25 50
75 100
125 150
1 2
3 4
5 6
7 8
Um ur Tahun P
e rs
e n
ta s
e
Stratum Sedang Stratum Raw an
Gambar 3. Persentase Kenormalan Tegakan Untuk Tiap Kelas Umur Pada Masing- masing Stratum.
B. Pembahasan
B.1. Persentase Gangguan Pada Tiap Stratum
Dari hasil pengolahan data pada Tabel 4 dan 5, terlihat bahwa besarnya nilai volume yang hilang berkorelasi kuat dengan besar nilai persentase gangguan yang terjadi,
dimana nilai ini menunjukkan besarnya gangguan yang terjadi pada tegakan. Perbandingan besarnya volume hilang pada tiap umur tanaman tiap stratum disajikan
pada Gambar 1. Nilai persentase gangguan pada stratum sedang bervariasi mulai dari 15,0-69,4.
Sedangkan, untuk stratum rawan, besar nilai persentase gangguan bervariasi mulai dari 0- 94,3. Dari kedua stratum, terlihat bahwa gangguan terbesar terjadi pada saat tanaman
berumur 1 tahun atau kurang, dan gangguan terendah terjadi pada saat umur tanaman berusia 5-6 tahun 2-3 tahun sebelum memasuki masa masak tebang. Gambaran besar
persentase gangguan yang dialami tegakan pada setiap umur dan stratum dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari hasil perhitungan persentase gangguan, terlihat bahwa setiap umur tegakan pada tiap stratum mengalami gangguan yang besarnya bervariasi dan fluktuatif, atau
bahkan tidak mengalami sama sekali, sehingga justru memiliki volume aktual lebih besar 38,9 dari volume rata-rata tegakan seperti yang terjadi pada Petak 10 Unit VII Blok
Suban Ulu. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya keberagaman jenis dan intensitas gangguan hutan yang ada, terutama jenis dan intensitas yang disebabkan oleh faktor
manusia, yang biasanya berlangsung secara sporadistidak merata tergantung dari beberapa faktor lain, seperti faktor tinggi rendahnya aksesibilitas lahan, faktor kedekatan
lahan dengan tempat tinggal penduduk, dan lain-lain. Untuk lebih jelas mengenai faktor- faktor apa saja yang berpengaruh terhadap persentase gangguan, dan pada gilirannya nilai
rasio kelestarian hutan, akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab pembahasan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai rasio kelestarian hutan.
B.2. Persentase Kenormalan dan Luas Koreksi Tegakan
Seperti halnya persentase gangguan yang dipengaruhi oleh besar volume yang hilang, persentase kenormalan juga dipengaruhi oleh besar persentase gangguan hutan
yang terjadi. Dalam hal ini, dengan semakin besarnya persen gangguan yang terjadi, atau dengan kata lain , dengan semakin rawannya tegakan yang bersangkutan terhadap
gangguan, maka akan semakin rendah tingkat kenormalan tegakan, dan sebaliknya. Secara umum, nilai persentase kenormalan merupakan nilai yang menunjukkan seberapa
besar tingkat kenormalan tegakan tersebut jika dibandingkan dengan keadaan normalkeadaan ideal tegakan. Nilai kenormalan yang ideal dari suatu tegakan adalah
100, yang menandakan bahwa tegakan tersebut pertumbuhannya didukung oleh berbagai faktor yang ada, baik internal maupun eksternal secara optimum.
