Aspek psikososial, Aktivitas Fisik, konsumsi Makanan, Status Gizi dan Pengaruh Susu Plus Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (MEDP) Terhadap Respons Imun IgA Lansia

(1)

ASPEK PSIKOSOSIAL, AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI

MAKANAN, STATUS GIZI DAN PENGARUH SUSU

PLUS PROBIOTIK

Enterococc us faecium IS-27526

(MEDP) TERHADAP RESPONS IMUN IgA LANSIA

OLEH:

RUSILANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

RUSILANTI.

Psychosocial aspect, physical activity, food consumption, nutrition status, and the effect of milk enriched by “dadih” probiotic Enterococcus faecium IS 27526 (MEDP) on immun response IgA of the elderly. Supervized by CLARA M KUSHARTO, ALIKHOMSAN, EKAWATI S WAHYUNI, INGRID S SURONO.

Elderly represents an ever-increasing population in Indonesia. Many of health issues face by the elderly as a consequence of declining physiologic function along with ageing, which leads to predispositio n of infectious and non- infectious diseases,increase morbidity and convalescence.

The aims of thisresearchare: a) to analyze psychosocial aspect of the elderly in nursing home and community, b) to analyse physical activity, consumption and nutritional status of the elderly in nursing home and community, c) to analyse the effect of milk enriched by “dadih” probiotic Enterococcus faecium IS 27526 (MEDP) on immun response IgA of the elderly. The locations are purposively selected at three “kelurahan” : Bud i agung, Baranangsiang, and Situ Gede and two nursing home : Panti Sukma Raharja and Panti Kasih Mulia Sejahtera in Bogor City. The study design are a cross-sectional. . Total sample 237 elderly, 40 elderly in nursing home and 197 in community (age range 60 – 85 years; mean: 68 year), and clinical trial study : thirty six healthy elderly volunteers in two nursing home (age range: 60 – 80 y; median : 68 y) participate in 2-stages dietary intervention trial lasting 6 wk. During stage 1 (run in), subject consumed low- fat milk (125 ml ones daily for 3 wk). During stage-two (intervention), they consumed MEDP for 3 wk..

The study showed that : no significant difference in psychosocial aspect, physical activity and nutritional status between elderly in the nursing home. Both of them have low depression and high life satisfaction. No significant difference in physical activity and nutritional status of the elderly live in nursing home and the community (p>0.05). In terms of sufficiency level, significant differenc e exist for vitamin C (p<0.05). The overall research reveals a significant increase of total IgA serum at 95% confident level (p<0.05) by supplementing probiotic milk. Tukeys analisys showed that IgA difference was significant after probiotic milk treatment but not during milk treatment. This implies that supplementation with MEDP may increase the immune response of the elderly.


(3)

ABSTRAK

RUSILANTI. Aspek psikososial, Aktivitas Fisik, konsumsi Makanan, Status Gizi dan Pengaruh Susu Plus Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (MEDP) Terhadap Respons Imun IgA Lansia . Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO, ALI KHOMSAN, EKAWATI,S WAHYUNI, INGGRID S SURONO.

Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar. Seiring dengan meningkatnya usia maka muncul permasalahan baru seperti masalah kesehatan fisik maupun mental akibat penurunan fungsi fisiologis dan mental selama proses penuaan. Hal tersebut mengakib atkan terjadinya peningkatan berbagai penyakit infeksi maupun non infeksi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk : a) menganalisis aspek psikososial lansia yang berada di panti dan di masyarakat, b) menganalisis aktivitas fisik, konsumsi makanan, dan status gizi lansia yang berada di panti dan di masyarakat, c) menganalisis pengaruh susu plus probiotik asal “dadih” Enterococcus faecum IS-27526 (MEDP) terhadap respon imun lansia.

Pemilihan lokasi dilakukan secara purposiv berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Bogor berdasarkan aktivitas posbindu yaitu di tiga kelurahan : kelurahan Budi Agung, kelurahan Baranangsiang, dan kelurahan Situgede, serta dua panti werdha yaitu Panti Werdha Sukma Raharja dan Panti werdha Kasih Mulia Sejahtera di Kota Bogor. Desain penelitian terdiri dari cross- sectional dengan total sampel 237 lansia, 40 lansia di panti dan 197 lansia di masyarakat (rentangan umur antara 60 – 85 tahun, rata-rata 68 tahun) , dan uji klinik dengan total sampel sebanyak 36 lansia (usia antara 60 – 80 tahun, median 68 tahun) mengikuti dua tahap penelitian. Tahap pertama lansia mengonsumsi susu rendah lemak sebanyak 125 ml setiap hari selama tiga minggu, dan tahap kedua mengonsumsi susu rendah lemak sebanyak 125 ml susu plus probiotik asal dadih Enterococcus faecium IS 27526 selama 3 minggu.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada aspek psikososial yaitu kondisi depresi, kepuasan hidup, aktivitas fisik dan status gizi pada lansia yang tinggal di panti maupun di masyarakat. Perbedaan signifikan terdapat pada persentase kecukupan terdapat pada persentase kecukupan vitamin C. Hasil intervensi susu probiotik menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada konsentrasi IgA serum total pada selang kepercayaan 95% p= 0.001 (p<0.05). Hasil analisis Tukeys menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi IgA total serum terdapat pada perlakuan pemberian susu probiotik, sedangkan pada pemberian susu tanpa probiotik tidak menunjukkan perbedaan nyata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian susu probiotik dapat meningkatkan respons imun IgA pada lansia.


(4)

ASPEK PSIKOSOSIAL, AKTIVITAS FISIK,

KONSUMSI MAKANAN, STATUS GIZI, DAN

PENGARUH SUSU PLUS PROBIOTIK ASAL

DADIH Enterococcus faecium IS-27526 (MEDP)

TERHADAP RESPONS IMUN IgA LANSIA

OLEH:

RUSILANTI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul Disertasi : Aspek Psikososial, Aktivitas Fisik, Konsumsi Makanan, Status Gizi, dan Pengaruh Susu Plus Probiotik

Enterococcus faecium IS-12526 (MEDP) Terhadap Respons Imun IgA Lansia

Nama : Rusilanti NRP : A.326010041 Program studi : Gizi Masyarakat

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Dr. Clara M Kusharto, MSc Prof. Dr. Ali Khomsan, MS

Ketua Anggota

Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS Dr. Ingrid S Surono, MSc

Anggota Anggota Mengetahui,

2. Ketua Program studi Gizi Masyarakat 3. Atas Nama Dekan Wakil Dekan

Prof. Dr. Ali Khomsan, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema sistem imun non adaptif (innate) dan adaptif (acqiured) ………….. 29

2. Distribusi organ dan jaringan limfosit di seluruh tubuh ………. 31

3. Seleksi klonal dalam pembentukan antibodi dan sel memori setelah kontak pertama dengan antigen ……….. 32

4. Transpor IgA melalui epitel ……… 37

5. Faktor -faktor yang mempengaruhi mikroflora usus ………. 40

6. Pengaruh penuaan pada fekal flora ……… 41

7. Manfaat positif bakteri probiotik bagi kesehatan manusia ……… 45

8. Skema kerangka pemikiran analisis psikososial dan fisik terhadap status gizi dan pengaruh susu probiotik terhadap respon imun lansia ………... 52

9. Diagram batang sebaran kondisi mental lansia berdasarkan(normal dan depresi) menurut tempat tinggal………...…... 108

10. Diagram batang sebaran kondisi mental lansia berdasarkan tempat Tinggal dan posisi lansia dalam keluarga…………...…….……….. .... 110

11. Diagram batang sebaran tingkat kepuasan lansia berdasarkan tempat tinggal 113

12. Diagram batang sebaran tingkat kepuasan lansia berdasarkan tempat tinggal 114

13.Diagram batang Sebaran aktifitas fisik lansia menurut tempat tinggal …... 133

14. Diagram batang sebaran aktifitas fisik lansia menurut tempat tinggal dan posisi dalam keluarga ………..…………..……… 135

15. Diagram batang sebaran perilaku kesehatan lansia berdasarkan tempat tinggal ……… 136

16. Diagram batang Konsentrasi IgA serum total sebelum dan sesudah perlakuan ……….…… 163


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Angka kecukupan gizi untuk lansia ………...………. 2. Kecukupan makanan satu hari (usia 60 tahun ke atas) ………...………… 3. Ringkasan manfaat kesehatan susu probiotik ………...….. 4. Kisi-kisi kuesioner kepuasan ………...……... 5. Kisi-kisi kuesioner depresi……….……….. 6. Kisi-kisi kuesioner dukungan sosial ……….……….. 7. Sebaran lansia menurut jenis kelamin ………..……...…… 8. Sebaran umur lansia berdasarkan tempat tinggal ………...………...…….. 9. Sebaran lansia menurut status perkawinan………...……... 10.Sebaran lansia menurut status pekerjaan……….. 11.Sebaran kondisi perumahan lansia………...……… 12.Hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk membahagiakan lansia………...…..…. 13.Hal-hal yang belum dapat dilakukan untuk membahagiakan lansia ……...……… 14.Hiburan yang dapat menggembirakan lansia ………....……….. 15.Cara memenuhi hiburan yang dapat membuat lansia merasa gembira…...………. 16.Kesulitan dalam merawat lansia ………...…….. 17.Hal-hal yang membuat lansia bahagia ………....…… 18.Upaya yang dapat dilakukan untuk menghibur lansia saat sedih ……… 19.Pekerjaan rumah tangga yang masih dapat dilakukan lansia ……….…...….. 20.Kepada siapa lansia minta tolong bila ada masalah………....……. 21.Yang paling memperhatikan lansia ……….….…..…… 22.Alasan tinggal di panti ………..………. 23.Kisi-kisi kuesioner aktivitas fisik ………..………... 24.Kisi-kisi kuesioner perilaku kesehatan………...…………. 25.Sebaran rata-rata konsumsi lansia berdasarkan tempat tinggal ……….…….….. 26.Sebaran rata-rata persentase kecukupan konsumsi lansia berdasarkan tempat

tinggal ……….. 27.Sebaran IMT lansia berdasarkan tempat tinggal……….. 28.Hasil selang kepercayaan Tukey 95% rata-rata selisih konsentrasi IgA serum

total ……….. 26 26 46 69 69 70 81 82 83 85 86 87 88 89 91 93 95 97 99 102 103 105 130 131 139 141 142 164


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat izin pengumpulan data untuk bahan penelitian dari

Dinas Kesehatan Kota Bogor……….. 187 Lampiran 2. Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan dari

Departemen Kesehatan RI……… 188 Lampiran 3. Formulir persetujuan sebagai responden……… 189 Lampiran 4. Ambang Batas (cut-off) Penentuan masalah gizi berdasarkan

Prevalensi ……….. 190 Lampiran 5. Foto -foto Kegiatan Penelitian ………... 191


(9)

ABSTRACT

RUSILANTI.

Psychosocial Aspect of the Elderly in N ursing Home and Community. Supervized by CLARA M KUSHARTO, ALI KHOMSAN, EKAWATI S WAHYUNI, and INGRID S SURONO.

Elderly represents an ever- increasing population in Indonesia . The projected percentage people aged 65 years or more will increase into 17% in 2050 from 5% in 2000. Trend decline of family supporting in Asia may effect to psychosocial aspect of the elderly.

The aims of this research is to analyze psychosocial aspect (depression and life satisfaction) of the elderly in nursing home and community. The locations are purposively selected at three “kelurahan” : Budi agung, Baranangsiang, and Situ Gede and two nursing home : Panti Sukma Raharja and Panti Kasih Mulia Sejahtera in Bogor City. Total sample 237 elderly, 40 elderly in nursing home and 197 in community (age range 60 – 85 years; mean: 68.4 year). The study showed that no significant difference in psychosocial aspect of the elderly in nursing home and the community. Both of them have relative low depression and high life satisfaction.


