penataan struktur penguasaan lahan, infrastruktur, tata niaga dan standarisasi
harga. Dalam hal ini mereka dikembangkan tidak sekedar sebagai petani yang
membuat garam peasant, tetapi sebagai petani yang mengusahakan garam
peasant-farmer. Apabila petani garam memiliki potensi untuk berkembang sebagai peasant-farmer, maka terbuka peluang bagi petani garam untuk dapat
keluar dari problematik krusial yang dihadapi dan sekaligus keluar dari kehidupan yang subsisten Friedmann, 1992. Hal ini terkait dengan kerangka
pemikiran, bahwa apabila petani garam memiliki potensi untuk tampil sebagai peasant-farmer
inheren dalam self image itu adalah kesadaraan mengembangkan kompetensi, akan terdapat peluang untuk dapat menembus pasar dalam sistem
ekonomi kapitalis dan itu berarti peluang untuk dapat ikut menikmati surplus dari produknya menjadi terbuka. Kondisi tersebut akan berproses pada terjadinya
perubahan struktural dalam kehidupan petani garam.