Sejarah Pengusahaan Garam KAJIAN TEORITIK
Perdebatan-perdebatan itu berkisar pada persoalan bagaimana kerusakan yang ditimbulkan oleh tanaman yang dipaksakan dalam rangka komoditas
perdagangan? Bagaimana dampak liberalisasi ekonomi terhadap kehidupan petani? Bagaimana hubungan simbiosis antara tanaman tebu sebagai tanaman
komersial dan tanaman padi sebagai tanaman subsistensi? Seberapa modern Jawa pada abad XIX dan awal abad XX dibandingkan dengan negara-negara lain pada
waktu itu seperti India, Jepang, Korea, dan sebagainya Lindblad, 1993: 1-36. Dalam kaitannya dengan hal itu dapat dikemukakan, bahwa masyarakat
petani garam tidak mendapatkan perhatian yang memadai jika dibandingkan dengan masyarakat yang memproduksi berbagai jenis tanaman komoditas lainnya.
Hal ini antara lain dapat diketahui belum maraknya hasil-hasil penelitian yang dilakukan ahli sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, maupun sejarah. Memang
ada sebuah rintisan penelitian sosiologi tentang petani garam oleh Suyanto yang menganalisis problema pemasaran dan mekanisme survival petani garam di pulau
Madura. Menurutnya pasar bersifat oligopsoni karena jumlah petani sebagai penjual lebih banyak dibandingkan pedagang sebagai pembeli, sehingga pedagang
dapat seenaknya dalam menentukan harga. Adapun mekanisme survival yang ditempuh sejalan dengan pemikiran Scott 1981 terdapat tiga cara, yaitu tindakan
mandiri dalam lingkup keluarga, mengandalkan sistem penunjang keluarga, menggadaikan atau menjual harta miliknya Suyanto, 1996: 25-48. Dengan
demikian dalam penelitian ini tidak disinggung sama sekali persoalan struktural yang dihadapi petani garam, juga beroperasinya sistem kapitalisme pada
komoditas garam yang memberi kontribusi signifikan terhadap marjinalisasi petani garam.
Selain itu terdapat beberapa pioner studi historis mengenai masyarakat petani garam di Indonesia. Dalam penelitiannya mengenai perdagangan garam di
pantai utara Jawa dan beberapa tempat lain di Asia Tenggara, Knaap menganalisis bagaimana para alite di Jawa pada akhirnya kehilangan kontrol atas produksi
garam di pantai utara Jawa selama abad XVII dan XVIII. Kontrol terhadap produksi dan perdagangan garam pada akhirnya jatuh ke tangan VOC dan orang-
orang Cina Knaap, 1991: 127157.
Dari penelitian Knaap tersebut dapat dikemukakan, bahwa tampaknya VOC merupakan persekutuanorganisasi dagang pertama dari orang-orang Eropa
Belanda yang wilayah operasionalnya multi nasional. Sebagai sebuah organisasi dagang multi nasional, VOC memiliki jaringan organisasi dan birokrasi demikian
luas ditandai dengan pendirian kantor cabang diberbagai tempat di dunia. Kantor- kantor cabang VOC tersebar diberbagai tempat penting dan strategis di Asia dan
Afrika, antara lain di Tanjung Harapan Afrika Selatan, Calcuta India, Jepang, Macao Cina, Malaka Malasyia dan Batavia Indonesia Gaastra, 1981.
Dengan masuknya garam sebagai salah satu komoditas perdagangan VOC, menunjukkan bahwa garam pada abad XVII-XVIII telah masuk dalam jaringan
organisasi dan birokrasi usaha dagang yang terajut dalam sistem ekonomi global. Periode itu menandai produksi garam terkooptasi dalam sistem ekonomi global
yang kapitalistik dan barangkali dari hal inilah mulai berlangsungnya proses marginalisasi petani garam yang hidup dalam sistem ekonomi subsisten.
Sementara itu Hub de Jonge mencoba untuk mengkaitkan antara monopoli garam yang ditegakkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan munculnya
berbagai perlawanan masyarakat petani garam di Madura. Ia mengungkapkan bahwa selama periode VOC, garam merupakan monopoli Belanda untuk
selanjutnya disewakan kepada pemborong pajak. Pada tahun 1813, pemerintah kolonial Inggris menerapkan monopoli garam di Jawa dan Madura, mengadakan
pengaturan hak milik atas ladang-ladang garam. Produksi garam berada dibawah pengawasan negara dan selanjutnya diikuti dengan intervensi negara dalam proses
produksi garam itu sendiri de Jonge, 1993: 165184. Pada tahun 1917 pemerintah kolonial Belanda menempuh kebijakan Membeli ladang- ladang
garam penduduk pribumi”. Pada pertengahan ke dua abad XIX, mulai ada protes meskipun secara tersembunyi terhadap campur tangan yang mendalam terhadap
petani garam terutama di Madura di mana garam diproduksi secara besar- besaran. Pada abad XX protes semakin terbuka ketika berbagai organisasi nasionalis
meluaskan pengaruhnya di antara petani garam. Dalam hal ini pengaruh Syarikat Islam sangat besar terhadap petani garam di Madura dalam mengorganisasi protes
de Jonge, 1993: 165184.
Eksistensi garam dan profesi tentara serdadu dalam hubungannya dengan migrasi pada jaman kolonial dibahas oleh Van Goor dalam karyanya yang
berjudul Salt and Soldier: Madura and the Dutch in the Beginning of the Nineteenth Century
Van Goor, 1976. Dalam hal ini dikemukakan, bahwa Madura terutama daerah Sampang, Pamekasan dan Sumenep merupakan kawasan
penghasil garam utama di Hindia Belanda di samping beberapa daerah di pantai utara Jawa seperti Rembang dan Juana. Bagi penduduk Madura pembuatan garam
merupakan matapencaharian alternatif yang menguntungkan, karena kondisi lahan pertanian yang terbatas dan kurang subur. Namun demikian setelah pemerintah
kolonial Belanda menerapkan monopologi garam zoutmonopolie, pembuatan garam tidak lagi menguntungkan dan banyak petani garam yang berusaha
menghindar dengan cara melakukan migrasi ke Jawa. Selain itu juga ditegaskan, bahwa beban untuk menjadi serdadu kompeni juga merupakan alasan lain yang
mendorong terjadinya migrasi orang-orang Madura ke Jawa. Monopoli garam oleh pemerintah kolonial Belanda disatu sisi tampaknya hanya memberi
keuntungan pada pemerintah kolonial, sedang disisi yang lain justru menyengsarakan penduduk pribumi sebagai petani garam.
Setelah kemerdekaan, produk garam tidak lagi menjadi sumber pendapatan negara dan oleh karenanya pemerintah tidak lagi melakukan monopoli
yang begitu ketat sebagaimana halnya pada masa kolonial. Bahkan pemerintah RI kemudian mengambil keputusan untuk melepaskan monopoli dengan cara
membubarkan PN Garam, karena setelah dievaluasi tidak dapat menghasilkan devisa justru membebani keuangan negara. Berdasarkan investigasi yang pernah
dilakukan, pada dasarnya persoalan yang dihadapi PN Garam sangat kompleks baik yang berkaitan dengan kelembagaan, organisasi dan teknologi
Sanders,1968. Selama produksi garam dalam monopoli PN Garam tampaknya lebih menekankan pada pelaksanaan misi bagi terjaminnya pemerataan distribusi
garam secara nasional dan kurang menempatkan garam sebagai komoditas perdagangan yang terintegrasi dalam sektor industri lainnya seperti perikanan.
Sebagai salah satu dampaknya adalah komoditas garam tidak memiliki organisasi dan birokrasi modern yang memberi akses memadai pada petani garam sebagai
produsen langsung untuk dapat menikmati surplus dari produknya.
Sebuah analisis tentang komoditas garam sebagai alat tukar dengan komoditi pangan dari daerah pedalaman telah diteliti oleh Barnes dengan
mengambil obyek penelitian di Flores. Ia mengatakan bahwa di Flores Timur, khususnya di Solor, garam merupakan produk yang secara ekonomis dan kultural
merupakan karakteristik dari masyarakat pantai baik untuk kepentingan konsumsi sendiri maupun sebagai alat barter dengan bahan pangan yang diproduksi oleh
masyarakat gunung dan pedalaman Barnes, 1993: 185184. Kedudukan garam sebagai semacam alat tukar pada dasarnya sudah berlangsung sejak jaman
kolonial Belanda Supriyono, 1993, juga pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia di daerah pedalaman dan pegunungan, garam lazim menjadi alat barter
dengan bahan pangan Rochwulaningsih, 1994. Bahkan hingga dewasa ini terutama di pedesaan pedalaman, pada masa sulit paceklik, garam tidak jarang
berfungsi sebagai lauk pendamping utama makanan pokok. Dengan demikian jelaslah bahwa sejak jaman pra kolonial komoditas
garam sudah merupakan komoditas yang penting dan menjadi bahan perebutan oleh berbagai kekuatan politik dan pemodal. Hal ini menjadi semakin jelas pada
masa pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda melihat bahwa garam bukan hanya suatu produk yang “menguasai hajat hidup orang banyak”
yang oleh karena itu harus di monopoli, tetapi juga menjadi bahan strategis untuk meningkatkan ekspor ikan kering yang mendatangkan banyak devisa Masyhuri,
1991: 145146. Kondisi yang sangat kontradiktif justru terjadi dalam periode pemerintahan negara RI, ketika komoditas garam dalam monopoli PN Garam
tidak lagi dapat mendatangkan keuntungan pada negara bahkan cenderung menjadi beban, produksi garam di lepas tanpa monopoli dan proteksi yang
ditandai dengan dibubarkan PN Garam. Kecenderungan aktual adalah garam tidak lagi menjadi komoditas ekspor yang pantas “diperhitungkan” oleh pemerintah
Indonesia dan oleh karena itu garam impor membanjir dan menggilas garam lokal produk petani kita.