(10)

ABSTRA K

RUSILANTI.Aspek Psikososial Lansia di Panti dan di Masyarakat. Dibimbing oleh

CLARA M KUSHARTO, ALI KHOMSAN, EKAWATI S WAHYUNI, dan INGRID S SURONO.

Peningkatan usia harapan hidup di Indonesia dan di dunia pada umumnya mengala mi peningkatan yang cukup besar. Proyeksi persentase penduduk dunia berusia di atas 65 tahun 17% ditahun 2050 dari 5% di tahun 2000. Terjadinya penurunan dukungan keluarga terhadap lansia di beberapa negara Asia menimbulkan kekhawatiran terhadap aspek psik ososial lansia.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis aspek psikososial lansia yang berada di panti dan di masyarakat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposif yaitu di tiga kelurahan : Kelurahan Budi agung, Kelurahan Barana ngsiang dan Kelurahan Sit u Gede, serta dua panti werdha : Panti Werdha Sukma Raharja dan Panti Werdha Kasih Mulia Sejahtera di Kota Bogor. Total sampel sebanyak 237 lansia terdiri dari 40 lansia di panti dan 197 lansia di masyarakat berusia antara 60 – 85 tahun dengan rata-rata 68.4 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada aspek psikososial antara lansia di panti dan di masyarakat. Kedua lansia yang tinggal di tempat yang berbeda memiliki tingkat depresi yang rendah dan kepuasan hidup yang tinggi.


(11)

Pendahuluan

Arah kebijakan tentang lansia sebenarnya lebih menitik beratkan pada keluarga sebagai penanggungjawab utama terhadap lansia. Dalam hal ini dukungan dari keluarga sebagai care giver diharapkan menjadi kunci utama untuk kesejahteraan lansia.

Namun pada kenyataannya di berbagai negara terjadi penurunan dukungan dari anak terhadap lansia. Hal ini terjadi di negara Jepang pada tahun 1972 sebanyak 67 persen lansia tinggal bersama anaknya, namun pada tahun 1995 proporsi itu menurun menjadi 46 persen. Dalam hal penghasilan, pada tahun 1981 sebanyak 30 persen lansia di Jepang sumber utama penghasilannya berasal dari anak, pada tahun 1996 menurun menjadi 15 persen (Westley, 1998)

Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga menurun dari tahun ke tahun. Bagi lansia yang mandiri secara finansial, dukungan yang perlu diberikan adalah perawatan, namun seiring dengan meningkatnya jumlah wanita yang me masuki sektor publik mengakibatkan berkurangnya curahan waktu yang diberikan untuk merawat lansia sehingga diperlukan peran pengganti. Dalam hal ini masyarakat bekerjasama dengan pemerintah dapat turut membantu dalam melaksanakan perawatan terhadap lansia melalui program-program pemerintah yang ada seperti program posbindu.


(12)

Pada program tersebut lansia diperiksa kesehatannya setiap bulan sekali. Pemeriksaan yang dilakukan petugas dari puskesmas meliputi berat badan, dan tekanan darah serta pemberian vitamin berikut makanan tambahan. Bila lansia menderita gangguan kesehatan maka akan mendapatkan obat , namun bila penyakit tersebut serius akan dirujuk ke puskesmas.

Selain peran keluarga dan masyarakat dalam upaya merawat lansia, diperlukan juga peran pemerintah dalam memberikan fasilitas pada lansia seperti menyediakan tempat perawatan bagi lansia yang terlantar atau bermasalah dengan keluarga karena semakin banyaknya keluarga yang tidak mampu merawat lansia. Dalam hal ini panti werdha merupakan salah satu alternatif bentuk bantuan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia.

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS tahun 2000, jumlah lansia di propinsi Jawa Barat sudah mencapai 3,4 juta orang, sekitar setengah jumlah balita. Nantinya pada tahun 2010 lansia dan balita akan tetap bertambah namun dalam jumlah yang seimbang, sedang pada tahun 2020 jumlah lansia (11,4%) akan lebih banyak dibandingkan balita (6,9%) dan jumlah nominalnya juga semakin tinggi. Kota Bogor, propinsi Jawa Barat memiliki jumlah lansia sebesar 45.417 orang terdiri dari 23.340 laki-laki dan 22.077 perempuan (sensus penduduk tahun 2000) Usia harapan hidup (UHH) penduduk Kota Bogor lebih tingggi dari rata-rata UHH penduduk Indonesia yaitu 66,3 tahun di tahun 1996, dan 67,7 tahun ditahun 1999 sementara UHH rata-rata penduduk Indonesia adalah 65 tahun di tahun 1997.


(13)

Bila dilihat dari data tersebut, maka perlu kiranya dilakukan pengkajian lebih lanjut tentang bagaimana kondisi lansia di Indonesia, aspek-aspek yang berperan terhadap kesehatan lansia seperti aspek psikososial untuk mendapatkan gambaran lebih menyeluruh tentang kondisi lansia yang berada di kota Bogor.

Metode Penelitian

Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei penduduk usia lanjut dan rumah tangga muda yang merawat lansia untuk mengetahui kondisi aktual dari lansia dengan menggunakan desain cross-sectional. Dala m hal ini peneliti melakukan observasi terhadap lansia tanpa melakukan intervensi. Penelitian survei dilakukan pada satu saat (point time approach). Unit analisis adalah lansia secara individu untuk aspek kepuasan dan depresi, sedangkan untuk aspek dukunga n keluarga dan kondisi lansia secara umum dilakukan dengan mengamati keluarga sebagai unit analisis seperti rumah tangga muda yang turut merawat lansia namun tidak serumah dengan lansia, rumah tangga muda yang mengurus lansia di rumah dan rumah tangga lansia. Lansia serta keluarga yang merawat lansia hanya diamati sekali saja ( Singarimbun dan Efendi, 1995). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sesuai keperluan penelitian.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota madya Bogor karena memiliki usia harapan hidup (UHH) yang cukup tinggi yaitu 67,7 tahun (pada tahun 1999) serta memiliki jumlah lansia yang cukup banyak yaitu 45.417 orang. Penelitian survei terhadap


(14)

lansia yang dirawat oleh keluarganya dilakukan di 3 wilayah puskesmas yang memiliki posbindu yang aktif berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kotamadya Bogor berdasarkan kriteria keaktifan posbindu. Dari ketiga lokasi posbindu memiliki karakteristik latar belakang ekonomi yang berbeda. Budi Agung mewakili daerah dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas, Baranangsiang mewakili latar belakang ekonomi yang menengah dan sebagian termasuk rendah, sedangkan Situ Gede mewakili daerah desa dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Penelitian dilakukan pada bula n Agustus 2004 – Juli 2006.

Prosedur Pemilihan Contoh

Pemilihan Posbindu dan panti werdha dilakukan berdasarkan informasi yang diberikan pihak Dinas Kesehatan yaitu posbindu yang aktif dalam melaksanakan kegiatan. Pemilihan posbindu yang digunaka n dilakukan secara purposiv yaitu yang mewakili daerah dengan tingkat sosial ekonomi tinggi, menengah dan kurang. Pemilihan sampel di posbindu dilakukan berdasarkan random sederhana (simple random sampling) berdasarkan kriteria pemilihan sampel yaitu: tidak pikun, tidak bermasalah dengan pendengaran, dan bersedia diwawancara. Di samping lansia, responden juga diambil dari keluarga yang mengurus lansia (yang berada satu rumah dengan lansia) serta keluarga yang turut merawat namun tidak serumah dengan lansia . Izin penelitian diperoleh dari dinas kesehatan Kota Bogor (Lampiran 2)

Pendekatan awal dalam pemilihan contoh dilakukan pertama kepada pihak dinas kesehatan, kemudian kepada Dokter Puskesmas dan terakhir dengan pengurus (kader posbindu) juga pengurus RW setempat untuk mendapatkan informasi dari


(15)

lansia yang berada di masyarakat. Pertemuan pertama dengan contoh dilakukan di posbindu kemudian dilanjutkan dengan wawancara dari rumah ke rumah untuk mendapatkan informasi dari rumah tangga lansia dan rumah tangga muda yang mengurus lansia, serta rumah tangga muda yang turut merawat na mun tidak serumah dengan lansia. Untuk lansia yang berada di panti, pendekatan awal dilakukan kepada Pimpinan panti, lalu dokter puskesmas atau dokter pribadi rekanan panti untuk mendapatkan contoh yang sesuai dengan kriteria

Kerangka Pemilihan Contoh:

Kota Bogor

Panti Werdha Masyarakat

Lansia yang berada di panti werdha berasal dari panti werdha Sukma Raharja dan panti werdha Kasih Mulia Sejahtera, dan lansia yang berada di masyarakat diambil

dari kelurahan Budi Agung, kelurahan Baranangsiang dan kelurahan Situ Gede. Rumus Penarikan sampel untuk penelitian survey:

n = Z a /2 . p (1-p) e2

= 1,962.30%.70% 0.0036 = 224 orang lansia Keterangan:

n = Jumlah sampel Za = Kesalahan tipe 1


(16)

p = Proporsi amatan lansia kurang gizi di Bogor (Ernawati, 2001) e = Nilai harapan

Untuk menghindari adanya kuesioner yang tidak lengkap maka ditambah 5,5% dari 224 orang sehingga total sampel sebanyak 237 orang.

Total sampel lansia yang berada di masyarakat sebanyak 197 orang dengan rincian sebagai berikut:

Budi Agung sebanyak 40 orang, Baranangsiang sebanyak 80 orang, dan Situ Gede sebanyak 74 orang

Kondisi lansia di daerah Budi Agung memiliki latar belakang ekonomi menengah ke atas, mereka umumnya pensiunan dan berpendidikan tinggi. Hal ini menyebabkan sulitnya mendapatkan kesediaan mereka untuk mengikuti penelitian meskipun hanya wawancara tanpa adanya intervensi. Kehadiran peneliti tidak sepenuhnya diterima baik oleh mereka, kecuali oleh lansia yang memahami pentingnya pendidikan dan pengembangan ilmu.

Lansia yang berada di Baranangsiang lebih beragam, ada yang memiliki latar belakang ekonomi menengah maupun bawah. Hal itu dapat dilihat dari kondisi perumahan mereka. Lansia di daerah ini lebih dapat menerima kehadiran peneliti dan bersedia diwawancara.

Di daerah Situ Gede sebagian besar lansia dari latar belakang ekonomi rendah, kondisi daerah tersebut masih dapat dikatakan pedesaan. Keadaan perumahan lansia sangat sederhana bahkan cenderung buruk, baik dari kualitas bangunan


(17)

maupun higiene sanitasi lingkungannya. Mereka sangat menerima baik kehadiran peneliti dan terbuka untuk diwawancara.

Jenis dan Cara Pengumpula n Data

Data yang diperoleh terdiri dari data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi: data lokasi, jumlah lansia, program pemerintah yang menyangkut lansia, jumlah panti werdha . Data prime r meliputi latar belakang lansia (jenis kelamin, umur, status perkawinan, tempat tinggal serta dukungan sosial dari keluarga/ masyarakat/pemerintah) melalui wawancara dengan lansia serta petugas panti yang merawat lansia. Data kondisi psikososial seperti kepuasan hidup dan depresi diperoleh melalui wawancara dengan lansia.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang berisi tentang dukungan keluarga, status kesehatan, perilaku kesehatan, tingkat konsumsi, kepuasan hidup, dan tingkat depresi. Instrumen bersifat tertutup, pilihan jawaban sudah disediakan. Pengisian instrumen dilakukan dengan cara wawancara. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data obyektif dari lansia guna mendapatkan informasi mengenai kondisi lansia yang sesungguhnya.

Pengukuran tingkat kepuasan hidup dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisi tentang tingkat kepuasan lansia terhadap kondisi keuangan, kesehatan, tempat tinggal, makanan, pakaian, serta fasilitas kesehatan.


(18)

Tabel 4. Kisi-kisi kuesioner kepuasan hidup

Variabel penelitian

Indikator No item Jumlah

Kepuasan hidup 1. Keuangan 2. Kesehatan 3. Kondisi mental 4. Pakaian 5. Makanan 6. Tempat tinggal 7. Tetangga 8. Tempat tidur 9. Kamar mandi 10.Fasilitas kesehatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah 10

Sumber: Adopsi dari Disertasi Herien Puspitawati, 2006

Tabel 5. Kisi-kisi kuesioner depresi

Variabel Penelitian

Indikator Nomor item Jumlah

Depresi 1. Perasaan sedih 2. Sulit tidur 3. Napsu makan

4. Aktifitas dengan teman 5. Penurunan berat badan 6. Buang air besar

7. Kondisi jantung 8. Perasaan bosan 9. Pikiran sehat 10. Kemudahan 11. Perasaan gelisah 12. Harapan

13. Rasa Marah

14. Pengambilan keputusan 15. Perasaan berguna 16. Perasaan bahagia 17. Perasaan putus asa 18. Aktifitas 1,2,3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah 20


(19)

Tabel 6. Kisi-kisi kuesioner dukungan sosial

Variabel Penelitian

Indikator No item Jumlah

Dukungan Keluarga dan Masyarakat Dukungan keluarga Bentuk dukungan keluarga Dukungan Masyarakat Bentuk dukungan Dukungan Pemerintah Bentuk dukungan pemerintah 1 2 3 4 5 6 1 1 1 1 1 1

Jumlah 6

1. Validitas instrumen

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1997). Untuk mengetahui validitas instrumen dilakukan uji content validity (validitas isi) dengan cara mengkonsultasikan instrumen kepada ahli dibidangnya juga dengan melihat korelasi antara setiap skor pertanyaan yang bersangkutan dengan skor total skala atau dengan perkataan lain mencari korelasi antar tiap nilai butir dengan nilai total masing- masing skor dengan memakai rumus korelasi product moment dari Pearson. Setelah itu ditetapkan butir-butir yang valid jika memiliki korelasi yang tinggi dengan skor total masing- masing faktor. Batas nilai koefisien korelasi untuk df=N-2 (n=30) pada level of significance 0.05 adalah 0.329 sedang untuk n=40 adalah 0.275 .

2. Reliabilitas Instrumen

Istilah reliabilitas sering disamakan dengan konsistensi, stabiliti dependability yang pada prinsipnya menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut dapat memberikan


(20)

hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subyek yang sama (Kerlinger, 1986). Pengujian reliabilitas bertujuan untuk mengukur derajat keajegan alat ukur (instrumen) yang digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Pada penelitian ini uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus alpha cronbach.

Data kondisi psikososial yang meliputi kepuasan diri dikategorikan semakin tinggi tingkat kepuasan maka kondisi psikososial semakin baik dan depresi dikategorikan semakin tinggi skor maka keadaan psikososial responden semakin buruk. Tingkat kepuasan diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden atas 10 pertanyaan. Setiap jawaban dikategori menjadi: 1 untuk jawaban tidak puas, 2 untuk jawaban cukup/netral, 3 untuk jawaban puas.

Puas jika : x > x

Tidak puas jika : x < x Pertanyaan yang berkaitan dengan depresi terdiri dari 20 pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan diberi skor 1 – 4, sehingga skor maksimum mencapai 80 dan skor minimal 20 (Zung dalam Thuber S, Snow M, Honts CR, 2002)

Jawaban yang diberikan responden kemudian dikategori berdasarkan indeks skor yang dihasilkan, yaitu:

< 50 = Normal

50 – 59 = Depresi Ringan 60 – 69 = Depresi sedang > 70 = Depresi Berat


(21)

Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif, yang meliputi data : yang membuat lansia bahagia, pekerjaan rumah tangga yang masih dapat dilakukan lansia, upaya menghibur lansia saat sedih, hubungan lansia dengan anak dan keluarga lain, pandangan terhadap lansia, program yang diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia, kepada siapa minta tolong bila ada masalah, yang paling memperhatikan lansia. Bagi lansia yang berada di panti (keluhan dalam pelayanan, perasaan sesudah tinggal di panti, perhatian keluarga/ada-tidaknya perasaan dibuang, hubungan antar sesama lansia penghuni panti, yang paling memperhatikan saat sakit, alasan tinggal di panti).

Perbedaan tingkat depresi, kepuasan hidup antar lansia di panti dan di masyarakat , dalam rumah tangga lansia dan rumah tangga muda, menggunakan uji

Chi-Square.

Definisi Operasional

• Kondisi psikososial lansia ialah keadaan psikosial yang diukur dengan menilai kepuasan hidup dan depresi

• Kepuasan hidup lansia ditinjau dari aspek fisik seperti kondisi perumahan, keuangan, kamar, kamar mandi, makanan, fasilitas kesehatan dan lain- lain, selain itu aspek mental seperti perasaan lansia apakah merasa bahagia atau sering bersedih atau tertekan.

• Depresi diukur berdasarkan gejala yang dirasakan selama dua minggu terakhir.


(22)

Hasil dan Pembahasan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Situ Gede merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Kelurahan Situ Gede tergolong kelurahan yang aktif dalam pelayanan bidang kesehatan serta memiliki kelengkapan administrasi yang baik. Kelurahan ini memiliki pos pelayanan terpadu (posyandu) dan pos pembinaan terpadu (posbindu) yang aktif dengan pelaksanaan dilakukan secara kontinyu sebulan sekali. Kegiatan posbindu untuk lansia biasanya dilakukan pada hari kamis minggu ketiga. Dalam kegiatan tersebut dilakukan penimbangan berat badan, tinggi badan dan pengukuran tekanan darah serta pemberian obat-obatan kepada lansia yang ada di wilayah RW tersebut secara gratis. Pelaksanaan pengukuran berat badan, tinggi badan dan tekanan darah tidak hanya dilakukan oleh kader posbindu saja tetapi kegiatan ini juga melibatkan tenaga medis dari Puskesmas Sindang Barang. Warga di Situ Gede sangat menerima baik kehadiran peneliti, mereka tidak ada yang menolak untuk diwawancarai. Demikian juga dengan tokoh masyarakatnya yang sangat membantu pelaksanaan penelitian dengan melakukan kerjasama yang baik dengan peneliti.

Kelurahan Baranangsiang

Kelurahan Baranangsiang terletak di Kecamatan Bo gor Timur. Kelurahan ini aktif dalam berbagai kegiatan termasuk kegiatan bidang kesehatan, seperti kegiatan posbindu yang secara rutin diadakan di salah satu RW di kelurahan ini yaitu RW 05 aktif melakukan pemeriksaan kesehatan bagi para lansia.


(23)

Keadaan perumahan di RW 05 cukup rapat terutama yang berada di dalam gang. Ada beberapa lansia yang tinggal di tepi jalan raya dengan kondisi perumahan yang cukup baik dan luas tanah yang memadai untuk suatu perumahan sehat dan memiliki keadaan perekonomian me nengah ke atas. Fasilitas yang dimiliki ialah kantor RW, lapangan olah raga yang digunakan para lansia dan pra untuk senam setiap hari Sabtu. Selain untuk meningkatkan kesehatan fisik, kedua kegiatan tersebut juga merupakan ajang silaturahmi bagi para lans ia.

RW 05 memiliki Ketua RW yang sangat tanggap pada kebutuhan lansia dan selalu memberikan dukungan dalam kegiatan yang mengarah pada kesejahteraan lansia dalam hal ini terutama bidang kesehatan dimana setiap bulan dilakukan pemeriksaan terhadap lansia di lingkungan RW tersebut dengan melakukan penimbangan dan pengukuran tekanan darah dibantu pihak puskesmas. Meski mereka tidak memiliki fasilitas khusus untuk posbindu, namun ada salah satu lansia yang menyumbangkan rumahnya untuk dijadikan posbindu dengan kegiatan tersebut di atas.

Kelurahan Budi Agung

Keadaan perumahan di Budi Agung menunjukkan kondisi perekonomian menengah keatas. Perumahan BTN tersebut memiliki jalan utama yang besar dan jalan-jalan lingkungan yang seluruhnya dapat dilalu i oleh dua mobil. Luas tanah masing- masing perumahan cukup besar sekalipun untuk tipe yang paling kecil. Daerah itu memiliki lapangan olah raga, masjid, dan puskesmas serta sangat dekat dengan rumah sakit Islam.


(24)

Aktivitas lansia disana sangat baik, setiap bulan ada pemeriksaan kesehatan lansia yang dilakukan di lapangan serta pemberian makanan tambahan. Posbindu tersebut bekerjasama dengan puskesmas sekarwangi dan dokter dari rumah sakit yang juga berdomisili di daerah tersebut. Setiap minggu lans ia melakukan olah raga dengan cara lari pagi dan bergabung dengan pra lansia melakukan pengajian. Selain itu juga adanya kegiatan sosial seperti pemberian santunan bagi warga di luar komplek yang membutuhkan bantuan finansial.

Tingginya tingkat perekonomian dan pendidikan lansia merupakan salah satu kendala bagi peneliti untuk melakukan wawancara, karena banyak dari mereka yang menolak meskipun sudah mendapatkan ijin serta diperkenalkan oleh tokoh masyarakat dan kader posbindu, terutama lansia yang ikut keluarga muda, mereka tidak mau membukakan pintu untuk orang asing yang tidak dikenal. Sebagian dari mereka tidak mau diwawancara karena merasa menjadi kelinci percobaan, seperti para pensiunan ABRI dan pegawai pemerintah yang lain.

Panti Werdha

1. Panti Werdha Sukma Raharja

Panti Werdha Sukma Raharja merupakan panti sosial milik pemerintah daerah di bawah tanggung jawab Pemerintah Daerah Kota Bogor. Panti ini beralamat di jalan Pulo Empang RT 04/RW V, Kelurahan Paledang Kecamatan Bogor Tengah. Panti ini berdiri sejak tahun 1955 dan resmi menjadi panti sosial milik pemerintah sejak tahun 1973. Panti wredha Sukma Raharja dibangun diatas tanah seluas 1810 m2 dengan luas bangunan 800m2 , panti ini mempunyai 17 kamar dengan kapasitas hunian sebanyak


(25)

42 orang, 2 kamar emergency khusus bagi lansia yang mangalami kelainan jiwa, satu aula, satu kantor, 7 kamar mandi, satu dapur. Pada saat penelitian berlangsung jumlah penghuni panti sebanyak 44 orang lansia namun lansia yang memenuhi kriteria untuk dijadikan responden dalam penelitian kali ini hanya berjumlah 37 orang, namun data yang lengkap untuk diolah sebanyak 28 orang.

Pendapatan utama Panti Werdha Sukma Raharja berasal dari pemerintah Daerah Jawa Barat. Pendapatan lainnya berasal dari donatur, baik berupa uang maupun berupa barang, serta bahan makanan segar seperti ikan, telur, ayam, tahu, dan tempe. Bahan makanan segar tersebut diberikan dengan frekuensi 2 kali dalam seminggu. Selain itu setiap hari senin panti tersebut mendapatkan kiriman makanan matang dari persatuan warga negara asing di Bogor.

Setiap bulan Ramadhan banyak masyarakat yang memberikan sumbangan pada lansia di panti untuk merayakan hari Raya Idul Fitri. Sumbangan-sumbangan tersebut dikumpulkan dan diberikan pada lansia dalam bentuk barang dan uang. Masing- masing lansia mendapat satu set busana muslimah serta uang dan bahan makanan kering.

Anggaran yang ditetapkan oleh Pemda untuk lansia sebesar Rp 10.000,00/orang/hari yang meliputi biaya makan, kesehatan, kebutuhan sehari-hari lansia ( sabun, pasta gigi, gula, kopi dan kecap). Makanan utama diberikan tiga kali sehari berikut makanan selingan. Selain itu, setiap tahun lansia diberikan pakaian seragam dan seperangkat pakaian olahraga.


(26)

Persyaratan yang ditetapkan panti werdha untuk lansia yang menghuni panti adalah wanita yang minimal berusia 60 tahun, tidak lumpuh, dam masih dapat mengurus diri sendiri. Kebijakan ini diberlakukan karena beberapa alasan antara lain keterbatasan tempat tinggal untuk menampung lansia pria, dan untuk keamanan hubungan sosial antara lansia pria dan wanita. Namun apabila dalam kurun waktu tertentu dengan kondisi kesehatan lansia yang semakin memburuk, pengurus panti memberikan pelayanan khusus bagi lansia penyediaan perawat.

Perawat lansia adalah lansia yang sehat dan diberi imbalan Rp 15.000,00/orang/hari. Persyaratan lain yang diberikan oleh pengurus panti adalah lansia yang tidak mampu yang harus menyertakan surat keterangan dari RT, RW dan kelurahan setempat yang menyatakan bahwa lansia yang bersangkutan tidak mampu dan terlantar.

Berdasarkan informasi dari beberapa lansia di panti tersebut yang sebelumnya sudah pernah menghuni panti sosial di daerah/kota lain menyatakan bahwa panti tersebut seperti sorga karena begitu memperhatikan kebutuhan lansia dengan memberikan pelayanan yang sangat baik pada lansia. Mereka merasa begitu dimanjakan oleh pengurus panti.

2. Panti Werdha Kasih Mulia Sejahtera

Panti ini dimulai dengan adanya gagasan dari “Ikatan Kekerabatan/Kekeluargaan Tio Chiu” untuk mengadakan bentuk kegiatan yang berarti bagi masyarakat luas. Yayasan yang menaungi panti ini bernama “yayasan Kasih Mulia Sejahtera”. Pembangunan panti selesai pada tahun 1977 dengan


(27)

dukungan berbagai pihak termasuk Pemerintah Daerah Kota Madya Bogor beserta seluruh aparat dan jajarannya.

Sarana serta fasilitas yang terdapat di panti ini cukup memadai seperti: Satuan pengaman (Satpam), taman dan penghijauan, ruang sekretariat yayasan yang berfungsi sebagai pusat informasi, ruang tamu, ruang perawat , balai pengobatan dengan jadual pemeriksaan kesehatan dilakukan secara berkala seminggu sekali, kamar yang berjumlah 68, ruang karaoke , ruang menjahit, ruang santai, ruang makan dengan kapasitas 110 orang, ruang serba guna merupakan tempat berkumpul bagi para lansia untuk bersosialisasi dilengkapi dengan TV dan siaran-siaran melalui parabola, dapur, ruang cuci dan kamar mandi yang dilengkapi dengan air hangat (water heater).

Jumlah petugas panti:

Staf 3 orang, suster 8 orang untuk 2 blok, petugas dapur 1 orang juru masak dibantu oleh 2 orang cook helper.

Biaya yang dikenakan:

- kamar delima dikenakan biaya Rp. 360.000,-/bulan (WC+ kamar mandi di luar kamar),

- kamar anggur Rp. 600.000,-/bulan (WC+ kamar mandi didalam),

- kamar belimbing Rp. 960.000,-/bulan untuk 2 orang penghuni, (WC + kamar mandi di dalam) bila ingin tinggal sendiri dikenakan biaya penuh.

Biaya tersebut di atas termasuk: tempat tinggal, makan 3 kali sehari, snack 1 kali sehari, acara hiburan seperti senam pagi, acara ulang tahun, rekreasi, kontrol


(28)

kesehatan seminggu sekali, keterampilan, kerohanian dan olah raga, mendapat susu bubuk 1 dus sebulan sekali, telepon kartu.

Secara umum keadaan lansia di panti ini lebih baik dari panti Sukma Raharja, karena panti ini merupakan panti swasta yang mengharuskan penghuninya untuk membayar biaya perawatan, sehingga hanya lansia yang mampu atau memiliki keluarga yang mampu membiayai yang dapat tinggal pada panti tersebut.

Sebagian besar dari mereka juga menolak untuk ikut dalam penelitian eksperimen karena merasa menjadi kelinci percobaan. Ternyata semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang maka semakin sulit untuk diminta kesediaannya dalam mengikuti penelitian.

Keadaan Umum Lansia

Penelitian ini dilakukan di tiga kelurahan yang berbeda karakteristiknya. Ketiga kelurahan tersebut memiliki posbindu yang aktif sehingga dukungan masyarakat bagi lansia cukup memadai dengan adanya kader posbindu yang setiap bulan melakukan penimbangan serta pemeriksaan tekanan darah, selain itu lansia juga mendapatkan tambahan vitamin dan makanan tambahan berupa nasi sop atau makanan kecil. Bagi lansia yang mengalami gangguan kesehatan mereka dirujuk ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

a. Jenis Kelamin

Jumlah lansia yang menjadi responden terdiri dari 38,4 persen lansia laki- laki dan 61,6 persen perempuan dengan rincian sebagai berikut: 12,5 persen lansia laki-laki dan 87,5 persen lansia perempuan yang berada di panti werdha, sedangkan yang


(29)

berada di masyarakat sebanyak 43,7 persen lansia laki- laki dan 56,3 persen lansia perempuan yang berada di masyarakat.

Angka-angka tersebut menunjukkan tingginya jumlah lansia perempuan bila dibandingkan dengan lansia laki-laki, hal ini dapat disebabkan karena usia harapan hidup lansia perempuan lebih tinggi dari lansia laki-laki sesuai angka estimasi BPS pada sensus penduduk tahun 2000 dimana angka perkiraan lansia perempuan sebanyak 8.64 persen sedangkan lansia laki-laki 7.61 persen (BPS, 2000). Disamping itu pada penelitian ini sebagian besar responden yang bersedia diwawancara adalah lansia perempuan, karena lansia laki- laki kurang mau membuka diri untuk terlibat dalam penelitian.

Jumlah lansia di panti werdha sebagian besar terdiri dari perempuan, karena mereka berstatus tidak kawin/janda. Menurut Waerness (1989) dalam Wahyuni (2000) bahwa perkawinan adalah suatu alat perlindungan yang penting bagi seseorang usia lanjut untuk tidak tinggal di panti, terutama untuk usia lanjut laki- laki. Umumnya perempuan lanjut yang telah menjanda bergabung dengan rumah tangga anak perempuannya atau bila tidak mempunyai anak atau tidak cocok dengan menantu maka mereka memilih untuk tinggal di panti. Pada umumnya lansia yang tinggal di panti adalah yang tidak me miliki keluarga.


(30)

Tabel 7. Sebaran lansia menurut jenis kelamin

Panti werda Masyarakat Total Jenis kelamin

n % n % n %

Laki- laki Perempuan

5 35

2.2 14.8

86 111

36.3 46.8

91 146

38.4 61.6

Total 40 17 197 83.1 237 100

Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa sebagian besar lansia yang berada di panti adalah perempuan, karena pada umumnya laki-laki bila ditinggalkan isterinya meninggal dunia cenderung akan menikah lagi sehingga mereka masih memiliki seseorang yang dapat mengurus dirinya di rumah, sedangkan perempuan cenderung untuk tidak menikah lagi dan mengandalkan pendapatan yang ada serta bantuan dari keluarga. Namun bila keluarga tidak dapat memberikan dukungan atau tidak memiliki anak mereka memilih untuk tinggal di panti. Disamping itu, memang secara statistik jumlah lansia perempuan lebih banyak dari lansia laki- laki, juga usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dari laki- laki.

b. Umur

Kisaran umur lansia yang menjadi responden sebagian besar termasuk umur lanjut yait u 60-74 tahun sebanyak 79.3 persen dengan rincian: 73.4 persen tinggal di masyarakat dan 5.9 persen tinggal di panti dan umur tua antara 75-90 tahun sebanyak 20.6 persen dengan rincian 9.7 persen tinggal di masyarakat dan 11 persen tinggal di panti.


(31)

Tabel 8. Sebaran umur lansia berdasarkan tempat tinggal Panti Werdha Masyarakat Total

Umur

n % n % n %

60-70 (umur lanjut) 75-90 (Umur tua)

14

26

5.9

11

174

23

73.4

9.7

188

49

79.3

20.7

Total 40 16.9 197 83.1 237 100

Pada tabel 8 tampak persentase lansia dengan kategori umur tua banyak berada di panti, banyak dari lansia tersebut sudah belasan tahun tinggal di panti. Umumnya lansia di panti werdha Sukma Raharja berasal dari golongan tidak mampu dan merupakan lansia yang terlantar.

Lain halnya dengan lansia di panti werdha Kasih Mulia Sejahtera, mereka tergolong lansia yang mampu secara finansial, atau memiliki keluarga yang mampu membiayai uang perawatan untuk tinggal di panti namun tidak memiliki waktu untuk mengurus lansia, sehingga dititipkan ke panti agar mendapatkan perawatan yang baik dan memiliki peer group untuk berkomunikasi supaya tidak merasa kesepian.

c. Status Perkawinan

Status perkawinan lansia yang berada di panti terdiri dari: menikah 0.8 persen, janda 14.4 persen, tidak menikah 0.4 persen, dan duda 1.3 persen. Lansia yang berada di masyarakat : menikah 47.3 persen, janda/duda 24.5 persen dan tidak menikah 0,4 persen, sisanya data yang hilang 12.2 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 9.


(32)

Tabel 9. Sebaran lansia menurut status perkawinan

n % n % n %

1. Kawin (ada pasangan) 2 0.8 112 47.3 114 48.1

2. Janda/duda 34 14.4 58 24.5 92 38.8

3. Tidak menikah 1 0.4 1 0.4 2 0.8

4. Data hilang 3 1.3 26 10.9 29 12.2

Total 40 16.9 197 83.1 237 100

Status perkawinan Panti Wredha Masyarakat Total

Data yang tampak pada tabel menunjukkan bahwa masih banyak lansia yang masih memiliki pasangan, sehingga mereka lebih cenderung tingga l di rumahnya sendiri meski mereka terkadang tidak hanya berdua namun masih ada anak yang ikut dengan mereka karena belum menikah atau karena masih menjadi tanggungan mereka walaupun sudah menikah.

d. Status Pekerjaan

Status pekerjaan lansia yang berada di panti: 16.5 persen tidak bekerja, 0.4 persen menjadi guru agama Kristen di Jakarta. Lansia yang berada di masyarakat pegawai negeri 2.9 persen, tidak bekerja 38.4 persen, pensiunan 30 persen, sisanya data hilang 7.2 persen seperti yang tertera dalam tabel 10: Sebagian besar lansia tidak bekerja, terutama pada lansia perempuan. Lansia perempuan yang tidak bekerja umumnya menjadi tanggungan suami, anak-anak, atau pemerintah. Masih ada lansia laki-laki yang bekerja sebagai pegawai negeri seperti dosen dan guru. Sebagian besar lansia di panti werdha tidak bekerja, mereka benar-benar menikmati hari tua dengan dukungan yang diberikan baik dari pemerintah, keluarga maupun hasil jerih payahnya sendiri selagi bekerja, seperti uang pensiun. Hanya sedikit lansia yang masih bekerja


(33)

sebagai wirausaha, hal ini karena masih memiliki tanggungan anak yang harus dibiayai.

