terhambat pertumbuhannya NAS, 1983. Jika jenis ini akan dibudidayakan, maka sebaiknya diadakan di suatu daerah yang mendapatkan curah hujan sebanyak 2.000 mm
dalam setahun. Menurut Suseno dan Prianto 2000, Acacia mangium Willd memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan untuk dipilih sebagai jenis tanaman dalam membangun HTI. Keunggulan dari jenis ini untuk saat ini adalah benih unggul jenis inilah yang paling
mudah diperoleh dalam jumlah yang banyak setiap waktu, baik didapat dengan cara membeli maupun dari hasil sumber benihnya sendiri. Dalam kegiatan penelitian, terutama
dalam kegiatan pemuliaan pohon hutan, pada mangium relatif lebih banyak daripada jenis-jenis yang lain, sehingga informasi provenans, riap, sumber benih, variasi genetik
dan lain-lain telah banyak tersedia. Selain itu, pada umur 2 tahun, pohon ini telah berbunga. Sementara, kelemahan dari jenis ini adalah batang pokok seringkali lebih dari
satu multistem, sehingga perlu dilakukan pemotongan sedemikian rupa sehingga hanya satu batang pokok saja yang tersisa singling. Selain itu, kelemahan lain adalah
akumulasi serasah daun phylodia yang sulit terdekomposisi dan pada musim kemarau merupakan bahan yang mudah terbakar.
B. Konsep Kelestarian.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 411999 tentang Kehutanan, dalam pasal 10 1 dinyatakan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sementara, dalam pasal 23, juga dinyatakan bahwa pemanfaatan
hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Adanya kedua
pasal ini menyiratkan bahwa hutan, khususnya hutan Indonesia adalah karunia yang tidak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Esa, dan karenanya wajib untuk terus dijaga
kelestariannya. Prinsip kelestarian hasil Sustained Yield Principles sesungguhnya telah sejak
lama dianut dalam pengusahaan hutan produksi. Davis dan Johnson 1987 dalam Suhendang 1993 mengatakan bahwa prinsip ini mulai dianut dan diterapkan sejak
manusia mulai memikirkan keadaan masa depannya. Sementara menurut Departemen
Kehutanan 1997, prinsip ini mulai dianut semenjak dikeluarkannya Ordonansi Hutan oleh Raja Louis XIV di Perancis pada tahun 1669. Pada awalnya, konsep kelestarian hasil
ini muncul dalam kegiatan pengusahaan hutan untuk keperluan produksi yaitu produksi kayu pada khususnya. Namun dalam perkembangannya, konsep ini berkembang sejalan
dengan nilai manfaat hasil hutan bukan kayu, baik yang bersifat tangible maupun yang intangible.
Suhendang, 1993. Lestari, secara sederhana, menurut Poerwadarminta 1976 dalam Winarno
1997 berarti tetap selama-lamanya sementara kelestarian berarti keadaan yang tetap atau tidak berubah-ubah. Sementara, menurut Society of American Foresters 1958
dalam Meyer et al 1961, kelestarian hasil didefinisikan sebagai suatu kegiatan
pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu produksi yang berkelanjutan, yang dilakukan dengan tujuan agar suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan pemanenan
dapat tercapai sesegera mungkin, dimana kelestarian hasil ini dapat diperoleh dalam unit tahun maupun dalam unit periode waktu yang lebih lama. Agar kelestarian hasil ini dapat
tercapai, maka menurut Meyer et al 1961 hasil periodik ataupun hasil tahunan yang diekstrak haruslah ditentukan melalui suatu cara yang terbaik sehingga tidak
menyebabkan terjadinya suatu pengurangan penipisan actual growing stock yang tersedia. Hal ini, dengan kata lain berarti bahwa growing stock yang tersedia harus selalu
mendekati keadaan normal, sehingga berkemampuan untuk memproduksi hasil yang diinginkan secara memadai. Meskipun demikian, yang patut diperhatikan adalah bahwa
yang disebut keadaan normal volume normal dari suatu tegakan akan bervariasi. Variasi ini antara lain tergantung pada sistem silvikultur yang diterapkan serta pada besarnya
ukuran dan kualitas rata-rata dari kayu yang ingin dihasilkan Meyer et al,1961. Menurut Meyer et al 1961, suatu kelestarian hasil mensyaratkan adanya tiga hal
berikut: 1.
Fasilitas transportasi yang memadai, yang mampu membuat setiap bagian dari hutan yang dikelola dapat diakses dengan baik, baik saat sekarang maupun selama periode
kerja yang dibutuhkan. 2.
Adanya penerapan sistem silvikultur yang mampu memastikan bahwa produk yang dihasilkan oleh hutan yang bersangkutan memadai dan dapat masuk ke pasar yang
tersedia.
3. Adanya pasar yang secara ekonomi memadai untuk dapat menjamin tertampungnya
hasil produksi tanpa disertai adanya fluktuasi yang tidak semestinya. Dalam hal ini, syarat yang terakhir merupakan yang tersulit karena tidak ada seorangpun
yang dapat memprediksikan kenaikan dan penurunan harga pasar secara tepat. Menurut Davis 1966, produktivitas hutan yang lestari dapat dilihat dari dua segi.
Yang pertama adalah sebagai kontinuitas pertumbuhan, dan yang kedua adalah sebagai kontinuitas dari hasil atau kontinuitas pemanenan. Kedua pengertian ini seringkali
membingungkan karena keduanya tidak merujuk pada hal yang sama. Sebagai contoh, jika kelestarian hutan diartikan sebagai kekontinuitasan pertumbuhan, maka suatu hutan
tanaman yang masih berumur muda dapat dianggap sebagai lestari, karena darinya dapat diharapkan pertumbuhan yang terus dan berkualitas. Namun jika dilihat dari segi
kontinuitas hasil, hutan ini belum dapat dianggap memenuhi aspek kelestarian. Oleh karena itu, pengertian kelestarian hasilmanfaat lebih sering dipakai untuk
menggambarkan konsep kelestarian. Hal ini dikarenakan pengekstrakan hasil yang lestari tidak selalu membutuhkan adanya pertumbuhan yang baik misal pengekstrakan hasil
pada hutan alam yang sangat luas, meskipun hal ini tetap merupakan keharusan dalam jangka waktu pengusahaan yang lama.
Menurut Osmaston
1968 dalam
Winarno 1997, faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan antara lain adalah:
1. Regenerasi permudaan atau penanaman, yang di dalamnya termasuk usaha
pengendalian bibit serta pemeliharaan. 2.
Stabilitas kemampuan atau kesuburan lahan 3.
Usaha peningkatan atau perbaikan, yang di dalamnya termasuk pencegahan terhadap hama penyakit, gulma, dan perlindungan..
Osmaston 1968 dalam Winarno 1997 juga menyatakan bahwa kelestarian hasil memiliki beberapa tipe, yaitu:
1. Hasil Integral Integral Yield, yang berada pada tegakan yang seumur dan saat
pemanenan dan penanaman dilakukan bersamaan. 2.
Hasil yang terputus-putus Intermitten Yield, yang berada pada tegakan yang terdiri dari beberapa kelas umur, dimana saat penanaman dan penebangan dilakukan pada
interval waktu yang tertentu.
3. Hasil Tahunan Annual Yield, yang merupakan sistem yang banyak digunakan dan
pada sistem ini selalu ada bagian tegakan yang siap untuk ditebang setiap tahunnya. Menurut Suhendang 1993, perlu dipahami bahwa konsep kelestarian hasil
tidaklah bersifat mutlak dan ada unsur kenisbian di dalamnya. Salah satu sumber kenisbian ini antara lain adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah
berupa luas, ukuran volume kayu, nilai uang atau jumlah batang pohon serta juga metode pengaturan hasil yang digunakan. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pemakaian
salah satu ukuran hasil ataupun pemakaian salah satu metode pengaturan hasil akan memberikan tingkat kelestarian yang sama bila diukur oleh ukuran atau metode yang
lainnya. Oleh karena itu, pemilihan ukuran dan metode pengaturan hasil yang akan dipakai merupakan hal yang sangat mendasar dalam upaya pengusahaan hutan produksi
dengan prinsip kelestarian hasil agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
C. Pengaturan Hasil