Dari hasil perhitungan persentase kenormalan pada Tabel 4 dan 5, juga dari hasil perbandingan pada Gambar 3, terlihat bahwa besarnya persentase kenormalan pada tiap
umur tegakan di tiap stratum nilainya bervariasi. Pada stratum sedang, nilai persentase kenormalan bervariasi dari 30,6-85,0 sedangkan pada stratum rawan, nilainya
bervariasi antara 5,7-138,9. Kondisi nilai persentase kenormalan yang bervariasi ini diduga merupakan hasil dari adanya keragaman jenis dan intensitas faktor-faktor yang
mempengaruhinya, baik dari dalam maupun dari luar. Salah satu kegunaan dari diketahuinya nilai persentase kenormalan adalah dapat
diketahuinya luas koreksi luas aktual sebagai hasil perkalian antara persentase kenormalan dengan luas normal tiap umur tegakan. Dari hasil perhitungan pada Tabel 7
dan 8, diketahui bahwa luas aktual untuk tiap sebaran umur tanaman di Wilayah II Benakat berada jauh di bawah jumlah luas yang harus dibalak setiap tahunnya berada
jauh di bawah perkiraan target produksi yang ada. Namun, yang perlu diingat adalah, jumlah luasan sebesar 12.125,2 hatahun diambil dari keseluruhan areal kerja PT.MHP
yang meliputi Wilayah I, II dan III. Meskipun demikian, luasan aktual yang dimiliki oleh Wilayah II Benakat sebagai wilayah yang memiliki luas tanaman 64.688,3 ha 33,4
dari luas areal efektif 193.500 ha adalah tetap mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan Wilayah II Benakat memiliki total luas aktual yang besarnya bervariasi pada setiap umur
tanaman lihat Tabel 8,dan diperkirakan akan mulai mengalami kesulitan dalam memenuhi target produksi ketika tanaman berumur 6 tahun mulai ditebang. Hal ini
tentunya perlu mendapatkan penanganan yang serius, baik secara preventif pencegahan maupun represif penanggulangan, karena jika tidak, dikhawatirkan perusahaan akan
mengalami kesulitan dalam memenuhi kontrak kerja dengan PT. TEL.
B.3. Rasio Kelestarian Hutan
Dari hasil perhitungan pada Tabel 6, diperoleh nilai-nilai rasio kelestarian hutan untuk tiap stratum dan kondisi secara umum. Nilai ini diperoleh dengan membandingkan
antara jumlah persentase kenormalan tiap kelas umur tiap stratum aktual dengan jumlah persentase kenormalan tiap kelas umur tiap stratum pada keadaan normal, yaitu 800.
Nilai rasio kelestarian untuk stratum sedang adalah sebesar 0,67, untuk stratum rawan sebesar 0,62 dan untuk kondisi umumrata-rata sebesar 0,64. Hal ini berarti pada
areal kerja Wilayah II Benakat ada sebesar 0,36 bagian yang megalami gangguan. Untuk itu, maka di wilayah ini perlu diadakan penanaman sebesar 10,64 = 1,6 kali luas
penebangan agar dapat diperoleh suatu kondisi hutan yang mendekati normal dan juga agar 0,36 bagian yang hilang dapat digantikan.
Pelaksanaan hal ini tidak selalu berarti harus ada penambahan luas dari areal yang telah tersedia, tapi juga dapat dilakukan dengan cara melakukan intensifikasi
pertumbuhan tanaman yang ada, sehingga diperoleh suatu pertumbuhan volume yang lebih besar dan setara dengan luas yang dibutuhkan. Intensifikasi pertumbuhan tanaman
antara lain dapat dilakukan dengan cara menggunakan benih yang secara genetik terbukti unggul, menggunakan jarak tanam yang terbukti paling optimal serta dengan pemupukan
yang intensif.
B.4. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Nilai Rasio Kelestarian Hutan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, secara umum ada dua faktor yang berpengaruh besar terhadap nilai rasio kelestarian hutan. Faktor yang pertama adalah
faktor yang berasal dari dalam tanaman itu sendiri faktor internal, dan yang kedua adalah faktor yang berasal dari luar faktor eksternal. Di antara yang termasuk ke dalam
faktor internal pertumbuhan tegakan antara lain adalah faktor kesuburan lahan, faktor umur serta faktor tingkat persaingan dalam memperoleh makanan dan cahaya.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam faktor eksternal antara lain adalah besarnya tingkat gangguan yang terjadi pada tegakan itu sendiri. Di antara kedua faktor ini, faktor
eksternal seringkali menjadi faktor yang menetukan tinggi rendahnya nilai rasio kelestarian pada suatu areal hutan. Hal ini disebabkan karena dampak dari sesuatu yang
diakibatkan oleh faktor eksternal seringkali lebih sulit untuk dikendalikanditanggulangi daripada dampak dari sesuatu yang diakibatkan oleh faktor internal. Sebagai contoh,
pengaruh kerusakan pada suatu tegakan Akasia yang diakibatkan oleh faktor eksternal perambahan lahan, pencurian, pembakaran lahan,angin kencang akan lebih sulit untuk
ditangani secara tuntas, belum lagi akan adanya fakta bahwa besarnya gangguan seringkali melewati ambang batas ketahanan tegakan itu sendiri terhadap gangguan.
Sementara pengaruh yang diberikan oleh faktor internal terhadap pertumbuhan tegakan, misalnya pengaruh kesuburan lahan yang rendah terhadap volume, pada umumnya masih
dapat ditanggulangi dengan menggunakan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia, seperti misalnya dengan cara melakukan pemuliaan pohon dan pemberian pupuk yang intensif.
Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa faktor eksternal, terutama yang disebabkan oleh manusia, adalah merupakan faktor utama yang harus disediakan solusi
pemecahannya secara baik dan komprehensif apabila memang diinginkan adanya suatu areal hutan yang lestari dan berkelanjutan. Hal ini menjadi penting karena, betapapun
hebatnya ilmu yang kita gunakan untuk memperbaiki faktor internal, hal ini akan menjadi sia-sia saja apabila tidak dibarengi dengan suatu solusi dan regulasi yang mampu
menghentikan pengrusakan hutan terus menerus. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk memfokuskan pembahasan pada faktor-faktor eksternal yang menjadi ancaman bagi
kelestarian hutan tanaman mangium, khususnya yang terletak di PT. Musi Hutan Persada Wilayah II Benakat.
B.4.1. Faktor-faktor Eksternal yang Berpengaruh Terhadap Nilai Rasio Kelestarian Hutan
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan pada kondisi lapangan, ada beberapa faktor eksternal gangguan hutan yang harus diwaspadai dengan baik, di
antaranya adalah: a.
Konflik Lahan. Berdasarkan hasil rekapitulasi kerugian yang diderita perusahaan selama tiga
tahun terakhir disajikan pada Lampiran 2 dan 3, terlihat bahwa masalah konflik lahan, baik yang berupa perambahan lahan oleh masyarakat maupun klaim lahan
merupakan masalah utama yang harus dihadapi oleh perusahaan. Baik masalah perambahan lahan maupun klaim lahan pada umumnya terjadi hampir secara merata
pada seluruh petak-petak tegakan yang ada, baik yang berusia muda maupun yang telah berada pada usia masak tebang tidak mengenal umur tegakan. Meskipun
demikian, khusus untuk masalah perambahan lahan, lebih sering terjadi pada petak- petak tegakan berusia muda ataupun pada petak-petak bekas tebangan. Hal ini
disebabkan oleh karena masyarakat menggunakan lahan-lahan yang ada tersebut untuk keperluan membuat ladang dan lahan pertanian, baik digunakan untuk
menanam tanaman semusim seperti padi, cabai, sayur-mayur ataupun untuk menanam tanaman keras seperti karet.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah konflik lahan dengan masyarakat merupakan masalah terberat yang harus dihadapi oleh perusahaan. Hal ini
dikarenakan, dari kedua macam masalah ini dapat berujung pada munculnya masalah lain yang juga tidak kalah merugikannya, yaitu masalah kebakaran lahan.
b. Kebakaran Lahan
Masalah kebakaran lahan yang terjadi pada areal kerja PT. MHP pada umumnya berawal dari adanya kegiatan pembukaan ladang oleh masyarakat, baik yang
dilakukan pada lahan milik pribadi maupun yang dilakukan pada areal konsesi hutan perusahaan perambahan lahan untuk berladang. Kegiatan pembukaan ladang oleh
masyarakat ini paling marak terjadi pada bulan Juli-Oktober yang merupakan bulan- bulan paling kering dalam setahun. Kurangnya biaya yang dimiliki untuk membuka
lahan selain dengan cara pembakaran, kurangnya pengetahuan serta adanya kebiasaan
yang telah melekat sejak dahulu menjadi suatu kombinasi yang sangat merugikan bagi perusahaan, terutama apabila pembakaran yang dilakukan menjadi tidak
terkendali dan menyebar ke lahan tegakan milik perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, diperoleh informasi bahwa
umur tegakan Acacia mangium yang paling rentan terhadap bahaya kebakaran adalah umur tegakan 1-3 tahun. Pada umur sekian, tegakan yang ada sangat rentan untuk
terbakar habis tanpa sisa, sedangkan bila umur tegakan telah melewati tiga tahun pertama, kerentanannya menjadi berkurang drastis, dan meskipun terbakar, masih
memiliki kemungkinan untuk ditebang dan dikirimkan ke PT.TEL, dengan catatan tidak boleh ada arang kayu bekas terbakar pada kayu bulat yang dikirimkan. Dalam
hal ini, perusahaan masih merugi, meskipun tidak secara total. Meskipun demikian, tingkat kerentanan ini juga masih bergantung pada intensitas kebakaran yang terjadi.
c. Penggembalaan.
Simon 2004 menyatakan bahwa suatu pengelolaan hutan pada awalnya berangkat dari daerah yang berpenduduk jarang, bahkan sama sekali tidak
berpenghuni. Namun, seiring dengan adanya kegiatan pengelolaan dan penebangan hutan, daerah tersebut pada akhirnya menjadi terbuka, dengan tingkat aksesibilitas
dan sarana komunikasi yang berkembang. Adanya hal ini menyebabkan semakin banyaknya penduduk yang berpindah ke daerah tersebut, baik untuk mencari
pekerjaan pada kegiatan penebangan maupun untuk menyediakan berbagai macam kebutuhan para pekerja tersebut.
Kegiatan penggembalaan berternak merupakan salah satu dari sekian banyak usaha yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
semakin padatnya penduduk dan semakin sempitnya lahan yang tersedia untuk kegiatan penggembalaan, masyarakat pemilik ternak seringkali tidak punya pilihan
lain selain menggembalakan ternak miliknya di lahan-lahan tegakan milik perusahaan, tanpa menyadari kerusakan yang ditimbulkan.
Dalam hal gangguan hutan berupa penggembalaan, tegakan yang berumur kurang dari satu tahun merupakan tegakan yang paling rentan terhadap jenis gangguan ini.
d. Hama Penyakit Hutan
Ada beberapa jenis hama penyakit hutan yang ditengarai terjadi di MHP. Untuk hama hutan, jenis-jenis hama yang pernah tercatat menyerang tegakan di MHP,
menurut Hardiyanto, 2004 antara lain adalah ulat grayak atau ulat tentara Spodoptera litura
serta penggerek batang. Masih menurut yang bersangkutan, hama-hama yang ada ini tidak memberikan gangguan yang berarti pada HTI. Sedangkan untuk jenis
penyakit hutan, berbeda dari hama, dapat memberikan ancaman yang lebih besar, baik pada luas serangan maupun pada potensi kerugian yang ditimbulkan. Jenis
penyakit yang tercatat menyerang HTI MHP antara lain adalah Jamur akar putih disebabkan oleh jamur Rigidoporus lignosus, Jamur upas pink disease, Karat daun
disebabkan oleh jamur Atelocauda digitata, serta penyakit Busuk hati. Berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, tampaknya ada jenis hama
baru yang menyerang HTI MHP akhir-akhir ini. Jenis hama yang baru ini diduga berupa hewan monyet, dengan ciri serangan utama adalah terkelupasnya sebagian
atau seluruh kulit pohon yang disertai dengan bekas gigitan. Akibat adanya serangan ini adalah dalam waktu singkat pohon-pohon yang terkena serangan meranggas dan
kemudian mati karena terhentinya pasokan makanan dari akar ke bagian batang dan daun. Meskipun Hardiyanto, 2004 menyatakan bahwa serangan hama tidak
memberikan gangguan yang berarti, dari hasil pengamatan dan wawancara nampak bahwa serangan hama baru ini dapat menjadi suatu ancaman yang serius pada masa
mendatang bila tidak ditangani dengan segera. Hal ini dikarenakan hama baru ini dapat merusak areal tanaman di Blok Setuntung seluas 4.465,66 ha secara hampir
keseluruhansecara merata dalam waktu yang relatif singkat.
B.4.2. Akibat-akibat yang Ditimbulkan Oleh Gangguan Hutan Faktor Eksternal Pada Kondisi Tegakan Secara Umum
Dengan melihat kenyataan di atas bahwa penurunan kualitas tanaman Acacia mangium
sangat dipengaruhi oleh berbagai gangguan yang ada, berikut penjelasan terperinci tentang akibat yang mungkin ditimbulkan terhadap berbagai kondisi tegakan
Acacia mangium. a.
Akibat Gangguan Konflik Lahan Seperti yang telah dikemukakan pada sub-bab sebelumnya, gangguan hutan
berupa konflik lahan merupakan salah satu jenis gangguan hutan yang tidak mengenal
umur tegakan. Kerugian yang ditimbulkan akibat adanya konflik lahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada kasus perambahan lahan, kerugian yang muncul berupa berkurangnya produksi volume pohon, kehilangan sejumlah luasan lahan dan keterlambatan waktu
tanam untuk lahan Logged Over AreaLOA. Sementara pada kasus klaim lahan, kerugian yang muncul berupa keterlambatan waktu tanam serta juga pengurangan luas
lahan yang signifikan bila masalah ini sampai berlarut-larut atau dimenangkan oleh penggugat. Kerugian berupa pengurangan volume pada kasus klaim lahan biasanya tidak
terjadi, karena dalam kasus ini masyarakat penggugat biasanya hanya menginginkan agar lahan tersebut menjadi milik mereka, tanpa disertai adanya pengrusakan tegakan.
Kerugian berupa berkurangnya volume pohon yang seharusnya dapat diproduksi terjadi karena pada kasus perambahan lahan, masyarakat perambah umumnya akan
menebang kemudian membakar pohon-pohon yang ada di areal tersebut untuk dijadikan lahan terbuka yang siap untuk ditanami. Apabila lahan yang dirambah berusia muda,
perusahaan akan kehilangan produksi volume sejumlah riap rata-ratahathn dikalikan dengan umur yang tersisa hingga mencapai masak tebang. Sementara, bila perambahan
lahan terjadi pada areal yang telah berusia tua, kerugiannya akan ditambah dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan untuk proses persiapan lahan hingga pemeliharaan.
Untuk kehilangan sejumlah luasan dan keterlambatan waktu tanam, adalah merupakan kerugian yang harus ditanggung perusahaan selama masalah perambahan ini belum dapat
terselesaikan. Dengan adanya luasan yang hilang meskipun untuk sementara waktu serta keterlambatan waktu tanam, maka akan mempengaruhi proses produksi selanjutnya
dan menambah jumlah biaya yang harus dikeluarkan antara lain biaya tambahan untuk pemeliharaan bibit yang belum dapat ditanam, biaya yang terlanjur dikeluarkan untuk
memproduksi bibit serta biaya akibat tidak dapat memenuhi jadwal yang telah ditetapkan. Selain itu, kerugian utama dari adanya konflik ini adalah tidak terjaganya
stabilitas kawasan hutan yang dimiliki perusahaan yang akan berdampak pada terancamnya kelestarian produksi dan perusahaan.
b. Akibat Gangguan Kebakaran Lahan. Kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan akan sangat tergantung pada
intensitas dari kebakaran itu sendiri. Intensitas kebakaran dalam hal ini akan sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakar, ketersediaan energi serta juga ketersediaan oksigen. Seperti yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, salah satu ciri dari tegakan
Acacia mangium adalah banyak tersedianya akumulasi serasah daun phylodia yang sulit
terdekomposisi dan merupakan bahan bakar yang baik pada musim kemarau. Sungguhpun demikian, apabila tidak ada energi yang cukup untuk mengantarkan bahan
bakar sampai ke suhu pembakaran, kebakaran hutan tidak akan terjadi. Berdasarkan pengalaman, kebakaran hutan hanya terjadi apabila ada yang mulai membakarnya,
walaupun kondisi alam sedang sangat kering. Menurut
Saharjo 1996
dalam Hardiyanto 2004, hasil studi kebakaran pada
hutan Acacia mangium di Subanjeriji menunjukkan bahwa pada kandungan bahan bakar sebesar 21,2 tonha temperatur nyala api mencapai 343-454
°C pada permukaan tanah dan 101-159
°C pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah, intensitas api mencapai 863,9kWm, dengan tinggi bekas kebakaran mencapai 13,8 m. Tingkat kebakaran seperti
ini menyebabkan kematian yang besar pada tanaman Acacia mangium. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kerugian dari terjadinya suatu kebakaran hutan pada
tegakan A.mangium akan sangat tergantung pada jumlah bahan bakar yang tersedia serta tinggi dari kebakaran itu sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara pada pelaksana operasional lapangan, dikatakan bahwa usia tegakan 1-3 tahun merupakan usia yang rentan terhadap bahaya kebakaran.
