Moda Produksi KAJIAN TEORITIK

norma pemilikan di lain pihak. Dalam hal ini ditampilkan beberapa corak moda produksi dari komunal purba ancient, feodal sampai ke kapitalisme modern dan komunisme. Cara produksi dalam corak komunal purba ditandai oleh kepemilikan hak milik secara kolektif dan pembagian kerja sangat kecil dengan ketergantungan yang tinggi pada alam dan alat-alat yang digunakan masih sangat sederhana. Pada masa ini, hubungan yang terbangun antar individu bersifat egaliter dan komunal karena ketergantungan antar individu sangat besar. Adapun cara produksi feodal telah menunjukkan corak yang sangat berbeda, yaitu ditandai dengan munculnya eksploitasi tuan tanah pada pekerja dan berkembangnya bidang pemerintahan dan perdagangan. Sistem feodal ini pada akhirnya memberikan jalan bagi cara-cara produksi borjuis dengan hubungan-hubungan sosial yang menyertainya. Dalam hal ini terjadi perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideologi individualisme dan berkurangnya hubungan yang manusiawi menjadi hubungan- hubungan pemilikan yang bercorak eksploitasif dan hirarkhis, majikan-buruh. Corak produksi kapitalis seiring dengan revolusi industri dan penemuan- penemuan teknologi, terjadi kemajuan yang pesat dalam proses produksi. Kaum buruh memiliki hubungan dengan majikankapitalis semata-mata sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya untuk menghasilkan produk-produk yang akan dijual dalam sistem pasar yang bersifat impersonal. Cara produksi yang seperti ini pada akhirnya banyak mencerabut nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan eksploitasi terhadap tenaga kerja buruh sampai mereka mengalami keterasingan alienasi. 11 Russel 1989 tampaknya juga masih dalam tradisi pemikiran Marx di mana ia membuat tipologi moda produksi antara lain dalam kategori komunal transisi dan kapitalis. Moda produksi komunal bersifat egaliter yang ditandai oleh adanya kesetaraan kekuasaan dalam komunitas semua berperan sebagai tenaga 11 Lihat Social Relation and the Production of Ideas Karl Marx Frederick Engels dalam Boudon, Raymond Cherkaoui, Mohamed ed.. 2000. Central Currents In Social Theory. The Roots of Sociological Theory 1700-1920 . Vol. III. London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publication. Hlm. 67-78. Juga Taylor, John G. 1989. From Modernization To Modes Of Production. A Critique of the Sociologies of Development and Underdevelopment . London: The Macmillan Press Ltd. Hlm 105-138. Moda produksi yang di dalamnya terkandung unsur kekuatan produksi dan saling hubungan produksi pada hakekatnya menjadi determinan untuk memahami eksistensi, perkembangan dan dinamika sistem ekonomi kapitalis beserta dampak yang ditimbulkannya. kerja dalam proses produksi dengan pembagian kerja berdasar umur dan kesamaan akses terhadap alat produksi, sehingga semua individu mendapatkan bagian yang sama dalam pangan dan kebutuhan lainnya. Moda produksi transisi, lebih dimaknai sebagai cara-cara produksi petani mandiri ataupun pemilikan sederhana. Dalam hal ini sudah mulai tumbuh ketidaksetaraan dalam partisipasi kerja dan kontrol terhadap alat produksi. Adapun moda produksi kapitalis merupakan tipe kelas yang dicirikan struktur majikan-tenaga kerjaburuh pada hubungan produksinya. Dalam bangunan herarkhi yang jelas itu terjadi eksploitasi oleh kapitalis terhadap tenaga kerjaburuh melalui penghisapan atas surplus produksi. Taylor 1989 mengidentifikasi adanya kombinasi lebih dari satu moda poduksi yang beroperasi pada masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga di mana kondisi itu dianalisis dalam kerangka teori modernisasi atau keterbelakangan. Dalam pandangan Taylor memang penetrasi moda produksi kapitalis telah menembus hampir semua masyarakat di Dunia Ketiga dan hal itu merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindarkan mengingat konstruksi ekonomi kapitalis yang menempatkannya pada kooptasi dan ketergantungan. Namun demikian moda produksi non kapitalis juga masih tetap eksis dan berlanjut meskipun adakalanya dalam tekanan dan dominasi moda produksi kapitalis. Dalam hal yang demikian tampaknya moda produksi non kapitalis terutama yang lebih dahulu eksis dan berkembang dalam masyarakat lokal memiliki kemampuan untuk bertahan atau memiliki daya lenting resilience. 12 Di Indonesia kondisinya juga tidak berbeda di mana terdapat kecenderungan beroperasinya beragam moda produksi sebagaimana ditunjukkan oleh Kahn dalam kasus masyarakat Minangkabau yang memiliki moda produksi subsisten, moda produksi komersialis dan moda produksi kapitalis. Demikian juga hasil penelitian Sitorus pada kasus pengusaha tenun dalam masyarakat Batak 12 Pengertian resilience mengacu pada adanya kemampuan suatu sistem dalam memberikan tanggapan terhadap suatu gangguan baik yang disengaja maupun tidak. Dalam hal ini resilience merupakan sifat suatu sistem yang memungkinkannya kembali pada stabilitas semula bahkan untuk menyerap dan memanfaatkan gangguan yang menimbulkan dinamika atau perubahan. Lihal Irwan,Zoer’aini Djamal.1997. Prinsip-Prinsip Ekologi Dan Organisasi Ekosistem Komunitas Lingkungan . Jakarta: Bumi Aksara. Toba meskipun terdapat penetrasi dan dominasi moda produksi kapitalis, tetapi moda produksi lokal masih tetap eksis. 13 Bagaimana proses masuknya moda produksi kapitalis antara lain dapat dirunut dari adanya landasan semangat untuk melakukan akumulasi kapital yang berdampak pada terjadinya perubahan moda produksi. Secara umum terdapat kecenderungan, bahwa pada awalnya moda produksi lebih bercorak non kapitalis di mana barang-barang yang dihasilkan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan umumnya dikerjakan dengan produksi rumah tangga yang dicirikan dengan ketrampilan dan keahlian tradisional serta dikerjakan oleh anggota keluarga. Dalam perkembangannya moda produksi itu digantikan kapitalis dengan menempatkan produk sebagai komoditi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Dalam sistem kapitalisme segala bentuk hasil produksi dan reproduksi memiliki kecenderungan untuk dijadikan komoditi yang dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas atau “nilai guna” use–value, tetapi untuk mencari “nilai lebih” profit dari “nilai tukar” exchange value. Dengan demikian dalam sistem kapitalis tercipta proses komodifikasi, yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar. Dalam pandangan Marx komoditi disebut sebagai social hieroglyphic, karena komoditi tidak hanya dilihat sebagai benda, tetapi tersembunyi hubungan sosial. Pada kasus petani garam di Rembang juga tampak beroperasinya beragam moda produksi yang dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu non kapitalis dan kapitalis. Moda produksi non kapitalis cenderung terekspresi pada proses produksi garam yang dilakukan oleh petani garam dalam kategori petani kecil di mana mereka memproduksi garam dalam skala kecil dengan teknologi dan keahlian tradisional yang berorientasi untuk survival serta bercorak household farm . Dalam kondisi yang demikian hubungan produksi yang terbangun lebih bercorak komunal dan egaliter, tidak ada kompetisi dan eksploitasi. Adapun moda 13 Baik pada kasus masyarakat Minangkabau maupun Batak Toba ditemukan beroperasinya beragam moda produksi yang terjalin dalam saling keterkaitan yang integratif dalam bentuk yang bersifat asimetris di mana moda produksi kapitalis lebih mendominasi moda produksi lainnya, dalam Sitorus. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba . Disertasi. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. produksi kapitalis terekspresi dalam proses produksi yang dikendalikan oleh petani besar pemilik lahan luas di mana mereka memproduksi garam dengan menggunakan tenaga kerja perombong, pengolok, mandor dan kuli dalam skala besar dengan teknologi dan keahlian modern serta didasarkan pada cost-benefit calculation . Dengan demikian hubungan produksi yang terbangun berstruktur buruh-majikan, sudah ada kompetisi dan eksploitasi.

2.4. Marjinalisasi

Marjinalisasi dalam penelitian ini mengacu pada penggambaran suatu konstruksi sosial yang menempatkan sebagian dari kelompok sosial dalam totalitas struktur sosial itu oleh suatu sistem ditempatkan dalam keadaan ketertinggalan atau dipinggirkan. Peminggiran itu biasanya berlangsung dalam bentuk dan bersumber dari adanya eksploitasi, maka konsep marjinalisasi tidak bisa dipisahkan dengan konsep eksploitasi. Terbangunnya kondisi yang marjinal atau terbelakang dalam pandangan kaum Maxian lebih disebabkan oleh adanya kontradiksi dari sistem kapitalisme, yaitu perampasan surplus. Pada keadaan yang demikian ini, sistem kapitalis melalui beroperasinya kapital telah menciptakan kemajuan ekonomi bagi sebagian kecil dan menciptakan keterbelakangan bagi sebagian besar masyarakat. Bahkan menurut Frank, perampasan surplus berkaitan dengan eksploitasi yang kemudian berdampak pada semakin meluasnya jaringan kapitalis. Diantara dunia kapitalis dengan metropolis nasional menuju pusat-pusat regional, berlangsung perampasan surplus oleh kekuatan kapitalis melalui praktek ekonomi yang eksploitatif. Pada jaringan berikutnya sebagian besar pemilik lahan atau pedagang merampas surplus dari petani kecil atau penyewa dan seringkali kemudian juga pada para pekerja tanpa tanah Culley, 1977. Pada kasus petani garam, sebagai produsen garam krosok dalam konteks perdagangan garam posisinya termarjinalkan karena adanya penutupan akses ke pasar oleh pelaku ekonomi di jalur pemasaran. Petani lahan sempit dan penggarap hanya diposisikan sebagai produsen. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya eksploitasi yang terwujud dalam bentuk relasi sosial kerja antara petani penggarapperombongburuh dengan petani pemilik dan antara petani kecil dengan pelaku usaha lain di jalur pemasaran dan permodalan serta dengan pabrikan sebagai produsen garam jadi. Dalam mata rantai usaha garam itu penggarapperombongburuh adalah pihak yang paling kecil mendapatkan keuntungan dan paling rentan dibandingkan dengan lainnya, baru berikutnya petani kecil dan petani besar. Petani penggarapperombongburuh sangat tergantung dan ditentukan secara sepihak oleh pemilik, mereka hanya memiliki hak untuk memproduksi garam dengan kewajiban menyerahkan sepenuhnya hak penjualan pada pemilik dan pemiliklah yang menentukan harga. Adapun petani hanya dapat menjual pada pedagang atau makelar yang telah dikenal yang bergerak di jalur pemasaran dan permodalan dan mereka ini yang cenderung mempermainkan harga. Pada dasarnya kondisi yang demikian sudah dapat dikategorikan sebagai eksploitasi, karena adanya unsur kesengajaan penutupan akses oleh pihak tertentu pada pihak lain untuk tidak mendapatkan keuntungan dari sumber daya yang ada. Demikian juga pada tingkat global, kekuatan ekonomi kapitalis memiliki kecenderungan untuk dengan sengaja menutup akses pelaku ekonomi lokal dan nasional dapat menembus pasar global, agar supaya mereka tetap dapat menguasai dan mendominasi pasar global. Sementara itu lawan konsep global adalah konsep lokal mengandung pengertian suatu komunitas dalam lingkup spatial dan sosial tertentu yang terbatas dan dalam hal ini adalah komunitas petani garam di kabupaten Rembang. Dalam hal ini konsep ”komunitas” tidak secara sederhana diacukan kepada lokalitas dan penduduknya, tetapi meletakkan konsep komunitas sebagai problematik, yaitu sebagai seperangkat hubungan-hubungan sosial yang mungkin atau tidak mungkin eksis dalam sebuah lokalitas, atau mungkin eksis dalam berbagai tingkatan Hall, David Willmott, 1983. Sebagai suatu komunitas sosial, petani garam di kabupaten Rembang bukanlah merupakan suatu komonitas yang berwajah tunggal dan homogen. Mereka terdiri dari kelompokkelompok sosial yang memiliki status dan peran masingmasing. Antara satu kelompok dengan yang lainnya memiliki hubungan hubungan tertentu yang terpola sebagai suatu struktur sosial. Dalam hal ini struktur sosial mengacu pada hubunganhubungan sosial yang secara fondamental