Paradigma Penelitian METODOLOGI PENELITIAN

kehidupan sosialnya baik yang menyangkut relasi sosial, sistem nilai sosial, keyakinan, norma dan lain-lain. Dengan melakukan perlawanan itu petani garam dapat tetap survive ditengah-tengah tekanan struktural, meskipun dalam kondisi hidup yang subsisten. Selain itu dengan aksi perlawanan, juga terkandung harapan terjadi perubahan struktural di mana petani garam dapat lebih terbuka aksesnya pada sumberdaya ekonomi yang terkait dengan komoditi garam. Penggunaan paradigma konstruktivisme dalam penelitian ini antara lain didasarkan pertimbangan, bahwa paradigma konstruktivis yang dalam prakteknya menurunkan metodologi konstruktivisme menjadi dasar bagi terbangunnya teori grounded dan ini tentu dapat menjadi alternatif dalam memberi sumbangan positif terhadap perkembangan penelitian sosiologi. Dalam hal ini rigor pendekatan grounded research selalu penelitian kualitatif untuk membangun frame work dalam eksplanatori dan ini juga sangat berbeda dengan positivisme yang lebih didominasi kuantitatif dengan orientasi verifikatif Denzin Lincoln, 2000. Paradigma konstruktivisme berada dalam pengaruh kuat pemikiran Weber dengan verstehen nya yang kemudian dikembangkan oleh teoritisi interpretif dan fenomenologi Husserl dan Schultz. Dalam hal ini tampak bertolak belakang dengan positivisme, konstruktivisme sebagaimana interpretif dan fenomenologi memiliki kecenderungan untuk menolak objektivitas. Objektivitas sebagaimana dianut positivisme sangat meyakini adanya fakta, realitas empiris yang objektif yang berada di luar dunia subjektif, sedangkan konstruktivisme lebih meyakini bahwa yang ada adalah pemaknaan tentang empiris di luar yang dikonstruk, empirical-constructed facts . Bahkan konstruktivisme lebih konsen bagaimana interaksi antar manusia membantu menciptakan realitas sosial. Konstruktivis percaya bahwa manusia tidak menemukan pengetahuan yang sedemikian banyak sebagaimana yang dikonstruksi atau dibuat Marvasti, 2004. Paradigma konstruktivisme secara umum mendasarkan pada frame work, bahwa; 1 Realitas sosial adalah bukan sebagai sesuatu yang objektif melainkan subjektif, 2 Realitas sosial merupakan variabel-variabel situasional dan kultural, 3 Dalam realitas sosial terdapat kesadaran ideologi, pemikiran maupun intelektual Marvasti, 2004. Dengan demikian dalam kerangka kerja berfikir konstruktivisme mensyaratkan adanya sensitivitas peneliti dan juga partisipan dari tineliti. Konstruktivisme lebih menitik beratkan pada persoalan bagaimana tineliti memahami dan memberikan makna pada pengalaman mereka sendiri dan peneliti melibatkan tineliti secara eksplisit dalam menganalisis realitas sosial. Menurut paradigma konstruktivisme, bahwa interpretasi subjektif bukan sebagai sumber terjadinya bias, tapi justru akan membantu peneliti memahami bagaimana orang, masyarakat ikut membangun realitas sosial. Selain itu konstruktivisme agak mengesampingkan hukum-hukum universal dari perilaku manusia dan lebih menekankan pada bagaimana makna dan konsekuensi praktis dari perilaku, sebagai satu objek yang antara satu situasi dengan situasi lain berbeda atau antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain berbeda. Sementara itu mengingat pandangan konstruktivisme, bahwa realitas sosial itu bersumber dari interaksi antar manusia, antar subjek, maka makna yang dihasilkannya merupakan makna yang subjektif. Namun subjektivitas dalam konteks ini merupakan satu kebenaran. Menurut paradigma konstruktivisme manusia sebagai subjek yang bersifat subjektif, tidak mungkin dapat didekati dengan ilmu yang bersifat objektif sebagaimana yang dilakukan positivisme. Apabila memaksakan menggunakan ilmu objektif untuk dipakai