Bila lewat dari usia tersebut, harapan tegakan untuk tetap hidup dan tumbuh pada umumnya masih tinggi. Hal ini tentunya apabila kebakaran yang terjadi merupakan
kebakaran bawah dan tidak sampai pada tajuk pohon. Dalam hal ini, kerugian yang diderita oleh perusahaan tergantung dari kondisi
tegakan setelah mengalami kebakaran. Apabila tegakan mengalami kematian total kebakaran mencapai tajuk pohon, maka kerugian yang harus ditanggung antara lain
kehilangan sejumlah volume serta sejumlah biaya investasi, bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan serta juga kemungkinan bertambahnya serangan hama dan penyakit
pada pohon yang mengalami luka bakar. Pada tegakan yang tidak mengalami kematian total kebakaran tidak sampai mencapai tajuk pohon, meskipun masih ada sejumlah
volume yang dapat diproduksi, nilainya akan berkurang secara cukup signifikan, karena adanya gangguan pada pertumbuhan berikutnya. Selain itu, akan ada biaya tambahan
yang harus ditanggung dalam melakukan proses produksi proses produksi akan berjalan lebih lambat karena harus memastikan dengan teliti bahwa kayu bulat yang dikirim tidak
mengandung arang sedikitpun. Adanya pencucian unsur-unsur hara pada lahan terbakar yang mengakibatkan turunnya kesuburan lahan dan kerdilnya pertumbuhan tanaman daur
berikutnya juga menjadi salah satu konsekuensi adanya gangguan hutan tersebut. c.
Akibat Gangguan Penggembalaan Sebagai akibat dari adanya kegiatan penggembalaan yang pada umumnya terjadi
pada usia satu tahun antara lain adalah gagalnya tanaman, baik karena patah, terinjak- injak ataupun karena pucuktunas tanaman muda dimakan. Selain itu juga berakibat pada
berkurangnya kesuburan tanah akibat terjadinya penurunan tingkat porositas tanah. Dengan berkurangnya porositas tanah sebagai akibat dari pemadatan tanah, air sebagai
salah satu faktor yang dibutuhkan tanaman menjadi sulit terserap dan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil.
d. Akibat Gangguan Hama Penyakit
Jenis hama penyakit yang menyerang wilayah penelitian antara lain adalah hama monyet serta penyakit jamur akar putih. Akibat yang ditimbulkan oleh keduanya adalah
menurunnya kualitas dan kuantitas pohon pada tegakan, atau bahkan kegagalan tanaman
kematian tanaman dalam jumlah besar sehingga perlu untuk ditanami ulang. B.4.3. Pengaruh Gangguan Hutan Terhadap Persentase Kenormalan Tegakan
Persentase kenormalan tegakan merupakan nilai yang berpengaruh terhadap nilai rasio kelestarian hutan. Nilai persentase kenormalan tegakan pada tiap umur tegakan dan
pada tiap stratum disajikan pada Tabel 4 dan 5. Dari hasil perhitungan persentase kenormalan pada stratum sedang mengalami
perubahan yang tidak tetap besarannya pada setiap umur tegakan. Pada umur 1 tahun, nilai persentase kenormalan adalah 30,6 kemudian naik menjadi 82,2 pada umur 2
tahun dan akhirnya turun lagi menjadi 59,1 pada umur 3 tahun. Penurunan tersebut terus berlangsung pada umur 4 tahun menjadi 57,9, namun kemudian mengalami
kenaikan terus hingga umur 7 tahun menjadi 69,5, 85 dan 84,9. Pada umur 8 tahun nilainya turun lagi menjadi 65,8.