Sebagian besar lansia hidup dengan mengandalkan uang pensiun dan bantuan dari anak-anaknya. Dalam hal ini tampak masih adanya dukungan finansial yang diberikan anak pada orang tuanya, bahkan terkadang keluarga lain seperti keponakan juga turut membantu lansia dalam memberikan bantuan keuangan. Dengan demikian tampak bahwa sistem kekerabatan masih begitu melekat di lingkungan masyarakat .

Salah satu lansia perempuan di Barana ngsiang yang tinggal hanya dengan pembantu rumah tangga tampak begitu tenang dengan keadaan keuangannya saat itu meski tidak bekerja. Lansia tersebut hidup dari uang pensiun almarhum suaminya (pensiun janda) dan sumbangan dari anak-anaknya. Dengan kondisi demikian beliau masih menyempatkan diri untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti merelakan rumahnya untuk dijadikan posbindu setiap satu bulan sekali. Hal itu dilakukan karena memberikan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya .

Tabel 10. Sebaran lansia menurut status pekerjaan

n % n % n %

1. Tidak bekerja 39 16,5 91 38,4 130 54,9

2. Pegawai negeri 0 0 7 2,9 7 2,9

3.Guru agama 1 0,4 0 0 1 0,4

4. Pensiunan 0 0 71 30 71 30

5. wirausaha 0 0 11 4,6 11 4,6

5. Data hilang 0 0 17 7,2 17 7,2

Total 40 16,9 197 83,1 237 100


(34)

e. Perumahan

Kondisi perumahan lansia yang berada di masyarakat sangat beragam dengan rincian sebagai berikut: 1) Kondisi atap, terdiri dari atap genting 36.5 persen, sebagian besar rumah lansia menggunakan atap selain genting 63.5 yang terdiri dari asbes dan seng terutama pada lansia yang tinggal di daerah Situgede dan beberapa di Bogor timur, 2) Kondisi dinding, sebagian besar perumahan lansia menggunakan dinding dari tembok 56.9 persen, selain tembok 43 persen seperti : setengah tembok setengah kayu atau bilik, kondisi seperti ini juga banyak terdapat pada perumahan lansia di daerah Situgede, 3) kondisi lantai, perumahan lansia dengan lantai keramik sebanyak 43 persen banyak terdapat pada perumahan lansia di daerah Budi Agung dan Bogor Timur, selain keramik 56.0 persen, seperti : teraso, tegel abu-abu dan semenan sebagian besar terdapat di Situgede dan sebagian lagi di Bogor Timur, seperti yang tertera pada Tabel 11 .

Kondisi perumahan lansia di Situ Gede paling sederhana bila dibandingkan dengan kedua daerah lainnya. Banyak diantara mereka yang memiliki atap selain genting, dinding selain tembok, dan lantai selain keramik. Suasana di daerah Situ Gede lebih menyerupai pedesaan. Perumahan terbaik adalah dari lansia yang berada di Budi Agung, dengan luas tanah yang cukup besar dan kondisi bangunan yang sangat baik. Pada umumnya mereka adalah pensiunan yang pada masa lalunya memiliki keadaan keuangan yang baik.


(35)

Tabel 11. Sebaran kondisi perumahan lansia

Kondisi Perumahan n % Atap :

Genting Bukan genting Dinding :

Tembok Bukan tembok Lantai :

Keramik Selain Keramik

72 36,5 125 63,5 112 56,9 85 43,1 85 43,1

112 56.9

Lansia menurut keluarga yang turut merawat namun tidak serumah dengan lansia Menurut keluarga yang turut merawat lansia meski tidak serumah dengan lansia, bahwa hal- hal yang seharusnya dilakukan untuk membahagiakan lansia adalah seperti yang tampak pada Tabel 12.

Pada tabel tampak bahwa urutan dari yang seharusnya dilakukan untuk membahagiakan lansia adalah sebagai berikut : Mencukupi kebutuhan lahir dan batin 65 persen, mencukupi kebutuhan lahir saja 15 persen, dan mencukupi kebutuhan batin saja sebesar 20 persen. Menurut Jauhari (2003) hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah terjaminnya seluruh kebutuhan hidup, sehingga sangatlah rasional bila pendapat keluarga yang turut merawat lansia meski tidak serumah dengan lansia menganggap bahwa mencukupi kebutuhan lahir dan batin merupakan yang paling utama dalam upaya membahagiakan lansia.

Mencukupi kebutuhan batin dengan cara menuruti nasihat, menjaga nama baik, jangan memberikan kabar yang mengejutkan menempati urutan ke dua dan mencukupi kebutuhan lahir dengan cara memberikan bantuan finansial seperti uang, makanan dan barang kebutuhan hidup sehari- hari menempati urutan ke tiga.


(36)

Tabel 12. Hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk membahagiakan lansia. Yang seharusnya dilakukan untuk membahagiakan lansia n % 1. Mencukupi kebutuhan lahir dan batin lansia (merawat,

mengunjungi, memberikan uang, mengajak jalan-jalan dan makan- makan).

2. Mencukupi kebutuhan batin saja (mengunjungi, menuruti nasihat, menjaga nama baik, jangan memberikan kabar yang mengejutkan).

3. Mencukupi kebutuhan finansial saja (memberi uang, makanan, barang kebutuhan hidup).

26

8

6

65

20

15

Jumlah 40 100

Tampak bahwa responden memahami apa yang seharusnya dilakukan untuk membahagiakan lansia, namun demikian tidak seluruh apa yang ingin dilakukan untuk membahagiakan lansia sudah dapat dilaksanakan, ha l itu tampak pada Tabel 13. Meskipun menurut responden hal yang paling utama dilakukan untuk membahagiakan lansia adalah memenuhi semua kebutuhannya, namun pada kenyataannya sebanyak 50 persen responden merasa belum dapat memenuhi kebutuhan finansial lansia. Ini dapat disebabkan karena rendahnya tingkat perekonomian anak-anak dari lansia tersebut.

Sebesar 25 persen responden merasa bahwa mereka belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan batin lansia, seperti menghajikan, menjamin kesehatan dan kebaha giaan, hanya 25 persen responden yang merasa sudah dapat memenuhi seluruh kebutuhan lansia.


(37)

Tabel 13. Hal- hal yang belum dapat dilakukan untuk membahagiakan lansia Yang belum dapat dilakukan untuk membahagiakan lansia n % 1. Memenuhi kebutuhan finansial (membangun/memperbaiki

rumah, mengajak jalan-jalan).

2. Memenuhi kebutuhan batin (menghajikan, menjamin kesehatan dan kebahagiaan)

2. Tidak ada / Semua sudah terpenuhi

20

10

10

50

25

25

Jumlah 40 100

Untuk pertanyaan tentang hiburan yang dapat menggembirakan lansia , responden menjawab seperti yang tertera pada Tabel 14.

Dikunjungi cucu-cucu dan tidak tahu apa yang dapat mengembirakan lansia menempati urutan pertama dan ke dua. Lansia pada umumnya senang bila dapat bertemu dengan cucu-cucu terutama cucu-cucu yang lucu dan menyenangkan, hal tersebut merupakan hiburan dan kebanggaan bila melihat cucu-cucunya yang sehat, lucu, juga cucu yang berhasil baik di sekolah maupun di dalam pekerjaan.. Responden yang menjawab tidak tahu, disebabkan karena kurang komunikasi dengan lansia karena tidak tinggal serumah, sehingga tidak mengetahui apa hiburan yang dapat mengembirakan lansia.

Berkumpul dengan anak-anak dan keluarga lainnya menempati urutan ke tiga karena kekerabatan/sistem adat di Indonesia masih sedemikian kuatnya sehingga kebersamaan antar anggota keluarga merupakan hal yang penting dan menjadi hiburan bagi lansia. Mereka masih sangat memperhatikan hubungan kekeluargaan, meskipun hal itu saat ini semakin terkikis pada generasi selanjutnya yang disebabkan


(38)

karena adanya perubahan keadaan, dimana satu sama lain saling sibuk dengan kegiatannya masing- masing sesuai dengan tuntutan perubahan jaman sejalan dengan proses perkembangan sektor ekonomi. Selebihnya seperti makan bersama dan berbincang-bincang, jangan membuat masalah, makan dan nonton TV menempati urutan yang sama.

Tabel 14. Hiburan yang dapat menggembirakan lansia

Hiburan yang Dapat Mengembirakan Lansia n % 1. Dikunjungi cucu-cucu

2. Tidak tahu

3. Berkumpul dengan anak-anak dan keluarga 4. Makan bersama dan berbincang-bincang 5. Jangan membuat masalah

6. Makan dan nonton TV 7. Pulang ke kampung halaman 8. Menyanyi/Karouke

9. Berkumpul dengan sesama lansia 10. Jalan-jalan 12 10 4 2 2 2 2 2 2 2 30 25 10 5 5 5 5 5 5 5

Jumlah 40 100

Sebagian besar responden merasa telah dapat memenuhi dalam memberikan hiburan kepada lansia 75 persen dan sisanya 25 persen merasa belum dapat memenuhi.

Adapun cara memenuhi hiburan yang dapat membuat lansia gembira adalah sebagai berikut : sebagian besar responden menjawab menyuruh cucu menjenguk dan tidak tahu masing-masing sebesar 25 persen, urutan ke dua adalah mengajak bicara


(39)

20 persen, selebihnya menempati urutan ke tiga (lihat Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa masih ada responden yang kurang memahami akan hal- hal yang dapat membuat lansia merasa gembira dan kunjungan cucu merupakan pilihan tertinggi dari jawaban responden. Berarti menurut mereka, kunjungan cucu merupakan hiburan yang paling disukai oleh lansia.

Salah satu responden di Situ Gede merasa bahwa lansia sangat sayang dan bangga terhadap cucu-cucunya, meskipun lansia tersebut tidak sekolah, namun dalam hal pendidikan cucu sangat diutamakan. Bila tahun ajaran baru sekolah tiba, maka lansia laki- laki tersebut menanyakan pada anak-anaknya adakah cucunya yang tidak dapat bersekolah. Beliau akan bersedih jika sampai ada salah satu cucunya tidak dapat sekolah, karena tidak ingin cucunya mengalami nasib yang sama dengan dirinya yang tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah formal.

Lansia tersebut akan berusaha apa saja untuk menyekolahkan cucunya agar memiliki masa depan yang baik. Hiburan bagi lansia yang dapat membuatnya gembira adalah cucu-cucu yang lucu dan berhasil. Apabila lansia bersedih, maka orang tuanya akan menyuruh anaknya untuk melucu dan bernyanyi untuk menghibur lansia, seperti yang terjadi pada saat wawancara. Saat itu lansia perempuan merasa sedih saat mengingat masa dimana belum terkena stroke, namun sang cucu dengan lucunya membuat lansia terhibur dan tertawa gembira sehingga wawancara bisa dilanjutkan kembali. Kondisi demikian menunjukkan bahwa peran keluarga sangat penting untuk memberikan hiburan yang dapat membuat lansia merasa gembira.


(40)

Tabel 15. Cara memenuhi hiburan yang dapat membua t lansia merasa gembira Cara Memenuhi Hiburan yang Dapat Membuat Lansia

Gembira

n %

1. Menyuruh cucu menjenguk 2. Tidak tahu

3. Diajak bicara

4. Mengantar pulang kampung

5. Makan bersama sambil berbincang-bincang 6. Menasihati adik -adik

7. Memberikan makana n 8. Membelikan CD karouke 9. Jalan-jalan 10 10 8 2 2 2 2 2 2 25 25 20 5 5 5 5 5 5

Jumlah 40 100

Kesulitan dalam merawat lansia

Dengan terjadinya proses penuaan, terjadi kemunduran fisik sehingga menimbulkan adanya disability yang membuat lansia mengalami kesulitan dalam mengatasi kehidupan sehari-hari sehingga memerlukan kehadiran orang lain untuk merawatnya. Berikut ini adalah kesulitan dalam merawat lansia menurut keluarga yang turut merawat lansia namun tidak serumah dengan lansia :

Sebagian besar responden (70 persen) merasa tidak ada kesulitan dalam merawat lansia, mungkin hal ini disebabkan karena mereka tidak serumah dengan lansia sehingga kurang bisa merasakan adanya kesulitan dalam merawat lansia, urutan ke dua adalah adanya perbedaan pendapat, dalam hal ini lansia sering memiliki pendapat dan keinginan sendiri yang tidak dapat diterima oleh anak-anaknya.


(41)

Selebihnya ialah kurangnya pendengaran, susah diatur, cerewet, banyak keluhan, dan sulit makan merupakan perubahan secara fisiologi dan psikologi yang umum terjadi sejalan dengan peningkatan usia (lihat Tabel 16). Menurut Tarvis dalam Latifah (2000) meskipun hasil- hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan fisik dapat dijaga atau diperlambat dengan pemeliharaan kesehatan dan fisik yang baik, namun diakui bahwa dengan bertambahnya usia ada keterbatasan-keterbatasan yang timbul pada masalah fisik sebagai contoh berkurangnya pendengaran, penglihatan, pengecap, proses berpikir serta menurunnya metabolisme dan reflek-reflek.

Tabel 16. Kesulitan dalam merawat lansia

Kesulitan dalam merawat lansia n %

1. Tidak ada

2. Adanya perbedaan pendapat 3. Berkurangnya pendengaran 4. Susah diatur

5. Cerewet, banyak keluhan 6. Sulit makan

28 4 2 2 2 2

70 10 5 5 5 5

Jumlah 40 100

Salah satu keluarga yang merawat lansia mengatakan bahwa sebenarnya lansia tidak rewel dan tidak menyulitkan anak, hanya pada saat lansia tersebut menyesali penyakitnya saat ini, sering menangis tersedu-sedu. Beliau begitu frustasi karena tidak dapat bebas bergerak akibat penyakit stroke yang dideritanya, padahal dahulu lansia tersebut adalah kembang desa dan sangat lincah melakukan aktivitas. Kenangan masa lalu tersebut sering membuat lansia menangisi kondisinya saat ini.


(42)

Berikut ini adalah penuturan rumah tangga muda (SG: 28) tentang kesulitan dalam merawat lansia:

“Sebenarnya merawat ibu tidak sulit karena tidak banyak tuntutan dan tidak cerewet. Hanya kalau ibu sedang ingat masa mudanya dulu, dia sering nangis tersedu-sedu karena keadaannya jauh berbeda dengan sekarang. Saat ini ibu tidak bisa melakukan aktifitas karena stroke. Kalau ibu sedang sedih seperti itu saya suruh anak saya untuk melucu supaya ibu terhibur. Memang biasanya keadaan itu tidak berlangsung lama karena ibu cepat kembali tertawa setelah bermain dengan cucu”

Alternatif tempat tinggal bagi lansia:

Meskipun responden tidak tinggal serumah dengan lansia, namun alternatif tempat tinggal lain bagi lansia menurut responden adalah rumah anak sebanyak 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa merawat lansia merupakan sesuatu kewajiban bagi anak. Menurut Geertz (1981) dalam Wahyuni (2003) pola perawatan usia lanjut dalam keluarga itu bukan hanya monopoli orang Jawa saja tetapi sudah menjadi warisan terpuji bagi umumnya orang Indonesia.

Kebijaksanaan pemerintah Indonesia menitik beratkan agar lansia diurus oleh keluarga, hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mempengaruhi sistem dukungan keluarga dimasa depan. Beberapa negara di Asia memiliki kebijakan bahwa keluarga wajib merawat lansia seperti di negara Singapura, dan Malaysia memberikan insentiv pajak bagi keluarga yang mengurus lansia, beberapa negara di Asia Timur dan Asia Tenggara memberikan subsidi untuk perawatan lansia dan beberapa dukungan pelayanan yang bertujuan membantu anak dalam merawat lansia (Westley, 2000).


(43)

Selama ini orang yang merawat lansia tidak dibayar karena umumnya lansia dirawat sendiri oleh anaknya sebesar 95%, hanya 5% yang menjawab memberikan bayaran untuk seseorang yang merawat lansia. Hal itu karena merasa bahwa merawat lansia adalah kewajiban anak, kecuali pada saat berhalangan dapat meminta seseorang untuk merawat dengan diberikan imbalan.

Lansia Menurut Rumah Tangga Muda Yang Merawat Lansia

Setiap anak tentu menginginkan orang tuanya terutama yang sudah berusia lanjut merasakan kebahagiaan dimasa tuanya, berikut ini adalah hal- hal yang dapat membuat lansia merasa bahagia seperti yang tertera pada Tabel 17.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa memenuhi kebutuhan batin seperti bermain dengan cucu, nonton TV, ngobrol dan nonton TV, rekreasi, berkunjung ke tempat keluarga dan kumpul keluarga menempati urutan tertinggi pertama, berikutnya adalah menyalurkan hobby, hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Wirasto dan Suwandi (2003) yang menemukan adanya korelasi (p<0.01) antara hobby kesenian dengan skor depresi pada anggota klub lansia dari rumah sakit Ludira Husada Tama di Yogyakarta, memenuhi kebutuhan lahir dan tidak tahu. Kondisi tersebut hampir sama dengan pendapat keluarga yang turut merawat namun tidak serumah dengan lansia. Selebihnya tampak hal-hal yang dapat membahagiakan orang tua lebih beragam, ini dapat disebabkan karena rumah tangga muda yang merawat lansia lebih memahami perasaan lansia serta apa yang dapat membuatnya bahagia karena kebersamaan mereka dalam satu rumah.


(44)

Tabel 17. Hal-hal yang membuat lansia bahagia

Hal-hal yang membuat lansia bahagia n %

1. Memenuhi kebutuhan batin (bermain dengan cucu, ngobrol, nonton TV, rekreasi, berkunjung ke tempat saudara, kumpul dengan keluarga, pengajian, suasana tenang)

2. Penyaluran kegemaran/hobby (musik/menyanyi, baca buku, senam, memancing, memelihara tanaman, merajut)

3. Memenuhi kebutuhan lahir (dibelikan makanan, diberi uang, dibuatkan kopi dan diberikan rokok). 4. Tidak tahu

68

7

5

7

78,2

8,0

8,0

5,8

Jumlah 87 100

Upaya Menghibur Lansia

Upaya yang dilakukan untuk menghibur saat lansia sedih dilakukan dengan berbagai cara oleh keluarga yang merawat lansia seperti yang tampak pada Tabe l 18.

Sebagian besar responden menghibur lansia disaat sedih dengan mengajak bicara sebesar 33.4 persen, urutan ke dua yaitu diajak jalan-jalan sebesar 13.8 persen urutan ke tiga yaitu tidak ada upaya, dihibur cucu, dan nonton TV masing-masing sebesar 11.5 persen selebihnya adalah disetelkan musik/dibelikan kaset karouke sebesar 6.9 persen, tidak pernah sedih dan diberikan makanan enak masing-masing sebesar 3 persen. Yang terakhir ialah disuruh tidur dan diobati karena lansia merasa sedih kalau sedang sakit, masing- masing 2.3 persen.


(45)

Sebagian besar responden menghibur lansia disaat sedih dengan mengajak bicara sebesar 33.4 persen, urutan ke dua yaitu diajak jalan-jalan sebesar 13.8 persen urutan ke tiga yaitu tidak ada upaya, dihibur cucu, dan nonton TV masing-masing sebesar 11.5 persen Selebihnya adalah disetelkan musik/dibelikan kaset karouke sebesar 6.9 persen, tidak pernah sedih dan diberikan makanan enak masing-masing sebesar 3 persen. Yang terakhir ialah disuruh tidur dan diobati karena lansia merasa sedih kalau sedang sakit, masing- masing 2.3 persen.

Tabel 18. Upaya yang dilakukan untuk menghibur lansia saat sedih

Upaya yang dilakukan n %

1. Mengajak bicara, diberikan saran dan koreksi diri mengapa lansia sedih

2. Diajak jalan-jalan

3. Tidak ada upaya karena lansia susah dihibur 4. Dihibur oleh cucu

5. Nonton TV

6. Disetelkan musik/dibelikan kaset karouke 7. Tidak pernah sedih

8. Diberikan makanan enak 9. Disuruh tidur

10. Diobati, karena lansia sedih jika sedang sakit

29 12 10 10 10 6 3 3 2 2 33.4 13.8 11.5 11.5 11.5 6.9 3.4 3.4 2.3 2.3

Jumlah 87 100

Pekerjaan rumah tangga yang masih dapat dilakukan lansia:

Pada umumnya lansia di Indonesia masih dapat berpartisipasi dalam pekerjaan rumah seperti penelitian yang dilakukan Darmojo dkk ( 1991). Sebagian besar lansia


(46)

masih dapat melakukan pekerjaan rumah tangga terutama membersihkan rumah, memasak, semua pekerjaan, mencuci pakaian, berkebun, dan mengasuh cucu, sebagian kecil lansia sudah tidak bisa apa-apa lagi (lihat tabel 19).

Tabel 19. Pekerjaan rumah tangga yang masih dapat dilakukan lansia

Pekerjaan yang masih dapat dilakukan lansia n % 1. Membersihkan rumah

2. Memasak

3. Semua pekerjaan 4. Mencuci pakaian

5. Berkebun/memelihara tanaman 6. Mengasuh cucu

7. Tidak bisa apa-apa 8. Berbelanja ke pasar 9. Memelihara ayam 10. Memperbaiki keran air 11.Menjahit 27 23 15 7 5 3 3 1 1 1 1 31 26.4 17.2 8.0 5.7 3.5 3.5 1.2 1.2 1.2 1.2

Jumlah 87 100

Untuk pertanyaan apakah lansia diijinkan melakukan pekerjaan rumah, 72.4 persen responden menjawab tidak diijinkan tapi lansia memaksa, 16.3 persen menjawab diijinkan tapi dibantu, dan yang tidak menjawab 10.3 persen. Pada umumnya lansia tidak senang duduk diam tanpa melakukan pekerjaan apapun, mereka senang bila merasa masih dibutuhkan oleh keluarganya, terutama lansia yang masih memiliki kondisi fisik yang baik.


(47)

Berikut ini adalah penuturan salah satu lansia yang tinggal hanya seorang diri di rumah di daerah Budi Agung (BA:15):

“Saya lebih senang tinggal sendiri di rumah karena tidak ingin tergantung kepada anak. Saya senang masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, meski untuk beberapa pekerjaan yang berat saya dibantu oleh pembantu yang pulang hari. Sebenarnya anak saya sering mencemaskan saya, takut terjadi apa-apa tanpa diketahui orang, mereka sering menelfon saya untuk menanyakan keadaan saya. Tapi saya sih senang saja tinggal sendiri di rumah, karena tetangga di sini baik-baik dan saling memperhatikan. Kalau saya tidak mengerjakan pekerjaan apa-apa badan saya terasa tidak enak. Jadi lebih baik saya banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tidak terlalu berat untuk menghabiskan waktu dari pada iseng sendirian”

Hubungan lansia dengan keluarga:

Secara umum lansia memiliki hubungan baik dengan keluarga, hanya satu responden yang menyatakan bahwa hubungan lansia tidak baik dengan keluarga. Pandangan responden terhadap lansia pada umumnya positif, yaitu bahwa lansia merupakan sosok yang harus dihormati dan disayangi. Hal ini dapat terjadi karena agama dan tradisi bangsa Indonesia dan negara Asia pada umumnya yang masih sangat menghargai dan menghormati lansia, dimana bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius sehingga memiliki sikap terhadap orang tua sesuai dengan nilai-nilai agamanya serta norma yang diterima dalam budaya bangsa Indonesia.

Dalam pemahaman masyarakat Indonesia dan Asia pada umumnya, merawat lansia dalam keluarga merupakan kebiasaan terpuji dan diwariskan sebagai pola utama penanganan masalah penduduk usia lanjut (Wahyuni, 2003). Hidup bertempat tinggal dengan keluarga merupakan kebiasaan umum bila seorang usia lanjut ditinggal suami/isterinya atau sebelum hal ini terjadi.


(48)

Umumnya memang keluargalah yang merawat lansia di rumahnya (juga di beberapa negara-negara di Asia yang lain), terutama anak perempuan. Persentase keikutsertaan lansia naik dengan bertambahnya usia. Bantuan dari keluarga meliputi semua bidang, baik finansial, makanan, pakaian, maupun bantuan fisik juga moral (Darmojo, 2004).

Berdasarkan data yang berasal dari rumah tangga yang turut merawat meski tidak serumah dengan lansia serta rumah tangga muda yang merawat lansia tampak bahwa dalam masyarakat Indonesia dalam hal ini masyarakat di kota Bogor, masih memperhatikan orang tuanya yang sudah lanjut usia, mereka memperhatikan apa yang dapat membuat orang tuanya bahagia meski beberapa belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan yang disebabkan kendala masalah ekonomi.

Rumah Tangga Lansia

Bagi lansia yang berada dalam rumah tangga lansia dimana menempati posisi sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga, pada umumnya mereka memiliki hubungan yang baik dengan anak meskipun mereka tidak ikut dengan anak. Hanya satu lansia yang menjawab memiliki hubungan baik tapi terkadang marah.

Pada beberapa rumah tangga lansia terkadang ada anak yang sudah menikah ikut dengan lansia namun masih menjadi tanggungan lansia. Bagi lansia tersebut hal itu tentu saja terkadang menjadi masalah.

Berikut ini adalah orang-orang yang dimintakan tolo ng bila lansia memiliki masalah (lihat Tabel 20).


(49)

Tabel 20. Kepada siapa lansia minta tolong bila ada masalah

Kepada siapa lansia minta tolong bila ada masalah n % 1. Anak

2. Istri dan anak

3. Sendiri/tidak mengeluh dan minta tolong 4. Anak dan keluarga

5. Istri 6. Suami 7. Keluarga 8. Tetangga 9. Suami dan anak 10. Anak dan tetangga 11. Teman

12. Merasa tidak pernah punya masalah 13. Bidan/posbindu 14. Dokter 45 11 11 10 9 5 5 4 4 4 3 2 1 1 40.9 10 10 9 8.2 4.5 4.5 3.6 3.6 3.6 2.7 1.8 0.9 0.9

Jumlah 110 100

Sebagian besar lansia minta tolong pada anak bila ada masalah yaitu sebesar 40.9 persen, juga kepada isteri dan anak serta tidak minta tolong pada siapapun masing- masing 10 persen. Tampak disini bahwa lansia yang minta tolong kepada isteri lebih banyak dari pada minta tolong dengan suami. Hal ini menunjukkan bahwa lansia laki- laki cenderung untuk mendapatkan bantuan/perawatan dari isteri mereka, sedangkan lansia perempuan seringkali tidak mendapatkan hal ini karena kematian suami (Brubaker, 1985 dalam Wa hyuni, 2003). Ada juga lansia yang merasa tidak memiliki masalah, mungkin hal ini disebabkan karena seluruh kebutuhannya telah


(50)

terpenuhi, sehingga merasa bahagia dan tidak mempunyai masalah, hal ini didukung oleh hasil penelitian Jauhari (2003) yang menunjukkan bahwa lansia akan merasa bahagia bila semua kebutuhannya terpenuhi.

Berikut ini adalah penuturan salah satu lansia di Budi agung:

“Saya merasa tidak pernah punya masalah, dalam hidup saya semua berjalan lancar. Meski saya tidak punya anak tapi keadaan saya baik-baik saja, juga isteri saya. Saya tidak pernah punya masalah ekonomi atau sakit keras, jika sakit saya masih bisa kedokter sendiri, saya bahkan masih bisa setir mobil sendiri”.

Dalam kehidupan sehari- hari terdapat orang-orang tertentu yang memperhatikan lansia, siapa saja yang paling memperhatikan lansia dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 21. Yang paling memperhatikan lansia

Yang Paling Memperhatikan Lansia n %

1. Anak

2. Isteri dan anak 3. Isteri

4. Suami dan anak 5. Suami

6. Keluarga

7. Anak dan keluarga lain 7. Anak dan tetangga 8. Tetangga

9. Anak dan cucu 10. Anak dan guru ngaji

40 17 15 9 6 6 5 4 4 3 1 36.4 15.5 13.6 8.2 5.5 5.5 4.5 3.6 3.6 2.7 0.9


(51)

Data tersebut menunjukkan bahwa yang paling banyak memperhatikan lansia adalah anak, berikutnya adalah isteri. Sementara suami dan keluarga lain juga tetangga menampati urutan akhir. Dalam hal ini tampak bahwa caregiver yang paling utama bagi lansia adalah anak dan isteri.

Salah satu lansia di Baranangsiang menuturkan tentang orang yang paling memperhatikannya:

“ Selama ini yang banyak urus saya adalah isteri, selain itu juga anak-anak dan keponakan sering memperhatikan saya, mereka memberikan uang terutama saat saya kesulitan uang. Saya tidak punya pensiun, untung isteri saya bisa merias pengantin jadi lumayan masih ada penghasilan. Tapi yang namanya merias pengantin tidak selalu ada, kadang-kadang dalam waktu lama isteri saya tidak mendapatkan pekerjaan/penghasilan. Pada saat sulit itu biasanya anak dan keponakan memberikan bantuan uang untuk kebutuhan sehari-hari.”

Banyaknya isteri yang memperhatikan lansia dibandingkan dengan suami yang memperhatikan lansia dapat disebabkan adanya perbedaan usia harapan hidup (UHH) antara lansia perempuan dan lansia laki- laki, dan perbedaan jumlah jenis kelamin lansia di masyarakat yang menjadi contoh yaitu lansia laki- laki 36,3% dan perempuan 46,8%.

Harapan terhadap pemerintah untuk lansia baik lansia dalam rumah tangga muda maupun dalam rumah tangga lansia:

Harapan terhadap pemerintah untuk para lansia menurut responden adalah adanya peningkatan layanan kesehatan bagi lansia 85 persen, dan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan 15 persen. Hal ini memang sangat dirasakan kekurangannya meski sebenarnya pemerintah Republik Indonesia sudah mulai


(52)

memperhatikan kesejahteraan lansia yang tercermin pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada:

1. Pasal 12 yang berisi tentang: a). Pelayanan keagamaan dan mental spiritual, b) Pelayanan kesehatan, c) Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum, d) Pemberian kemudahan dalam layanan dan hukum, e) Perlindungan sosial.

2. Pasal 17 ayat (2) tentang pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum disebutkan: a) Pemberian kemudahan dalam pelayanan administrasi pemerintahan dan masyarakat pada umumnya, b) Pemberian kemudahan dan keringanan biaya, c) Pemberian kemudahan dalam melakukan perjalanan, d) penyediaan fasilitas rekreasi dan olah raga khusus. Ayat (3) Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana umumdimaksud untuk memberikan aksesibilitas terutama di tempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lansia (Undang-Undang RI No. 13 Th. 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia)

Dalam Undang-Undang tersebut terungkap jelas bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia sudah menyediakan perangkat hukum untuk menjamin keberadaan para lansia, namun sayangnya implementasi dari pasal-pasal tersebut masih belum jelas, hal itu tercermin pada:

1. Banyaknya lansia yang tidak memiliki asuransi kesehatan, padahal lansia merupakan kelompok yang rentan terhadap berbagai penyakit. Sampai dengan bulan Juni 2002 tercatat 80 persen dari 22 juta lansia Indonesia tidak bisa


(53)

mengakses kesehatan. Fasilitas kesehatan yang dapat diakses lansia umumnya hanyalah puskesmas karena biayanya murah. Hal ini akan merupakan masalah yang cukup berat bagi lansia yang tidak mampu.

2. Karena ketiadaan dana pemerintah, maka sampai saat ini lansia belum memiliki pensiun dari pemerintah, kecuali para lansia yang semasa mudanya bekerja sebagai pegawai negeri. Hal ini berbeda dengan keadaan di negara- negara yang sudah maju seperti di Eropa.

3. Belum adanya angkutan umum yang didisain untuk kenyaman lansia, juga reduksi tarif untuk angkutan umum seperti bus kota dan angkot karena sampai saat ini reduksi harga tiket hanya berlaku untuk pesawat, kereta api, dan kapal laut. Demikian juga belum disediakannya sarana dan prasarana khusus untuk lansia seperti jalan untuk kursi roda, jalan bagi mereka yang bertongkat, pintu, tangga, lift khusus, atau tempat menyeberang. Hal ini masih bertentangan dengan pasal 17 ayat (3), (Anonymous, 2002).

Berikut ini adalah penuturan salah satu caregiver dari lansia yang berada di Budi Agung (BA:8) :

“Saya berharap pemerintah lebih memperhatikan masalah kesehatan lansia, terutama masalah kesehatan mulut. Seharusnya ada pemeriksaan dan pengobatan gigi gratis untuk lansia. Karena biasanya lansia kesulitan makan karena masalah gigi, tapi untuk ke dokter gigi biayanya mahal. Jadi sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan hal itu”

Lansia yang berada di Panti

Lansia memiliki beberapa alasan mengapa mereka tinggal di panti, hal itu dapat dilihat pada Tabel 22.


(54)

Tabel 22. Alasan lansia tinggal di panti

Alasan tinggal di panti n %

1. Keinginan sendiri 2. Tidak punya keluarga 3. Tidak punya rumah

4. Bertengkar dengan menantu 5. Keinginan keluarga

6. Cari ketenangan 7. Semula kepala panti

8. Diminta menjadi juru masak panti

17 13 3 2 2 1 1 1 42.5 32.5 7.5 5 5 2.5 2.5 2.5

Jumlah 40 100

Sebagian besar alasan lansia tinggal di panti karena keinginan sendiri dan tidak punya keluarga. Masing- masing 42.5 persen dan 32.5 persen. Selebihnya adalah karena tidak punya rumah 7.5 persen, bertengkar dengan menantu 5 persen, keinginan famili 5 persen. Terakhir adalah mencari ketenangan, semula kepala panti, dan diminta menjadi juru masak masing- masing 2.5 persen.

Salah satu lansia di Panti Sukma Raharja (PSR :2) menuturkan tentang alasan memilih tinggal di panti :

"Dulu ibu jadi guru, setelah pensiun ibu ingin cari ketenangan tinggal di panti dari pada ikut keluarga malah banyak masalah. Disini ibu lebih tenang dan tidak ada beban. Semua sudah disediakan oleh pengurus panti. Kegiatan disini juga banyak, ada pengajian juga olah raga. Tapi memang tidak semua lansia mau ikut kegiatan itu”

Ada juga satu kasus dimana ada dua lansia saling berbesanan (PSR:27 dan 28), keduanya tinggal di panti Sukma Raharja diantar oleh anak-anak mereka karena


(55)

tidak mampu mengurus lansia secara finansial. Berikut ini adalah penuturannya mengapa tinggal di panti:

“Emak sih sebenernya punya anak, mak yang itu juga (sambil menunjuk besannya) tapi anak emak nggak bisa membiayai hidup emak. Anak emak kawin sama anaknya dia (besannya) terus emak dikirim kesini, abis anak-anak masih susah hidupnya. Mula- mula emak sih sedih waktu dikirim disini, orang punya anak kok disuruh tinggal di panti. Tapi lama- lama emak jadi seneng karena disini banyak temen, makannya enak sehari tiga kali. Nggak usah capai-capai cari duit tapi udah bisa makan, kalau sakit dikasih obat. Yang enak kalau lagi lebaran, banyak yang ngasih macem- macem, emak bawa banyak oleh-oleh untuk anak dan cucu kalau pulang lebaran”

Pada umumnya lansia di panti sudah tidak memiliki pasangan hidup, menurut Santrock (1983), seseorang yang kehilangan pasangan hidupnya terutama bagi seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya tidak lagi mampu membiayai seluruh kebutuhan hidupnya, mereka menopang hidup pada dukungan publik.

Semua lansia memiliki perasaan lebih senang/menikmati sesudah tinggal di panti dan tidak merasa dibuang. Semua lansia merasa puas dengan pelayanan yang ada dipanti, bahkan sebagian besar lansia yang berada di panti werdha Sukma Raharja merasa seperti hidup di surga karena semua kebutuhannya terpenuhi tanpa harus mencari uang. Hal ini bertentangan dengan beberapa tulisan tentang lansia yang berada di panti, mereka menyatakan merasa dirinya terbuang dari keluarga dan merindukan kunjungan dari keluarga, mungkin hal ini terjadi karena mereka sebenarnya masih memiliki keluarga namun tidak mau mengurusnya.

Adapun hubungan lansia dengan sesama penghuni panti sebagian besar baik yaitu sebesar 90 persen, hanya 10 persen yang menyatakan kurang baik. Pada umumnya mereka saling menolong bila ada lansia mengalami kesulitan dan saling


(56)

mencurahkan isi hati mereka bila sedang sedih, namun ada beberapa lansia yang memiliki sifat yang kurang menyenangkan sehingga hubungan mereka menjadi kurang baik dengan sesama lansia penghuni panti.

Selama mereka tinggal di panti yang paling memperhatikan mereka adalah teman sekamar sebesar 52.5 persen, pengurus panti sebesar 37.5 persen, selebihnya adalah keluarga, sua mi, isteri, dan tidak pernah sedih masing- masing sebesar 2.5 persen. Berdasarkan pengamatan selama penelitian memang tampak suasana saling tolong menolong antara sesama lansia dan besarnya perhatian pengurus panti terhadap mereka, terutama bila lansia sakit, maka pengurus panti segera memberikan obat dan mengunjungi kamar lansia yang sedang sakit. Tampak sekali kesabaran para pengurus dalam menghadapi lansia, meskipun ada beberapa lansia yang sulit diatur.

Aspek Psikososial a. Depresi

Kondisi Mental Lansia yang tinggal di panti dengan kondisi mental yang normal sebesar 50 persen dan di masyarakat sebesar 64.9 persen. Lansia yang mengalami depresi baik tingkat ringan maupun sedang di panti sebesar 50 persen dan di masyarakat sebesar 35.1 persen seperti yang terdapat pada gambar 9.

Hasil analisis dengan uji beda Pearson Chi-Square, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kondisi depresi lansia yang berada di panti dan di masyarakat p=. 116 (p>0.05). Hal ini disebabkan karena meski sebagian lansia di


(57)

panti kurang mendapat dukungan dari keluarga namun segala kebutuhannya sudah dipenuhi oleh pemerintah dan adanya dukungan dari masyarakat.

50

64.9

50

35.1

0 10 20 30 40 50 60 70

persentase

normal depresi

panti

masyarakat

Gambar 9. Diagram bat ang sebaran kondisi mental lansia (normal dan depresi) menurut tempat tinggal ( panti dan masyarakat)

Di Panti Werdha Sukma Raharja lansia mendapatkan makan sehari tiga kali berikut makanan selingan, obat-obatan, pakaian disamping adanya bantuan dari masyarakat seperti makanan matang setiap hari senin dan bahan makanan segar seperti ikan, telur, ayam, tempe, dan tahu sebagai upaya peningkatan kualitas makanan pada panti tersebut. Makanan selingan diberikan jam 10 dan jam 16.00. Keadaan tersebut membuat lansia merasa puas dan gembira sehingga menganggap bahwa panti merupakan surga bagi mereka.

Bagi lansia yang berada di panti werdha Kasih Mulia Sejahtera, mereka mendapatkan dukungan secara finansial dari keluarga selain dari masyarakat. Dengan


(58)

berbaga i fasilitas yang ada membuat hidup mereka menjadi sangat menyenangkan. Mereka sering bernyanyi bersama dengan menggunakan karouke, selain itu ruang di panti tersebut memiliki ruang santai sangat representatif, para lansia bisa nonton TV dengan santai. Selain itu menu yang disajikan juga menarik dan memenuhi syarat gizi. Setiap lansia berulang tahun selalu dirayakan oleh pengurus panti dan diberikan hadiah ulang tahun.

Keadaan tersebut membuat lansia yang tinggal di panti merasa senang sama halnya dengan lansia yang berada di masyarakat yang mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya. Tentunya hal tersebut mempengaruhi kondisi mental dari lansia. Kegembiraan dan kebahagiaan akan mengurangi kejadian depresi pada lansia.

Berikut ini adalah penuturan salah satu lansia di Panti Kasih Mulia Sejahtera yang merasa lebih senang sesudah tinggal di panti :

“Saya lebih senang tinggal disini, banyak teman dan banyak hiburan. Saya ngajar agama Kristen di Jakarta. Pulang pergi saya naik bis sendiri. Kalau lagi ada waktu saya menjahit karena itu hobby saya. Dulu kehidupan saya lebih susah dari sekarang karena harus cari makan sendiri (lansia tersebut tidak punya keluarga), tapi ada salah satu famili yang kirim saya kesini. Sekarang hidup saya lebih enak”

Kondisi Mental Lansia Berdasarkan Tempat tinggal dan Posisi Lansia Dalam Keluarga

Analisis berdasarkan kondisi depresi dari lansia yang berada di panti dan di masyarakat dengan posisi dalam rumah tangga lansia dan dalam rumah tangga muda, memperoleh sebagai berikut :

Kondisi normal dari lansia yang berada di panti sebesar 50 persen , yang tinggal dalam rumah tangga lansia sebesar 62.7 persen, sedangkan lansia yang tinggal


(1)

243


(2)

244

Keterangan :

ALT 1 = Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana

ALT 2 = Mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir

ALT 3 = Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana

ALT 4 = Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir ALT 5 = Meningkatkan partisipasi stakeholder


(3)

245


(4)

246

Keterangan :

ALT 1 = Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana

ALT 2 = Mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir

ALT 3 = Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana

ALT 4 = Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir ALT 5 = Meningkatkan partisipasi stakeholder


(5)

ABSTRACT

RUSILANTI.

Psychosocial aspect, physical activity, food consumption, nutrition status, and the effect of milk enriched by “dadih” probiotic Enterococcus faecium IS 27526 (MEDP) on immun response IgA of the elderly. Supervized by CLARA M

KUSHARTO, ALIKHOMSAN, EKAWATI S WAHYUNI, INGRID S SURONO.

Elderly represents an ever-increasing population in Indonesia. Many of health issues face by the elderly as a consequence of declining physiologic function along with ageing, which leads to predispositio n of infectious and non- infectious diseases,increase morbidity and convalescence.

The aims of this research are: a) to analyze psychosocial aspect of the elderly in nursing home and community, b) to analyse physical activity, consumption and nutritional status of the elderly in nursing home and community, c) to analyse the effect of milk enriched by “dadih” probiotic Enterococcus faecium IS 27526 (MEDP) on immun response IgA of the elderly. The locations are purposively selected at three “kelurahan” : Bud i agung, Baranangsiang, and Situ Gede and two nursing home : Panti Sukma Raharja and Panti Kasih Mulia Sejahtera in Bogor City. The study design are a cross-sectional. . Total sample 237 elderly, 40 elderly in nursing home and 197 in community (age range 60 – 85 years; mean: 68 year), and clinical trial study : thirty six healthy elderly volunteers in two nursing home (age range: 60 – 80 y; median : 68 y) participate in 2-stages dietary intervention trial lasting 6 wk. During stage 1 (run in), subject consumed low- fat milk (125 ml ones daily for 3 wk). During stage-two (intervention), they consumed MEDP for 3 wk..

The study showed that : no significant difference in psychosocial aspect, physical activity and nutritional status between elderly in the nursing home. Both of them have low depression and high life satisfaction. No significant difference in physical activity and nutritional status of the elderly live in nursing home and the community (p>0.05). In terms of sufficiency level, significant differenc e exist for vitamin C (p<0.05). The overall research reveals a significant increase of total IgA serum at 95% confident level (p<0.05) by supplementing probiotic milk. Tukeys analisys showed that IgA difference was significant after probiotic milk treatment but not during milk treatment. This implies that supplementation with MEDP may increase the immune response of the elderly.


(6)

ABSTRAK

RUSILANTI. Aspek psikososial, Aktivitas Fisik, konsumsi Makanan, Status Gizi

dan Pengaruh Susu Plus Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 (MEDP)

Terhadap Respons Imun IgA Lansia . Dibawah bimbingan CLARA M KUSHARTO, ALI KHOMSAN, EKAWATI,S WAHYUNI, INGGRID S SURONO.

Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar. Seiring dengan meningkatnya usia maka muncul permasalahan baru seperti masalah kesehatan fisik maupun mental akibat penurunan fungsi fisiologis dan mental selama proses penuaan. Hal tersebut mengakib atkan terjadinya peningkatan berbagai penyakit infeksi maupun non infeksi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk : a) menganalisis aspek psikososial lansia yang berada di panti dan di masyarakat, b) menganalisis aktivitas fisik, konsumsi makanan, dan status gizi lansia yang berada di panti dan di masyarakat, c) menganalisis pengaruh susu plus probiotik asal “dadih” Enterococcus faecum IS-27526 (MEDP) terhadap respon imun lansia.

Pemilihan lokasi dilakukan secara purposiv berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Bogor berdasarkan aktivitas posbindu yaitu di tiga kelurahan : kelurahan Budi Agung, kelurahan Baranangsiang, dan kelurahan Situgede, serta dua panti werdha yaitu Panti Werdha Sukma Raharja dan Panti werdha Kasih Mulia Sejahtera di Kota Bogor. Desain penelitian terdiri dari cross- sectional dengan total sampel 237 lansia, 40 lansia di panti dan 197 lansia di masyarakat (rentangan umur antara 60 – 85 tahun, rata-rata 68 tahun) , dan uji klinik dengan total sampel sebanyak 36 lansia (usia antara 60 – 80 tahun, median 68 tahun) mengikuti dua tahap penelitian. Tahap pertama lansia mengonsumsi susu rendah lemak sebanyak 125 ml setiap hari selama tiga minggu, dan tahap kedua mengonsumsi susu rendah lemak sebanyak 125 ml susu plus probiotik asal dadih Enterococcus faecium IS 27526 selama 3 minggu.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada aspek psikososial yaitu kondisi depresi, kepuasan hidup, aktivitas fisik dan status gizi pada lansia yang tinggal di panti maupun di masyarakat. Perbedaan signifikan terdapat pada persentase kecukupan terdapat pada persentase kecukupan vitamin C. Hasil intervensi susu probiotik menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada konsentrasi IgA serum total pada selang kepercayaan 95% p= 0.001 (p<0.05). Hasil analisis Tukeys menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi IgA total serum terdapat pada perlakuan pemberian susu probiotik, sedangkan pada pemberian susu tanpa probiotik tidak menunjukkan perbedaan nyata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian susu probiotik dapat meningkatkan respons imun IgA pada lansia.