mempelajari manusia sebagai objek, justru dapat dikatakan merupakan suatu bias yang mendasar atau kesalahan yang fatal. Paradigma konstruktivisme sebagaimana pemikiran fenomenologi pada dasarnya berusaha untuk mengerti makna dari berbagai peristiwa dan interaksi sosial dalam situasinya yang khusus. Penelitian dengan model ini memiliki kecenderungan dimulai dengan tanpa pedoman kerangka teoritik. Artinya peneliti tidak menganggap bahwa dirinya mengetahui tentang makna dari berbagai hal dari orang-orang atau komunitas yang ditelitinya. Sikap yang demikian merupakan suatu usaha untuk menangkap segala kemungkinan dari apa yang sedang ditelitinya. Cara konstruktivisme sebagaimana fenomenologi menekankan berbagai aspek subjektif dari perilaku manusia dan hal ini dimaksudkan agar supaya dapat mengerti tentang bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka sehari-hari Geertz, 1973. Kelemahan paradigma konstruktivisme antara lain masih terdapat batas yang jelas antara peneliti dan tineliti meskipun peneliti dalam menangkap dan memahami realitas sosial lebih menekankan pada dimensi tineliti, tetapi kegiatan peneliti cenderung tidak memberi kontribusi yang mempengaruhi eksistensi tineliti. Selain itu konstruktivisme terutama dalam aspek metodologinya masih sangat ketat seperti hermeunetik, interpretif, fenomenologi, PRA dan sebagainya. Dengan demikian meskipun paradigma konstruktivisme dalam mengungkap dan memahami makna yang terkandung dalam dunia subjektif individu telah meletakkannya dalam dimensi emik dineliti, tetapi masih dalam konteks kepentingan peneliti belum secara langsung menyentuh ranah kepentingan tineliti. Berangkat dari adanya kesadaran akan kelemahan ini, maka penelitian ini juga bergerak pada derajat memberi makna bagi kepentingan tineliti utamanya dalam rangka membangun kesadaran kolektif collective consciousness atas kondisi marjinal yang terkonstruksi secara struktural. Dengan demikian penelitian ini tidak hanya sekedar memberi pemahaman tentang dominasi dan eksploitasi yang berujung pada marjinalisasi, tetapi juga diarahkan untuk ikut membantu menciptakan kesetaraan equality dan kemajuan emansipasi dalam kehidupan sosial masyarakat petani garam yang menjadi subyek penelitian. Pada dasarnya pilihan penggunaan paradigma tersebut didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, dari segi ontologi penelitian ini dilakukan tidak dalam rangka verifikasi suatu teori maupun hipotesis, tetapi untuk mendapatkan penjelasan tentang suatu realitas sosial tertentu yang terbentuk dalam suatu proses sepanjang waktu process over time tertentu, dalam konteks sosial tertentu dan hanya dapat ditangkap secara tidak lengkap atau terbatas Denzin Lincoln, 2000. Kedua, dari segi epistemologi realitas sosial pada hakekatnya tidak semata- mata sebagai suatu yang objektif, melainkan juga merupakan hasil intersubjektif diantara tineliti dan peneliti. Realitas sosial merupakan hasil kehendak manusia secara sadar yang tidak mungkin dipisahkan dari kekhususan hubungan antar manusianya yang terlibat, termasuk para peneliti yang mengambil bagian di dalamnya serta mentafsir realitas yang dihadapinya. Jadi dalam hal ini terjadi interaksi dan dialog antar dua subjek, yaitu subjek peneliti dan subjek tineliti. Ketiga, dari segi metodologi realitas sosial dapat diungkap dan dipahami dengan menggunakan metode kualitatif. Dalam hal ini paradigma konstruktivis yang dipilih juga menekankan pentingnya penggunaan metode kualitatif, karena realitas sosial tidak semata-mata yang objektif, tetapi terdapat makna dibalik yang objektif itu dan untuk dapat mengungkap makna yang terkandung dalam realitas sosial itulah diperlukan metode kualitatif.

3.3. Metode Penelitian

Sejalan dengan pilihan paradigma dan untuk mendapatkan gambaran serta pemahaman yang sesungguhnya dari suatu realitas yang kontekstual, maka penelitian ini menerapkan strategi “studi kasus” dengan menggunakan metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan agar dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana dan mengapa realitas terbentuk dan bagaimana dan mengapa realitas itu dapat memberi arti dan makna baik pada individu maupun komunitas. Dalam konteks penelitian kualitatif realitas terbentuk dari interaksi sosial socially constructed dan oleh karena itu tujuan penelitian kualitatif pada dasarnya adalah untuk mendapatkan pengertian atas subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri. Hal ini berakibat bahwa pendekatan penelitian ini mensyaratkan adanya seperangkat asumsi yang berbeda dengan jika perilaku manusia didekati untuk tujuan mendapatkan fakta-fakta dengan sebab-sebabnya Bogdan Biklen, 1982. Meskipun penelitian ini merupakan penelitian sosiologi, tetapi juga terkait dengan sejarah sebab penelitian ini juga akan mengkaji proses marjinalisasi dalam masyarakat petani garam dan oleh karenanya penelitian ini dapat dikatakan sebagai multi disiplin. Sebagai penelitian multi disiplin, maka metode yang digunakan juga bersifat multi metode, yaitu meliputi metode sejarah dan metode penelitian sosiologi. Metode sejarah digunakan untuk mengungkap historical aspect dari proses terjadinya marjinalisasi petani garam dan perkembangan ekspansi ekonomi global, sedangkan metode penelitian sosiologi digunakan untuk dapat mengungkap, memahami realitas sosial aktual yang mencakup marjinalisasi, ekspansi ekonomi global, dan bentuk-bentuk perlawanan kolektif petani garam. Memang persoalan yang terkait dengan marjinalisasi, ekspansi ekonomi global, dan perlawanan petani garam merupakan realitas aktual yang bersifat sosiologis, tetapi pada dasarnya persoalan itu sebenarnya merupakan hasil dari proses sejarah. Oleh karena itu fenomena sosiologis itu tidak dapat semata-mata dikaji dari perspektif aktual kekinian tetapi juga harus didekati dengan perspektif historis. Pengkajian persoalan aktual dengan pendekatan historis memiliki kelebihan dalam hal kejelasan baik struktur maupun prosesualnya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika C. Wright Mills berpendapat “Every social science or better, every well considered social study-requires an historical scope of conception and a full use of historical material” Skocpol, 1984. Pendekatan historis akan mampu memberikan deskripsi dan argumentasi dalam rangka menjawab pertanyaan “mengapa” suatu realitas aktual terjadi? Di samping itu pendekatan ini juga memberikan alat untuk melakukan eksplanasi atas pertanyaan “bagaimana” proses terjadinya sebuah realitas aktual. Proses perubahan yang terjadi dirangkai dalam time series tertentu yang terangkai dengan eksplanasi dan argumentasi mengenai hubungan kausalitas antara satu fenomena dengan fenomena yang lain. Dalam hubungan itulah penelitian ini juga akan menggunakan metode sejarah yang sangat bermanfaat untuk merekonstruksi masa lampau dalam rangka untuk menjelaskan fenomena aktual masa kini. Menurut Garraghan, metode sejarah merupakan seperangkat aturan dan prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesa hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. 17 Sementara itu Gottschalk mendefinisikan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. 18 Dalam menerapkan metode sejarah ini ada empat langkah, yaitu; 1 Heuristik pengumpulan sumber yang dalam penelitian sosiologi disebut sebagai pengumpulan data baik berupa sumber primer arsip, dokumen, foto maupun sumber sekunder jurnal, buku, 2 Kritik, intern dan ekstern terhadap sumber sejarah yang diperoleh penilaian kritis terhadap sumber sejarah yang 17 Gilbert J. Garraghan. 1957. A guide to Historical Method. New York: Fordham University Press. Hlm. 18. Lihat juga Teuku Ibrahim Alfian. 1984. “Rekonstruksi Masa Lampau” dalam Anas Sudijono Penghimpun, Bunga Rampai Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey IAIN Sunan Kalijaga. Hlm. 33. Dalam konteks ini unsur subjektivitas peneliti juga sulit dihindarkan, terutama jika telah sampai pada tahapan penilaian secara kritis terhadap sumber sejarah yang didapat. 18 Lihat Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hlm. 32. Proses ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber sejarah dan kemampuan intelektual peneliti, karena fakta sejarah cenderung bercorak fragmentaris berupa serpihan atau potongan-potongan realitas masa lalu.