2002 ,
kenyataanya pengelolaan pesisir Jawa Barat masih bersifat sektoral dan bias daratan.
Kebijakan pengelolaan pesisir Jawa Barat sama dengan kebijakan pesisir lainnya yang sektoral dan bias daratan, sehingga menjadikan laut sebagai kolam
sampah raksasa. Pratikto 2005 mengemukakan bahwa dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas oleh kelompok pengusaha besar dan
pengusaha asing belum oleh nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung
di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha
terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan tidak berkelanjutan. Ini disebabkan oleh faktor ambiguitas pemilikan dan
penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, dan konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering
terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik open access property, sementara dalam pasal 33 UUD tahun 1945 dinyatakan
sebagai milik pemerintah state property. Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat common
property bahkan ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi quasi private proverty Pratikto, 2005.
Dari sisi daratan, penguasaanpemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil masih mengalami ketidakpastian hukum. Di dalam UU No. 5
tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria UUPA hanya mengatur sebatas pemilikan penguasaan tanah sampai pada garis pantai sedangkan wilayah
pesisir yang merupakan wilayah pantai dan laut tidak diatur dalam UU ini. Secara khsusus terdapat ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
di dalam UU tersebut, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
5.3.3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir
5.3.3.1. Penentuan Kaidah Dasar Rule Base
Untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir khususnya di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, dapat dilihat
dari tujuh parameter hasil diskursus normative dialogik dengan pakar terkait
Lampiran 2 yang meliputi :
Parameter 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir Parameter 2. Ketersediaan prasara dan sarana pesisir
Parameter 3. Pembangunan industri berbasis wilayah pesisir Parameter 4. Proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD
Parameter 5. Rejim penguasaan pemerintah state propertyregime Parameter 6. Program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui
CSRSharing Parameter 7. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian,
perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana.
Berdasarkan akuisi pengetahuan knowledge acquisition pakar tersebut, ketujuh parameter tersebut disarankan dikelompokan kedalam tiga kelompok
besar yang memiliki kesamaan yaitu i kelompok pertama adalah optimalisasi pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan
pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD Parameter 1, 2, 3, dan 4 Preuss, 2006, ii
kelompok kedua adalah peran Pemerintah yang meliputi Rejim penguasaan pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir Marine Protected Area dan
program pemberdayaan masyarakat melalui CSR Parameter 5 dan 6 Tobey
and Torell, 2006, iii kelompok ketiga adalah pengembangan sektor pariwisata,
perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana Parameter 7 Wind dan Kock, 2002. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pemahaman terhadap knowledge yang di transfer oleh pakar dalam KBMS. Selanjutnya berdasarkan diskursus dengan para pakar 2008, tiga
kelompok parameter tersebut dengan menggunakan rumus permutasi yaitu penggabungan beberapa objek dari suatu grup dengan memperhatikan urutan.
Rumus tersebut yaitu n
r
Wikipedia, 2008, dimana n adalah jumlah kelompok parameter tiga kelompok parameter dan r adalah jumlah yang harus dipilih
dalam urutan permutasi dalam hal ini tiga urutan permutasi adalah tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan hal tersebut maka akan terbentuk 27 urutan
permutasi. Namun berdasarkan hasil diskursus dengan pakar, hanya 24 rule base teknik berbasis kaidah-kaidah yang sesuai dan memadai untuk menjadi
dasar evaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat.
5.3.3.2. Aplikasi Metode KBMS dalam Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Provinsi Jawa
Barat
Hasil penjajakan pendapat dengan pakar dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan pesisir di Kabupaten
Indramayu seperti pada Gambar 23 terlihat bahwa praktisi memberikan penilaian
optimalisasi pelaksanaan tata ruang dalam penyediaan prasarana dan sarana berbasis industri pesisir serta proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam
APBD ‘sedang’, rejim penguasaan pemerintah di pesisir mengutamakan program pemberdayaan masyarakat ‘sedang’, dan pengembangan sektor pariwisata
dengan nilai ‘rendah’.
Gambar 23. Manajemen dialog pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir
di Kabupaten Indramayu Berdasarkan hasil analisis pendapat praktisi melalui Manajemen Dialog
dalam KBMS tersebut dapat disimpulkan temuan sebagai berikut: 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir, ketersediaan
prasara dan sarana pesisir, pembangunan industri berbasis wilayah pesisir, dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai
‘sedang’. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi yang berkembang terkonsentrasi di
wilayah pantura sejak 1970-an telah mengabaikan perencanaan tata ruang wilayah pesisir sehingga mengakibatkan konversi hutan mangrove menjadi
kolam tambak dan kegiatan permukiman lainnya serta menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan pesisir pantura. Pencemaran pesisir dan laju
abrasi yang tinggi nomor dua setelah pesisir NAD Setyawan, 2007 serta jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penanganan selama sepuluh tahun
terakhir Prasetya, 2006 menunjukkan kompleksitas tekanan yang terjadi terhadap wilayah pesisir pantura.
2. Rejim penguasaan pemerintah state propertyregime dan program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSRSharing dinilai
‘sedang’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang sering mengabaikan
kepentingan masyarakat pesisir seperti kasus pengerukan pasir sekitar 3 juta m
3
dari Pulau Gosong seluas 20 ha untuk kepentingan pembangunan instalasi kilang minyak Balongan seluas 250 ha hektar dengan mengabaikan kegiatan
tradisional kultural masyarakat setempat yang memanfaatkan Pulau Gosong untuk berlabuh dan menangkap ikan termasuk dampak gelombang pasang.
Selain itu kompensasi pemerintah yang kurang wajar terhadap masyarakat pesisir seperti program CSR yang secara resmi baru ditandatangani pada
tahun 2007 antara Pertamina Unit IV dengan masyarakat wilayah pesisir dengan jumlah yang relatif kecil Pemerintah Kabupaten Indramayu, 2007.
Sesungguhnya CSR dapat dilakukan lebih intensif oleh Pertamina Unit IV Balongan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan aparat pesisir
Indramayu yang melibatkan perguruan tinggi lokal Universitas Wiralodra dan LSM untuk menjadi pendamping masyarakat. Diharapkan melalui CSR akan
terbuka arus informasi dan akses kepada pasar serta sumber pendanaan, sehingga selain akan dapat meningkatan kemampuan ekonomi masyarakat
pesisir juga akan meningkatkan kepedulian masyarakat dan aparat terhadap kelestarian ekosistem pesisir Indramayu.
3. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana dinilai
‘rendah’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam penanganan pencemaran
akibat kebocoran pipa SBM yang dalam sepuluh tahun terakhir sudah terjadi delapan kali pencemaran dan menggenangi pesisir sepanjang 15 km sangat
kurang memadai Uliyah, 2008. Akibatnya mengganggu pengembangan sektor perikanan karena pendapatan nelayan merosot dan semakin
terpuruknya sektor pariwisata dengan pantainya yang sebelumnya sudah rusak akibat abrasi. Untuk Kabupaten Ciamis, hasil analisis pendapat pakar
dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir mendapatkan temuan Gambar 24 sebagai berikut :
Gambar 24. Manajemen dialog pendapat pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di
Kabupaten Ciamis 1. Optimalisasi penataan ruang pesisir, penyediaan prasarana dan sarana
pesisir, pembangunan industri berbasis pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’.
Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah kurang terintegrasi yang berdampak terhadap kegiatan antarsektor sebagaimana dijelaskan berikut ini Puradimaja,
2007 : •
Rencana tata ruang daerah belum terintegrasi dengan kawasan pesisir •
Penegakan hukum yang masih lemah dalam mengatasi penyimpangan rencana tata ruang wilayah RTRW
• Kurangnya kuantitas dan kualitas prasarana jalan penghubung ke dan
dari jalur tengah dan utara
• Pelabuhan nusantara di Pelabuhan Ratu sedang masa transisi menuju ke
pelabuhan samudra •
Belum terdapat pelabuhan udara yang siap secara operasional 2. Rejim penguasaan pemerintah state propertyregime dan program pemerintah
tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSRSharing dinilai ‘sedang’, Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam pengendalian penguasaan
atas lahan di Pesisir Ciamis dinilai kurang memadai. Sebagai contoh,
dikuasainya kawasan antara semenanjung cagar alam dengan daratan di belakangnya oleh swasta. Kawasan tersebut merupakan pertemuan antara
pantai barat dan pantai timur yang memiliki lansekap indah dan strategis dalam upaya penanggulangan bencana. Pada waktu tsunami melanda
pantai Pangandaran, kawasan ini tergenang oleh air ± 2 meter sehingga menyulitkan gerakan penyelamatan diri.
Oleh karena di Ciamis tidak ada perusahaan besar seperti Pertamina di pesisir Indramayu, maka upaya meningkatkan ketahanan ekonomi setiapsektor
hendaknya dilakukan dengan sharing kepentingan diantara stakeholder para pemangku kepentingan wilayah pesisir. Karena bagaimanapun juga, seluruh
manfaat pesisir memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana konsep
bioregion yang bisa mencapai ribuan hingga ratus ribuan hektar, tetapi bisa juga tidak lebih dari luas daerah tangkapan air atau seluas satu provinsi Cicin-
Sain dan Knecht, 1998. 3. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan
pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana dinilai ‘tinggi’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah melalui Perda No.1 tahun 2004
tentang Renstra Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan
penting dalam pengembangan wilayah. Perencanaan tata ruang telah menekankan kepada jalur selatan, dimana Ciamis sebagai primadona
Kawasan Wisata Unggulan KWU Provinsi. Secara internal pengembangan sektor kepariwisataan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat, dan secara eksternal diharapkan mampu menjadi sektor utama yang memberikan dampak menyebar pada wilayah sekitarnya demi
menciptakan pemerataan wilayah.
5.4. Kesimpulan Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir