Analisis Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Jawa Barat

pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi economic growth jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat stakeholders dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan integration dan koordinasi Peng et al., 2006. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: i pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah eko-hidrologis yang berlangsung di wilayah pesisir yang sedang dikelola; ii kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan iii kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang produk dan jasa lingkungan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang strategic plan serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung tiga dimensi: i sektoral, ii bidang ilmu dan iii keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antarsektor atau instansi horizontal integration; dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pemerintah pusat vertical integration. Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu interdisciplinary approaches, yang melibatkan berbagai bidang ilmu yang relevan. Hal ini wajar mengingat wilayah pesisir pada dasarnya merupakan pertemuan berbagai sistem yang terjalin secara kompleks dan dinamis.

5.3.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Jawa Barat

Wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat memiliki nilai strategis karena selain merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, juga memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang kaya. Mengingat nilai yang terkandung di dalamnya cukup besar, maka pengelolaannya layak dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai sektor terkait. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menekankan perlunya pengelolaan secara terpadu sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 tahun 2002 , kenyataanya pengelolaan pesisir Jawa Barat masih bersifat sektoral dan bias daratan. Kebijakan pengelolaan pesisir Jawa Barat sama dengan kebijakan pesisir lainnya yang sektoral dan bias daratan, sehingga menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Pratikto 2005 mengemukakan bahwa dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas oleh kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing belum oleh nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan tidak berkelanjutan. Ini disebabkan oleh faktor ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, dan konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik open access property, sementara dalam pasal 33 UUD tahun 1945 dinyatakan sebagai milik pemerintah state property. Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat common property bahkan ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi quasi private proverty Pratikto, 2005. Dari sisi daratan, penguasaanpemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil masih mengalami ketidakpastian hukum. Di dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria UUPA hanya mengatur sebatas pemilikan penguasaan tanah sampai pada garis pantai sedangkan wilayah pesisir yang merupakan wilayah pantai dan laut tidak diatur dalam UU ini. Secara khsusus terdapat ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di dalam UU tersebut, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.

5.3.3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir