Gambaran Umum Kabupaten Rembang 1 Geografis dan Demografis

khususnya juga berkembang pusat pembuatan kapal sejak masa kerajaan Majapahit. Sejalan dengan berkembangnya prasarana jalan raya di sepanjang pantai utara Jawa sejak abad XIX dan terjadinya perubahan ekologi sebagai akibat dari proses sedimentasi, maka pelabuhan-pelabuhan ini terus mengalami kemunduran dalam kaitannya dengan fungsi sebagai pusat perdagangan. Pada saat ini kedua pelabuhan itu lebih banyak berfungsi sebagai tempat pendaratan kapal dan perahu para nelayan tradisional. Daerah kawasan pantai di Kabupaten Rembang semula lebih tinggi jika dibandingkan dengan pantai di kawasan sebelah baratnya seperti daerah Pati dan Jepara Veth, 1869: 24-36. Hal ini disebabkan oleh dorongan proses pelipatan lapisan bumi pada masa pleistosen yang akhirnya mengakibatkan kawasan pantai Rembang memiliki pantai yang cukup dalam van Bemmelen, 1949: 587. Hanya setelah terjadi proses sedimentasi yang parah sejalan dengan perusakan hutan di kawasan pedalaman, pantai di kawasan kabupaten Rembang menjadi semakin dangkal dimana data terakhir menunjukkan bahwa untuk daerah pantai seperti kecamatan; Kaliori, Rembang dan Lasem ketinggian dari permukaan laut rata- rata hanya 0-3 m BPS Kabupaten Rembang, 2006: 3 11. Di kawasan lepas pantai Kabupaten Rembang, khususnya di kawasan Teluk Rembang, terdapat sejumlah pulau karang kecil antara lain Pulau Kembar dan Sawalan. Keberadaan pulau-pulau karang ini menjadi pelindung kawasan Teluk Rembang dari gelombang besar yang kadang-kadang terjadi pada musim barat penghujan. Dengan demikian kondisi air laut di kawasan pantai teluk Rembang relatif tenang sehingga sangat cocok untuk berlabuhnya kapal-kapal ataupun perahu kecil serta cocok untuk pengusahaan garam. Kondisi geologis telah memungkinkan Kabupaten Rembang memiliki tipologi kawasan yang cukup unik yang terdiri dari daerah-daerah bergunung dan berbukit, dataran rendah pedalaman dan dataran rendah daerah pantai. Tampaknya tipologi geografis ini berpengaruh terhadap sumber matapencaharian pendudukan. Daerah pegunungan dan perbukitan dimanfaatkan untuk penanaman jati dan tanaman keras lainnya serta untuk pertanian huma yang menghasilkan jagung, ubi kayu, dan lain-lain. Daerah-daerah yang merupakan kawasan hutan dan pegunungan serta bukit adalah daerah Kecamatan; Sumber, Sulang, Bulu, Pancur, dan Sale. Namun demikian, di sela-sela hutan dan perbukitan biasanya juga terdapat dataran yang lebih rendah yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk persawahan dan ditanami dengan tanaman padi. Adapun untuk daerah dataran pedalaman dapat dijumpai di Kecamatan; Gunem, Sluke, Kragan, Sarang, Sedan, dan Pamotan. Namun demikian sebagian wilayah dari kecamatan-kecamatan tersebut juga dijumpai perbukitan dan huma yang ditanami palawija oleh penduduk setempat. Daerah dataran rendah pedalaman biasanya dimanfaatkan oleh penduduk sebagai areal persawahan yang mengasilkan tanaman padi, tebu, tembakau, jagung, kacang hijau, dan lain-lain. Untuk dataran rendah pantai meliputi Kecamatan; Kaliori, Rembang, dan Lasem. Daerah-daerah pantai ini dimanfaatkan oleh pendudukan setempat untuk budidaya tambak, pengusahaan garam, dan pengolahan ikan seperti terasi, bandeng, dan ikan asin. Sementara itu kondisi demografi saat ini 2007 dapat diketahui bahwa penduduk kabupaten Rembang berjumlah 597.213 orang yang terdiri dari laki-laki 297.837 orang dan perempuan 299.837 orang. Dengan jumlah penduduk tersebut, tingkat kepadatan penduduk untuk lingkungan daerah provinsi Jawa Tengah termasuk dalam kategori rendah, yaitu 589 jiwa per km², bahkan pada tahun 1971 menduduki peringkat terendah di provinsi Jawa Tengah, yaitu sebesar 337 per km². Meskipun demikian jika mencermati distribusinya, tampak bahwa untuk daerah pedesaan agraris apalagi yang berada dalam kawasan perbukitan kendeng tingkat kepadatannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Terlebih untuk daerah pantai yang menjadi lokasi penelitian ini tingkat kepadatannya tertinggi terutama untuk Kecamatan; Rembang dan Lasem, yaitu mencapai 1398 per km² dan 1063 per km², sedangkan Kaliori 629 per km². Kondisi ini tampaknya berpengaruh terhadap berkembangnya keanekaragaman mata pencaharian penduduk termasuk keberadaan pengusahaan garam. Dari jumlah penduduk tersebut juga dapat disusun komposisinya menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Hal ini akan dapat dijadikan dasar untuk mengetahui struktur umur yang bermanfaat untuk ikut memetakan permasalahan yang dihadapi pendudukan serta upaya penanganannya. Bagaimana gambaran jumlah penduduk Kabupaten Rembang menurut umur dan jenis kelamin pada tahun 2007 dapat diperhatikan tampilan tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007 Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah 0 – 4 26.420 25.171 51.591 5 – 9 27.136 25.870 53.006 10 – 14 28.833 27.486 56.796 15 – 19 31.483 30.242 61.725 20 – 24 28.815 27.981 56.796 25 – 29 25.270 25.988 51.258 30 – 34 24.018 24.730 48.748 35 – 39 23.278 24.141 47.419 40 – 44 21.078 20.754 41.832 45 – 49 16.926 15.318 32.244 50 – 54 12.391 11.259 23.650 55 – 59 8.355 8.896 17.251 60 – 64 8.547 10.327 18.874 65 + 15.287 21.213 36.500 Jumlah 297.837 299.376 597.213 Sumber: BPS Kabupaten Rembang, 2007. Dari data pada tabel 2 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi kependudukan Kabupaten Rembang termasuk dalam kategori struktur muda. Artinya, kelompok penduduk umur 0-24 tahun jumlahnya relatif besar, 46.87 hampir mendominasi jumlah total penduduk di daerah ini. Selain itu juga dapat dikemukakan bahwa kabupaten Rembang telah berhasil mencapai tingkat TFR relatif rendah dimana dalam komposisi penduduk pada bagian kelompok umur balita 0-4 tahun tidak pada posisi yang dominan atau tidak merupakan jumlah terbesar. Jumlah terbesar adalah kelompok penduduk kategori remaja yang berumur 15 - 19 tahun ,berikutnya berturut-turut penduduk kelompok umur 10 -14 tahun dan 5-9 tahun. Kondisi kependudukan tersebut tentu tidak terlepas dari adanya intervensi berbagai program kependudukan yang mulai diimplementasikan pada tahun 1970- an antara lain program KB, pendewasaan usia kawin dan lain-lain yang didukung oleh penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang lebih baik. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat baik yang diperuntukkan bagi masyarakat umum seperti tercermin dalam pelayanan di Pusat Kesehatan Masyarakat Puskesmas maupun yang diperuntukkan khusus bagi kelompok Ibu dan Anak seperti Balai Kesehatan Ibu dan Anak BKIA. Hingga tahun 2007 di kabupaten Rembang terdapat sejumlah 16 Puskesmas dan 71 Puskesmas Pembantu termasuk di dalamnya BKIA yang tersebar diseluruh kecamatan dan beberapa desa BPS, 2007. Selain itu dengan kondisi komposisi penduduk sebagaimana tercermin pada tabel 2, maka terdapat hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan dan diantisipasi kemungkinan timbulnya permasalahan yang menyertainya. Pertama, komposisi penduduk seperti itu dalam jangka pendeksangat mendesak diperlukan ketersediaan fasilitas pendidikan lanjut yang representatif dan proporsional dengan penduduk golongan remaja dan usia sekolah yang merupakan jumlah terbesar. Kedua, perlu diperluas kesempatan kerja dan peluang berusaha, mengingat penduduk golongan umur bekerja juga merupakan peringkat berikutnya setelah golongan umur remaja dan sekolah. Kesempatan kerja dan peluang berusaha tampaknya benar-benar menjadi persoalan krusial dari komposisi penduduk sebagaimana tercermin pada tabel tersebut. Apabila hal itu tidak dapat diupayakan, maka yang terjadi adalah jumlah anak yang terancam putus sekolah, tidak sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah semakin meningkat dan tingkat pengangguran tinggi serta jumlah penduduk miskin semakin meningkat. Oleh karena itu dalam konteks ini, upaya pengembangan dalam pengusahaan garam dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.

4.1.2. Dinamika Politik Pemerintahan

Meskipun nama Kabupaten Rembang sendiri belum tercatat dalam sejarah Indonesia sebelum masa kerajaan Demak namun beberapa daerah yang sekarang ini menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Rembang memiliki bukti-bukti sejarah jauh sebelum datangnya pengaruh India. Di Desa Plawangan Kecamatan Kragan, yang terletak sekitar 35 km dari kota Rembang ke arah timur menuju Tuban ditemukan sebuah situs kuno yang diberi nama Situs Plawangan Sukendar Due Awe, 1982; Prasetyo, 1995. Situs merupakan peninggalan Megalitikum yang sangat langka yang berupa kerangka manusia dari periode jaman logam tua Paleometalic. Dari hasil penggalian arkheologis ditemukan kerangka manusia yang pada waktu itu dikubur di dalam tempayanbelanga dengan sikap duduk. Di dalam tempayan itu juga ditemukan berbagai benda seperti manik-manik, gerabah, benda-benda logam, keramik, dan sebagainya. Peninggalan historis dari jaman klasik juga ditemukan di Desa Kajar yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Lasem pegunungan. Di kawasan desa ini ditemukan sebuah gua yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Gua Tinatah yang merupakan sebuah goa kecil yang di sisi atapnya terlihat seperti permukaan batu yang ditatah, sehingga terlihat lebih rata daripada permukaan batu pada goa-goa pada umumnya. Selain gua, di wilayah tersebut juga terdapat situs Batu Lingga. Batu Lingga merupakan sebuah simbol bagi masyarakat Hinduklasik yang bermakna sebagai “kesuburan” baik untuk alam maupun untuk kelangsungan hidup manusia. Pada masa Kerajaan Majapahit dapat diketahui dengan agak pasti bahwa Rembang berada di bawah kekuasaan Lasem Titi Surti Nastiti dan Nurhadi Rangkuti 1988: 8. Nama Lasem sendiri sudah dikenal pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja Majapahit pada pertengahan pertama abad XIV. Pada masa itu Lasem merupakan salah satu daerah yang termasuk di wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Sumber lokal yaitu Badrasanti menyebutkan bahwa pada tahun 1351 Lasem diperintah oleh Dewi Indu yang merupakan adik raja Hayam Wuruk. Dewi Indu yang bersuami Pangeran Rajasa Wardhana mempunyai wilayah kekuasaan dari daerah Pacitan sampai ke muara Bengawan Solo Sri Soejatmi Satari, 1985: 487-488; Rekso Wardojo, 1985. Jadi Lasem merupakan salah satu pusat kerajaan di bawah Majapahit yang wilayahnya cukup luas. Dalam kitab Negara Kertagama pupuh X2 dapat diketahui adanya kerajaan-kerajaan kecil atau daerah bawahan Majapahit di Jawa yang diperintah oleh seorang yang disebut ”bhre” atau ”bathara”. Kerajaan-kerajaan kecil itu adalah Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Peguhan, Singasari, Wirabhumi, Mataram, Kahuripan, dan Panawuhan Slamet Muljono, 1979. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lasem waktu itu merupakan salah satu vasal dari kerajaan Majapahit. Peranan Lasem dalam kerajaan Majapahit dapat diketahui dari suatu lembaga yang disebut dengan istilah “Bhattara Saptaprabhu” yaitu semacam Dewan Pertimbangan Kerajaan. Sebagai penasehat raja dewan ini memiliki anggota yang terdiri dari para sanak saudara raja yang berjumlah 7 orang, salah satu dari padanya adalah penguasa dari Lasem adalah Bhre Lasem. Lasem memiliki arti yang cukup penting bagi Majapahit sebagai pusat pembuatan kapal. Raja Hayam Wuruk sendiri pernah mengunjungi Lasem pada tahun 1354 Sartono Kartodirdjo, 1975: 279. Sumber lokal Babad Badrasanti menceritakan penguasa-penguasa Lasem setelah Dewi Indu. Diceritakan bahwa Dewi Indu memiliki anak yang bernama Pangeran Badrawardhana yang kemudian berputra Pangeran Wijayabadra. Pangeran ini kemudian berputra Pangeran Badranala. Pangeran Badranala kawin dengan Putri Champa yang bernama Bi Nang Ti dan mempunyai putra yaitu Pangeran Wirabajra dan Pangeran Santibadra. Selanjutnya pangeran Wirabajra yang menjabat adipati Lasem mempunyai putra yang bernama Wiranegara. Berbeda dengan para pendahulunya, Pangeran Wiranegara belajar agama Islam sejak kecil di pesantren Ampel Gading Surabaya. Pada akhirnya Pangeran Wiranegara diambil menantu oleh Sunan Ampel untuk dinikahkan dengan putrinya yang bernama Maloka. Wiranegara menjadi adipati Lasem hanya lima tahun. Setelah ia meninggal diganti oleh istrinya. Pasangan Wiranegara dan Maloka memiliki putri yang kemudian diperistri oleh Raden Patah, Sultan Demak. Sejak saat itu Lasem tidak lagi berada di bawah kekuasaan Majapahit, tetapi berada di bawah perlindungan kesultanan Demak. Pada saai inilah kota Rembang juga mulai mengalami perkembangan yang terpisah dengan Lasem. Tome Pires, seorang pelaut Portugis yang pernah mengunjungi pantai Utara Jawa antara tahun 1512 hingga 1515 yaitu pada saat kerajaan Demak mulai berkembang pesat sudah menyebut Rembang Remee sebagai salah satu kota yang penting. Ia meyebut Rembang di antara pelabuhan-pelabuhan penting lainnya seperti Cirebon, Tegal, Semarang, Demak, Jepara dan lain-lainya. Pada masa kekuasaan kesultanan Demak, Rembang difungsikan sebagai salah satu tempat untuk pembuatan kapal. Rembang merupakan salah satu pusat pembuatan kapal yang digunakan oleh armada Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1509 Cortesao, 1967: 189. Pada periode selanjutnya, yaitu pada masa kesultanan Pajang, daerah Rembang yang masih menjadi bagian dari wilayah Lasem mengakui kekuasaan kerajaan baru ini. Pelantikan Jaka Tingkir Hadiwijaya sebagai raja di kerajaan Pajang pada tahun 1581 dihadiri oleh penguasa Sedayu, Tuban, Pati, Lasem, dan penguasa daerah pantai di Jawa Timur lainnya. Menurut De Graaf hal ini membuktikan bahwa kedudukan raja Pajang dianggap sebagai maharaja oleh para penguasa pesisir De Graaf, 1987: 187. Ternyata keberadaan kerajaan Pajang tidak lama. Pada tahun 1584 Senopati berhasil mengalahkan Mataram dan mendirikan kerajaan baru dengan nama Mataram. Dengan hancurnya kerajaan Pajang, maka daerah-daerah pesisir memerdekakan diri dan tidak terikat kepada Mataram. Faktor inilah yang kemudian mendorong raja-raja Mataram untuk melakukan penaklukan- penaklukan daerah pesisir utara Jawa. Apabila saat itu Rembang termasuk wilayah kekuasaan Lasem, maka pada masa Senopati, Rembang belum dikuasai oleh Mataram, karena Lasem baru dapat ditaklukan Mataram di bawah Sultan Agung pada tahun 1616. Setelah penaklukan Sultan Agung ini, wilayah Lasem termasuk Rembang ditempatkan sebagai bagian dari wilayah Pati. 22 Pada periode inilah tampaknya Rembang dapat berkembang dengan pesat lepas dari bayang- bayang kebesaran Lasem. Pada masa selanjutnya, yaitu pada masa pemerintahan Kartasura yang dimulai pada tahun 1680, daerah Rembang sudah diperhitungkan sebagai daerah tersendiri yaitu masuk dalam wilayah Pesisiran Wetan bersama dengan daerah Jepara, Kudus, Pati, Juwana, Pajangkungan, Lamongan, Gresik, dan lain-lain. Bahkan nama Lasem sudah tidak disebutkan lagi. Mungkin justru sebaliknya, Lasem menjadi bagian dari wilayah Rembang. Hal ini terjadi terutama setelah dihancurkannya pemberontakan orang Cina di Lasem pada tahun 1743. Karena jasa-jasanya dalam menumpas pemberotakan ini, Paku Buwana II menyerahkan daerah pesisir utara Jawa dari Semarang hingga Surabaya kepada VOC. Jadi sejak 22 Rupanya, sampai masa Amangkurat I, Rembang belum merupakan daerah yang berdiri sendiri, tetapi masih sebagai bagian dari wilayah “kekuasaan Pati”. Lihat H.J. de Graaf, 1987. Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I . Jakarta: Grafiti Pers. Hlm. 128. saat itu daerah Rembang dan Lasem berada di bawah kekuasaan VOC. Oleh karena Lasem dipandang sebagai pusat perlawanan orang Cina maka pusat pemerintahan di kawasan itu dipindahkan dari Lasem ke Rembang dengan bupati yang diangkat oleh VOC. Keputusan VOC inilah yang sangat menentukan jalannya sejarah Rembang dan lasem pada masa berikutnya. Pada masa pemerintahan Daendeles 1808-1811 Rembang dijadikan sebagai perfectur semacam karesidenan yang terdiri dari 4 kabupaten, yaitu Rembang, Juana, Lasem dan Tuban. 23 Tampaknya untuk masa selanjutnya Rembang tetap menjadi pusat pemerintahan untuk daerah di sekitarnya, sedangkan Lasem selalu berada di bawah satuan administrasi Rembang. Sejak tahun 1830 Rembang menjadi pusat karesidenan dan kabupaten serta distrik, sedangkan Lasem hanya merupakan sebuah onderdistrik atau setingkat kecamatan pada saat ini yang dikepalai oleh seorang Demang yang berada di bawah Kabupaten Rembang. 24 Dengan demikian di samping sebagai ibukota kabupaten, Rembang juga merupakan ibukota karesidenan, bahkan juga sebagai ibukota distrik yaitu Distrik Rembang. Rembang merupakan tempat kedudukan Residen, Bupati, dan kepala Distrik Rembang. Hal ini berarti bahwa di samping sebagai kota perdagangan, Rembang juga merupakan kota pemerintahan. Karesidenan Rembang berbatasan dengan Karesidenan Surabaya di sebelah timur, Karesidenan Jepara dan Kabupaten Grobogan di sebelah barat, Karesidenan Madiun dan Kediri di sebelah selatan, dan Laut Jawa di sebelah utara. 25 Pada waktu itu Karesidenan Rembang terdiri dari 4 kabupaten yaitu : Kabupaten Rembang, Blora, Tuban, dan Bojonegoro. Adapun untuk Kabupaten Rembang sendiri terdiri dari tujuh wilayah distrik, yaitu : Rembang, Waru, Binangun, Kragan, Sulang, Pamotan, dan Sedan. Luas wilayah kabupaten ini 23 Gambaran Rembang pada masa pemerintahan Daendels dapat dilihat pada Laporan Daendels Tahun 1814, Staat der Nederlandsch Oost-Indische bezittingen 1808-1811. Ordonantie No. 1169, 1 September 1808. Koleksi ARNAS RI, Jakarta. 24 Perkembangan pembagian wilayah Rembang pada periode tersebut ditemukan pada “Van Rembang naar Toeban” dalam Tijdscrift voor Nederlandsch Indie TNI, 1850, I, hlm. 46 dst; terdapat juga dalamTNI. 1849. I. “Residenttie Rembang in het jaar 1845”. Hlm. 406. 25 “Van Rembang naar Toeban”, dalam TNI, 1850, I, hlm. 45.Lihat juga P.J. Veth, Java: Geografisch, Etnologisch, Historisch III Haarlem, 1875-1878, hlm. 25-25. Kultuur Verslag tahun 1845, Arsip Rembang No. 1627, ARNAS RI, Jakarta. sekitar 1.032 km² yang merupakan sepertujuh dari bagian luas wilayah Karesidenan Rembang. Kabupaten Rembang berbatasan dengan Kabupaten Tuban di sebelah timur, Kabupaten Blora di sebelah selatan, Karesidenan Jepara di sebelah barat, dan Laut Jawa di sebelah utara. Sejalan dengan diberlakukannya Decentralisatie Besluit, maka pada tahun 1905 karesidenan atau gewest Rembang memperoleh hak-hak otonomi tertentu dengan adanya pembentukan sebuah dewan daerah yang disebut Gewestelijke Raad untuk Keresidenan Rembang Panitia Peringatan Hari Jadi ke-252 Kabupaten Dati II Rembang, 1993: 58. Struktur pemerintahan mengalami perubahan lagi ketika sejak 1 Januari 1930 diterapkan Provincie Ordonantie 1929 Staatsblad No. 227 tahun 1929 yang mengatur mengenai pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Sebagai wilayah provinsi, Jawa Tengah merupakan daerah otonom dengan hak-hak otonomi tertentu. Untuk itu pada tingkat pemerintahan provinsi juga dibentuk Dewan Provinsi Provinciale Raad. Pada waktu itu Keresidenan Rembang dan Jepara digabung menjadi satu dengan nama Keresidenan Rembang- Jepara, yang terdiri dari Kabupaten Jepara, Rembang, Pati, Blora dan Kudus. Sementara itu Kabupaten Bojonegoro dan Tuban yang sebelumnya menjadi bagian wilayah Keresidenan Rembang, sejak saat itu dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Kecenderungan struktur pemerintahan yang desentralistik pada pasa akhir pemerintahan kolonial Belanda berubah lagi ke arah struktur yang sentralistik pada masa pendudukan Jepang. Segera setelah menguasai Indonesia, pemerintah pendudukan Jepang segera mengeluarkan Undang-undang No. 27 tahun 1942 yang menetapkan bahwa seluruh wilayah Jawa, kecuali wilayah “Vorstenlanden” wilayah bekas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dibagi menjadi: Syuu Karesidenan, Si Kotapraja, Ken Kabupaten, Gun Distrik, Son Onder Distrik dan Ku Kelurahan. Bentuk pemerintahan provinsi dihapus, sedangkan Karesidenan Jepara-Rembang diubah menjadi Syuu Pati. 26 26 Dalam hal ini pemerintah pendudukan Jepang menerapkan sistem pemerintahan militeristik, lebih lanjut dapat dilihat Kan Po, No. 1 Tahoen I Boelan 8-2602. Setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, pemerintah Republik Indonesia kembali mengadopsi struktur pemerintahan yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Provinsi Jawa Tengah dibentuk kembali dan Rembang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan, Kabupaten, dan Kawedanan distrik Rembang. Setelah sistem keresidenan dan kawedanan dihapuskan sejak diberlakukannya Undang-undang No.22 Tahun 1948 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 10 tahun1950, maka Rembang tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten hingga sekarang ini. 27 Rembang sebagai wilayah administrasi tingkat kabupaten dipimpin oleh bupati sebagai penyelenggara pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif dan sebagai tindak lanjut dari implementasi Undang-undang No. 22 tahun 1999 untuk pertamakalinya dipilih secara langsung oleh rakyat. Adapun pembagian wilayah administrasi kabupaten Rembang dapat diperhatikan tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Tahun 2007 No. Kecamatan Ibukota Kecamatan Desa Kelurahan Jumlah 1. Sumber Sumber 18 18 2. Bulu Bulu 16 16 3. Gunem Gunem 16 16 4. Sale Sale 15 15 5. Sarang Kalipang 23 23 6. Sedan Sedan 21 21 7. Pamotan Pamotan 23 23 8. Sulang Sulang 21 21 9. Kaliori Tambakagung 23 23 10. Rembang Leteh 27 7 34 11. Pancur Pancur 23 23 12. Kragan Balongmuyo 27 27 13. Sluke Sluke 14 14 14. Lasem Soditan 20 20 Jumlah 287 7 294 Sumber: BPS Kabupaten, 2007. Dari tabel 3 dapat diketahui, bahwa pada saat ini 2007 secara administrasi kabupaten Rembang dibagi dalam 14 kecamatan, 287 desa dan 7 kelurahan. Pembagian dalam wilayah administrasi kelurahan ini sebagai implementasi dari Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang pemerintah daerah. Hingga sekarang ini yang terkait dengan eksistensi administrasi desa dan 27 Undang-Undang No. 10 Tahun 1950 tertanggal 4 Juli 1950 tersebut dapat dilihat pada Lembaran Negara RI Tahun 1950. Hlm. 86-93. kelurahan yang dipimpin oleh kepala desa dan kepala kelurahan masih tetap, hanya berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 didampingi Badan Perwakilan Desa BPD yang dipilih secara langsung oleh masyarakat desa.

4.1.3. Sosial Ekonomi

Secara garis besar, gambaran historis perekonomian Kabupaten Rembang dapat dibagi menjadi dua, yaitu perekonomian agraris yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat pedalaman dan perekonomian nonagraris yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di pesisiran. Di daerah pertanian, sejak jaman dulu penduduk Rembang mempunyai kebiasaan untuk mengolah tegalan yang luas di samping sawah yang kurang berkembang karena kurangnya peluang untuk mengairi sawahnya, kecuali pada musim hujan. Di tegalan-tegalan mereka menanam tanaman palawija dan berbagai jenis tanaman lain yang dapat digunakan untuk menjaga kemungkinan jika panen padi mengalami kegagalan. Dengan kondisi yang seperti itu, Rembang bukanlah wilayah pertanian yang subur yang dapat menghasilan produk pertanian melimpah untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Baru setelah pemerintah kolonial Belanda melakukan ekspansi ekonomi pertanian di daerah Rembang melalui program Tanam Paksa, sektor pertanian di wilayah ini terkena imbas untuk dapat berkembang. Seperti diketahui bahwa Tanam Paksa yang lebih menekankan pada pengembangan tanaman komersial pada akhirnya juga memberi peluang berkembangnya pertanian tanaman pangan. Hal ini terjadi sehubungan dengan politik ekonomi kolonial yang tidak menginginkan penduduk pribumi yang dipaksa bekerja di sektor tanaman komersial menjadi kelaparan yang mengakibatkan program Tanam Paksa itu sendiri akan mengalami kegagalan. Pada prinsipnya sebetulnya Belanda menghendaki agar kebutuhan pangan penduduk tetap tercukupi, sehingga Tanam Paksa juga tidak akan menghadapi kesulitan. Penduduk pribumi semakin lama semakin terbiasa dengan ”situasi komersial” yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial dan para pengusaha Barat lainnya. Bahkan apabila terdapat permintaan pasar, mereka seringkali lebih senang menanam tanaman sekunder agar dapat memperoleh keuntungan secara finansial, misalnya pada masa kolonial Belanda, banyak petani yang menanam tembakau. Dengan demikian, bersamaan dengan pelaksanaan Tanam Paksa yang memperkenalkan berbagai jenis tanaman komersial yang laku di pasaran Eropa, pemerintah Belanda juga berusaha mengenalkan berbagai varietas padi yang dapat meningkatkan hasil panen petani. Pada masa Tanam Paksa, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan beberapa jenis varietas padi di Rembang. Ada tiga jenis padi utama yang ditanam di daerah Rembang yaitu “dalem”, “tengahan”, dan “genjah”. Padi jenis “dalem” terdiri dari tjani, langkungan, papah aren, sri kuning, mendjangan mangle, koentoel ngaijak. Padi jenis “tengahan” terdiri dari apa yang disebut genjah, sasrabaija, dan riwong, sedangkan padi jenis “genjah” terdiri dari pendok pootie, pendok besi, koentoelan dan mentik. Adapun jenis-jenis tanaman kedua sampingan di Karesidenan Rembang yang sangat umum ditanam oleh penduduk antara lain: jagung, ketela, kapas, semangka, krai, ubi, talas, bentool, jarak, kacang, lombok, kedelai, terong, ketimun, dan sebagainya. Untuk tanaman tembakau banyak dibudidayakan penduduk di daerah Kabupaten Bojonegoro dan Tuban di mana terdapat aliran sungai Bengawan Solo. 28 Sementara itu penduduk yang tinggal di daerah pantai hidup dari sektor nonpertanian seperti perdagangan, industri prahu atau kapal, nelayan, pengusahaan garam, pengolahan ikan, industri batik dan lain-lainnya. Pada tingkat lokal, perdagangan terjadi terutama antara masyarakat pertanian yang menjual hasil-hasil pertanian mereka dengan masyarakat pantai yang menghasilkan berbagai produk nonpertanian, seperti garam, ikan asin, kain, dan berbagai komoditi yang diimpor dari daerah lain melalui transportasi baik darat melalui jalan Daendels maupun laut melalui laut Jawa. Sebaliknya masyarakat pedalaman memperdagangkan berbagai produk pertanian seperti beras, jagung, berbagai jenis sayuran, palawija, ternak. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sejak sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat, Rembang termasuk Lasem terkenal sebagai penghasil kayu jati yang sangat terkenal sebagai bahan untuk membuat kapal dan konstruksi bangunan. Daerah ini merupakan sentra pembuatan kapal sejak jaman 28 Kultur Verslag der Residentie Rembang over het jaar 1855. Koleksi ANRI Jakarta. No. 1627. Majapahit hingga masa kerajaan Demak. Sehubungan dengan penyerahan daerah Rembang oleh Paku Buwana II kepada VOC pada tahun 1743, maka sejak saat itu produksi kayu jati di Rembang dimonopoli oleh VOC. Sebagian besar kayu dari daerah Rembang diekspor ke Batavia. Di Batavia kayu jati ini digunakan untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh VOC dan sebagian dijual kepada perusahaan swasta. Pada tahun 1777 misalnya, lebih dari 50.000 batang dan 75.000 papan kayu jati dari daerah Rembang dikirim ke Batavia. Sebagian besar kayu ini diangkut oleh para pelayar Cina. Hanya sebagian kecil sekitar 15 diangkut oleh prahu pribumi. Baik orang-orang Cina maupun orang Jawa yang berperan dalam pengapalan kayu jati ini berasal dari Rembang dan Lasem. Namun demikian sebagian besar armada yang digunakan untuk mengangkut kayu ini berasal dari Lasem yaitu sekitar 23 volume prahu yang mengangkut sekitar 50 hingga 60 kayu jati dari kawasan Rembang. Dengan adanya eksploitasi VOC inilah hutan di kawasan Rembang menjadi sangat berkurang. Di samping dilakukan oleh swasta yang mendapat lisensi dari VOC, penebangan kayu juga merupakan bagian penyerahan wajib contingenten yang dibebankan oleh VOC kepada penduduk pribumi. Meskipun daerah Rembang dan Lasem merupakan produsen kayu jati yang istimewa namun pada periode VOC ini pembuatan kapal di Lasem tidak lagi berkembang. Hal ini disebabkan oleh pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh VOC. Pada tahun 1777 VOC melarang pembuatan kapal dengan volume lebih dari 20 ton meskipun untuk kemudian ditingkatkan menjadi 50 ton. Namun demikian VOC memperketat seleksi untuk memberikan lisensi kepada pihak swasta yang membangun kapal. Kebijakan itu tampaknya terkait dengan kepentingan VOC sebagai kongsi dagang yang ingin mendulang keuntungan sebesar-besarnya dari kayu jati sebagai komoditi. Hal itu dapat diketahui karena justru sejak VOC ini hutan jati di Jawa termasuk di kawasan Rembang ditebang dalam skala lebih luas dan besar-besaran yang dipergunakan untuk pembuatan kapal, mereparasi kapal maupun barang dagangankomoditi. Untuk reparasi kapal selama periode VOC di Indonesia dikirim lebih dari 30 buah kapal dengan berat 400-450 last per tahun. 29 Setelah terjadi pergantian penguasaan dari VOC ke pemerintah kolonial Belanda menjelang abad XIX, industri perkapalan di Rembang berkembang kembali, khususnya di desa Dasun, Lasem. Dengan adanya perusahaan kapal ini penduduk sekitar juga ikut ambil bagian sebagai tenaga kerja. Namun demikian ketika bala tentara Jepang datang, perusahaan ini ditinggalkan oleh pemiliknya. Selanjutnya kawasan ini juga dijadikan pusat pembuatan kapal oleh tentara pendudukan Jepang. Pada waktu pendudukan Jepang, Lasem dijadikan sebagai salah satu tempat dari enam tempat pembuatan kapal di pantai utara pulau Jawa Pasar Ikan Jakarta, Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan Juana. Pemilihan Lasem sebagai galangan kapal di samping karena mudah memperoleh kayu jati, Lasem juga memiliki posisi yang sangat strategis dari segi militer. Fasilitas galangan kapal yang sudah ada di desa Dasun diperluas oleh Jepang dan dijadikan sebagai prioritas utama galangan kapal di Jawa. Pemerintah pendudukan Jepang pada waktu itu sangat membutuhkan alat transportasi laut untuk mengangkut bahan pangan dan obat-obatan yang dibutuhkan tentara mereka yang sedang menghadapi sekutu di kawasan Indonesia Timur dan Pasifik. Pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia sedang menghadapi kesulitan untuk mendatangkan kapal dari Jepang sebab mereka menghadapi blokade tentara Sekutu. Program pembuatan kapal di Lasem ini melibatkan 44.000 orang buruh Indonesia dan 215 orang teknisi Jepang. Pada tahun 1942, galangan kapal Dasun ini menghasilkan 150 kapal yang kebanyakan diberi tenaga mesin diesel dan pada tahun 1943 menghasilkan 127 kapal. Pada tahun 1944 direncanakan akan membangun 700 kapal namun hanya berhasil memproduksi 343 buah. Untuk 29 Oleh karena itu selama kekuasaan VOC kerusakan hutan jati sangat parah, karena adanya eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya hutan tersebut. Bahkan dalam proses penebangan dan pengangkutan kayu jati di wilayah Rembang ini VOC menerapkan kerja wajib pada petani dengan kompensasi membebaskan dari sebagian pajak yang harus dibayar petani. Lihat Warto. 2001. ”Blandong. Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Rembang Abad ke 19” . Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta. Hlm.62-67. pembuatan dan perluasan pabrik ini, pemerintah pendudukan Jepang di Lasem melakukan relokasi terhadap tiga kampung di Dasun. Ratusan hektar kawasan di Dasun digunakan untuk gudang kayu jati dan bangsal pembuatan kapal kayu. Namun demikian selama perang kemerdekaan, fasilitas pembuatan ini hancur atau dihancurkan sebagai stretegi bumi hangus yang dilakukan oleh tentara Republik. Akhirnya industri kapal Rembang ini hancur dan tidak pernah bangkit lagi hingga sekarang. Meskipun sektor industri pernah tumbuh dan berkembang di Rembang, tapi hingga sekarang ini sektor tersebut tidak pernah menjadi tumpuhan sumber penghidupan bagi mayoritas penduduk Rembang. Hal ini tentu tidak terlepas dari keterbatasan aksesibilitas penduduk terhadap aset-aset produkstif yang ada di lingkungannya dan salah satunya adalah lahan. Adapun total luas lahan di kabupaten Rembang saat ini adalah 101.408.035 ha yang terdiri dari lahan sawah, kering, tambak, kolam dan rawa. Untuk lebih jelasnya tentang luas lahan menurut peruntukannya dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Luas Lahan Kabupaten Rembang Menurut Peruntukannya Tahun 2007 N o . Peruntukan Luas ha 1 . Lahan sawah 28.577.754 2 . Lahan kering 71.450.244 3 . Tambak 1.345.771 4 . Kolam 2.256 5 . Rawa 32.010 Jumlah 101.408.035 Sumber: BPS Kabupaten Rembang, 2007 Dengan luas lahan menurut peruntukannya yang didominasi lahan kering, memang tampak jelas bahwa kabupaten Rembang bukan merupakan daerah pertanian yang subur. Lahan sawah yang adapun lebih merupakan lahan tadah hujan dimana budidaya pertanian hanya dilakukan pada saat musin hujan, sehingga sektor pertanian cenderung tidak dapat menjadi tumpuhan sumber nafkah penduduknya. Padahal mayoritas penduduk kabupaten Rembang bermatapencaharian sebagai petani, sebagaimana tampak pada table 5 berikut ini. Tabel 5. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan pekerjaanMatapencaharian No. Matapencaharian Jumlah 1. Pertanian 166.421 2. Pertambangan penggalian 3.746 3. Industri 26.721 4. Listrik, gas dan air 485 5. Konstruksi 11.339 7. Perdagangan 51.011 8. Angkutan Komunikasi 12.649 9. Keungan 3.330 10. Jasa 27.841 11. Lainnya 134 Jumlah 303.677 Sumber: BPS Kabupaten Rembang, 2007 Dari data pada tabel 5 tersebut tampak jelas bahwa sektor pertanian menjadi andalan sumber nafkah bagi mayoritas penduduk kabupaten Rembang, yaitu sebanyak 166.421 orang atau 54.80 dari total penduduk umur 15 tahun. Dalam hal ini penduduk yang bekerja di sektor pertanian termasuk di dalamnya adalah petani garam yang berjumlah 7232 orang atau 4.34 dari jumlah total petani. Meskipun jumlah petani garam jauh di bawah jumlah petani agraris, tapi karena lahan pertaniannya tadah hujan, maka sektor pengusahaan garam menjadi sangat berarti bagi penduduk kabupaten Rembang. Hal ini terkait dengan proses budidaya garampembuatan garam justru dilakukan pada musim kemarau disaat petani agraris tidak dapat melakukan budidaya pertanian. Selain itu sektor garam sebagai komoditi juga membuka peluang bagi berkembangnya usaha lain seperti sebagai bakulpedagang, agenpengepul, pabrik, industri perikanan dan lain-lain. Dengan begitu secara komulatif sebenarnya banyak penduduk yang menggantungkan sumber nafkah dari sektor garam tersebut. Mengenai industri perikanan laut di kabupaten Rembang ini pada dasarnya telah berkembang jauh beberapa abad yang lalu. Pada abad XIX misalnya, perikanan laut juga merupakan matapencaharian utama masyarakat pesisir di Rembang. Selain perikanan laut, masyarakat pantai juga membudidayakan ikan di tambak-tambak atau kolam ikan di tepi pantai. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tambak-tambak dapat dijumpai terutama di daerah Waru, Bancu, Jenu, dan Rembes sekarang termasuk dalam wilayah kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke. Perkampungan nelayan dapat dijumpai terutama di dekat kota Rembang. Mereka banyak memelihara ikan terutama bandeng dan belanak. Bagi para nelayan, ikan menjadi konsumsi dan produksi harian dengan cara dikeringkan atau diasinkan untuk selanjutnya diangkut ke pedalaman dan pasar- pasar baik di daerah Rembang maupun ke keresidenan lain Indriyanto, 1996: 330-331. Dengan berkembangnya industri perikanan ini tentu tidak tertutup kemungkinan jika di kawasan pertambakan ikan tersebut juga dikembangkan industri garam sebagaimana realitasnya saat ini. Oleh karena itu berbeda dengan industri perkapalan, industri perikanan dan garam yang memanfaatan sumberdaya laut hingga saat ini tetap menjadi andalan matapencaharian hidup masyarakat di wilayah pantai kabupaten Rembang. Dapat dikemukakan, bahwa sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan pantai kabupaten Rembang memiliki matapencaharian sebagai petani garam dan nelayan. Untuk nelayan biasanya memperoleh ikan tangkapan jenis ikan kembung, tengiri, kakap, tongkol, udang, dan lain-lain. Namun demikian penduduk pantai ini biasanya tidak hanya menekuni satu matapencaharian saja tetapi cukup bervariasi. Jika musim ikan sedang baik, mereka selain budidaya tambak dan membuat garam juga menjadi nelayan. Jika sedang musim kemarau, selain bekerja sebagai pembuat garam dari pagi sampai siang, pada sore dan malam hari juga menjadi nelayan. Jika musim penghujan dan cuaca buruk, mereka melakukan pekerjaan apa saja yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Pada umumnya pekerjaan yang dilakukan antara lain menjadi tukang, buruh, dan pekerjaan sektor non formal. 4.2. Perkembangan Pengusahaan Garam 4.2.1. Periode Tradisional Garam sebetulnya merupakan bahan mineral yang secara luas mudah didapatkan karena terdapat di dalam kandungan air laut. Konsentrasi unsur garam dalam air laut sekitar 30 gram garam per liter air laut. Hal ini berarti bahwa sekitar sepertiga air laut merupakan garam. Selain dapat dijumpai di air laut, unsur garam juga dapat dijumpai di muara sungai, bahkan danau di pedalaman, ataupun sumber air asin sebagaimana yang dapat ditemukan di daerah Kuwu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Meskipun persediaan garam di muka bumi ini merupakan mineral yang paling banyak dijumpai, namun pada kenyataannya pada masyarakat yang hidupnya jauh dari laut, akses terhadap garam menjadi kendala tersendiri apalagi ketika alat transportasi dari daerah pedalaman ke pantai belum berkembang dengan baik. Justru karena itulah produksi dan perdagangan garam dapat berkembang dengan baik. Bagi daerah pedalaman, garam merupakan komoditi yang sangat langka dan berharga. Pentingnya garam pada jaman dahulu dapat ditemukan pada masa kuno ketika berbagai masyarakat memberikan persembahan makanan termasuk garam dalam upacara keagamaan di Yunani Kuno, Romawi, Yahudi, dan Kristen. Dalam sejarah Barat, garam merupakan medium perdagangan yang penting dalam kegiatan komersial di kawasan Laut Tengah dan Laut Aegea. Selain itu produksi dan perdagangan garam juga menjadi objek industri dan perdagangan yang dipajaki oleh para penguasa di Asia sejak jaman dulu hingga saat ini. Bahkan di beberapa wilayah pedalaman pada masa tradisional, garam layaknya berfungsi sebagai uang atau alat tukar. Pentingnya komoditi garam tentu saja seirama dengan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya benda ini untuk kesehatan baik manusia maupun hewan periharaan dan makluk hidup lainnya. Pada jaman dahulu ketika pengetahuan orang tentang zat kimia masih kurang, kebanyakan garam masih merupakan garam mentah yang belum dicampur dengan senyawa iodium untuk mencegah penyakit gondok. Barulah setelah ilmu pengetahuan berkembang, ada kebutuhan untuk mencapur garam dengan unsur iodium agar di samping memberikan rasa yang enak kepada makanan juga dapat mendukung kesehatan kepada konsumennya. Sudah barang tentu pencampuran ini tidak dapat dilakukan