Kerangka Pemikiran KAJIAN TEORITIK

mengidentifikasi unsur utama dari suatu tahap tertentu dari sejarah produksi dengan memperlihatkan bagaimana bentuk dasar ekonominya dan saling hubungan sosialnya. Dalam analisis teoritik Marx, moda produksi kapitalis dapat tumbuh dan berkembang di Eropa seiring dengan revolusi industri dan penemuan- penemuan teknologi yang berimbas pada terjadinya kemajuan yang pesat dalam proses produksi. Dalam konteks ini terbangun berbagai jenis tatanan struktural sebagai produk dari sistem kapitalisme. Melalui sistem kapitalisme itu sejumlah kecil kapitalis pemilik kapitalmodal menguasai proses produksi, produk dan curahan tenaga kerja dari orang-orang yang bekerja untuk mereka. Terkait dengan itu adalah teori Marx tentang nilai tenaga kerja yang mendasarkan hipotesisnya, bahwa tenaga kerja merupakan sumber dari seluruh kekayaan kapitalis atau pemilik modal. Dalam hal ini kapitalis memiliki kecenderungan untuk memberi nilai atau upah atas hasil kerja tenaga kerja kurang dari yang selayaknya mereka terima. Nilai surplus yang mestinya menjadi hak tenaga kerja inilah yang justru dinikmati kapitalis untuk kemudian diinvestasikan kembali oleh kapitalis dan merupakan basis dari seluruh sistem kapitalis Ritzer, 1996; Marx dalam BoudonCherkaoui, 2000: 252-258; Taylor, 1989: 143-149. Dengan demikian pada dasarnya sistem kapitalisme itu tumbuh melalui tingkatan eksploitasi oleh kapitalis terhadap orang-orang yang melakukan produksi secara langsung tenaga kerja yang terus menerus meningkat dan dengan menginvestasikan surplus untuk mengembangkan sistem kapitalisme itu sendiri Sementara itu pada masyarakat kontemporer khususnya di negara-negara berkembang menunjukkan kecenderungan hadirnya lebih dari satu moda produksi yang saling kait-mengkait dan moda produksi kapitalis mendominasi moda produksi non kapitalis. Oleh Taylor 1989 kondisi tersebut tidak terlepas dengan gelombong modernisasi yang dilancarkan negara-negara maju terhadap negara berkembang di dunia ketiga. Dalam hal ini Russel 1989 yang mengembangkan pemikiran Marx tentang moda produksi mengemukakan, bahwa moda produksi mode of production di dalamnya mencakup dua elemen penting yang saling terkait, yaitu kekuatan produksi forces of production dan hubungan produksi relation of production. Pada komunitas petani garam juga tampak fenomena hadirnya dua moda produksi, yaitu moda non kapitalis dan kapitalis. Hanya saja kedua moda produksi itu memiliki keterkaitan integratif yang bersifat asimetris, yaitu moda produksi kapitalis mendominasi moda produksi non kapitalis dan surplus dari beroperasinya moda produksi non kapitalis diserap ke dalam moda produksi kapitalis melalui mekanisme pasar market mechanism dan sistem bagi hasil yang dikembangkan pada komoditi garam. Hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dan ekspansi ekonomi global yang pada akhirnya mengonstruksi marjinalisasi petani garam. Bagaimana permasalahan marjinalisasi petani garam dikaji dalam konteks formasi sosial kapitalis dapat diperhatikan gambar 1 berikut. K E K U A T A N P R O D U K S I Asosiasi Petani Garam Rakyat ASINIRAYA Asosiasi Prodosen Garam ASPROGA Lahan Teknologi Pasar - Luas 5 ha - Bagi hasil - Memiliki Modaluang - Akses Bank Modern inovasi pengolahan lahan, diesel, gudang, alat transportasi - Pasar, Agen, Pabrik - Distribusi ke Masyarakat - Supra Lokal - Kecil 0,5 ha - Tidak memeliki lahan Tidak punya modal uang dan akses Tradisional local knowledge, kincir, tenaga manusia, gubug - Pedagang - Tengkulak - Lokal HUBUNG AN P RO DUKS I Egaliter Household Farm Buruh - Majikan Industri Patron - Client M A R JI N A L IS A S I P E T A N I G A R A M Modal Gambar 1. Diagram Alir Marjinalisasi Petani Garam dalam Formasi Sosial Kapitalis E K S P L O IT A S I POLARISASI OLEH K. LOKAL AKUMULASI KPITAL LOKALSUPRA LOKAL DOMINASI TEK. SUPRA LOKAL HEGEMONI PS. SUPRA LOKAL EK SPAN SI EK ON OM I GLOBAL POL. EK. PEMERINTAH - Klasifikasi SNI, - Iodiumisasi, - Impor, dll MODA PRODUKSI NON KAPITALIS MODA PRODUKSI KAPITALIS Buruh Upah Petani Penggarap Petani Kecil Petani Besar PedagangTe ngkulak Pabrikan Agen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Hipotesa Pengarah

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu teori maupun hipotesa, tetapi sebagai suatu kegiatan penelitian ilmiah tetap diperlukan adanya suatu hipotesa pengarah yang dapat berfungsi sebagai guide atau penunjuk kemungkinan arah penelitian dan sama sekali tidak mengikat seperti halnya pada penelitian kuantitatif. Dalam hal ini hipotesa pengarah yang dirumuskan bersifat fleksibel, longgar dan terbuka untuk dilakukan perubahan-perubahan bahkan penggantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan ketika penelitian dilakukan. Hipotesa pengarah tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka hipotesa pengarah dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Pertanyaan tentang sejarah pengusahaan garam:  Dengan pengusahaan garam sebagai komoditi strategis diduga dapat memberi keuntungan finansial yang diperebutkan oleh berbagai kekuatan pengusaha dan penguasa. Hal itu berlangsung dalam rentang sejarah yang panjang, yaitu sejak jaman prakolonial, kolonial hingga Indonesia kontemporer.  Kondisi petani dalam konteks pengusahaan selama rentang sejarah tersebut, diduga tidak konstan melainkan terjadi perkembangan dan perubahan-perubahan sebagai akibat dari perebutan berbagai kekuatan. b. Pertanyaan tentang ekspansi ekonomi global yang telah mendorong terjadinya marginalisasi petani garam lebih pada aspek kesejarahan  Pada komoditi garam diduga telah terjadi ekspansi ekonomi global dan dalam konteks ini pemerintah, pemodal dan aktor lain ikut berperan dalam memberi respon, sehingga mempengaruhi kedudukan petani garam yang semakin termarjinalkan. Ekspansi ekonomi global terhadap komoditi garam bukan lagi terbatas pada bidang perdagangan trading tetapi sudah merambah dan menggilas bidang pengadaanbudidaya production. Akibat dari proses itu adalah posisi petani garam menjadi semakin lemah dan termarjinalkan.  Berbagai peran dari kekuatan supra lokal tersebut diduga mengalami dinamika dan perubahan dari waktu ke waktu ?. Pada jaman kolonial pemerintah melakukan monopoli dalam produksi dan distribusi garam, setelah Indonesia merdeka pemerintah semula masih melanjutkan monopoli tetapi kemudian cenderung melepas di pasar bebas yang berimbas pada semakin termarjinalkannya petani garam. c. Pertanyaan tentang marginalisasi petani garam dalam kaitannya dengan persoalan struktural:  Struktur sosial petani garam diduga telah menempatkan petani garam petani kecil dan buruh pada posisi marginal. Hal ini antara lain tercermin dari struktur sosial yang semakin terpolarisasi di mana petani kecil, petani penggarap dan buruh upah hanya bergerak di sektor produksipembuatan garam dan ditutup aksesnya ke pasar. Terjadi proses polarisasi di mana petani kecil, petani penggarap dan buruh upah terkungkung pada bidang jasa tenaga kerja sebagai buruh produksi, sedangkan bidang pengolahan lanjut advanced processing unit dan trading dikuasai pemodal yang juga menguasai lahan, teknologi dan jalur pemasaran.  Pengaturan tata niaga garam oleh pemerintah diduga cenderung tidak berpihak pada petani garam, tetapi lebih berpihak pada pengusaha utamanya pada aras supra lokal. Antara lain dapat dilacak dibalik kebijakan tentang penentuan SNI untuk produk garam rakyat, iodiumisasi dan impor garam.  Moda produksi kapitalis diduga telah mendominasi moda produksi non kapitalis, sehingga berkontribusi bagi marginalisasi petani garam. Hal itu antara lain tercermin dari adanya penetrasi kekuatan produksi forces of production seperti struktur penguasaan lahan, kepemilikan modal, penggunaan teknologi dan penguasaan pasar. Selain itu juga tercermin dari adanya hubungan-hubungan produksi relation of production yang