Kenyataan di atas diduga disebabkan oleh adanya gangguan berupa penggembalaan, perambahan lahan serta claim lahan pada usia 1 tahun. Pesatnya
peningkatan pada usia 2 tahun diduga disebabkan oleh karena telah ditanggulanginya dengan baik gangguan hutan penggembalaan dan perambahan lahan, yaitu dengan
melakukan kegiatan penyulaman pada tanaman-tanaman yang rusak atau mati. Sedangkan penurunan nilai pada usia 3 dan 4 tahun diduga disebabkan adanya
peningkatan intensitas gangguan hutan berupa kebakaran lahan serta kegiatan perambahan lahan yang penyelesaiannya berlarut-larut. Nilai persentase kenormalan yang
kemudian mengalami peningkatan hingga umur 7 tahun diduga disebabkan oleh telah diselesaikannya kasus perambahan lahan pada usia ini, serta akibat masih adanya
pertumbuhan tegakan setelah melalui masa kebakaran lahan. Sedangkan untuk penurunan nilai persentase kenormalan pada usia 8 tahun, diduga disebabkan oleh adanya kegiatan
klaim lahan yang meningkat. Dengan berkurangnya jumlah luasan usia masak tebang yang dapat dipanen, tentunya akan berdampak pada nilai persentase kenormalan. Dalam
hal ini, dengan cara menggugat lahan yang tegakannya telah masuk usia masak tebang, penggugat berharap untuk dapat menambah tekanan pada perusahaan agar tuntutannya
yang biasanya berujung pada ingin dijadikan sebagai pegawai atau diikutsertakan dalam program MHBM-MHR dapat segera dipenuhi.
Perhitungan persentase kenormalan pada stratum rawan menunjukkan adanya sedikit kemerataan. Pada umur 1-5 tahun, nilai persentase kenormalan pada stratum
rawan menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari 5,7 hingga menjadi 138,9. Sementara dari usia 6-8 tahun terus menunjukkan penurunan, yaitu dari nilai 71,7-52.
Meskipun menunjukkan persentase kenormalan yang meningkat pada usia 1-5 tahun dan kemudian penurunan pada usia 6-8 tahun, rata-rata persentase kenormalan pada stratum
rawan tetap menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada stratum sedang, yang menunjukkan bahwa pada usia tertentu, lahan pada stratum rawan mendapatkan
gangguan yang lebih hebat dari stratum sedang. Hal di atas diduga disebabkan oleh karena gangguan hutan yang mendominasi
pada stratum rawan pada usia 1-5 tahun adalah lebih kepada penggembalaan dan klaim lahan. Hal ini dapat terlihat pada hasil rekapitulasi kerugian fisik akibat masalah sosial
yang diderita oleh MHP Lampiran 2. Dari lampiran tersebut terlihat bahwa kasus claim lahan yang terjadi pada stratum rawan Baung Selatan dan Suban Ulu lebih banyak dari
kasus perambahan lahan. Sebagai catatan, kasus claim lahan merupakan sebuah jenis
gangguan hutan yang biasanya tidak disertai dengan pengrusakan tegakan, sehingga pertumbuhan tegakan di dalamnya tetap terjaga. Penurunan nilai persentase pada umur 6-
8 tahun diduga disebabkan oleh meningkatnya kasus perambahan lahan pada lahan-lahan yang ada, yang disertai dengan peningkatan kasus kebakaran hutan. Selain itu, adanya
kasus pencurian oleh masyarakat yang meskipun tidak tercatat namun pada kenyataannya terjadi di lapangan, juga menjadi salah satu faktor penyebab penurunan nilai tersebut.
Kasus pencurian ini umumnya terjadi dalam skala yang sangat kecil mengambil kayu untuk dijadikan bahan baku pembuatan rumah, dan ini merupakan salah satu nilai plus
dari adanya kontrak kerja dengan PT. TEL, yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki pilihan lain dalam menjual kayu apabila berniat untuk mencuri.
B.5. Upaya-upaya Penanggulangan
Adanya berbagai macam gangguan hutan yang dapat mengancam kelestarian produksi dan kelestarian usaha telah sejak lama disadari oleh PT. MHP. Oleh karena itu,
MHP telah dan akan terus melaksanakan berbagai langkah penanggulangan gangguan- gangguan hutan yang ada, baik yang bersifat preventif mencegah maupun yang bersifat
represif menanggulangi.
Untuk menghadapi masalah konflik lahan, yang diakui sebagai masalah terbesar yang harus dihadapi perusahaan, MHP mengembangkan pendekatan kesejahteraan
prosperity approach, yang dituangkan dalam berbagai program. Di antara program
yang dirasa cukup berhasil dalam menangani kasus-kasus konflik lahan adalah MHBM Mengelola Hutan Bersama Masyarakat serta program MHR Mengelola Hutan Rakyat.
Keduanya memiliki cara-cara pelaksanaan yang berbeda, namun tetap memiliki esensi yang sama, yaitu berupaya untuk menjadikan masyarakat sekitar hutan, baik di dalam
maupun di luar, sebagai mitra sejajar yang juga dapat merasakan susah dan senang secara bersama-sama dalam upaya membangun hutan tanaman yang berhasil. Menurut Iskandar
2004, posisi MHP dalam menyikapi konflik lahan yang terjadi adalah dengan berpedoman pada keempat hal berikut:
1. Proses konflik diselesaikan dengan negosiasi dan musyawarah, namun bila semua
usaha telah buntu, konflik diselesaikan melalui jalur hukum.
2. Tidak ada ganti rugi pada para pihak penggugat.
3. Tidak ada penyerahan kembali lahan karena perusahaan diberi wewenang oleh
Menteri Kehutanan. 4.
Selalu mengajak masyarakat untuk bekerjasama membangun hutan dan membangun kesejahteran dan kemakmuran bersama.
Dalam upaya untuk mencegah berulangnya kasus kebakaran hutan, perusahaan telah menyiapkan berbagai langkah sebagai berikut Hardiyanto,2004:
1. Pengembangan sistem pengendalian api, yang terdiri atas tiga unit kerja, yaitu unit
pengamatan, unit pelaporaninformasiinstruksi serta unit pemadaman. 2.
Mengembangkan satuan khusus pengendalian api di setiap unit kerja yang bertanggung jawab atas areal seluas 10.000-15.000 ha.
3. Melengkapi satuan yang ada dengan perangkat pengendalian api
4. Membangun menara api permanen setinggi 25 m sebanyak 41 buah di seluruh areal
kerja, dengan luas peliputan sebesar 3.000-5.000 ha untuk tiap menara. 5.
Membangun 172 dam dengan luas 40-50 m
2
dam untuk mempermudah penyediaan air dalam pemadaman api.
6. Menggunakan program MHBM dan MHR sebagai bagian dari pendekatan kepada
masyarakat untuk mengendalikan kebakaran community-based approach to forest fire management.
Dalam hal ini, masyarakat dibentuk untuk mengarah pada pola pikir untuk mau berpartisipasi secara aktif dalam menjaga tanaman yang ada di dekat
lahan miliknya apabila ingin dapat menikmati hasil jerih payahnya. 7.
Melakukan inventarisasi pada para pemilik ladang yang berada di dekat lahan MHP yang akan melakukan kegiatan persiapan lahan. Setelah diinventaris, masing-masing
regu satuan khusus pengendali api akan terjun langsung ke lapangan untuk membantu dan mengarahkan masyarakat tentang cara pembuatan sekat bakar yang baik, serta
juga untuk mengecek kesiapan mereka dalam melakukan persiapan lahan. Sedangkan untuk mengatasi masalah penggembalaan, perusahaan antara lain
menempuh cara pemberian penyuluhan dan pengarahan pada masyarakat untuk menggembalakan ternak miliknya di tegakan berumur tua serta juga dengan cara
pemberian areal penggembalaan seluas ± 2 ha di dekat dusuntalang yang bersangkutan.
Dalam mengatasi masalah hama dan penyakit, perusahaan melalui departemen
ResearchDevelopment masih terus mengembangkan penelitian untuk mengatasi kedua masalah ini secara komprehensif, antara lain dengan cara mencoba untuk menghadirkan
musuh alami dari hama yang ada. Dari kenyataan yang ada di lapangan, nampak dengan jelas bahwa upaya untuk
mencapai kelestarian dalam pengusahaan hutan bukanlah suatu perkara yang mudah. Berbagai macam gangguan akan terus saja terjadi, meskipun berbagai macam upaya yang
ada juga telah dilaksanakan. Untuk itu, kelestarian hutan atau bahkan kondisi yang mendekati nampaknya hanya akan tercapai apabila ada komitmen dan keseriusan dari
segala pihak stakeholders yang bersangkutan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN